-->

ads

Pemikiran Politik dan Keagamaan Syiah

Rabu, 11 Agustus 2021

PEMIKIRAN POLITIK DAN KEAGAMAAN SYIAH

Oleh: Masduki Duryat

Harun Nasution[1] mengungkapkan bahwa persoalan pertama yang muncul dalam sejarah Islam bukanlah persoalan tentang keyakinan, tetapi justeru persoalan politik. Pergolakan fisik sebagai akibatdari pengaruh gejolak politik dan persaingankekuasaan₋yang dimulai sejak penelitian khalifah pertama hingga terbunuhnya khalifah Utsman dan memuncak pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib-menimbulkan gejala baru yang merambah kebidang teologi. Masalah teologi menyangkut dasar keyakinan. Dasar keyakinan merupakan landasan pandangan atau falsafah hidup yang akan membuahkan sikap dan perilaku seseorang.


Tidak bisa disangkal, walaupun diskursus konsep politik—termasuk bentuk negara, baru muncul pada periode dinasti ‘Abbasiyah tetapi ketegangan dan benturan internal mengenai pengganti kedudukan nabi sebagai pemimpin merupakan awal sumber konflik berbias politik dikalangan ummat Islam. Dalam pertemuan yang berlangsung di Saqifah Bani Sa’adah muncul tiga ide politik, yaitu: kembali ke sistem kabilah, sistem hak warisan, dan ide persatuan melalui permusyawaratan[2] Ini yang kemudian menjadi embrio pemikiran pilitik Islam.

Pada perkembangan selanjutnya pertikaian pendapat mengenai siapa yang berhak menjadi khalifah berkembang menjadi pertikaian faham yang berlarut-larut, mengenai masalah siapa yang patut disebut muslim, siapa yang telah kafir atau telah keluar dari Islam. Masing-masing pendapat atau paham mempunyai pengikut yang setia, bahkan kadang-kadang sangat fanatic dan mengarah kepada pertumpahan darah diantara ummat Islam. Ummat Islam menjadi terpecah dan terkotak-kotak sesuai dengan pendapat dan pahamnya masing-masing. Ada pro yang terhadap Ali dan ada pula yang kontra dan ada juga yang tidak menerima sama sekali kepemimpinan Abu Bakar. Muncul ketika itu aliran-aliran seperti sunni, syiah, khawarij dan mu’tazilah. Bangunan ukhuwah yang dirintis dan ditegakkan dengan susah payah oleh Nabi Muhammad dengan perjuangan dan pengorbanan seolahmenjadi sia-sia. Walaupun pada perkembangan selanjutnya ada semacam blessing in disgues dari peristiwa tersebut, yakni menambah khazanah pemikiran dan intelektual ummat.

Salah satu dari sekian banyak paham pemikiran teologi adalah syiah, pengikut setia Ali bin Abi Thalib, yang akan dikupas pada makalah ini dan dampak pemikirannya dalam konteks kekinian.

Latar Belakang Lahirnya Syiah

Term syiah, secara definisi ulama berbeda pendapat , sebagaimana dikatakan al-Fairuz Abadi yang dikutip oleh M. Sufyan RA.[3] Pertama, syiah adalah setiap orang yang menjadikan Abi Thalib sebagai imammnya dan berkiblat kepada ahlul bait. Kedua,syiah adalah orang-orang yang menolong ahlul bait dan meyakini Ali sebagai imamnya, sedangkan khalifah sebelummnya mendhalimi Ali. Ketiga,syiah adalah orang-orang yang lebih mengutamakan Ali bin Abi Thalibdaripada Utsman bin Affan, Keempat, syiah adalah orang-orang yang lebih mengutamakan Ali daripada Khulafaur-Rasyidin sebelumnya, mereka berpendapat bahwa ahlul bait yang paling berhak menjadi khalifah.

Golongan syiah adalah pengikut-pengikut setia dari Ali bin Abi Thalib berkeyakinan bahwa Alilah sebenarnya yang harus menggantikan nabi Muhammad untuk menjadi khalifah ummat Islam.[4]

Sejalan dengan pemikiran di atas, Munawir Sjadzali [5] mengatakan bahwa titik awal lahirnya syiah karena ketidaksetujuannya terhadap kekhalifahan Abu Bakar dan berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali Bin Abi Thalib, Abu Bakar, Umar dan Utsman telah merampas hak Ali—ini embrio seperti disebut di atas ketika pertemuan di Tsaqifah Bani Sa’adah yang diusulkan Bani Hasyim dan sejunlah kecil Muhajirin. Tetapi ada yang berpendapat bahwa syiah lahir pada akhir kekhalifahan Utsman bin Affan (644-656) atau pada awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Pada masa itu terjadi pemberontakan terhadap khalifah Utsman yang berakhir dengan kematian Utsmaan dan ada tuntutan ummat agar Ali bin Abi Thalib bersedia menjadi khalifah.

Pendapat yang popular adalah bahwa syiah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Ali dengan pihak pemberontak Muawiyah bin Abu Sufyan di Siffin―yang lazim disebut dengan peristiwa tahkim atau arbitrase. Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali berontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali, yang disebut kemudian dengan Khawarij, sebagian besar ada yang tetap setia terhadap khalifah Ali yang kemudian disebut Syiatul Ali ( pengikut Ali)[6].

Ali bin Abi Thalib meninggal pada tahun 40 H akibat tusukan benda tajam beracun oleh Abdurrahman bin Muljam, kemudian kursi kekhalifahan beralih kepada Hasan bin Ali dan isterinya. Fathimah az-Zahra, puteri nabi Muhammad, tetapi tidak lama. Hasan bin Ali terpaksa menyerahkan kursi kekhalifahan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan, karena pendukungnya semakin berkurang dengan persyara tan, kursi kekhalifahan sesudah Muawiyah diserahkan kepada pilihan ummat, tidak melaknat Ali bin Abi Thalib dan tidak melakukan balas dendam terhadap kaum syiah dan ini sudah disepakati. Tetapi Muawiyah tidak menepati janji-janjinya, kedudukan khalifah malah diserahkan kepada puternya, Yazid, Ali selalu dikutuknya dan pengikut Ali diburuhnya. Puncaknya pada tanggal 10 Muharram 61 H. ketika Husein bin Alidan sebagai kerabat nabi dibantai di padang Kalbala, Irak. Peristiwa ini memunculkan pemberontakan yang berkepanjangan di kemudian hari oleh sebagian pengikut syiah, seperti pemberontakan Mukhtar as-Saqafi, pemberontakan Zaid bin Ali bin Husein, pemberontakan Yahya bin Zaid dan pemberontakan Nafs az-Zakiyyah.

Konsep Imamah, Sekte Syiah dan Pokok Ajarannya

Pemikiran yang menonjol di kalangan syiah kaitannya dengan masalah kepemimpinan adalah persoalan imamah. Berbeda dengan khawarij, bagi syiah jabatan kepala Negara atau imam bukanlah hak orang Islam, bahkan tidak juga hak setiap orang Quraisy―sebagaimana ahli sunnah. Dalam pandangan syiah, sebagaimna diungkapkan Harun Nasution, imamah adalah hak monopoli bin Abi Thalib dan keturunannya.[7] Kaum syiah menetapkan kriteria bahwa seorang imam: PertamaHarus ma’shum (terpelihara)salah, lupa dan maksiat; Kedua, Seorang imam boleh membuat hal yang luar biasa dari adat kebiasaan; KetigaSeorang imam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubungan dengan syariat

4. Imam adalah pembela agama dan pemeliharaan kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari penyelewengan[8]

Syiah terbelah menjadi beberapa sekte, tetapi dapat dibagi ke dalam empat golongan besar. Pertama, golongan kaisaniyah, kedua golongan Zaidah, ketiga golongan Imamiyah (syiah dua belas) dan keempat kaum Gulat.

Dari sekian banyak kelompok dan sekte di tubuh syiah, dapat dikelompokan menjadi tiga aliran. Pertama, moderat, umumnya memandang Ali sebagai manusia biasa, dapat menerima Abu Bakar dan Umar. Kedua, ekstrim, menempatkan Ali sebagai seorang nabi yang lebih tinggi dari nabi Muhammad sendiri, bahkan ada yang mengganggap Ali sebagai penjelmaan Tuhan―bahkan pada tulisan Muslih Fathoni[9] syiah memiliki konsep kemahdian, bermula dari kekecewaan dan penderitaan yang berkepanjangan kaum syiah, sesudah mereka kehilangan kesempatan untuk memperoleh kembali kekuasaan politik. Oleh karena itu, mereka selalu mendambakan sosok pimpinan yang berwibawa, dihormati, oleh kawan dan lawan serta menjadi penguasa tunggal di dunia Islam. Dalam hal ini kaum syiah sepakat, bahwa al-Mahdi itu harus lahir dari keturunan Ali, tetapi mereka berbeda pendapat, apakah al-Mahdi harus keturunan Hasan dan Husein atau tidak. Ketiga, diantara keduanya, Ali sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah dan menuduh Abu Bakar dan Umar telah merebutnya dari tangan Ali, tidak memperlakukan Ali sebagainabi yang lebih utama dari nabi muhammad―apalagi penjelmaan Tuhan.

Justifikasi hukum yang digunakan sebagai alasan(reason)dikalangan syiah adalahsurat al-Maidah;55, “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah RasulNya dan orang-orang yang beriman yang beriman dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk(kepada Allah)”. Menurut paham syiah, orang beriman yang bermaksud pada ayat tersebut adalah Ali bin Abi Thalib. Kemudian sabda nabi dalam hadits al-Gadir, “Barang siapa yang menganggap aku ini adalah pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinya” (HR. Ahmad).

Dalam kitab syiah asal usul prinsip dasarnya karangan Muhammad Kasyfu al-Ghitah, salah seorang ulama syiah, rukun iman menurut syiah, yaitu: Pertama, At-tauhid; Kedua, An-Nubuwwah; Ketiga, Al-Adl; Keempat;  Al-Imamah; Kelima; Al-a’ad (percaya pada hari kiamat)

Sedangkan rukun Islam lainnya adalah; PertamaMelaksanakan shalat; Kedua, Melaksanakan puasa; KetigaMelaksanakan zakat; KeempatMelaksanakan jihad; Kelima, Melaksanakan haji[10]

Tentang al-Qur’an, syiah berpandangan bahwa mushaf Utsmani tidak asli. Mereka mengatakan bahwa al-Qur’an jumlah ayatnya sekitar 17.000-18.000, sementara dalam Utsmani hanya 6.000 ayat. Sedangkan hadits, mereka hanya mengakui hadits yang diriwayatkan oleh ahlul bait, selain itu tidak diterima. Hal yang tidak kalah menariknya tentang pembaharuan pemikiran syiah adalahtentang kawin mut’ah, kata mereka kawin mut’ah boleh merupakan ibadah yang mulia, tidak ternilai pahalanya.[11]

Akal, Sumber Hukum Syiah

Banyak literatur yang menyebutkan, dalam pemikiran syiah setelah keghaiban imam Mahdi, Ibnu Junaid adalah seorang faqih pertama yang mempergunakan akal secara luas dalam proses penyimpulan hukumnya. Sayyid Murtadha mendudukan akal sebagai salah satu sumber hukum. Bedanya, ia meletakan akal setelah al-Qur’an, sunnah dan ijma’, sebagaimana syaikh Mufid meletakan akal tidak sejajar dengan al-Qur’an dan sunnah dan syaikh Thusi menganggap akal sebagai tool, tetapi Ibnu Idris meletakan akal sejajar dengan ketiga sumber hukum yang lain, Muhaqqiq al-Hilli juga fadhil Tuni membahas akal secara rinci dan luas sebagai sumber hukum.[12]

Sungguhpun demikian dapat disimpulkan, ketika Ibnu Idris mensejajarkan akal dengan dalil yang lain, pada kesempatan yang berbeda ia mengatakan, “Bila ketiga dalil tidak tidak ditemukan, maka yang dijadiakn rujukan sumber syariat adalah akal”. Ini menunjukan bahwa Ibnu Idris juga pada belum pada tahapan meletakan akal sejajar dengan ketiga dalilnya.

Syiah, Indonesia dan NU

Menarik untuk dikaji dakam konteks kekinian, diskursus pemikiran syiah banyak meramaikan kancah pergulatan pemikiran di Indonesia. Dalam banyak hal, ia merupakan bias logis angin perubahan (the wind of change), terutama ketika keberhasilan revolusi Islam Iran yang digerakkan oleh sekte syiah. Dr . Richard N. Frye, ahli masalah Iran di Universitas Harvard sebagaimana dikutip Jalaludin Rahmat, berkomentar: Hubungan revolusi Islam (syiah) di Irang dengan dunia ketiga adalah sama seperti hubungan antara revolusi Perancis dengan bangsa-bangsa Erpoa Barat….Revolusi Islam di Iran bukan hanya titik balik dalam sejarah Iran saja, tetapi bagi rakyat di seluruh Negara Islam, bahkan bagi massa rakyat di dunia ketiga”.[13]

Revolusi dan pemikir-pemikir yang mendukung di belakangnya, seperti dr. Ali Syariati, sayyid M.H. Thabathaba’I dan Ayatullah Muthahhari banyak mempengaruhi pemikiran atau paling tidak menjadi rujukan para intelektual Indonesia. Jalaluddin Rahmat sangat fasih bicara syiah bahkan yayasannya diberinama Muthahhari, Amin Rais pernah diberi gelar syiah, karena sering memuji revolusi Islam Iran, terutama sering mengutip pendapat Ali Syariati, Nurchalish Madjid menurut jalaluddin Rakhmat, dekat dengan syiah Ismailiyah―yang banyak melahirkan pemikir besar antara lain Ibnu Sina. Bahkan tentang khazanah keilmuan, kajian filsafat tidak pernah berhenti di kalangan syiah,hingga ketika pemikiran mereka bersentuhan dengan kalangan intelektual Indonesia. Buku “sejarah dan masyarakat” Murtdha Muthahhari diulas dan di kaji oleh para kyai dan ulama di Indonesia, menurut dewan Rahardjo ketika berkunjung ke Iran bersama Taufik Abdullah, kami tercengan melihat khazanah kepustakaan Islam di Universitas Taheran dan perpustakaan Ayatullah marashi Najfi di Qum.[14]

Menurut Azyumardi Azra, banyak ahli dan pengamat sejarah telah melakukan penelitian dan berargumen syiah pernah menjadi kekuatan tangguh di nusantara, Kerajaan Islam yang pertama, Paureulak (perlak)didirikan oleh para pelaut-pedagang muslim asal Persia, Arab dan Gujarat, belakangan mereka mengangkat sayyid Maulana Abd al-Aziz Syiah, keturunan Arab-Quraisy, yang menganut paham politik syiah, sebagai sultan Perlak. Bahkan menurut penelitian Agus Sunyoto[15] menyimpulkan bahwa syaikh abd al-Rauf al-Sinkli, salah seorang ulama besar asal Aceh, adalah p, engikut dan penggubah sastra syiah, bahkan hanya seorang saja dari wali songo di Jwa yang tidak syiah. NU―setidaknya secara kultural―juga adalah syiah.

Said Aqil Siraj wakil Katib Syuriah PBNU mengakui pengaruh syiah yang cukup kuat di dalamnya, “harus diakui pengaruh syiah di NU sangat besar dan mendalam, kebiasaan membaca barjanzi atau diba’I yang menjadi cirri khas masyarakat NU misalnya secara jelas berasal dari tradisi syiah”.[16] Pada saat membaca berjanzi kemudian kita berdiri, berebut bekas sesuatu yang dimakan dan diminum kyai/ustadz yang dilakukan masyarakat kita adalah tradisi syiah.

Menarik untuk dicermati pendapat Jalaluddin Rakhmat,[17] ia mengatakan fiqh Indonesia juga banyak dipengaruhi oleh faham syiah, misalnya masalah talak III yang diucapkan sekaligus. Dalam mazhab ahlussunnah itu jatuh talak III, tetapi mazhab syiah berpendapat itu jatuh talak I―ini yang dipakai dalam fiqh di Indonesia. Saksi, menurut ahlusunnah tidak diperlukan ketika menceraikan isteri, tetapi menurut syiah saksi mesti ada dan itulah yang menjadi dasar undang-undang perkawinan kita. Masih menurut kang jalal, tradisi orang NU membaca shalawat, bentuk kuburan,kebiasaan ziarah, haul dan tahlilan adalah tradisi syiah, yang dengan setia dijalankan oleh orang Islam Indonesia. Untuk memperkuat argumennya kang jalal meyakinkan bahwa mazhab syafii di negeri yang lain tidak mengenal tahlilan, mazhab syafiidi Mesir tidak mengenal tahlilan atau haul. Tradisi itu hanya dikenal di Indonesia.

Penutup

Seperti diuraikan di atas, bahwa persoalan pertama yang muncul dalam Islam menurut sejarah, bukanlah persoalan keyakinan, tetapi persolalan politik. Dari persoalan politik inilah menyeret perbedaan pada wilayah akidah atau keyakinan. Salah satu faksi atau golongan yang muncul ketika itu adalah syiah, pengikut setia Ali bin Abi Thalib. Walaupun menurut Munawir Sjadzali, syiah lahir karena berawal dari ketidaksetujuan atas kekhalifahan Abu Bakar dan berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali bin Abi Thalib. Sementara para ahli lain sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedia Islam sebagian menganggap syiah lahir langsung setelah wafatnya nabi Muhammad.

Pemikiran keagamaan dan politik syiah sebagaimana diungkapkan Din Syamsuddin, mengajukan konsep bersatunya agama dan Negara. Agama dan Negara tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi politik atau Negara, karenanya menurut paradigma syiah Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Konsep imamah adalah lembaga keagamaan dan mmpunyai fungsi kenabian. Dalam pandangannya, legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan dan diturunkan lewat garis keturunan nabi. Legitimasi politik harus berdasarkan legitimasi keagamaan, dan ini hanya dimiliki para keturunan nabi SAW. Syiah menekankan wilayah (kecintaan dan pengabdian Tuhan) dan ishmah (kesucian dari dosa) yang hanya dimiliki para keturunan nabi yang benar dan abash untuk menjadi kepala Negara (imam). Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi menyelenggarakan “kedaulatan Tuhan”, dalam perspektif syiah, Negara bersifat teokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

apakabar@clark.net, 12 Maret 1996

Fathoni, Muslih, 1994, Faham Mahdi Syiah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, Jakarta: RajaGrafindo Persada

File://F://Syiah_Files/latar belakang Syiah. htm

Lapadi , Saleh, Akal sebagai Sumber Hukum dalam Pemikiran syiah, Artikel, 29 April 2007

Muzakki, Ahmad, Teologi Politik,: Konsep Negara dalam al-Qur’an, ppssnh@telkom Net

Nasution, Harun, 1985, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, Jilid I, Cet. Ke-5

Sjadzali, Munawir, 1991, Islam dan Tata Negara , Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press

Sufyan Raji Abd, M., 1996, Mengenal Aliran-Aloran dalam Islam, Jakarta: Pustaka Al-Riyadl

Sunyoto, Agus, Syiah dan Pengaruh di Nusantara Indonesi, Prospek, 10 Nopember 1991


[1] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta:UI Press, 1985), Jilid I, Cet. Ke-5, h.9

[2]Tiga ide politik itu: Pertama. Kembali ke Sistem Kabilah, setiap kabilah menganngkat pemimpin mereka sendiri. Ide ini muncul dari kalangan bani Khazraj dan kaum sparatis (riddah). Kedua, Sistem Hak Warisan, ide ini lahir dari kalangan Bani hasyim berdasarkan pemikiran dan kebiasaan orang Arab Selatan. Tokoh terkemuka pendukung ide ini adalah al-Abbas, Ali dan Zubair. Ketiga, Ide persatuan melalui permusyawarata. Ide ini didukung kaum muhajirin, kecuali Bani hasyim. Ide ini selain sesuai dengan perintah al-qur’an agar ummat Islam tidak terpecah belah dan selalu bermusyawarah atas asas persatuan yang berkeadilan dalam memecahkan setiap persoalan. Baca lebih lanjut Akhmad Muzakki, Teologi Politik : Konsep Negara dalam al-qur’an, ppssnh telkom.net, h. 2-3

[3] M. Sufyan Raji Abd., Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam, (Jakarta: Pustaka al-Riyadl, 1996), h. 85

[4] Harun Nasution, Op.cit.,h. 65

[5] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejaarah dan Pemikiran, (Jakarta; UI Press, 1991), h.27

[6] Baca lebih lanjut, File:/F:/Syiah_file/latar belakang Syiah. htm, h.1

[7] Harun Nasution, Op.cit., h. 97

[9] Muslih Fathoni, Faham mahdi syiah dan ahmadiyah perspektif, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1994), Cet. Ke-1, h. 1

[10] M. Sufyan Raji Abd. Op. cit, h. 101

[11] Ibid, h. 111-112

[12] Saleh Lapadi, Akal sebagai Sumber Hukum dalam Sejarah Pemikiran Syiah, Artikel, 29 April 2007, h. 1-2

[13] Abdul Hayyie al-Kattani, Sekilas tentang Faham Syiah, File://F:/Syiah_Files/Syiah.html, h.1

[14] Ibid, h. 2

[15] Agus Sunyoto, Syiah dan Pengaruhnya di Nusantara/Indonesia, Prospek, 10 Nopember 1991

[16] Abdul Hayyie al kattani, Op.cit, h.2

[17] Bahkan menurut kang Jalal tradisi pemikiran filsafat orang-orang syiah diakui sampai sekarang. Di kalangan sunni filsafat tidak diperhatikan, beberapa aliran di kalangan sunni filsafat diharamkan. Terkenal ucapan ibnu taimiyah “ Siapa yang berlogikan dia sudah menjadi kafir”. IAIN pernah agak sulit untuk membuka jurusan jurusan karena banyak mendapat tantangan. Tetapi sekarang berfikir berfilsafat menjadi sesuatu yang lumrah, bahkan juga dipesantren. Filsafat adalah tradisi syiah yang secara intens terus dilakukan. Baca lebih lanjut wawancara jalaludin Rakhmat dengan Tiras, apakabar@clark.net, 12 maret 1996, h. 1-3

0 comments: