-->

ads

Kepemimpinan Partai Politik, dan Pembajakan Kekuasaan

Rabu, 25 Agustus 2021

Kepimpinan (gambar studilmu)

 

Oleh: Masduki Duryat*)

Abu Naim memberikan penegasan kepemimpinan politik itu tidak sama dengan elit politik, karena seperti yang dikemukakan oleh Pareto, elit merupakan orang-orang yang yang memiliki ‘atribut’ yang paling dinilai tinggi dalam masyarakat, seperti prestise, kekayaan, ataupun kewenangan. Memiliki kekuasaan politik berbeda dengan memiliki kepemimpinan politik, karena dua hal; yaitu jenis sumber pengaruh yang digunakan dan tujuan penggunaan pengaruh.


Sebutan politik masih menurut Abu Naim dengan mengutip pandangan Pareto “Dalam kepemimpinan politik menunjukkan kepemimpinan berlangsung dalam suprastruktur politik (lembaga-lembaga pemerintahan), dan yang berlangsung dalam infrastruktur politik (partai politik dan organisasi kemasyarakatan). 


Kepemimpinan Partai Politik


Pencapaian kesuksesan dan keefektifan seorang pemimpin akan selalu dipengaruhi oleh 4 (empat) komponen; yaitu “influencer yang dimiliki dan melekat  pada diri pemimpin (leader), influencer yang melekat pada diri bawahan (follower), cara atau teknik mempengaruhi (influence the behavior) dan situasi (situation or environment). Keempat komponen ini akan menentukan bagaimana keefektifan seorang pemimpin. Karena itu  bisa terjadi seorang pemimpin dapat sukses tetapi belum tentu efektif dalam kepemimpinannya.  Sementara yang diinginkan dan dituntut   oleh organisasi atau kelompok adalah bagaimana menghadirkan seorang pemimpin yang sukses dan efektif untuk dapat mempengaruhi orang lain sehingga tidak terjadi conflicting the objective, tetapi  juga bagaimana bisa efektif dalam kepemimpinannya sehingga tercipta tujuan organisasi  yang  dapat  menumbuhkan mutuality of interest.  


Dalam  real  life  system, pemimpin  suatu  organisasi  termasuk  partai politik  memiliki  kecenderungan  berperilaku dinamis, melakukan  perubahan, perkembangan dan inovasi dalam berkonsentrasi sesuai dengan tuntutan dan dinamika masyarakat. Dalam jargon perubahan gaya kepemimpinan sering ditemukan tantangan apalagi dunia politik semakin hari makin kompetitif dalam tataran kompleksitas. Pranata masyarakat  yang semakin kompleks, chaos,  bahkan disorder arus komunikasi, informasi, dan dunia kerja semakin kompetitif yang oleh Rheinald Kasali disebutnya disruption, menghadapi lawan-lawan tak kelihatan pemenangnya adalah orang-orang yang mempersiapkan diri termasuk para pemimpinnya dengan serius.


Partai politik juga merupakan bagian dari infrastruktur politik dalam Negara—karena selain partai politik, infrastruktur politik terdiri dari organisasi kemasyarakatan, kelompok kepentingan, kelompok penekan, kelompok tokoh masyarakat, dan media (pers)—yang pada definisi Sigmund Neumann “bertujuan untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan cara yang konstitusional”. 


Pada pandangan Miriam Budiharjo partai politik sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Partai politik dapat memainkan perannya sebagai wahana untuk menghimpun harapan, aspirasi, artikulasi dan agregasi kepentingan yang dilakukan kepada masyarakat untuk mencapai tujuan yang diinginkan yaitu untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan public.  Peran partai politik dibedakan menjadi dua hal; fungsi internal dan eksternal. Dalam fungsinya yang internal, partai politik berperan dalam pembinaan, pendidikan, pembekalan, dan pengkaderan bagi anggota partai politik demi langgengnya ideology politik yang menjadi latar belakang pendirian partai politik tersebut. Dalam fungsi ekternalnya partai politik terkait dengan ruang lingkup yang luas yakni masyarakat, bangsa dan Negara. Karena partai politik juga bertanggung jawab secara etik membawa kondisi masyarakat ke arah yang lebih baik. 


Demokratisasi yang sudah dilaksanakan selama ini  oleh Pemerintah Republik Indonesia telah menjadi alat untuk terlaksananya otonomi daerah sehingga secara otomatis sebagai konsekuensinya telah dilaksanakannya pemilihan kepala daerah serentak pertama kalinya dalam sejarah bangsa Indonesia pada tanggal 9 Desember 2015 lalu yang diikuti oleh 269 daerah kabupaten/kota secara langsung. Otonomi daerah melahirkan sejumlah kegiatan politik seperti pemilihan kepala daerah. Pemilihan Kepala Daerah mencirikan bahwa sebuah negara dari tingkat propinsi ke tingkat daerah telah berdemokrasi. Masyarakat dapat memilih pemimpin dengan melihat Visi dan Misi yang diusung, kepribadian pemimpin dan juga cara-cara kampanye mereka. Salah satu kampanye yang paling berhasil adalah dengan melakukan transformasi kepemimpinan. 


Pemilu Langsung dan Pembajakan Kekuasaan

Pemilihan langsung kepala daerah merupakan kerangka kelembagaan baru dalam rangka demokratisasi mewujud di daerah. Proses pemilihan langsung ini tentu memiliki tujuan ideal bisa mereduksi secara luas adanya ‘pembajakan  kekuasaan’ yang dilakukan oleh partai politik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Selain itu juga pemilihan kepala daerah secara langsung diharapkan dapat menghasilkan kepala daerah yang memiliki akuntabilitas yang lebih tinggi kepada rakyat. Walaupun dalam bahasa Hanafi, makna langsung di sini lebih berfokus pada hak rakyat untuk memilih kepala daerah, para calon kepala daerah lebih banyak ditentukan oleh partai politik. Pemilihan langsung kepala daerah dalam upaya menghadirkan calon-calon pemimpin daerah. Sebagai salah satu institusi yang menjadi pintu masuk bagi calon pemimpin daerah diharapkan partai politik dapat menjalankan fungsinya dengan baik.


Kegagalan Partai Politik

Persoalannya, sejauh ini dalam realitasnya partai politik masih jauh dari harapan tersebut dan keinginan rakyat, seperti melakukan proses pengusungan kandidat yang elitis, rekrutmen calon yang buruk, partai politik dinilai hanya sebatas sebagai alat kekuasaan dan kendaraan atau pemberi tiket, sampai tampilnya arogansi  partai politik dengan menafi’kan suara kritis publik terhadap persoalan yang menyangkut politik kekerabatan, oligarki dan praktek korupsi di daerah. 


Idealnya peralihan masa orde baru ke reformasi ini adalah momentum sejarah atau mileston dalam kepemimpinan politik di Indonesia. Tapi di sisi lain secara realistik Indonesia juga mengalami krisis kepemimpinan. Untuk mencari sosok pemimpin yang diidealkan memiliki integritas intelektual dan etik-moral menjadi barang langka dan sulit untuk ditemukan. Karena selama beberapa kurun waktu ini setiap pemimpin politik di Indonesia cenderung bersikap kolutif, nepotif, koruptif. 


Tidak lama setelah reformasi tepatnya pada 2002 terjadi 341 kali kasus korupsi yang dilakukan oleh kader dari 12 partai politik. Indeks korupsi yang dirilis ICW periode 2012-2014 mencatat skor tertinggi PDIP sebagai Parpol yang rentan kadernya terlibat korupsi. Tiga besar dari riset ICW itu adalah PDIP (7,7), PAN (5,5), dan Golkar (4,9)” (Fatih, politiktoday.com, PDIP Jawara Korupsi di Era Reformasi). Ada analis yang mencatat; 60 persen koruptor yang ditangkap KPK erat terkait dengan partai politik. 


Di negeri ini korupsi semakin membudaya dan seolah kehilangan urat malu. Apalagi menurut Nurcholis Madjid dengan mengutip pandangan Gunnar Myrdall berpendapat bahwa dari sisi etik, Indonesia masuk Negara yang soft state (Negara lunak), dalam artian sering terjadi ketidakjelasan anatara yang benar dengan yang salah di masyarakat. Korupsi, penyalahgunaan wewenang dan jabatan menjadi kejahatan yang sudah biasa. Partai politik dalam hal ini memberikan kontribusi besar dalam kasus ini melalui kader-kader yang menjadi kepala daerah. 


Akibat dari fenomena ini memunculkan ketidakpercayaan atau paling tidak degradasi kepercayaan (trusting leader) terhadap kepemimpinan saat ini karena tidak memiliki kompetensi untuk mengangkat kehidupan bangsa ini ke arah yang lebih baik. Bahkan dalam perspektif sebagian masyarakat Indonesia, keberadaan pemimpin-pemimpin yang ada sekarang berkontribusi semakin membawa keterpurukan yang sudah terjadi sebelumnya.


Pemimpin Lokal yang Negarawan

Diskursus tentang pemimpin dan kepemimpinan masa depan, memiliki hubungan resiprokal yang selalu berkelindan dengan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh bangsa ini. Bangsa ini sangat membutuhkan kehadiran pemimpin yang kuat dari sektor kehidupan masayarakat, pemimpin yang berwawasan kebangsaan dalam menghadapi permasalahan bangsa yang sedemikian kompleks. Pemimpin dan kepemimpinan yang intregrative harus memilik pola pikir, sikap dan perilaku yang mencerminkan sebagai seorang negarawan dan memiliki kelebihan-kelebihan spesifik sebagai seorang pemimpin.


Selaras dengan implementasi Otonomi Daerah di Indonesia yang melandaskannya pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota memiliki kepala daerah sebagai kepala pemerintahan. Kepala daerah Provinsi disebut Gubernur, kepala daerah Kabupaten disebut Bupati dan kepala daerah Kota disebut Walikota yang semuanya dipilih langsung oleh rakyat. Point penting dari semangat pelaksanaan otonomi daerah adalah rakyat berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan kehidupan berdemokrasi. 


Rakyat dalam system otonomi daerah memiliki otoritas untuk memilih pemimpin serta  mengatur dan mengurus sendiri urusan daerahnya. Penyelenggaraan pemerintah di Indonesia saat ini memperlihatkan kenyataan bahwa setidaknya sejumlah pemimpin lokal telah membuktikan keberhasilan mengelola permasalahan kehidupan masyarakat yang terealisir di daerah yang dipimpinnya.


*)Penulis adalah dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Wirapanjunan Kandanghaur Indramayu


0 comments: