Modernisasi dan Globalisasi dalam Perspektif Anthony Giddens
Modernisasi dan Globalisasi dalam Perspektif Anthony Giddens Oleh: Masduki Duryat Anthony Giddens adalah seorang sosiolog kontemporer, lahir 18 Januari 1938 di Britain. Menempuh pendidikan ekonomi di Universitas London.[1] Keluarga Giddens adalah keluarga kelas menengah ke bawah. Dia merupakan anggota keluarga yang pertama kuliah di universitas. Dari Universitas Hull, ia mendapat gelar sarjana muda (BA) pada 1959. Kemudian ia meneruskan studi untuk mendapatkan gelar master dari London School of Economics, diteruskan gelar Ph.D dari King’ College pada 1974. Sambil menempuh pendidikan program doktoral, Giddens mengajar sosiologi di Universitas Leicester, Universitas Simon Frases (Britis Columbia), dan di Universitas California di Los Angeles.[2] Tahun 1985 ia diangkat menjadi profesor sosiologi di Universitas Cambridge. Di 1980-an, karir Giddens mengalami serangkaian perubahan yang menarik. Beberapa tahun terapi menggiringnya kepada ketertarikan pada kehidupan personal, terapi juga memberikan kepadanya kepercayaan diri untuk menjalankan peran publik serta menjadi salah seorang penasehat Perdana Menteri Inggris Tony Blair.[3] Karya dan Pemikiran Giddens Dunia zaman sekarang bagi Giddens memang dicengkeram oleh kekerasan. Akan tetapi yang lebih menggelisahkannya—sebagai resiko modernisasi dan globalisasi—adalah kelangsungan hidup manusia selalu terancam, misalnya perang nuklir, resiko lingkungan, resiko meluasnya jumlah peristiwa dan beberapa resiko lainnya. Ambisi Giddens—kalau boleh dikatakan demikian, bukan hanya memperbaiki teori sosiologi sehubungan dengan gejala perang. Dalam wawancaranya dengan Pierson, ia mengatakan: ”Saya ingin melakukan tiga hal: menafsir ulang pemikiran sosial, membangun logika serta metode ilmu-ilmu sosial, dan mengajukan analisis tentang munculnya institusi-institusi modern”. Rupanya Giddens tidak hanya ingin mengkritik dan mengecam kegagalan teoretisi pendahulunya, tetapi ia juga ingin mengajukan alternatif. Bukan sembarang alternatif, melainkan sebuah alternatif yang bersifat paradigmatic shift.[4] Harap dicatat bahwa proyek yang ambisius ini sebenarnya bukan cita-cita Giddens sejak muda. Cita-cita Anthony Giddens semula sederhana saja: menjadi pegawai negeri. Sebagai seorang yang dilahirkan dari keluarga pengawal jawatan kereta api, ia hanya dapat melanjutkan studi di Universitas Hull, sebuah universitas kecil yang kalah bergengsi dibandingkan Universitas Oxford atau Cambridge. Giddens sendiri memang tidak melamar ke sana karena tidak membayangkan dapat diterima di sana. Demikian pula ketika ia harus meluruskan studi lanjutannya di London School of Economics (LSE). Ia ke sana semata-mata karena ada dorongan dari dosennya, Peter Worsely. Perjalanan karir intelektualnya tidak pernah dirancang sejak muda, banyak hal-hal kebetulan yang terjadi. Ia mulai mengembangkan minat intelektual justru ketika ia di Leicester University, tempat kerjanya setelah lulus.[5] Giddens memulai proyeknya dengan cara yang biasa. Ia mulai dengan membaca dan mempelajari pemikiran tokoh-tokoh yang menjadi tonggak besar dalam sosiologi, Karl Marx, Emili Durkheim, dan Max Weber. Semuanya dibaca dalam bahasa aslinya (Jerman atau Perancis). Setelah tokoh-tokoh sosiologi dikuasai, Giddens melanjutkan petualangannya dengan memasuki pemikir-pemikir besar kontemporer. Dari dialog dengan sedemikian banyak teori, Giddens tiba pada “teori strukturisasi” (theory of structuration). Strukturasi; Struktural Versus Konstruksi Anti Tesis Gidens Antony Giddens mencoba untuk tidak percaya lagi dengan para pendahulunya. Bagi Giddens, proses dan tertib sosial berlangsung bukan lagi bergantung pada individu (tatanan mikro) maupun masyarakat dengan sistem sosialnya (tatanan makro), melainkan karena adanya linkage/pertautan antara mikro dan makro, subjek dan objek. Dengan gayanya yang khas ini, Giddens kemudian menawarkan teori strukturasi yang mencoba menunjukkan bahwa dalam kehidupan sosial terdapat hubungan antara tindakan pemahaman atau penafsiran seseorang dengan munculnya sistem sosial yang stabil. Situasi semacam ini berada di luar konsekuensi dari cara seseorang menggambarkan tindakan yang mereka lakukan dalam rangka mewujudkan tujuan. Dengan kaca mata teori strukturasi, kita tidak lagi relevan berbicara siapa yang seharusnya berperan lebih di dalam mengatasi krisis, apakah individu ataukah struktur. Karena, menurut paradigma strukturasi, keduanya saling berperan. Baiklah, agar pembahasan ini semakin tidak kehilangan ruhnya, nampaknya perlu terlebih dahulu melihat bagaimana paradigma berbagai aliran teori sosial yang begitu menghegemoni dunia hingga saat ini—sebagaimana diuraikan dengan lugas oleh Rusmadi.[6] Pertama; Teori Struktural. Teori struktural memiliki beberapa teori turunannya, yakni struktural fungsional (tokohnya: Auguste Comte dengan teori hukum tiga tahap, Herbert Spencer dengan teori Darwinisme sosial, dan Emile Durkheim dengan teori fakta sosial), struktural konflik (tokohnya: Karl Marx dengan teori konflik pertentangan kelas, dan Antonio Gramsci [neo-Marxis] dengan teori hegemoni), neo-fungsional (tokohnya: Jeffrey Alexander dan Colomy yang mencoba memperbaiki teori struktural fungsional yang terlalu deterministik), dan konflik alternatif (tokohnya: Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, dan Randall Collins yang mencoba memperbaiki teori struktural konflik yang dianggapnya terjebak pada analisis ekonomi). Tanpa bermaksud melakukan reduksi, penulis sengaja mengelompokkan beberapa teori tersebut di atas dalam satu frame teori struktural, karena memiliki persamaan paradigmatik, yakni struktur lebih berperan penting di dalam menentukan proses dan tertib sosial serta tatanan dunia. Meski cara pandang masing-masing terhadap struktur berbeda (terutama mengenai hakikat konflik) antara struktural fungsional, struktural konflik, neo-fungsional, neo-marxis, dan konflik alternatif. Secara umum teori struktural dan berbagai teori turunannya tersebut di atas cenderung sangat konservatif, karena menganggap bahwa proses dan tertib sosial serta tatanan dunia berlangsung karena bentukan struktur, individu sama sekali tidak memiliki peran apapun. Jika kita lihat dari perspektif teori struktural fungsional, maka dalam menyelesaikan krisis lingkungan misalnya, yang lebih berperan adalah struktur, seperti negara, hukum, Undang-Undang, organisasi internasional, dan lain-lain. Sementara individu tidak memiliki peran yang signifikan di dalam mengatasi krisis lingkungan. Paradigma tersebut di atas percaya bahwa struktur merupakan pengambil peran utama di dalam menyelesaikan krisis. Paradigma pluralisme misalnya, yang lebih memfokuskan pada negara (bukan civil society) yang lebih berperan penting dengan pertimbangan efektifitas penyelesaian krisis, yakni dengan regulasi dan birokrasi. Begitu juga paradigma Agency Capture yang memfokuskan pada peran negara. Negara dengan kekuatan birokrasinya, bagi paradigma agency capture, berfungsi melayani kepentingan publik. Dalam konteks ini, birokrasi merupakan satu-satunya otoritas yang menjalankan peran penyelesaian krisis karena memiliki dua peran sekaligus, yakni menciptakan regulasi demi kepentingan publik, dan sekaligus mengelola atau mengeksploitasi alam demi kepentingan publik dengan berbagai regulasi perlindungan. Begitu juga dengan paradigma Social Construction yang menekankan pada peran regulasi negara. Bagi paradigma ini, regulasi negara merupakan hasil konstruksi antara negara dan aktor-aktor sosial yang saling berhubungan. Jika kita lihat semua paradigma yang dipakai oleh mereka yang berada di garis strukturalisme, penekanannya diserahkan kepada struktur yang harus terlibat di dalam mengatasi krisis dengan mekanisme perintah dan control (command and control aproach). Kedua; Teori Konstruksionisme. Jika strukturalisme lebih percaya pada struktur, maka konstruksionisme justru sebaliknya, ia percaya pada individu-individu yang otonom yang bisa melakukan perubahan sosial. Tradisi konstruksionisme kemudian melahirkan tradisi sosiologi yang berbeda. Di Amerika misalnya melahirkan Sosiologi Interaksionisme, penggagasnya adalah Simmel dan George Herbert Mead. Sementara di Eropa melahirkan sosiologi Fenomenologi, penggagasnya antara lain Max Weber, Alfred Schutz, Bergson, dan E. Husserl). Tokoh utamanya adalah Max Weber (1864-1922). Weber dikenal sebagai seorang yang terlahir dari keluarga menengah. Bapaknya seorang pejabat penting, sehingga tingkah lakunya sangat “mapan” dan “tertib”. Ibunya adalah seorang yang saleh dengan sikap-sikapnya yang asketis. Dari perbedaan sikap hidup kedua orang tuanya inilah Weber muda mengalami ketegangan. Awalnya ia mengikuti gaya hidup ayahnya yang “ditertibkan”, tetapi kemudian ia antipati kepadanya dan memilih mengikuti gaya hidup ibunya yang asketis. Ia mengatur hidupnya sendiri dan menyiapkan malamnya sendiri. Dari sinilah teori sosiologinya dipengaruhi oleh kebiasaannya. Bagi Weber, tindakan individu merupakan bagian terpenting dalam gagasan sosiologisnya. Bagaimana ia melihat individu menjalin dan memberi makna terhadap hubungan sosial, individu menjadi bagian di dalamnya. Weber melihat bahwa individu merupakan kunci (yang mempengaruhi) tindakan sosial di dalam masyarakat, tetapi dengan catatan bahwa tindakan sosial individu ini berhubungan dengan rasionalitas. Individu, dalam bayangan Weber, merupakan pemilik macam-macam tujuan yang mungkin diinginkannya. Individu bergerak “bebas” dan mampu menentukan masyarakat dan strukturnya, meskipun harus ada “kesepakatan” dengan individu-individu yang lain. Jika kita lihat dari perspektif teori konstruksionisme, maka dalam menyelesaikan krisis lingkungan misalnya, yang lebih berperan adalah individu, bukan struktur seperti negara, hukum, Undang-Undang, organisasi internasional, dan lain-lain, sebagaimana diasumsikan oleh teori struktural. Justru dalam perspektif konstruksionisme individu memiliki peran yang signifikan di dalam mengatasi krisis lingkungan. Paradigma tersebut di atas percaya bahwa individu merupakan pengambil peran utama di dalam menyelesaikan krisis. Ketiga; Teori Strukturasi. Dalam perkembangan sosiologi kontemporer, tradisi strukturalisme dan konstruksionisme di atas kemudian mendorong munculnya teori Strukturasi yang diprakarsai oleh Antony Giddens. Teori strukturasi mencoba mencari linkage/pertautan setelah terjadi perseteruan tajam antara struktural fungsional dan konstruksionisme-fenomenologis. Giddens tidak puas dengan teori pandangan yang dikemukakan oleh struktural fungsional, yang menurutnya terjebak pada pandangan naturalistik. Pandangan naturalis mereduksi aktor dalam struktur. Tetapi Giddens juga tidak sependapat dengan konstruksionisme-fenomenologis, yang baginya disebut sebagai berakhir pada imperialisme subjek. Oleh karenanya ia ingin mengakhiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran (struktural fungsional dan konstruksionisme). Dari hasil kerja “mempertemukan” keduanya inilah Giddens merekonseptualisasikan tindakan, sekaligus menawarkan perspektif baru yang disebutnya teori strukturasi. Bagi Giddens, perubahan sosial bukan muncul hanya dari sang aktor individual, dan juga bukan hanya dari struktur, melainkan muncul di dalam ruang dan waktu. Gidens kemudian menyusun formasi pemikirannya sebagai berikut: 1). Masyarakat bukan merupakan realitas objektif yang telah jadi, melainkan diciptakan oleh tindakan-tindakan anggota-anggotanya sebagai agen yang membutuhkan kemampuan dari sang agen, 2). Sang agen tidak bebas memilih bagaimana menciptakan masyarakat, tetapi dibatasi oleh kendala (constraint) lokasi sejarah di luar pilihan mereka sendiri. Struktur dalam hal ini memiliki kapasitas ganda: bisa menjadi kendala, tetapi juga bisa menjadi peluang (enabling) bagi manusia agensi. Setiap tindakan manusia atau struktur mengandung tiga aspek: makna, norma, dan kekuasaan. 3). Sosiolog tidak mungkin menghindari pengalaman mereka sendiri sebagai basis memahami kehidupan sosial, bahkan hal ini harus dipegangi secara konsisten. Sosiolog harus melibatkan diri ke dalam situasi yang menjadi subjek analisisnya. 4). Konsep formasi mencakup double hermenutic. Sosiolog harus menjaga ketelitian dengan konsepnya sehingga sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Tugas utama sosiologi adalah melakukan rediskripsi terhadap seting sosial dengan meta bahasa, dan selalu bisa dikonfirmasi terhadap prinsip bahwa masyarakat merupakan manusia agency. Ungkapan di atas dapat kita pahami bahwa: untuk terjun dalam praktik sosial seorang aktor harus mengetahui cara berpartisipasi sesuai konteks (ruang dan waktu) dan cara mengikuti suatu peraturan. Secara sederhana, sebenarnya Giddens hendak menunjukkan bahwa perubahan sosial akan mungkin bila ada agen dan sekaligus sebuah struktur sebagai mediumnya. Contoh lain yang paling dekat dengan kita adalah segala macam kerusuhan di Tanah air selama dua tahun terakhir ini. Mereka yang berpihak ke “struktur” segera mengatakan bahwa ketertiban dapat dipulihkan dengan memanggil agamawan. Para agamawan diharapkan dapat “menginsyafkan” rakyat akan nilai-nilai agama. Adapun mereka yang berpihak ke “agensi” akan mengatakan bahwa massa yang melihat bahwa cara kekerasan tidak dihukum, akan terus memakai kekerasan untuk mencapai tujuannya. Di sini ada perhitungan untung-rugi. Pada kenyataannya, setelah agamawan datang dan setelah aparat keamanan datang, ketertiban tidak kunjung datang juga. Atas dasar teori strukturisasi ini Giddens dapat melanjutkan penjelajahannya ke wilayah lain, ke sosiologi substantif. Di sini Giddens mulai dengan mengadakan observasi atas keadaan dunia modern. Seperti telah disinggung di atas, pemakaian kekerasan (yang menjadi “perang”) adalah salah satu ciri modernitas. Di samping itu masih ada tiga fenomen lain: masalah jurang kaya-miskin, masalah penghancuran lingkungan, dan masalah penindasan oleh negara. Orang tidak dapat memungkiri fakta bahwa ada sekelompok kecil orang yang memiliki kekayaan melimpah, dan sebagian besar lain yang bahkan tidak dapat menikmati kebutuhan dasar. Penghancuran lingkungan barangkali dapat dikaitkan dengan kemiskinan, tetapi hal ini oleh Giddens dilihat sebagai gejala terpisah. Hutan, gunung, sungai, danau, laut, bahkan udara dirusak oleh manusia. Sementara itu negara dengan intensif mengadakan pengawasan atas warganya dengan memakai segala macam formulir dan kartu. Di Indonesia hal ini paling jelas tampak dalam bentuk Kartu Tanda Penduduk (KTP). Modernisasi dan Globalisasi dalam Pandangan Giddens Modernisasi ditandai dengan institusi modern yang mencirikannya dan tidak ditemukan pada masyarakat sebelumnya, yaitu 1) alat tukar simbolik (symbolik token), yaitu media pertukaran yang bisa dialirkan tanpa memperdulikan watak atau karakter individu atau kelompok yang menangani mereka pada momen tertentu. Contohnya uang; dan 2)Pemapanan sistem ahli (expert system). Berbeda dengan masyarakat tradisional yang menyandarkan hidupnya pada dukun atau ahli adat, masyarakat modern lebih banyak bersentuhan dengan para ahli.[7] Bagi Giddens, dalam pembentukan modernitas ada empat gugus institusi: kapitalisme, industrialisme, pengawasan, dan kekuatan militer.[8] Keempat institusi ini saling mempengaruhi dan saling memperkuat. Empat institusi ini pada gilirannya memunculkan empat masalah/ancaman yang ditimbulkan. Sebenarnya Giddens tidak secara spesifik menjelaskan mana dari empat “institusi” (demikian istilahnya) yang paling menonjol atau paling berperan besar. Kapitalisme memberikan andil terbesar dalam kekeruhan dunia modern saat ini. Kapitalisme mendorong manusia untuk terus berkompetisi, sementara industrialisme merangsang manusia untuk berinovasi. Kompetisi mendorong untuk inovasi teknologi mengalami percepatan perkembangan akibat dukungan modal dari korporat-korporat raksasa. Para kapitalis tidak henti-hentinya menemukan produk-produk baru, demikian pula para teknologi. Dalam hal ini bata-batas teritorial negara (nation-state) tidak dihiraukan, demikian pula batas-batas kultur. Bahkan manusia sebagai individu juga tidak diperhitungkan. Yang penting adalah maju dan baru. Giddens langsung menunjuk tiga akibat yang sekaligus mencirikan dunia modern: globalisasi, detradisionalisasi, dan social reflexivity. Globalisasi menghubungkan manusia di seluruh dunia, bukan hanya pada lingkup ekonomi, tetapi juga dalam segala hal. Komunikasi dan transportasi telah menghubungkan manusia di mana pun ia berada. Telepon (dan kemudian Internet) membuat orang “bertemu” tanpa susah payah bertatap muka. Detradisionalisasi bukan berarti hilangnya tradisi. Tradisi masih ada bahkan “diciptakan”, tetapi tradisi bukan lagi satu-satunya dasar pembuatan keputusan. Tradisi mendapatkan—istilah Giddens—status baru. Kalau orang menemukan bahwa konsultasi dengan tradisi tidak memuaskannya, ia dapat berpaling dan memakai pertimbangan lain dari sumber lain. Yang terakhir ini terkait erat dengan social reflexivity. Manusia modern memang dapat mengambil keputusan sendiri. Ia menghadapi banyak informasi, tetapi ia bebas menyeleksi informasi mana yang ia butuhkan untuk pengambilan keputusan. Arus (tepatnya: banjir) informasi memang membuatnya bingung, namun harus mengambil keputusan. Individu sering dapat menolak sebuah informasi semata-mata ia tidak suka atau tidak cocok. Ambillah contoh di bidang pengobatan. Orang dapat memilih pengobatan cara Barat tetapi ia dapat juga memilih “pengobatan alternatif.” Mengapa ia memilih yang satu dan tidak yang lain? Jawaban yang diperoleh sering berupa “tidak tahu”. Sekedar pembanding, Yusuf Qardhawi, seorang pemikir muslim mengatakan bahwa globalisasi dapat diartikan sebagai kehilangan batas-batas teritorial dalam bidang ekonomi (perdagangan), membiarkan sesuatu bebas melintas dunia dan menembus peringkat antar bangsa sehingga dapat mengancam nasib suatu bangsa atau negara.[9] Namun dalam tulisan yang lain ia mengatakan bahwa globalisasi juga boleh diartikan sebagai penyingkiran batas-batas terotirial antar suatu bangsa dengan bangsa yang lain, antara tanah air dengan satu tanah air yang lain, antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain disebabkan perkembangan pesat teknologi komunikasi, transformasi, dan informasi . Dalam situasi ini tidak heran bahwa Giddens tiba pada kesimpulan tentang Run away world. Dunia, baik pada tataran lokal maupun global, berlarian entah kemana “dunia yang tunggang-langgang.” Giddens memakai metafor “Juggernaut” (sebuah truk besar) yang lepas kendali. Metafor ini dengan tepat menggambarkan situasi dunia yang yang menakutkan. Ancaman perang, perusakan lingkungan, kekuasaan sewenang-wenang, penindasan kaum buruh. Ini semua berlangsung dalam suasana tak ada lagi perlindungan lokal dari serbuan, tidak ada pegangan baku, dan semua orang merasa yakin akan pilihannya sendiri. Individualisme sedemikian tajamnya sehingga menghancurkan solidaritas sosial. Umat manusia kini berada dalam ancaman besar. The Third Way; Solusi Giddens Apa jalan keluar dari semua ini? Sangat menarik jawabannya: utopian realism. Dua kata yang bertentangan satu sama lain ini digabung untuk menemukan sebuah visi bagi dunia yang akan datang. Giddens mencoba merumuskan visi itu. Salah satu teoretisasinya yang menggemparkan dunia intelektual maupun kalangan politisi adalah bukunya The Third Way, yang terbit tahun 1999. Buku ini terkenal dengan ungkapan Giddens yang mengatakan bahwa sosialisme itu sudah mati. Giddens lalu dituduh sebagai pengikut golongan “kanan.” Akan tetapi dalam buku itu juga Giddens mengecewakan kelompok “kanan” karena ia mengatakan bahwa neoliberal atau New Right tak mungkin melanjutkan programnya. Maka, oleh sejumlah orang buku The Third Way sering ditafsirkan sebagai jalan keluar dari konflik antara sosialisme (yang menonjolkan negara) dan kapitalisme (yang mengagungkan peran pasar). The Third Way memang berusaha untuk keluar dari kebuntuan pemikiran “kiri” maupun “kanan”, tetapi berakar dalam visinya utopian realism seperti diuraikan di atas.[10] Akan tetapi ada satu hal yang baru dalam buku ini: Giddens secara lebih rinci dan eksplisit menguraikan tentang peran negara. Ia masih percaya bahwa negara atas dasar demokrasi merupakan pilihan terbaik yang ada sekarang, juga percaya bahwa negara harus memainkan peranan dalam masyarakat. Akan tetapi berbeda dari konsep-konsep klasik tentang negara, Giddens menempatkan negara sebagai “rekan” (partner) dari masyarakat. Negara dan masyarakat tidak beroposisi, masing-masing memainkan perannya yang saling menunjang dan saling mengisi. Proyek ini jelas tidak memuaskan kelompok Marxis. Bagi Giddens, kelompok Marxis sekarang sudah ketinggalan zaman. Program mereka hanya akan berhasil di zaman yang stabil, artinya di zaman yang belum dilanda oleh globalisasi dan detradisionalisasi. Kalau seratus tahun yang lalu Marx, Lenin dan Mao, masih mengangan-angankan mampu mengontrol sejarah masa depan, hal itu sudah tidak ada lagi. Begitu pula halnya dengan gerakan radikal oleh kaum fundamentalis (agama, etnis, gender, nasionalis) yang ingin melindungi tradisi dengan cara-cara tradisional. Bagi Giddens, fundamentalisme tidak mempunyai masa depan kerena mereka menoleh ke masa lampau, sementara dunia sekarang adalah runaway world atau juggernaut yang melesat tanpa kendali melindas tradisi. Karena sifatnya yang isolasionis, fundamentalisme niscaya melahirkan pertentangan dan kekerasan. Pikiran Giddens jauh lebih kaya dan kompleks daripada yang dapat dirangkum dalam beberapa halaman. Barangkali ini yang menjadi sebab mengapa orang terus membaca bukunya dan mendatangi ceramahnya untuk dapat menangkap sisi-sisi atau titik-titik dari pemikirannya yang besar itu. Orang selalu datang ke ceramahnya yang diadakan setiap hari Rabu siang di aula LSE, mahasiswa, dosen, bahkan diplomat—sebuah momen langka di dunia, seorang rektor universitas masih sempat memberi ceramah ilmiah untuk mahasiswa dan dosennya. Globalisasi dan Antisipasi Kurikulum Era globalisasi—sebagaimana diungkapkan Giddens yang runaway world, banyak dikatakan sebagai era kompetisi kualitas. Di saat tantangan global sudah menjadi keniscayaan tak terelakkan, di situlah banyak kalangan memandang bahwa dunia pendidikan sebagai centre of excellence diharapkan semakin menunjukkan fungsi sebagai pencetak sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Persoalannya, di saat Indonesia dihadapkan pada tantangan global yang sudah taken for granted (niscaya) itu, secara internal negeri ini tengah bergulat dengan beragam krisis multidimensional. Rentetan krisis ekonomi yang berimbas juga kepada krisis politik, membuat tantangan yang dihadapi itu semakin berat. Tak semudah membalikkan telapak tangan melakukan perubahan signifikan terhadap kultur politik yang sedemikian sentralistik di masa lalu. Pendidikan di Indonesia sudah sekian lama terkooptasi oleh kondisi sosial politik. Hal itu membuat pendidikan kehilangan karakter mendasar dan hakikatnya untuk mengembangkan manusia. Mulai tahun ajaran 2004/2005, kurikulum pendidikan di Indonesia berubah. Kurikulum berlabel kurikulum berbasis kompetensi (KBK) secara bertahap mulai diterapkan secara efektif pada tahun ajaran tersebut. Kurikulum baru ini disosialisasikan sejak 1999 lalu, seiring wacana perubahan lainnya yang memang bergemuruh dalam berbagai bidang di negeri ini. Bahkan belum mapan betul pelaksanaan kurikulum 2004 berganti “wajah” menjadi kurikulum 2006. Merujuk historisitas pendidikan Indonesia, perubahan kurikulum sejatinya bukan wacana baru. Setidaknya, sudah beberapa kali terjadi perubahan kurikulum pendidikan yang diberlakukan di negeri ini, yakni kurikulum 1968, kurikulum 1974, kurikulum 1984, dan kurikulum 1994. Ironisnya, semua perubahan kurikulum itu tak serta merta membawa perbaikan signifikan terhadap kualitas pendidikan di negeri ini—apalagi dalam menghadapi tantangan global. Buktinya, selain telah banyak komentar skeptis dan sorotan tajam tentang rendahnya standar pendidikan Indonesia dari berbagai pakar, bukti shahih tentang posisi tawar pendidikan Indonesia yang rendah di percaturan global juga sudah sering diungkapkan. Bisa dipahami, jika akhirnya skeptisisme sebagian kalangan soal efektivitas KBK—atau juga KTSP ini, juga kencang dikedepankan. Realitas membuktikan, wacana perubahan kerap kali hanya berupa ”jargon” belaka tanpa implementasi nyata di lapangan, agaknya menjadi peletup ketidakyakinan itu. Apalagi kebijakan pemerintah di masa lalu lebih sering bermakna politis ketimbang strategis. Makin bisa dimafhumilah istilah ”ganti menteri, ganti kebijakan atau kurikulum” yang menggejala di sebagian masyarakat kita. Sudah saatnya kurikulum kita dirancang untuk bagaimana mampu menjawab tantangan global tetapi tetap mengakar pada budaya Indonesia—kurikulum berbasis keunggulan lokal, nasional dan global yang menuntun kemampuan minimal kompetensi setiap individu—tidak sekedar bicara program menteri baru, yang ujung akhirnya hanya untuk dapat mencairkan anggaran. Penutup Apa yang diperbuat oleh Giddens bukanlah ambisi kosong. Buku-bukunya menjadi referensi penting dalam banyak pembahasan dalam ilmu sosial. Teori srukturasi telah dipakai dalam banyak disertasi doktor, dan tentang teori strukturasi itu sendiri telah banyak ditulis disertasi di seluruh dunia. Kecuali lewat buku-buku dan kuliah-kuliah serta ceramah, pemikiran Giddens telah menerobos masuk para politisi. Ia adalah penasihat Tony Blair, mantan PM Inggris. Giddens juga sibuk dengan undangan untuk memberi nasihat kepada banyak pemimpin dunia, termasuk mantan Presiden AS Bill Clinton. Yang pasti kita sekarang sedang menghadapi modernisasi dan globalisasi—yang oleh Quraish Shihab[11], apakah kita akan mampu bertahan (survival) atau tergilas oleh perkembangan zaman. Atau mungkin ketika menghadapi berbagai resiko dari modernisasi, masyarakat akan terbelah menjadi beberapa kelompok, misalnya; Pertama, penerimaan pragmatis (konsentrasi bertahan hidup), kedua, optimisme abadi, (solusi sosial dan teknologi dapat ditemukan untuk mengatasi masalah global), ketiga, pesimisme sinis, ((kegelisahan yang diprovokasi bahaya dan konsekuensi tinggi), keempat, keterlibatan radikal (persoalan ditanggapi dengan mobilisasi lewat gerakan sosial.[12] Pada konteks demikian, menurut hemat penulis, agama sangat fungsional dan fundamental untuk tetap dijadikan pegangan agar tidak kehilangan kendali dan negara serta individu punya sense of belonging untuk menjaga keajegan—ketenangan dan ketenteraman menjadi sesuatu yang niscaya. Meminjam bahasa Azyumardi Azra, kemajuan ilmu pengetahuan dan informasi di era globalisasi harus dikawal dengan iman dan takwa. DAFTAR PUSTAKA Ali, Abdulah, 2005. Sosiologi Islam, Bogor: IPB Press K. Dwi Susilo, Rachmad, 2008. 20 Tokoh Sosiologi Modern, Biologi Para Peletak Sosiologi Modern, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Mandan, Ali, 2004. Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media Qardhawi, Yusuf, tt., Umat Islam Menyongsong Abad 21, Jakarta: Pustaka al-Kautsar Rusmadi, Krisis Lingkungan dalam Bingkai Teori Strukturasi; Antara Governance dan Govermentality Lingkungan, Rabu, 13 Pebruari 2008, Kapoeng djoglo, Blogspot Template. Sekilas Tentang Anthony Giddens dan The Third Way-nya, labucyd Just another Blog civitas UNS weblog, h. 1 Shihab, Quraish, 1993. Generasi Muda di Era Globalisasi, MUI Jakarta: Mimbar Ulama Wibowo, I., Anthony Giddens, UNS Weblog, h. 1, 19 Maret, 2007 — pikata |
| ||
| |||
| |
|
[1] Baca Abdulah Ali, Sosiologi Islam, (Bogor: IPB Press, 2005), h. 104. Giddens dalam bukunya “The Class Structure of Advanced Society” (1975) dan “The Constitution of Society” (1984) menyatakan tentang proses modernisasi yang sekarang menjadi model kehidupan masyarakat sebagai resiko kebudayaan.
[2] Rachmad K. Dwi Susilo, 20 Tokoh Sosiologi Modern, Biologi Para Peletak Sosiologi Modern, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 407. Dalam buku ini secara panjang lebar dijelaskan tentang Giddens, sejarah singkat biografinya, para ilmuan yang menginspirasi, gagasan-gagasan penting Giddens misalnya tentang teori strukturisasi, globalisasi dan modernisasi.
[3] Ali Mandan, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 554
[4] I. Wibowo, Anthony Giddens, UNS Weblog, h. 1, 19 Maret, 2007 — pikatan
[5] Ibid, h. 2
[6] Rusmadi, Krisis Lingkungan dalam Bingkai Teori Strukturasi; Antara Governance dan Govermentality Lingkungan, Rabu, 13 Pebruari 2008, Kapoeng djoglo, Blogspot Template.
[7] Rachmad, K. Dwi Susilo, Op.cit. h. 424
[8]Ibid, h. 426
[9]Yusuf Qardhawi, Umat Islam Menyongsong Abad 21, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, tt), h. 22
[10]Sekilas Tentang Anthony Giddens dan The Third Way-nya, labucyd Just another Blog civitas UNS weblog, h. 1
[11] Baca lebih lanjut tulisan Quraish Shihab, ketika mengurai tentang generasi muda di era globalisasi dengan segala konsekuensinya, (MUI Jakarta: Mimbar Ulama, 1993), h. 7
[12] Rachmad K. Dwi Susilo, Op.cit., h. 429