-->

ads

Modernisasi dan Globalisasi dalam Perspektif Anthony Giddens

Jumat, 22 Mei 2009

Modernisasi dan Globalisasi dalam Perspektif Anthony Giddens

Oleh: Masduki Duryat

Anthony Giddens adalah seorang sosiolog kontemporer, lahir 18 Januari 1938 di Britain. Menempuh pendidikan ekonomi di Universitas London.[1] Keluarga Giddens adalah keluarga kelas menengah ke bawah. Dia merupakan anggota keluarga yang pertama kuliah di universitas. Dari Universitas Hull, ia mendapat gelar sarjana muda (BA) pada 1959. Kemudian ia meneruskan studi untuk mendapatkan gelar master dari London School of Economics, diteruskan gelar Ph.D dari King’ College pada 1974. Sambil menempuh pendidikan program doktoral, Giddens mengajar sosiologi di Universitas Leicester, Universitas Simon Frases (Britis Columbia), dan di Universitas California di Los Angeles.[2] Tahun 1985 ia diangkat menjadi profesor sosiologi di Universitas Cambridge.


Di 1980-an, karir Giddens mengalami serangkaian perubahan yang menarik. Beberapa tahun terapi menggiringnya kepada ketertarikan pada kehidupan personal, terapi juga memberikan kepadanya kepercayaan diri untuk menjalankan peran publik serta menjadi salah seorang penasehat Perdana Menteri Inggris Tony Blair.[3]

Karya dan Pemikiran Giddens

Dunia zaman sekarang bagi Giddens memang dicengkeram oleh kekerasan. Akan tetapi yang lebih menggelisahkannya—sebagai resiko modernisasi dan globalisasi—adalah kelangsungan hidup manusia selalu terancam, misalnya perang nuklir, resiko lingkungan, resiko meluasnya jumlah peristiwa dan beberapa resiko lainnya.

Ambisi Giddens—kalau boleh dikatakan demikian, bukan hanya memperbaiki teori sosiologi sehubungan dengan gejala perang. Dalam wawancaranya dengan Pierson, ia mengatakan: ”Saya ingin melakukan tiga hal: menafsir ulang pemikiran sosial, membangun logika serta metode ilmu-ilmu sosial, dan mengajukan analisis tentang munculnya institusi-institusi modern”. Rupanya Giddens tidak hanya ingin mengkritik dan mengecam kegagalan teoretisi pendahulunya, tetapi ia juga ingin mengajukan alternatif. Bukan sembarang alternatif, melainkan sebuah alternatif yang bersifat paradigmatic shift.[4]

Harap dicatat bahwa proyek yang ambisius ini sebenarnya bukan cita-cita Giddens sejak muda. Cita-cita Anthony Giddens semula sederhana saja: menjadi pegawai negeri. Sebagai seorang yang dilahirkan dari keluarga pengawal jawatan kereta api, ia hanya dapat melanjutkan studi di Universitas Hull, sebuah universitas kecil yang kalah bergengsi dibandingkan Universitas Oxford atau Cambridge. Giddens sendiri memang tidak melamar ke sana karena tidak membayangkan dapat diterima di sana. Demikian pula ketika ia harus meluruskan studi lanjutannya di London School of Economics (LSE). Ia ke sana semata-mata karena ada dorongan dari dosennya, Peter Worsely. Perjalanan karir intelektualnya tidak pernah dirancang sejak muda, banyak hal-hal kebetulan yang terjadi. Ia mulai mengembangkan minat intelektual justru ketika ia di Leicester University, tempat kerjanya setelah lulus.[5]

Giddens memulai proyeknya dengan cara yang biasa. Ia mulai dengan membaca dan mempelajari pemikiran tokoh-tokoh yang menjadi tonggak besar dalam sosiologi, Karl Marx, Emili Durkheim, dan Max Weber. Semuanya dibaca dalam bahasa aslinya (Jerman atau Perancis). Setelah tokoh-tokoh sosiologi dikuasai, Giddens melanjutkan petualangannya dengan memasuki pemikir-pemikir besar kontemporer.

Dari dialog dengan sedemikian banyak teori, Giddens tiba pada “teori strukturisasi” (theory of structuration).

Strukturasi; Struktural Versus Konstruksi Anti Tesis Gidens

Antony Giddens mencoba untuk tidak percaya lagi dengan para pendahulunya. Bagi Giddens, proses dan tertib sosial berlangsung bukan lagi bergantung pada individu (tatanan mikro) maupun masyarakat dengan sistem sosialnya (tatanan makro), melainkan karena adanya linkage/pertautan antara mikro dan makro, subjek dan objek. Dengan gayanya yang khas ini, Giddens kemudian menawarkan teori strukturasi yang mencoba menunjukkan bahwa dalam kehidupan sosial terdapat hubungan antara tindakan pemahaman atau penafsiran seseorang dengan munculnya sistem sosial yang stabil. Situasi semacam ini berada di luar konsekuensi dari cara seseorang menggambarkan tindakan yang mereka lakukan dalam rangka mewujudkan tujuan. Dengan kaca mata teori strukturasi, kita tidak lagi relevan berbicara siapa yang seharusnya berperan lebih di dalam mengatasi krisis, apakah individu ataukah struktur. Karena, menurut paradigma strukturasi, keduanya saling berperan. Baiklah, agar pembahasan ini semakin tidak kehilangan ruhnya, nampaknya perlu terlebih dahulu melihat bagaimana paradigma berbagai aliran teori sosial yang begitu menghegemoni dunia hingga saat ini—sebagaimana diuraikan dengan lugas oleh Rusmadi.[6]

Pertama; Teori Struktural. Teori struktural memiliki beberapa teori turunannya, yakni struktural fungsional (tokohnya: Auguste Comte dengan teori hukum tiga tahap, Herbert Spencer dengan teori Darwinisme sosial, dan Emile Durkheim dengan teori fakta sosial), struktural konflik (tokohnya: Karl Marx dengan teori konflik pertentangan kelas, dan Antonio Gramsci [neo-Marxis] dengan teori hegemoni), neo-fungsional (tokohnya: Jeffrey Alexander dan Colomy yang mencoba memperbaiki teori struktural fungsional yang terlalu deterministik), dan konflik alternatif (tokohnya: Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, dan Randall Collins yang mencoba memperbaiki teori struktural konflik yang dianggapnya terjebak pada analisis ekonomi). Tanpa bermaksud melakukan reduksi, penulis sengaja mengelompokkan beberapa teori tersebut di atas dalam satu frame teori struktural, karena memiliki persamaan paradigmatik, yakni struktur lebih berperan penting di dalam menentukan proses dan tertib sosial serta tatanan dunia. Meski cara pandang masing-masing terhadap struktur berbeda (terutama mengenai hakikat konflik) antara struktural fungsional, struktural konflik, neo-fungsional, neo-marxis, dan konflik alternatif. Secara umum teori struktural dan berbagai teori turunannya tersebut di atas cenderung sangat konservatif, karena menganggap bahwa proses dan tertib sosial serta tatanan dunia berlangsung karena bentukan struktur, individu sama sekali tidak memiliki peran apapun.

Jika kita lihat dari perspektif teori struktural fungsional, maka dalam menyelesaikan krisis lingkungan misalnya, yang lebih berperan adalah struktur, seperti negara, hukum, Undang-Undang, organisasi internasional, dan lain-lain. Sementara individu tidak memiliki peran yang signifikan di dalam mengatasi krisis lingkungan.

Paradigma tersebut di atas percaya bahwa struktur merupakan pengambil peran utama di dalam menyelesaikan krisis. Paradigma pluralisme misalnya, yang lebih memfokuskan pada negara (bukan civil society) yang lebih berperan penting dengan pertimbangan efektifitas penyelesaian krisis, yakni dengan regulasi dan birokrasi. Begitu juga paradigma Agency Capture yang memfokuskan pada peran negara. Negara dengan kekuatan birokrasinya, bagi paradigma agency capture, berfungsi melayani kepentingan publik. Dalam konteks ini, birokrasi merupakan satu-satunya otoritas yang menjalankan peran penyelesaian krisis karena memiliki dua peran sekaligus, yakni menciptakan regulasi demi kepentingan publik, dan sekaligus mengelola atau mengeksploitasi alam demi kepentingan publik dengan berbagai regulasi perlindungan. Begitu juga dengan paradigma Social Construction yang menekankan pada peran regulasi negara. Bagi paradigma ini, regulasi negara merupakan hasil konstruksi antara negara dan aktor-aktor sosial yang saling berhubungan. Jika kita lihat semua paradigma yang dipakai oleh mereka yang berada di garis strukturalisme, penekanannya diserahkan kepada struktur yang harus terlibat di dalam mengatasi krisis dengan mekanisme perintah dan control (command and control aproach).

Kedua; Teori Konstruksionisme. Jika strukturalisme lebih percaya pada struktur, maka konstruksionisme justru sebaliknya, ia percaya pada individu-individu yang otonom yang bisa melakukan perubahan sosial. Tradisi konstruksionisme kemudian melahirkan tradisi sosiologi yang berbeda. Di Amerika misalnya melahirkan Sosiologi Interaksionisme, penggagasnya adalah Simmel dan George Herbert Mead. Sementara di Eropa melahirkan sosiologi Fenomenologi, penggagasnya antara lain Max Weber, Alfred Schutz, Bergson, dan E. Husserl). Tokoh utamanya adalah Max Weber (1864-1922). Weber dikenal sebagai seorang yang terlahir dari keluarga menengah. Bapaknya seorang pejabat penting, sehingga tingkah lakunya sangat “mapan” dan “tertib”. Ibunya adalah seorang yang saleh dengan sikap-sikapnya yang asketis. Dari perbedaan sikap hidup kedua orang tuanya inilah Weber muda mengalami ketegangan. Awalnya ia mengikuti gaya hidup ayahnya yang “ditertibkan”, tetapi kemudian ia antipati kepadanya dan memilih mengikuti gaya hidup ibunya yang asketis. Ia mengatur hidupnya sendiri dan menyiapkan malamnya sendiri. Dari sinilah teori sosiologinya dipengaruhi oleh kebiasaannya. Bagi Weber, tindakan individu merupakan bagian terpenting dalam gagasan sosiologisnya. Bagaimana ia melihat individu menjalin dan memberi makna terhadap hubungan sosial, individu menjadi bagian di dalamnya. Weber melihat bahwa individu merupakan kunci (yang mempengaruhi) tindakan sosial di dalam masyarakat, tetapi dengan catatan bahwa tindakan sosial individu ini berhubungan dengan rasionalitas. Individu, dalam bayangan Weber, merupakan pemilik macam-macam tujuan yang mungkin diinginkannya. Individu bergerak “bebas” dan mampu menentukan masyarakat dan strukturnya, meskipun harus ada “kesepakatan” dengan individu-individu yang lain.

Jika kita lihat dari perspektif teori konstruksionisme, maka dalam menyelesaikan krisis lingkungan misalnya, yang lebih berperan adalah individu, bukan struktur seperti negara, hukum, Undang-Undang, organisasi internasional, dan lain-lain, sebagaimana diasumsikan oleh teori struktural. Justru dalam perspektif konstruksionisme individu memiliki peran yang signifikan di dalam mengatasi krisis lingkungan.

Paradigma tersebut di atas percaya bahwa individu merupakan pengambil peran utama di dalam menyelesaikan krisis.

Ketiga; Teori Strukturasi. Dalam perkembangan sosiologi kontemporer, tradisi strukturalisme dan konstruksionisme di atas kemudian mendorong munculnya teori Strukturasi yang diprakarsai oleh Antony Giddens. Teori strukturasi mencoba mencari linkage/pertautan setelah terjadi perseteruan tajam antara struktural fungsional dan konstruksionisme-fenomenologis. Giddens tidak puas dengan teori pandangan yang dikemukakan oleh struktural fungsional, yang menurutnya terjebak pada pandangan naturalistik. Pandangan naturalis mereduksi aktor dalam struktur. Tetapi Giddens juga tidak sependapat dengan konstruksionisme-fenomenologis, yang baginya disebut sebagai berakhir pada imperialisme subjek. Oleh karenanya ia ingin mengakhiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran (struktural fungsional dan konstruksionisme). Dari hasil kerja “mempertemukan” keduanya inilah Giddens merekonseptualisasikan tindakan, sekaligus menawarkan perspektif baru yang disebutnya teori strukturasi.

Bagi Giddens, perubahan sosial bukan muncul hanya dari sang aktor individual, dan juga bukan hanya dari struktur, melainkan muncul di dalam ruang dan waktu. Gidens kemudian menyusun formasi pemikirannya sebagai berikut: 1). Masyarakat bukan merupakan realitas objektif yang telah jadi, melainkan diciptakan oleh tindakan-tindakan anggota-anggotanya sebagai agen yang membutuhkan kemampuan dari sang agen, 2). Sang agen tidak bebas memilih bagaimana menciptakan masyarakat, tetapi dibatasi oleh kendala (constraint) lokasi sejarah di luar pilihan mereka sendiri. Struktur dalam hal ini memiliki kapasitas ganda: bisa menjadi kendala, tetapi juga bisa menjadi peluang (enabling) bagi manusia agensi. Setiap tindakan manusia atau struktur mengandung tiga aspek: makna, norma, dan kekuasaan. 3). Sosiolog tidak mungkin menghindari pengalaman mereka sendiri sebagai basis memahami kehidupan sosial, bahkan hal ini harus dipegangi secara konsisten. Sosiolog harus melibatkan diri ke dalam situasi yang menjadi subjek analisisnya. 4). Konsep formasi mencakup double hermenutic. Sosiolog harus menjaga ketelitian dengan konsepnya sehingga sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Tugas utama sosiologi adalah melakukan rediskripsi terhadap seting sosial dengan meta bahasa, dan selalu bisa dikonfirmasi terhadap prinsip bahwa masyarakat merupakan manusia agency. Ungkapan di atas dapat kita pahami bahwa: untuk terjun dalam praktik sosial seorang aktor harus mengetahui cara berpartisipasi sesuai konteks (ruang dan waktu) dan cara mengikuti suatu peraturan.

Secara sederhana, sebenarnya Giddens hendak menunjukkan bahwa perubahan sosial akan mungkin bila ada agen dan sekaligus sebuah struktur sebagai mediumnya.

Contoh lain yang paling dekat dengan kita adalah segala macam kerusuhan di Tanah air selama dua tahun terakhir ini. Mereka yang berpihak ke “struktur” segera mengatakan bahwa ketertiban dapat dipulihkan dengan memanggil agamawan. Para agamawan diharapkan dapat “menginsyafkan” rakyat akan nilai-nilai agama. Adapun mereka yang berpihak ke “agensi” akan mengatakan bahwa massa yang melihat bahwa cara kekerasan tidak dihukum, akan terus memakai kekerasan untuk mencapai tujuannya. Di sini ada perhitungan untung-rugi. Pada kenyataannya, setelah agamawan datang dan setelah aparat keamanan datang, ketertiban tidak kunjung datang juga.

Atas dasar teori strukturisasi ini Giddens dapat melanjutkan penjelajahannya ke wilayah lain, ke sosiologi substantif. Di sini Giddens mulai dengan mengadakan observasi atas keadaan dunia modern. Seperti telah disinggung di atas, pemakaian kekerasan (yang menjadi “perang”) adalah salah satu ciri modernitas. Di samping itu masih ada tiga fenomen lain: masalah jurang kaya-miskin, masalah penghancuran lingkungan, dan masalah penindasan oleh negara. Orang tidak dapat memungkiri fakta bahwa ada sekelompok kecil orang yang memiliki kekayaan melimpah, dan sebagian besar lain yang bahkan tidak dapat menikmati kebutuhan dasar. Penghancuran lingkungan barangkali dapat dikaitkan dengan kemiskinan, tetapi hal ini oleh Giddens dilihat sebagai gejala terpisah. Hutan, gunung, sungai, danau, laut, bahkan udara dirusak oleh manusia. Sementara itu negara dengan intensif mengadakan pengawasan atas warganya dengan memakai segala macam formulir dan kartu. Di Indonesia hal ini paling jelas tampak dalam bentuk Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Modernisasi dan Globalisasi dalam Pandangan Giddens

Modernisasi ditandai dengan institusi modern yang mencirikannya dan tidak ditemukan pada masyarakat sebelumnya, yaitu 1) alat tukar simbolik (symbolik token), yaitu media pertukaran yang bisa dialirkan tanpa memperdulikan watak atau karakter individu atau kelompok yang menangani mereka pada momen tertentu. Contohnya uang; dan 2)Pemapanan sistem ahli (expert system). Berbeda dengan masyarakat tradisional yang menyandarkan hidupnya pada dukun atau ahli adat, masyarakat modern lebih banyak bersentuhan dengan para ahli.[7]

Bagi Giddens, dalam pembentukan modernitas ada empat gugus institusi: kapitalisme, industrialisme, pengawasan, dan kekuatan militer.[8] Keempat institusi ini saling mempengaruhi dan saling memperkuat. Empat institusi ini pada gilirannya memunculkan empat masalah/ancaman yang ditimbulkan.

Sebenarnya Giddens tidak secara spesifik menjelaskan mana dari empat “institusi” (demikian istilahnya) yang paling menonjol atau paling berperan besar. Kapitalisme memberikan andil terbesar dalam kekeruhan dunia modern saat ini. Kapitalisme mendorong manusia untuk terus berkompetisi, sementara industrialisme merangsang manusia untuk berinovasi. Kompetisi mendorong untuk inovasi teknologi mengalami percepatan perkembangan akibat dukungan modal dari korporat-korporat raksasa. Para kapitalis tidak henti-hentinya menemukan produk-produk baru, demikian pula para teknologi. Dalam hal ini bata-batas teritorial negara (nation-state) tidak dihiraukan, demikian pula batas-batas kultur. Bahkan manusia sebagai individu juga tidak diperhitungkan. Yang penting adalah maju dan baru.

Giddens langsung menunjuk tiga akibat yang sekaligus mencirikan dunia modern: globalisasi, detradisionalisasi, dan social reflexivity. Globalisasi menghubungkan manusia di seluruh dunia, bukan hanya pada lingkup ekonomi, tetapi juga dalam segala hal. Komunikasi dan transportasi telah menghubungkan manusia di mana pun ia berada. Telepon (dan kemudian Internet) membuat orang “bertemu” tanpa susah payah bertatap muka. Detradisionalisasi bukan berarti hilangnya tradisi. Tradisi masih ada bahkan “diciptakan”, tetapi tradisi bukan lagi satu-satunya dasar pembuatan keputusan. Tradisi mendapatkan—istilah Giddens—status baru. Kalau orang menemukan bahwa konsultasi dengan tradisi tidak memuaskannya, ia dapat berpaling dan memakai pertimbangan lain dari sumber lain.

Yang terakhir ini terkait erat dengan social reflexivity. Manusia modern memang dapat mengambil keputusan sendiri. Ia menghadapi banyak informasi, tetapi ia bebas menyeleksi informasi mana yang ia butuhkan untuk pengambilan keputusan. Arus (tepatnya: banjir) informasi memang membuatnya bingung, namun harus mengambil keputusan. Individu sering dapat menolak sebuah informasi semata-mata ia tidak suka atau tidak cocok. Ambillah contoh di bidang pengobatan. Orang dapat memilih pengobatan cara Barat tetapi ia dapat juga memilih “pengobatan alternatif.” Mengapa ia memilih yang satu dan tidak yang lain? Jawaban yang diperoleh sering berupa “tidak tahu”.

Sekedar pembanding, Yusuf Qardhawi, seorang pemikir muslim mengatakan bahwa globalisasi dapat diartikan sebagai kehilangan batas-batas teritorial dalam bidang ekonomi (perdagangan), membiarkan sesuatu bebas melintas dunia dan menembus peringkat antar bangsa sehingga dapat mengancam nasib suatu bangsa atau negara.[9] Namun dalam tulisan yang lain ia mengatakan bahwa globalisasi juga boleh diartikan sebagai penyingkiran batas-batas terotirial antar suatu bangsa dengan bangsa yang lain, antara tanah air dengan satu tanah air yang lain, antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain disebabkan perkembangan pesat teknologi komunikasi, transformasi, dan informasi .

Dalam situasi ini tidak heran bahwa Giddens tiba pada kesimpulan tentang Run away world. Dunia, baik pada tataran lokal maupun global, berlarian entah kemana “dunia yang tunggang-langgang.” Giddens memakai metafor “Juggernaut” (sebuah truk besar) yang lepas kendali. Metafor ini dengan tepat menggambarkan situasi dunia yang yang menakutkan. Ancaman perang, perusakan lingkungan, kekuasaan sewenang-wenang, penindasan kaum buruh. Ini semua berlangsung dalam suasana tak ada lagi perlindungan lokal dari serbuan, tidak ada pegangan baku, dan semua orang merasa yakin akan pilihannya sendiri. Individualisme sedemikian tajamnya sehingga menghancurkan solidaritas sosial. Umat manusia kini berada dalam ancaman besar.

The Third Way; Solusi Giddens

Apa jalan keluar dari semua ini? Sangat menarik jawabannya: utopian realism. Dua kata yang bertentangan satu sama lain ini digabung untuk menemukan sebuah visi bagi dunia yang akan datang. Giddens mencoba merumuskan visi itu.

Salah satu teoretisasinya yang menggemparkan dunia intelektual maupun kalangan politisi adalah bukunya The Third Way, yang terbit tahun 1999. Buku ini terkenal dengan ungkapan Giddens yang mengatakan bahwa sosialisme itu sudah mati. Giddens lalu dituduh sebagai pengikut golongan “kanan.” Akan tetapi dalam buku itu juga Giddens mengecewakan kelompok “kanan” karena ia mengatakan bahwa neoliberal atau New Right tak mungkin melanjutkan programnya. Maka, oleh sejumlah orang buku The Third Way sering ditafsirkan sebagai jalan keluar dari konflik antara sosialisme (yang menonjolkan negara) dan kapitalisme (yang mengagungkan peran pasar). The Third Way memang berusaha untuk keluar dari kebuntuan pemikiran “kiri” maupun “kanan”, tetapi berakar dalam visinya utopian realism seperti diuraikan di atas.[10]

Akan tetapi ada satu hal yang baru dalam buku ini: Giddens secara lebih rinci dan eksplisit menguraikan tentang peran negara. Ia masih percaya bahwa negara atas dasar demokrasi merupakan pilihan terbaik yang ada sekarang, juga percaya bahwa negara harus memainkan peranan dalam masyarakat. Akan tetapi berbeda dari konsep-konsep klasik tentang negara, Giddens menempatkan negara sebagai “rekan” (partner) dari masyarakat. Negara dan masyarakat tidak beroposisi, masing-masing memainkan perannya yang saling menunjang dan saling mengisi.

Proyek ini jelas tidak memuaskan kelompok Marxis. Bagi Giddens, kelompok Marxis sekarang sudah ketinggalan zaman. Program mereka hanya akan berhasil di zaman yang stabil, artinya di zaman yang belum dilanda oleh globalisasi dan detradisionalisasi. Kalau seratus tahun yang lalu Marx, Lenin dan Mao, masih mengangan-angankan mampu mengontrol sejarah masa depan, hal itu sudah tidak ada lagi. Begitu pula halnya dengan gerakan radikal oleh kaum fundamentalis (agama, etnis, gender, nasionalis) yang ingin melindungi tradisi dengan cara-cara tradisional. Bagi Giddens, fundamentalisme tidak mempunyai masa depan kerena mereka menoleh ke masa lampau, sementara dunia sekarang adalah runaway world atau juggernaut yang melesat tanpa kendali melindas tradisi. Karena sifatnya yang isolasionis, fundamentalisme niscaya melahirkan pertentangan dan kekerasan.

Pikiran Giddens jauh lebih kaya dan kompleks daripada yang dapat dirangkum dalam beberapa halaman. Barangkali ini yang menjadi sebab mengapa orang terus membaca bukunya dan mendatangi ceramahnya untuk dapat menangkap sisi-sisi atau titik-titik dari pemikirannya yang besar itu. Orang selalu datang ke ceramahnya yang diadakan setiap hari Rabu siang di aula LSE, mahasiswa, dosen, bahkan diplomat—sebuah momen langka di dunia, seorang rektor universitas masih sempat memberi ceramah ilmiah untuk mahasiswa dan dosennya.

Globalisasi dan Antisipasi Kurikulum

Era globalisasi—sebagaimana diungkapkan Giddens yang runaway world, banyak dikatakan sebagai era kompetisi kualitas. Di saat tantangan global sudah menjadi keniscayaan tak terelakkan, di situlah banyak kalangan memandang bahwa dunia pendidikan sebagai centre of excellence diharapkan semakin menunjukkan fungsi sebagai pencetak sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Persoalannya, di saat Indonesia dihadapkan pada tantangan global yang sudah taken for granted (niscaya) itu, secara internal negeri ini tengah bergulat dengan beragam krisis multidimensional. Rentetan krisis ekonomi yang berimbas juga kepada krisis politik, membuat tantangan yang dihadapi itu semakin berat. Tak semudah membalikkan telapak tangan melakukan perubahan signifikan terhadap kultur politik yang sedemikian sentralistik di masa lalu. Pendidikan di Indonesia sudah sekian lama terkooptasi oleh kondisi sosial politik. Hal itu membuat pendidikan kehilangan karakter mendasar dan hakikatnya untuk mengembangkan manusia.

Mulai tahun ajaran 2004/2005, kurikulum pendidikan di Indonesia berubah. Kurikulum berlabel kurikulum berbasis kompetensi (KBK) secara bertahap mulai diterapkan secara efektif pada tahun ajaran tersebut. Kurikulum baru ini disosialisasikan sejak 1999 lalu, seiring wacana perubahan lainnya yang memang bergemuruh dalam berbagai bidang di negeri ini. Bahkan belum mapan betul pelaksanaan kurikulum 2004 berganti “wajah” menjadi kurikulum 2006.

Merujuk historisitas pendidikan Indonesia, perubahan kurikulum sejatinya bukan wacana baru. Setidaknya, sudah beberapa kali terjadi perubahan kurikulum pendidikan yang diberlakukan di negeri ini, yakni kurikulum 1968, kurikulum 1974, kurikulum 1984, dan kurikulum 1994. Ironisnya, semua perubahan kurikulum itu tak serta merta membawa perbaikan signifikan terhadap kualitas pendidikan di negeri ini—apalagi dalam menghadapi tantangan global. Buktinya, selain telah banyak komentar skeptis dan sorotan tajam tentang rendahnya standar pendidikan Indonesia dari berbagai pakar, bukti shahih tentang posisi tawar pendidikan Indonesia yang rendah di percaturan global juga sudah sering diungkapkan.

Bisa dipahami, jika akhirnya skeptisisme sebagian kalangan soal efektivitas KBK—atau juga KTSP ini, juga kencang dikedepankan. Realitas membuktikan, wacana perubahan kerap kali hanya berupa ”jargon” belaka tanpa implementasi nyata di lapangan, agaknya menjadi peletup ketidakyakinan itu. Apalagi kebijakan pemerintah di masa lalu lebih sering bermakna politis ketimbang strategis. Makin bisa dimafhumilah istilah ”ganti menteri, ganti kebijakan atau kurikulum” yang menggejala di sebagian masyarakat kita. Sudah saatnya kurikulum kita dirancang untuk bagaimana mampu menjawab tantangan global tetapi tetap mengakar pada budaya Indonesia—kurikulum berbasis keunggulan lokal, nasional dan global yang menuntun kemampuan minimal kompetensi setiap individu—tidak sekedar bicara program menteri baru, yang ujung akhirnya hanya untuk dapat mencairkan anggaran.

Penutup

Apa yang diperbuat oleh Giddens bukanlah ambisi kosong. Buku-bukunya menjadi referensi penting dalam banyak pembahasan dalam ilmu sosial. Teori srukturasi telah dipakai dalam banyak disertasi doktor, dan tentang teori strukturasi itu sendiri telah banyak ditulis disertasi di seluruh dunia. Kecuali lewat buku-buku dan kuliah-kuliah serta ceramah, pemikiran Giddens telah menerobos masuk para politisi. Ia adalah penasihat Tony Blair, mantan PM Inggris. Giddens juga sibuk dengan undangan untuk memberi nasihat kepada banyak pemimpin dunia, termasuk mantan Presiden AS Bill Clinton.

Yang pasti kita sekarang sedang menghadapi modernisasi dan globalisasi—yang oleh Quraish Shihab[11], apakah kita akan mampu bertahan (survival) atau tergilas oleh perkembangan zaman. Atau mungkin ketika menghadapi berbagai resiko dari modernisasi, masyarakat akan terbelah menjadi beberapa kelompok, misalnya; Pertama, penerimaan pragmatis (konsentrasi bertahan hidup), kedua, optimisme abadi, (solusi sosial dan teknologi dapat ditemukan untuk mengatasi masalah global), ketiga, pesimisme sinis, ((kegelisahan yang diprovokasi bahaya dan konsekuensi tinggi), keempat, keterlibatan radikal (persoalan ditanggapi dengan mobilisasi lewat gerakan sosial.[12] Pada konteks demikian, menurut hemat penulis, agama sangat fungsional dan fundamental untuk tetap dijadikan pegangan agar tidak kehilangan kendali dan negara serta individu punya sense of belonging untuk menjaga keajegan—ketenangan dan ketenteraman menjadi sesuatu yang niscaya. Meminjam bahasa Azyumardi Azra, kemajuan ilmu pengetahuan dan informasi di era globalisasi harus dikawal dengan iman dan takwa.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Abdulah, 2005. Sosiologi Islam, Bogor: IPB Press

K. Dwi Susilo, Rachmad, 2008. 20 Tokoh Sosiologi Modern, Biologi Para Peletak Sosiologi Modern, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

Mandan, Ali, 2004. Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media

Qardhawi, Yusuf, tt., Umat Islam Menyongsong Abad 21, Jakarta: Pustaka al-Kautsar

Rusmadi, Krisis Lingkungan dalam Bingkai Teori Strukturasi; Antara Governance dan Govermentality Lingkungan, Rabu, 13 Pebruari 2008, Kapoeng djoglo, Blogspot Template.

Sekilas Tentang Anthony Giddens dan The Third Way-nya, labucyd Just another Blog civitas UNS weblog, h. 1

Shihab, Quraish, 1993. Generasi Muda di Era Globalisasi, MUI Jakarta: Mimbar Ulama

Wibowo, I., Anthony Giddens, UNS Weblog, h. 1, 19 Maret, 2007 — pikata


[1] Baca Abdulah Ali, Sosiologi Islam, (Bogor: IPB Press, 2005), h. 104. Giddens dalam bukunya “The Class Structure of Advanced Society” (1975) dan “The Constitution of Society” (1984) menyatakan tentang proses modernisasi yang sekarang menjadi model kehidupan masyarakat sebagai resiko kebudayaan.

[2] Rachmad K. Dwi Susilo, 20 Tokoh Sosiologi Modern, Biologi Para Peletak Sosiologi Modern, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 407. Dalam buku ini secara panjang lebar dijelaskan tentang Giddens, sejarah singkat biografinya, para ilmuan yang menginspirasi, gagasan-gagasan penting Giddens misalnya tentang teori strukturisasi, globalisasi dan modernisasi.

[3] Ali Mandan, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 554

[4] I. Wibowo, Anthony Giddens, UNS Weblog, h. 1, 19 Maret, 2007 — pikatan

[5] Ibid, h. 2

[6] Rusmadi, Krisis Lingkungan dalam Bingkai Teori Strukturasi; Antara Governance dan Govermentality Lingkungan, Rabu, 13 Pebruari 2008, Kapoeng djoglo, Blogspot Template.

[7] Rachmad, K. Dwi Susilo, Op.cit. h. 424

[8]Ibid, h. 426

[9]Yusuf Qardhawi, Umat Islam Menyongsong Abad 21, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, tt), h. 22

[10]Sekilas Tentang Anthony Giddens dan The Third Way-nya, labucyd Just another Blog civitas UNS weblog, h. 1

[11] Baca lebih lanjut tulisan Quraish Shihab, ketika mengurai tentang generasi muda di era globalisasi dengan segala konsekuensinya, (MUI Jakarta: Mimbar Ulama, 1993), h. 7

[12] Rachmad K. Dwi Susilo, Op.cit., h. 429

23 comments:

toto mengatakan...

pada dasarnya saya sependapat dengan pemikiran giddens bahwa sesungguhnya perubahan kurikulum yang dilakukan oleh pemerintah merupakan usaha untuk memperbaiki kualitas pendidikan masyarakat indonesia yang selama ini dianggap tawar, namun sayangnya dari perubahan-perubahan kurukulum tersebut belum menunjukan peningkatan mutu pendidikan saat ini,kecuali jika perubahan-perubahan kurikulum itu di tunjang dengan peningkatan mutu para tenaga pendidik juga berorientasi pada kompetisi mutu pendidikan global, sehingga perubahan itu tidak selalu ditunggangi oleh kepentingan politik. (by: toto supandi semester VI)

toto mengatakan...

Setelah saya baca dan cermati artikel bapak Drs. Masduki Duryat,M.Pd. saya ingin menguraikan meng-komentari , bahwa
(1) Anthony Giddens menurut saya bukan tipe ambisius apa yang disampaikan oleh bapak Drs. Masduki Duryat,M.Pd. (penulis), coba kita lihat dan kita tinjau dari sisi keilmuan serta psikologi , bahwa Anthony Giddens hanya mengutarakan Insting serta keilmuanya secara terbuka apa yang selama ini ia pelajari serta mengadakan penelitian dengan realita serta kenyataan yang ada yaitu perseteruan kedua kubu serta golongan antara lain Struktural Fungsional dengan Kontruksionisme - Penomenologis dan kubu kiri dengan kubu kanan serta yang lainya . Situasi semacam ini berada di luar konsekuensi dari cara seseorang / Individual dari kedua kubu yang saling bertentangan dan saling beda pendapat serta aliran, oleh karena Anthony Giddens mengemukahkan pendapat bahwa bila mana kedua belah pihak saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainya tidak ada titik temu dan keseimbangan kearah tujuan system atau pendapat yang mereka utarakan kearah tujuan yang sama dan untuk mencapai titik temu kea rah tujuan yang membuat kemajuan dari suatu system ataupun bangsa,Negara ,ras , agama,serta kaum/suku dalam menghadapi era Globalisasi. Bilaman kedua kubu tersebut bersatu alangkah baiknya , karena akan menghasilkan hasil yang maksimal kearah tujuan yang baik,kuat serta kokoh.
(2) Saya ingin memberi pendapat serta komentar kurikulum pendidikan apa yang di sampaikan oleh bapak Drs.Masduki duryat M.Pd. ada benar nya juga kalau menurut pendapat saya kurikilum pendidikan di Indonesia ini sangat mandul ¬/ kemandegan walaupun kurikulum dari tahun 1968 s/d kurikulum 2006 sistemnya sangat falid atau terancang dengan baik tetapi tidak menghasilkan mutu pendidikan yang baik dan berkualitas. Kalau ingin tercapai dan lebih maju serta tidak ada kemandulan atau kemandegan di dalam system kurikulum pendidikan kita ambil pendapat yang di sampaikan oleh Anthony Giddens, perubahan sosial bukan muncul hanya dari sang aktor individual, dan juga bukan hanya dari struktur, melainkan muncul di dalam ruang dan waktu. Jadi proses,system, tertib sosial, structural, kontruksionisme,strukturalisme,serta suatu tujuan system yang di capai bukan lagi bergantung pada Negara, pemerintah, peraturan,organisasi, undang ¬¬- undang dasar 1945 serta menteri saja melainkan daya dukung masyarakat, individu ( tatanan mikro )serta peran aktif siswa agar suatu system KBK – KTSP di dalam kurikulum pendidikan agar tercapai kearah tujuan system yang lebih baik dan berkualitas dan system di dalam kurikulum jangan di jadikan kepentingan dan keuntungan individu / pribadi perorangan aja seperti politik,KKN dan lain - lain karena selama ini pendidikan di Negara yang kita cintai ini sebagai ajang panggung politik yang di manfaat kan oleh pihak-pihak tertentu demi kepentingan individu, organisasi,partai politik serta golongan saja tidak memandang kualitas serta kuantitas generasi penerus bangsa agar menjadi generasi yang berkopetensi serta berakhlakul karimah .
Demikian komentar dari saya kurang dan lebih nya saya minta maaf agar menjadi maklum
Nama : SANUDIN
Program : S1 /PAI
Semester : IV

toto mengatakan...

Setelah saya baca dan cermati artikel bapak Drs. Masduki Duryat,M.Pd. saya ingin menguraikan meng-komentari , bahwa
(1) Anthony Giddens menurut saya bukan tipe ambisius apa yang disampaikan oleh bapak Drs. Masduki Duryat,M.Pd. (penulis), coba kita lihat dan kita tinjau dari sisi keilmuan serta psikologi , bahwa Anthony Giddens hanya mengutarakan Insting serta keilmuanya secara terbuka apa yang selama ini ia pelajari serta mengadakan penelitian dengan realita serta kenyataan yang ada yaitu perseteruan kedua kubu serta golongan antara lain Struktural Fungsional dengan Kontruksionisme - Penomenologis dan kubu kiri dengan kubu kanan serta yang lainya . Situasi semacam ini berada di luar konsekuensi dari cara seseorang / Individual dari kedua kubu yang saling bertentangan dan saling beda pendapat serta aliran, oleh karena Anthony Giddens mengemukahkan pendapat bahwa bila mana kedua belah pihak saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainya tidak ada titik temu dan keseimbangan kearah tujuan system atau pendapat yang mereka utarakan kearah tujuan yang sama dan untuk mencapai titik temu kea rah tujuan yang membuat kemajuan dari suatu system ataupun bangsa,Negara ,ras , agama,serta kaum/suku dalam menghadapi era Globalisasi. Bilaman kedua kubu tersebut bersatu alangkah baiknya , karena akan menghasilkan hasil yang maksimal kearah tujuan yang baik,kuat serta kokoh.
(2) Saya ingin memberi pendapat serta komentar kurikulum pendidikan apa yang di sampaikan oleh bapak Drs.Masduki duryat M.Pd. ada benar nya juga kalau menurut pendapat saya kurikilum pendidikan di Indonesia ini sangat mandul ¬/ kemandegan walaupun kurikulum dari tahun 1968 s/d kurikulum 2006 sistemnya sangat falid atau terancang dengan baik tetapi tidak menghasilkan mutu pendidikan yang baik dan berkualitas. Kalau ingin tercapai dan lebih maju serta tidak ada kemandulan atau kemandegan di dalam system kurikulum pendidikan kita ambil pendapat yang di sampaikan oleh Anthony Giddens, perubahan sosial bukan muncul hanya dari sang aktor individual, dan juga bukan hanya dari struktur, melainkan muncul di dalam ruang dan waktu. Jadi proses,system, tertib sosial, structural, kontruksionisme,strukturalisme,serta suatu tujuan system yang di capai bukan lagi bergantung pada Negara, pemerintah, peraturan,organisasi, undang ¬¬- undang dasar 1945 serta menteri saja melainkan daya dukung masyarakat, individu ( tatanan mikro )serta peran aktif siswa agar suatu system KBK – KTSP di dalam kurikulum pendidikan agar tercapai kearah tujuan system yang lebih baik dan berkualitas dan system di dalam kurikulum jangan di jadikan kepentingan dan keuntungan individu / pribadi perorangan aja seperti politik,KKN dan lain - lain karena selama ini pendidikan di Negara yang kita cintai ini sebagai ajang panggung politik yang di manfaat kan oleh pihak-pihak tertentu demi kepentingan individu, organisasi,partai politik serta golongan saja tidak memandang kualitas serta kuantitas generasi penerus bangsa agar menjadi generasi yang berkopetensi serta berakhlakul karimah .
Demikian komentar dari saya kurang dan lebih nya saya minta maaf agar menjadi maklum
Nama : ASMAD
Program : S1 /PAI
Semester : IV

Anonim mengatakan...

(1)saya ingin mengkomentari artikel bapak bahwa gidden berbicara dengan realita-realita yang ada karna selama ini gidden hanya ingin merubah resiko modernisasi dan globalisasi yang selama ini mengancam hidup manusia.Karna setelah gidden mempelajari dan meneliti dengan realita yang ada seperti struktural,konstruksionisme.Bahwa struktural lebih berperan penting dalam proses dan tertib sosial serta tatanan dunia dalam prosesnya sehingga bentukan struktur,individu sama sekali tidak memiliki peranan sedangkan kostruksionisme gidden menganggap bahwa ia percaya pada individu-individu yang otonom yang bisa melakukan perubahan sosial sehingga dapat melahirkan tradisi sosiologi yang berbeda.Gidden juga berusaha untuk mempertemukan kubu antara struktural, fungsional dan konstruksionisme-fenomenologi. Selanjutnya pandangan gidden tentang modernisasi dan globalisasi sudah melampaui batas kultur dan batas teritorial bahkan manusia sebagai individu tidak diperhitungkan yang penting maju dan baru jadi menurut saya modernisasi dan globlalisai hanya sebagai penyingkiran batas teritorial antar suku bangsa dengan bangsa lain yang akhirnya menyebabkan pesat teknologi komunikasi, transformasi dan informasi sehingga dunia seperti tunggang langgang seperti apa yang dikatakan gidden.
(2)menurut saya tentang kurikulum pendidikan di Indonesia bisa dikatakan cukup baik karna kalau kita semua menyadari dengan tidak mementingkan individu,organisasi,politik dan lain-lain kita akan bisa maju karna selama ini pendidikan di Indonesia ini hanya dimanfaatkan oleh panggung politik serta pihak-pihak tertentu demi kepentingannya padahal kualitas pendidikan di Indonesia itu cukup baik mudah-mudahan saja kalau kita semua menyadari kurikulum pendidikan kita akan menjadi maju.

NAMA : NURKHASAN
PROGRAM : S1/PAI
SEMESTER :IV

dian mengatakan...

Menurut komentar saya,Anthony Giddens adlah seorang sosiolog kontemporer yang penuh dengan hasil karya dan pemikiran.Walaupun beliu dari kalangan menengah kebawah,tetapi semangat beliu untuk menuntut ilmu tidak pernah berhenti.
Bukan itu saja,beliu juga mengatakan akan melakukan 3 hal:1.Menafsir ulang pemikiran sosial,2.Membangun logika serta metode ilmu-ilmu sosial,3.Mengajukan analisis tentang munculnya institusi-institusi modern.
Hal ini dibuktikan dengan "Teori Strukturisasi",dimana proses dan tertib sosial berlangsung bukan lagi bergantung pada individu(tatanan mikro)maupun masyarakat dengan sistem sosialnya(tatanan makro),melainkan karena adanya linkage/pertautan antara mikro dan makro,subjek dan objek.
Saya setuju dengan ertikel yang bapak tulis,bahwa Anthony Giddens adlah orang yang ambisius,tetapi beliu bersifat demikian karena untuk perubahan yang lebih baik.
Barangkali hany demikian komentar yang dapat saya kemukakan,kurang dan lebihnya saya minta maaf.
Nama :Diantoro
Program :S1/PAI
Semester :IV

Anonim mengatakan...

modernisasi ditandai dengan institusi modern yang mencirikannya dan tidak ditemukan padamasyarakat sebelumnya, yaitu I, (symbolik taken) atau disebut juga dengan alat tukar simbolik II (expert sistem) atau kemapanan sistemm ahli, itulah beberapa kutipan yang saya baca dari artikel Bp. Drs.Masduki Duryat, M.Pd. menurut saya bagi media pertukaran yang bisa dilirkan tanpa memperdulikan watak individu atau kelompok sangatlah berpengaruh pada pembentukan karakteristik sosial masyarakat kita, sementara untuk pembentukan jiwa sosial dan karakteristik masyarakat modern yang betul-betul mumpuni dalam segala aspek yang bisa menjawab tantangan zaman masih jauh daripada harapan, modernisasi sering diartikan sebagai kebebasan tanpa memandang batasan serta norma kebenaran, masyarakat indonesia yang mayoritas masih buta arti sebenarnya tentang modernisasi dan globalisasi perlu dibimbing dan diarahkan untuk benar-benar menjadi masyarakat modern yang memiliki pola pikir yang modern dengan menghilangkan pola pikir religi.
(2)menurut Giddeen fundamentalisme tidak mempunyai masa depan karena mereka menoleh ke arah lampau, menurut saya sebagai bagaian masyarakat yang hidup di zaman sekarang ada setuju, ada juga tidaknya, kerna sebenarnya mau atau tidak mau masa lampau adalah cerminan yang dijadikan standar untuk melangkah ke depan ke arah yang lebih positif dan lebih baik, karena dunia sekarang adalah Runaway World atau juggernaunt yang melesat tanpa kendali melindas tradisi. (By. Dian Novita).

DIAN NOVITA
PROGRAM : SI/PAI
SEMESTER VI

Anonim mengatakan...

Era globalisasi yang di ungkapkan Gidden yang runaway world banyak dikatakan sebagai era kompetisi kualitas. disaat tantangan global sudah menjdi keniscayaan yang tak terelakan, dan dunia pendidikan sebagai centre excellence di harapkan mempunyai fungsi sebagai pencetak (SDM) yang berkualitas betapapun pemikiran saya mungkin sebagai manusia awam juga sangatlah setuju, dimana saatnya kita di hadapkan pada modernisasi dan globalisasi yang lambat laun akan mengikis norma serta nilai kebenaran yang ada, maka sangatlah wajar jika dari sejak dini kita bisa membentengi kita dari pengaruh negatif modernisasi dan globalisasi tentunya dalam berbagai krisis yang kita alami seperti krisis ekonomi,krisis multidimensial maupun krisis politik. untuk membangun SDM yang berkualitas mungkin sangat berpengaruh sekali pada Index Pembangunan Manusia (IPM) dan dari sekian faktor-faktor yang ada untuk membangun IPM seperti Faktor kesehatan, faktor daya beli maka faktor pendidikanlah yang sangat signifikan dan dominan untuk membangun SDM yang betul-betul berkualitas. (by. Idah Hamidah).

IDAH HAMIDAH
PROGRAM : SI/PAI
SEMESTER VI

Unknown mengatakan...

Pada dasarnya saya sependapat dengan apa yang Bpk. Masduki Duryat, M. Pd. ungkapakan.Kita bisa mengambil karya pemikiran Giddens, untuk memajukan pendidikan khususnya pendidikan teori struktural dan teori konstuksionisme saja. seperti yang diungkapkan oleh Giddens yakni run away world dikatakan sebagai era kompetensi kualitas. disitulah banyak kalangan memandang bahwa dunia pendidikan sebagai centre of exellence, diharapkan semakin menunjukkan fungsi sebagai pencetak sumber daya manusia (SDM) berkualitas, hanya saja yang terjadi di Indonesia adalah kurikulum pendidikan yang selalu berubah tetapi tidak serta merta membawa perbaikan mutu pendidikan yang signifikan terhadap kualitas pendidikan.
Demikian komentar dari saya kurang dan lebih nya saya minta maaf agar menjadi maklum
Nama : Rinto Arif Riyanto
Program : S1 /PAI
Semester : IV

Anonim mengatakan...

Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih kepada Bpk Drs.Masduki Duryat M.Pd. yang menugaskan Kami untuk mengomentari artikel yang Bpk tulis, sehingga saya pribadi sedikit mengerti tentang bagaiman menggunakan internet.
Menurut saya apa yang diutarakan oleh Anthony Giddens,adalah benar dan saya sangat setuju dengan pendapat beliau yang mengatakan bahwa perubahan kurikulum itu bisa terjadi karena di dukungnya dua faktor yaitu peran Struktural dan aktor individual. Jadi faktor tersebut sama-sama berperan aktif dalam melakukan perubahan Struktural. jadi perubahan Struktural Itu bisa terjadi dan terwujud dengan adanya kerjasama yang baik antara Struktural dan Aktor Individual.
Dan menurut saya sudah sehaursnya Bangsa kita Indonesia Menggunakan Kurikulum yang baik, seperti yang diutarakan oleh Anthony Giddens. terima kasih.

Nama : CARKIM
Semester : IV (empat)
Kampus Pusat STIT AL-AMIN
Kandanghaurr

kosim mengatakan...

KOSIM
Memang pada jaman yang moderinisasi ini sangat sulit untuk berkarya.namun dengan didasari dengan iman dan takwa kita akan sedikit demi sedikait akan menemukan titik terang untuk berkaya.pada dasarnya saya sangat setuju dengan pendapat.Atoni giddens.yaitu proses antertib sosial berlangsug bukan lagi bergantung pada indipidu (tatanan mikro)maupun msyarakat dengan sistem sosilnya(tatanan makro)melainkan karena adanya lingkage antara mikro dan marko,subyek dan obyek.namun hakekatnya harus misa melayani apa yang dibutuhkan oleh masyarakat yitu kebutuhan materi.pada era globalisasi sebagaimana diugkapkan Gidens yang runawai woray,banyak di katakan sebagai era kompeteisi kualitas. apa mungkin kita bisa msuk ke era kompeyisi kualitas. kalu di lingkungan pendidikan adanya semacam membuat suatu produk dan keutunganya untuk kepentinga siswa.contoh memperingan biaya administrasi sekolah. memang saya sangat setuju adanya kurikulum KBK atau KTSP.

nama kosim
semester VI
STIT AL AMIN

Anonim mengatakan...

menurut saya begini
1. Teori strukturasi, teori ini sangat jauh sekali masa nya dari pandangan hidup di era sekarang ini, teori ini melahirkan suatu kiecenderungan yang hanya menitik beratkan pada keterlibatan struktur sepenuhnya,tanpa melibatkan perindividu, jika kita lihat pada zaman sekarang teori ini cenderung konservatif,tua, ataupun kuno.
2. Teori Konstruksionisme
Individu tanpa peran aparat pemerintahan suatu hal yang mustahil, sebab jika kita merujuk pada suatu dalil dalam al-qur'an kita diperintahkan agar supaya ta'at pada ulil amr,ya'ni dalam hal ini dapat diartikan sebagai pemerintah yang turut berpartisipasi dalam penyelesaian konflik, individu hanya patuh terhadap peraturan-peraturan yang telah di buatnya.
3. suatu kebebasan memilih yang coba ditawarkan giddens menimbulkan asumsumsi-asumsi baru yang menjadi bahan pertimbangan di berbagai kalangan.
Era globalisasi dan modernisasi merupakan era yang bebas,dalam artian bebas disini,bukan tanpa batas, harus di sesuaikan dengan nilai dan norma-norma yan berlaku di masyarakat.
pada tahapan pertama manusia diperkenalkan dengan masa bertani dan bercocok tanam, pada era selanjutnya era industri,kemudian era tehnologi pada masa sekarang. seiring dengan perkembangan zaman tersebut tahap pemikiran manusia mengalami perubahan.
peradaban manusia tersebut melahirkan maha karya- maha karya yang luar biasa dalam sejarah hidup manusia, seiring dengan hal tersebut pola pemikiran manusia dari zaman kezaman mengalami suatu proses yang berbeda, semakin tua usia bumi ini semakin pula mendekati kehancuran,penggunaan fasilitas-fasilitas yang modern ini selain berdampak positif adapula sisi negatif didalamnya, SAYA MENGATAKAN ABAD INI ADALAH ABAD LINGLUNG DI NEGARA INDONESIA INI, mengapa demikian kita hanya mampu menyerap informasi hanya bagian dasarnya saja, selebihnya kita tertinggal oleh negara-negara lainnya.kita mengetahui teori tanpa bisa melaksanakan, bahkan lebih aneh lagi teori kita kuasai akan tetapi kita bingung bagaimana untuk melaksanakannya, salah satu contoh yang paling sederhana,kita dari dahulu mengenal telefon akan tetapi kenapa baru sekarang kita bisa menikmati jasa dari layanan tersebut, alasannya kendala biaya karena pada masa itu harga alat komunikasi tersebut cenderung mahal.
Akan tetapi ketika semua berlalu sangat lama kita baru bisa menikmati layanan tersebut, sementara mereka sudah faham dan bisa mengoperasi kan alat-alat komunikasi lainnya yang lebih canggih, internet umpamanya, dari hal itu sudah jelas kita sudah tertinggal jauh dalam era persaingan dunia.
KEMUDIAN mengenai kurikulum yang mengalami perubahan dari waktu -kewaktu merupakan suatu hal yang positif dalam pencarian suatu metode pendidikan dan pengajaran yang baik.
menurut saya, kurikulumnya sudah baik akan tetapi kenapa pemerintah menambah kebijakan UAN di negara kita?.
Memang hal tersebut telah disepakati dan tersusun dalam sebuah undang-undang yang WAJIB KITA PATUHI DAN TAATI. lalu dimana peran kita selaku individualis yang mendidik dan mengarahkan mereka pada jalan yang benar?.
Pada awalnya kita menjaga mereka dengan baik,pada akhirnya kita kehilangan mereka karena faktor UJIAN NEGARA TERSEBUT, menyedihkan, ternyata teori struktural kembali berlaku di Negara "maaf" Indonesia tercinta ini.

terahir, saya meminta maaf apabila ada yang salah dalam komentar saya ini


DODI JAYA
STIT AL-AMIN
SEMESTER VI

DODI JAYA mengatakan...

menurut saya begini
1. Teori strukturasi, teori ini sangat jauh sekali masa nya dari pandangan hidup di era sekarang ini, teori ini melahirkan suatu kiecenderungan yang hanya menitik beratkan pada keterlibatan struktur sepenuhnya,tanpa melibatkan perindividu, jika kita lihat pada zaman sekarang teori ini cenderung konservatif,tua, ataupun kuno.
2. Teori Konstruksionisme
Individu tanpa peran aparat pemerintahan suatu hal yang mustahil, sebab jika kita merujuk pada suatu dalil dalam al-qur'an kita diperintahkan agar supaya ta'at pada ulil amr,ya'ni dalam hal ini dapat diartikan sebagai pemerintah yang turut berpartisipasi dalam penyelesaian konflik, individu hanya patuh terhadap peraturan-peraturan yang telah di buatnya.
3. suatu kebebasan memilih yang coba ditawarkan giddens menimbulkan asumsumsi-asumsi baru yang menjadi bahan pertimbangan di berbagai kalangan.
Era globalisasi dan modernisasi merupakan era yang bebas,dalam artian bebas disini,bukan tanpa batas, harus di sesuaikan dengan nilai dan norma-norma yan berlaku di masyarakat.
pada tahapan pertama manusia diperkenalkan dengan masa bertani dan bercocok tanam, pada era selanjutnya era industri,kemudian era tehnologi pada masa sekarang. seiring dengan perkembangan zaman tersebut tahap pemikiran manusia mengalami perubahan.
peradaban manusia tersebut melahirkan maha karya- maha karya yang luar biasa dalam sejarah hidup manusia, seiring dengan hal tersebut pola pemikiran manusia dari zaman kezaman mengalami suatu proses yang berbeda, semakin tua usia bumi ini semakin pula mendekati kehancuran,penggunaan fasilitas-fasilitas yang modern ini selain berdampak positif adapula sisi negatif didalamnya, SAYA MENGATAKAN ABAD INI ADALAH ABAD LINGLUNG DI NEGARA INDONESIA INI, mengapa demikian kita hanya mampu menyerap informasi hanya bagian dasarnya saja, selebihnya kita tertinggal oleh negara-negara lainnya.kita mengetahui teori tanpa bisa melaksanakan, bahkan lebih aneh lagi teori kita kuasai akan tetapi kita bingung bagaimana untuk melaksanakannya, salah satu contoh yang paling sederhana,kita dari dahulu mengenal telefon akan tetapi kenapa baru sekarang kita bisa menikmati jasa dari layanan tersebut, alasannya kendala biaya karena pada masa itu harga alat komunikasi tersebut cenderung mahal.
Akan tetapi ketika semua berlalu sangat lama kita baru bisa menikmati layanan tersebut, sementara mereka sudah faham dan bisa mengoperasi kan alat-alat komunikasi lainnya yang lebih canggih, internet umpamanya, dari hal itu sudah jelas kita sudah tertinggal jauh dalam era persaingan dunia.
KEMUDIAN mengenai kurikulum yang mengalami perubahan dari waktu -kewaktu merupakan suatu hal yang positif dalam pencarian suatu metode pendidikan dan pengajaran yang baik.
menurut saya, kurikulumnya sudah baik akan tetapi kenapa pemerintah menambah kebijakan UAN di negara kita?.
Memang hal tersebut telah disepakati dan tersusun dalam sebuah undang-undang yang WAJIB KITA PATUHI DAN TAATI. lalu dimana peran kita selaku individualis yang mendidik dan mengarahkan mereka pada jalan yang benar?.
Pada awalnya kita menjaga mereka dengan baik,pada akhirnya kita kehilangan mereka karena faktor UJIAN NEGARA TERSEBUT, menyedihkan, ternyata teori struktural kembali berlaku di Negara "maaf" Indonesia tercinta ini.

terahir, saya meminta maaf apabila ada yang salah dalam komentar saya ini


DODI JAYA
STIT AL-AMIN
SEMESTER VI

Anonim mengatakan...

Pada dasarnya dunia bisa di atur oleh tatanan yang paling dasar, yaitu pelaku individu – individu. Sejarah membuktikan banyak bangsa, umat yang di hancurkan oleh Tuhan di sebabkan oleh pribadi – pribadi yang sudah bermasyarakat. Contoh: umat Nabi Luth, kaum tsamud umat Nabi Nuh, semuanya di hancurkan karena prilaku mereka sendiri yang tidak sesuai dengan agama.
Kesimpulannya, jika mau baik suatu bangsa itu karena di mulai dari pribadi – pribadi itu sendiri dan sebaliknya.

Anonim mengatakan...

Pada dasarnya dunia bisa di atur oleh tatanan yang paling dasar, yaitu pelaku individu – individu. Sejarah membuktikan banyak bangsa, umat yang di hancurkan oleh Tuhan di sebabkan oleh pribadi – pribadi yang sudah bermasyarakat. Contoh: umat Nabi Luth, kaum tsamud umat Nabi Nuh, semuanya di hancurkan karena prilaku mereka sendiri yang tidak sesuai dengan agama.
Kesimpulannya, jika mau baik suatu bangsa itu karena di mulai dari pribadi – pribadi itu sendiri dan sebaliknya.

NAMA : SOBIRIN
SEMESTER : VI

Anonim mengatakan...

Assalamualaikum….
Saya berpendapat bahwa Anthony Giddens orang yang ambisius walaupun sebenarnya bukan cita-cita Giddens , dia orang yang gemar mempelajari tokoh-tokoh pemikiran sosiologi sehingga bias menguasainya . Dia pun menawarkan sebuah teori yang disebut strukturasi yang intinya ingin menyatukan pemikiran para tokoh-tokoh sosiologi. Modernisasi dan Globalisasi dengan adanya pendapat Anthony Giddens saya sendiri setujuh dengn pendapatnya tersebut, yang penting tetap mengedepankan kepentingan Masyarakat luas . Terima kasih
Nama : Nani Nurhaeni
Semester : IV (empat)

Anonim mengatakan...

Assalamualaikum….
Mengingat dan menimbang karya dan pemikiran Anthony Giddens. Dia adalah bisa dikatakan sebagai sosiolog masakini karena menurut dia perubahan sosial bukan muncul hanya dari sang actor individual, dan juga bukan hanya dari struktur, melainkan muncul didalam ruang dan waktu. Anthony Giddens juga pengkritik dan pengecam kegagalan teoretisi pendahulunya disamping, ia juga mengajukan alternative pada pemikir tokoh-tokoh yang menjadi tonggak besar dalam sosiologi.
Saya setuju modernisasi dan globalisasi dalam pandangan Giddens akan tetapi ada satu hal yang baru dan sepakat bahwa dalam buku yang dibuat oleh Giddens bahwasanya peran Negara adalah sebagai partner (rekan) bagi masyarakat . yang dimana Negara dan masyarakat tidak beroposisi masing-masing memainkan peranya yang saling menunjang dan saling mengisi

Nama : Artani Hendra Gunawan
Semester : IV (empat)

Anonim mengatakan...

Assalamualaikum….
Saya berpendapat bahwa Anthony Giddens orang yang ambisius walaupun sebenarnya bukan cita-cita Giddens , dia orang yang gemar mempelajari tokoh-tokoh pemikiran sosiologi sehingga bias menguasainya . Mengingat dan menimbang karya dan pemikiran Anthony Giddens. Dia adalah bisa dikatakan sebagai sosiolog masakini karena menurut dia perubahan sosial bukan muncul hanya dari sang actor individual, dan juga bukan hanya dari struktur, melainkan muncul didalam ruang dan waktu. Anthony Giddens juga pengkritik dan pengecam kegagalan teoretisi pendahulunya disamping, ia juga mengajukan alternative pada pemikir tokoh-tokoh yang menjadi tonggak besar dalam sosiologi.
Dia pun menawarkan sebuah teori yang disebut strukturasi yang intinya ingin menyatukan pemikiran para tokoh-tokoh sosiologi.
Nama : Miftahudin
Semester : IV (empat)

Anonim mengatakan...

saya sangat setuju dengan pendapat anthoni gidden yang mengengukapan pendapat bahwa bila mana kedua belah pihak saling bertentangan antara satu dengan yang lain nya tidak ada titik temu dan keseimbangan ke arah tujuan sistem atau pendapat yang mererka utarakan ke arah tujuan dan untuk mencapai titik temu agar membuat kemajuan dari suatu sistem atau bangsa,negara,ras,agama,serta suku daqlam menghadapi era globalisasi.bila mana kedua kubu tersebut bersatu alahkah baik nya karena akan menghasilkan sesuatu yang maksimal kearah tujuan yang sangat baik kuat serta kokoh,karena jika semu kubuh bersatu akan menghasilkan sesuatu yang luar bias dampak nya. karena modelisasidan globalisi merupakan suatu yang tidak dapat di hindarkan dan ini pasti terjadi suka atau tidak suka,pada modalisasi atau globalisasi pasti ada segi positf dan negatif nya yang penting bagaimana kita bisa meminimalisir sisi nagatif nya terhadap segi kehidupan di masyarakat.
jika ingin mutu pendidikan kita lebih maju dan tidak mandul maka kita antisipasi dan sya sangat setuju dengan pendapat dari anthony.G karena perubahan sosial tidak muncul dari sang aktor individual,dan juga bukan hanya dari struktur melainkan muncul di dalam ruang dan waktu jadi proses sistem tertib sosial,stuktural,konstuk sionisme,strukturalisme serta suatu tujuan sistem yang di capai bukan lagi tergantung pada negara,pemerintah,peraturan oraganisai,uud 45 serta menteri saja melainkan daya dukung masyarakat,individu tatanan makro serta peran aktif siswa sendiri agar suatu sistem KBK,KTSP,dalam kurikulum pendidikan agar tercapai kearah tujuan sistem yang lebih baik dan berkualitas hendak nya sistem di dalam kurikulum pendidikan jangan di jadikan ke pentingan dan ke untungan individu/pribadi seperti politik,kkn dlsb. karena selamqa ini pendidikan di negara kita hanya sebagai ajang panggung politik yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu demi kepentingan individu dan golongan serta organisasi partai politik saja,tidak pernah memandng kualitas serta kuantitas generasi penerus bangsa agar menjadi generasi yang berpompetensi dan berahlakul karimah hingga ajkhirnya menjadi bangsa nyang bermartabat di mata bnasa lain.
karena moderenisasi dan globalisasi juga akan berpengarung pada pendidikan di indonesia,maka hendaknya kurikulum pendidikan kita di rancang untuk mampu menjawab tantangan zamn yang sangat pesat kemajuan nya karena infromasi di seluruh dunia bisa di akses dengan mudah dan cepat,da kurikulum tsb juga harus berbasis pada keunggulan- keunggulan budaya lokal,nasional dan global sehingga menuntut kemampuan kompetensi setiap individunya yang pad akhirnya dunia pendidikan kita dapat mencetak sdm yang berkualitas yang beriman dan bertakwa dan tidak melupakan budaya nya sendiri,kurikulum yang diterapkan hendaknya kurikulum yang sangat berkaitan antara ilmu pengetahuan dan moral/ahlak anak didik,sehingga anak tidak hanya pintardalam mata pelejaran saja ,tetapi juga mempunyaiahlsk yang baik,jadi pendidikan tidak hanya menghasilkan anak didik yang pintar dan cerdas saja tapi juga yang berahlakul karimah,karena percuma pintar dan cerdas karena kalau perilaku nya tidak terpuji.
Nama : WARSEM
PRORAM :S1/PAI
SEMESTER : VI

DANIAH mengatakan...

pelita VI adalah rentang waktu 5tahunan pembangunan nasional yang menentukan survival tidaknya bangsa dan negara indonesia. ada beberapa gejala yang perlu diperhatikan dengan seksama bahkan apabila perlu dengan keberanian berfikir dan bertindak dari kalangan profesional pendidik dalam kafasitasnya sebagai penjaga gawang rohani kehidupan bangsa. gajala yang sudah jelas nampak dan diperkirakan akan muncul kepermukaan antara lain munculnya arus globalisasi dan informasi serta revolusi elektronika denagan segala aksesnya akan melanda bangsa ini tanpa asa kemampuan untuk membendungnya. saat ini dampak itu sudah mulai tesrsa dampak yang paling berat adalah pukulan terhadap spiritual, moral dan etik. kewaspadaan terhadap gejala tersebut sudah ada, terbukti sudah dirumuskan secara tepat dan strategis masalah spiritual, moral dan etik dalam banyak tempat pada GBHN 1993. Tantangan yang dihadapi oleh golongan beragama terutama golongan islam karena mayoritas, adalah mampukah meletakkan landasan spiritual moral dan etik bagi pembangunan nasional dan sekaligus menyata-laksanakan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

DANIAH

SEMESTER VI

Anonim mengatakan...

Assalamualaikum….
Saya ingin mengungkapkan bahwa struktur merupakan pengambil peran utama di dalam menyelesaikan krisis. Paradigma pluralisme misalnya, yang lebih memfokuskan pada negara (bukan civil society) yang lebih berperan penting dengan pertimbangan efektifitas penyelesaian krisis, yakni dengan regulasi dan birokrasi serta daya dukung Masyarakat, bangsa dan Negara. Kalau kurikulum di Indonesia berpijak atau mengikuti kebijakan pendidikan saat ini seperti “ ganti menteri maka ganti pula kebijakan kurikulum” sampai kapanpun Pendidikan di Indonesia tidak akan maju, seandainya kita liahat pendapat Anthony Giddens dan kita pakai mungkin akan lebih baik seperti kebijakan kurikulum terus berlanjut meski ganti menteri.

Nama : Enci Nuridah
Semester : IV (empat)

Anonim mengatakan...

Assalamualaikum….
Mengingat dan menimbang karya dan pemikiran Anthony Giddens. Dia adalah bisa dikatakan sebagai sosiolog masakini karena menurut dia perubahan sosial bukan muncul hanya dari sang actor individual, dan juga bukan hanya dari struktur, melainkan muncul didalam ruang dan waktu. Anthony Giddens juga pengkritik dan pengecam kegagalan teoretisi pendahulunya disamping, ia juga mengajukan alternative pada pemikir tokoh-tokoh yang menjadi tonggak besar dalam sosiologi. ……karena moderenisasi dan globalisasi juga akan berpengarung pada pendidikan di indonesia,maka hendaknya kurikulum pendidikan kita di rancang untuk mampu menjawab tantangan zaman yang sangat pesat kemajuan nya karena infromasi di seluruh dunia bisa di akses dengan mudah dan cepat,da kurikulum tsb juga harus berbasis pada keunggulan- keunggulan budaya lokal,nasional dan global sehingga menuntut kemampuan kompetensi setiap individunya yang pad akhirnya dunia pendidikan kita dapat mencetak sdm yang berkualitas yang beriman dan bertakwa dan tidak melupakan budaya nya sendiri,kurikulum yang diterapkan hendaknya kurikulum yang sangat berkaitan antara ilmu pengetahuan dan moral/ahlak anak didik,sehingga anak tidak hanya pintardalam mata pelejaran saja ,tetapi juga mempunyaiahlsk yang baik,jadi pendidikan tidak hanya menghasilkan anak didik yang pintar dan cerdas saja tapi juga yang berahlakul karimah,karena percuma pintar dan cerdas karena kalau perilaku nya tidak terpuji.

Nama : Siti Halimah
Semester : IV (empat)

E-Learning Community mengatakan...

Modernisasi yang diungkapkan Giddens adalah sebuah wacana sosiologi tentang sebuah keadaan masyarakat di mana adanya bukti-bukti kemajuan budaya dan tanda-tanda makin membaiknya keadaan suatu tatanan. Dalam modernisasi masyarakat menurut Giddens adalah sikap fundamentalisme tidak dibenarkan lagi. karena hanya mempertahankan prinsip-prinsip tradisional. bagi Giddens dalam kemoderenan tidak berlaku lagi pemikiran fundamental yang membuat fikiran kita tidak mengalami mobilitas atau pergerakan. perkembangan zaman yang semakin maju membuat kita harus selalu memanfaatkan fikiran dan akal yang dianugerahkan pada manusia.
NAMA : SUSI NURLAELI
SEMESTER : VI

Anonim mengatakan...

setelah saya baca dan cermati artikel Bpk.Drs Masduki Duryat,M.Pd, saya ingin mengomentari, bahwa
Giddens merasa tidak puas atas teori yang dikemukakan oleh struktural fungsional yang dianggapnya terjebak dalam pandangan naturalistik mereduksi aktor dalam struktur dan tidak sependapat juga dengan teori konstruksionisme fenomenologis yang baginya disebut sebagai berakhir imperialisme subjek sehingga tercetuslah teori strukturisasi dimana Giddens memperpadukan diantara kedua teori tersebut bahwa perubahan sosial bukan muncul hanya dari sang aktor individual dan juga bukan hanya dari struktur melainkan muncul didalam ruang dan waktu sehingga terbentuklah suatu formasi pemikiran yang menyatakan bahwa masyarakat bukan merupakan realitas objektif yang telah terjadi melainkan diciptakan oleh tindakan-tindakan anggotanya sebagai agen yang membutuhkan kemampuan dari sang agen, sang agen tidak bebas memilih bagaimana menciptakan masyarakat tetapi dibatasi oleh kendala lokasi sejarah diluar pilihan mereka sendiri, sosiolog tidak mungkin menghindari pengalaman mereka sendiri sebagai basis memahami kehidupan sosial, konsep formasi mencakup double hermenutic.
menurut Giddens yang meneruskan modernisasi (globalisasi, detradisionalisasi dan sosial reflexivity). jika individunya tidak bisa beradaptasi dan seyogyanya menyalah gunakan modernisasi maka Giddens menggambarkan situasi dunia yang menakutkan, ancaman perang, perusakan lingkungan, kekuasaan sewenang-wenang, penindasan kaum buruh, tidak ada lagi perlindungan lokal dari serbuan. tidak ada pegangan baku dan semua orang yakin akan pilihannya sendiri sehingga umat manusia berada dalam ancaman besar.
solusi Giddens dalam menyikapi dunia modernisasi "Utopian Realism" yang salah satu teoritisnya ada dalam sebuah buku "The Third Way" yang terbit tahun 1999 yang menyatakan bahwa negara atas dasar demokrasi merupakan pilihan terbaik yang ada sekarang dan negara harus memainkan peranan dalam masyarakat serta menempatkan negara sebagai "rekan" (partner) dari masyarakat yang keduanya tidak beroposisi melainkan memainkan perannya yang saling menunjang dan saling mengisi.
meskipun tiap lima tahun sekali kurikulum pendidikan di Indonesia selalu berganti wajah dan tidak dapat membawa perbaikan signifikan terhadap kualitas pendidikan guru harus tetap mengikuti kurikulum yang ada sesuai dengan perkembangan zaman karena tanpa adanya kurikulum maka pendidikan akan pincang.

Nama : Abdul Basit
Program : S1/PAI
Semester : VI (Enam)