Isu-Isu Politik Kebijakan Pendidikan
Oleh: Masduki Duryat
(Dosen Program Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon)
Berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) disebutkan, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan dasar hukum penyelenggaraan dan reformasi sistem pendidikan nasional. Misi pendidikan nasional adalah untuk mengupayakan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia, meningkatkan mutu pendidikan yang memiliki daya saing di tingkat nasional, regional, dan internasional.
Kenyataannya implementasi yang diamanatkan oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional kita belum bisa menghasilkan pemerataan pendidikan yang merata di seluruh Indonesia terutama penduduk di pelosok/daerah kabupaten.
Hal ini disebabkan, karena proses pembuatan kebijakan pada esensinya tidak pernah bebas nilai (value free), sehingga berbagai kepentingan akan selalu mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Pada tataran inilah seringkali kepentingan peserta didik dan publik menjadi terabaikan dan kepentingan masyarakat kapitalis lebih diutamakan oleh pemerintah dalam pengambilan kebijakan daripada kepentingan masyarakat pada umumnya.
Di masa sekarang, pelaku politik mencoba bersuara agak lantang tentang kebebasan akademik, keilmuan, dan anggaran pendidikan. Masih segar di ingatan kita, ketika masa-masa kampanye Pemilihan Umum berlangsung, beberapa kandidat menjanjikan akan memberikan pendidikan yang lebih baik, pendidikan gratis, beasiswa, bahkan akan membuat kebijakan untuk mengangkat 100.000 guru. Namun pada kenyataannya, kesemuanya itu tak lebih dari sekedar slogan kosong atau janji politik manis. Sangat mudah diucapkan, namun sulit dilaksanakan. Karena itu, semua amat tergantung pada situasi dan iklim politik.
Kebijakan politik yang berubah-ubah setiap pergantian periode kepemimpinan pemerintahan turut mempengaruhi perubahan kebijakan kurikulum. Hal ini juga turut mempengaruhi guru untuk menyesuaikan perangkat pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang diterapkan.
A. Definisi dan Hakikat Isu Kebijakan Pendidikan
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku (misalnya suatu hukum yang mengharuskan pembayaran pajak penghasilan), kebijakan hanya menjadi pedoman tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan. Kebijakan atau kajian kebijakan dapat pula merujuk pada proses pembuatan keputusan-keputusan penting organisasi, termasuk identifikasi berbagai alternatif seperti prioritas program atau pengeluaran, dan pemilihannya berdasarkan dampaknya. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai mekanisme politis, manajemen, finansial, atau administratif
Definisi Kebijakan Menurut Ahli
1. Noeng Muhadjir, (1993: 15) kebijakan merupakan upaya memecahkan problem sosial bagi kepentingan masyarakat atas asas keadilan dan kesejatheraan masyarakat. Dan dipilih kebijakansetidaknya harus memenuhi empat butir yakni; (1) tingkat hidup masyarakat meningkat, (2) terjadi keadilan: By the law, social justice, dan peluang prestasi dan kreasi individual, (3) diberikan peluang aktif partisipasi masyarakat (dalam membahas masalah, perencanaan, keputusan dan implementasi) dan (4) terjaminnya pengembangan berkelanjutan.
2. Monahan dan Hengst, seperti yang dikutip oleh (Syafaruddin, 2008: 75) kebijakan (policy) secara etimologi (asal kata) diturunkan dalam bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang artinya kota (city). Dapat ditambahkan, kebijakan mengacu kepada cara-cara dari semua bagian pemerintahan mengarahkan untuk mengelola kegiatan mereka. Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama diterima pemerintah atau lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya.
Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa pengertian kebijakan merupakan petunjuk dan batasan secara umum yang menjadi arah dari tindakan yang dilakukan dan aturan yang harus diikuti oleh para pelaku dan pelaksana kebijakan karena sangat penting bagi pengolahan dalammengambil keputusan atas perencanaan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Dengan demikian kebijakan menjadi sarana pemecahan masalah atas tindakan yang terjadi.
Definisi Kebijakan Pendidikan Menurut Ahli
Istilah kebijakan dalam dunia pendidikan sering disebut dengan istilah perencanaan pendidikan (educational planning), rencana induk tentang pendidikan (master plan of education), pengaturan pendidikan (educational regulation), kebijakan tentang pendidikan (policy ofeducation) namun istilah-istilah tersebut itu sebenarnya memiliki perbedaan isi dan cakupan makna dari masing-masing yang ditunjukan oleh istilah tersebut (Arif Rohman, 2009: 107-108).
1. Riant Nugroho, (2008: 37) sebagai bagian dari kebijakan publik, yaitu kebijakan publik di bidang pendidikan. Dengan demikian, kebijakan pendidikan harus sebangun dengan kebijakan public dimana konteks kebijakan publik secara umum, yaitu kebijakan pembangunan, maka kebijakan merupakan bagian dari kebijakan publik. Kebijakan pendidikan di pahami sebagai kebijakan di bidang pendidikan, untuk mencapai tujuan pembangunan Negara Bangsa di bidang pendidikan, sebagai salah satu bagian dari tujuan pembangunan Negara Bangsa secara keseluruhan.
2. Arif Rohman (2009: 108) kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan Negara atau kebijakan publik pada umumnya. kebijakan pendidikan merupakan kebijakan publik yang mengatur khusus regulasi berkaitan dengan penyerapan sumber, alokasi dan distribusi sumber, serta pengaturan perilaku dalam pendidikan. Kebijakan pendidikan (educational policy) merupakan keputusan berupa pedoman bertindak baik yang bersifat sederhana maupun kompleks, baik umum maupun khusus, baik terperinci maupun longgar yang dirumuskan melalui proses politik untuk suatu arah tindakan, program, serta rencana-rencana tertentu dalam menyelenggarakan pendidikan.
Jadi Berdasarkan pada beberapa pandapat mengenai kebijakan pendidikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian kebijakan pendidikan merupakan suatu sikap dan tindakan yang di ambil seseorang atau dengan kesepakatan kelompok pembuat kebijakan sebagai upaya untuk mengatasi masalah atau suatu persoalan dalam dunia pendidikan.
Definisi Isu Kebijakan Pendidikan
Isu adalah sebagai suatu konsekuensi atas beberapa tindakan yang dilakukan oleh satuatau beberapa pihak yang dapat menghasilkan negosiasi dan penyesuaian sector swasta, kasus pengadilan sipil atau criminal atau dapat menjadi masalah kebijakan public melalui tindakan legislative atau perundangan menurut Hainsworth & Meng.
Sedangkan menurut Barry Jones & Chase isu adalah sebuah masalah yang belum terpecahkan yang siap diambil keputusannya. Isu merepresentasikan suatu kesenjangan antara praktik korporat dengan harapan-harapan para stake holder. Berdasarkan definisi yang telah disebutkan diatas, isu adalah suatu hal yang terjadi baik di dalam maupun di luar organisasi yang apabila tidak ditangani secara baik akan memberikan efek negatif terhadap organisasi dan berlanjut pada tahap krisis.
Jadi isu-isu kebijakan pendidikan adalah suatu hal yang terjadi dan tersebar di masyarakat mengenai kebijakan pendidikan yang apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan masalah yang serius dalam kebijakan pendidikan.
B. Pengaruh Politik dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia
Kaitan antara pendidikan dan politik sangat erat bahkan selalu berhubungan sehingga dengan keadaan tersebut dapat diketahui bahwa politik negara sangat berperan menentukan arah perkembangan pendidikan di suatu negara. Hal ini diperkuat dengan penelitian dari Borah (2012) bahwa Pemerintah India membuat begitu banyak kebijakan dan amandemen untuk meningkatkan standar pendidikan. Pemerintah begitu ketat dalam menerapkan kebijakan dan amandemen baru.
Sementara penelitian dari Wales, dkk. (2016) menyatakan bahwa penerapan analisis penyelesaian politik dapat membantu menjelaskan pola kemajuan dalam akses dan kualitas pendidikan, dan untuk mengidentifikasi insentif politik yang mendasarinya. Tidak berlebihan kiranya bahwa pendidikan sebagai salah satu upaya atau sarana untuk melestarikan kekuasaan negara. Pendidikan selalu sepihak, pendidikan yang diberikan oleh pendidik selalu berdasarkan keinginan pola penguasa yang menetapkan kurikulum. Dan karenanya politik ternyata sangat berkait erat dengan pendidikan.
Politik adalah kebijakan, siapa yang menguasai politik atau siapa yang menjadi pemimpin dialah yang kemudian menentukan arah pendidikan. Ketika sebuah rezim berkuasa selalu berusaha mencitrakan ataupun kerja keras yang serius untuk mempunyai nilai plus bagi rakyatnya. Dengan harapan akan terpilih kembali pada periode berikutnya. Itu sebuah kewajaran dari perjuangan politik.
Pendidikan dalam konteks ini dapat dijadikan nilai plus yang dapat diterima secara massif di seluruh pelosok negeri, langsung menyentuh hajat hidup orang banyak dan hasilnya bisa dilihat di kemudian hari, atau dengan kata lain, tidak sekedar memberi tampilan yang baik tetapi dunia pendidikan adalah investasi besar untuk jangka panjang dan menengah.
Nir dan Kafle (2011) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa stabilitas politik memainkan peran utama dalam menjelaskan tingkat kelangsungan hidup dalam pendidikan ketika digunakan sebagai prediktor tunggal atau, ketika diperkenalkan dalam analisis dengan PDB per kapita. Setelah temuan yang dilaporkan sebelumnya menunjukkan hubungan kausal antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabilitas rezim.
Berdasarkan kronologis historis kurikulum pendidikan nasional telah terjadi perubahan kurikulum dari tahun 1947 hingga tahun 2013. Perubahan kurikulum terjadi seiring dengan terjadinya perubahan pada kondisi perpolitikan di Indonesia. Sebagaimana diketahui kurikulum tahun 1947 yang berlaku pada masa kemerdekaan dan dikenal sebagai leer plan, kurikulum disusun untuk kepentingan pemerintahan pada saat itu yaitu kolonialisme Belanda. Kurikulum tersebut bertahan hingga tahun 1952. Kurikulum tahun 1952 merupakan bentuk penyempurnaan dari kurikulum 1947 yang diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai. Perubahan ataupun penyempurnaan tersebut juga masih untuk kepentingan pemerintah saat itu yaitu pemerintahan Republik Indonesia yang baru. Penyempurnaan kurikulum 1952 ini sudah memiliki arah untuk sistem pendidikan nasional dimana isi pelajaran dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadi salah satu indikasi bahwa politik memiliki hubungan dengan kurikulum.
Usai tahun 1964 kembali pemerintah menyempurnakan kurikulum di Indonesia. Pada tahun 1968 pemerintah kembali melakukan pembaruan dengan perubahan kurikulum struktur pendidikan dari Pancawardhana menjadi Pembinaan Jiwa Pancasila, Pengetahuan Dasar, dan Kecakapan Khusus. Pada tahun 1968 hingga kurikulum 1975 perubahan kurikulum lebih kepada penyesuaian materi-materi pelajaran dan tujuan pengajaran agar pendidikan menjadi lebih efisien dan efektif. Barulah pada tahun 1984 muncul kurikulum yang disusun dengan pendekatan kemampuan. Hingga pada akhir masa kepemimpinan pemerintahan tahun 1998 kurikulum tidak mengalami banyak perubahan yaitu pada masa kepemimpinan orde baru presiden Soeharto. Tahun 2004 pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) diberlakukanlah kurikulum berbasis kompetensi (KBK).
Kurikulum pada masa kepemimpinan SBY, pendidikan lebih menitikberatkan pada kompetensi guru dan siswa. Selama masa kepemimpinan SBY, perubahan kurikulum terjadi sebanyak tiga kali. Hingga akhirnya pada tahun 2013 ditetapkan pemerintah Kurikulum 2013 (Kurtilas). Pada pelaksanaan kurikulum ini pemerintah juga melakukan kebijakan-kebijakan dengan melakukan perampingan materi pelajaran dan pada tanggal 4 Desember 2014 Kurikulum 2013 diberhentikan dan dikembalikan ke KTSP 2006.
Sebagaimana kronologis perubahan-perubahan kurikulum tersebut, ternyata terjadi saat ada perubahan kondisi perpolitikan di Indonesia. Perubahan politik ternyata diikuti dengan adanya perubahan kebijakan-kebijakan kurikulum dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh politik dengan sistem pendidikan nasional yang teridentifikasi dengan adanya perubahan kurikulum di Indonesia.
Hal ini sejalan dengan penelitian dari Maryanto, dkk. (2017), bahwa politik mempengaruhi revitalisasi kurikulum. Hasil yang merupakan model revitalisasi kurikulum harus dilaksanakan pemantauan dan evaluasi yang perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pencapaian dan hasil yang diharapkan. Hasil pemantauan dan evaluasi akan berfungsi sebagai rekomendasi untuk mengembangkan dan atau meningkatkan kurikulum yang akan datang.
Hal ini juga diperkuat oleh Nkyabonaki (2013) yang menyatakan bahwa efisiensi dan penyampaian pendidikan yang efektif di bawah sistem pendidikan yang terdesentralisasi dan diliberalisasi sebagaimana diatur dalam dokumen kebijakan Pendidikan dan Pelatihan memerlukan pemantauan yang lebih ketat terhadap sekolah serta mekanisme umpan balik yang memadai antara pengawas sekolah dan lembaga pendidikan, manajer dan administrator di zona, daerah dan tingkat distrik.
Politik dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia juga berpengaruh pada anggaran pendidikan. Pendanaan Pendidikan seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 bahwa Negara meprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN/APBD dengan kenyataan dan 7 praktik pendanaan pendidikan. Kenyatannya bahwa anggaran penyelenggaraan pendidikan sebesar 20% APBN/APBD tersebut didalamnya sudah termasuk gaji guru dan lain-lain. Ketidakonsistenan dalam pendanaan pendidikan meyebabkan sarana pendukung pendidikan seperti gedung sekolah, lapangan olahraga, dan alat prasarana lainnya menjadi tidak sesuai dengan kebutuhan.
Hal ini didukung dengan hasil penelitian dari Sukasni dan Efendy (2017) bahwa adanya fakta-fakta yang menunjukkan ada yang tidak beres dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional di Indonesia. Kesalahan tersebut salah satunya dapat dilihat dari politik anggaran. Politik juga berpengaruh terhadap sumberdaya pendidikan seperti gaji guru, sarana prasarana penunjang kegiatan belajar, dan pelatihan. Salah satu hal penting dalam pengembangan proses pembelajaran yang bermakna adalah tersedianya guru-guru yang profesional. Dari 2,7 juta guru di Indonesia, kualifikasi pendidikannya masih rendah, yaitu 65% pendidikan guru mereka dibawah 4 tahun. Penyediaan guru yang profesional selama ini terabaikan. Jika jabatan profesionalitas guru disejajarkan dengan jabatan profesional lainnya seperti dokter dan pengacara, maka profesionalitas guru masih tertinggal.
Dalam UU No.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yang menuntut guru sebagai pendidikan bertaraf A1 dan D4+. Salah satu kekurangan dalam pendidikan guru sebelum menjabat sebagai guru yaitu praktek profesional. Pada tahap ini selama 2 semester para mahasiswa belajar menerapkan berbagai pengetahuan dasar akademik profesional. Para mahasiswa 2/3 waktunya berada dalam lingkungan sekolah untuk mengamati, memimpin, dan membimbing proses pembelajaran dibawah supervisi tim dosen profesional.
Kebijakan sertifikasi guru, awalnya sebagai upaya untuk menjadikan guru yang ada menjadi guru yang profesional. Namun beberapa indikasi menunjukkan kebijakan sertifikasi guru gagal menjadikan guru menjadi profesional. Karena guru yang mengejar sertifikasi hanya semata-mata bermotif mengejar tunjangan sertifikasi, setalah mereka mendapatkan sertifikat, tidak ada tanda-tanda mereka berubah menjadi guru profesional, baik dalam merancang, mengembangkan, melaksanakan, menilai, dan mendiagnosa berbagai masalah yang dihadapi peserta didik terlihat tidak bedanya antara guru yang bersertifikat dengan yang belum bersetifikat. Kenyataanya sejalan dengan temuan penelitian dari Sukasni dan Efendy (2017) bahwa salah satu ketidakberesan dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional di Indonesia adalah adanya politik organisasi pendidikan dalam mempersiapkan guru profesional.
C. Pengaruh Politik terhadap Kurikulum dalam Sistem Pendidikan Nasional
Setiap pemerintahan, senantiasa berusaha memberi yang terbaik bagi rakyat. Saat suatu rezim memiliki kekuasan senantiasa berupaya mencitrakan atau kerja keras dengan sungguh-sungguh untuk memiliki nilai tambah terhadap rakyatnya. Dengan harapan akan terpilih kembali pada periode berikutnya. Itu sebuah kewajaran dari perjuangan politik. Pendidikan dalam konteks ini dapat dijadikan nilai plus yang dapat diterima secara massif di seluruh pelosok negeri, langsung menyentuh hajat hidup orang banyak dan hasilnya bisa dilihat di kemudian hari, atau dengan kata lain, tidak sekedar memberi tampilan yang baik tetapi dunia pendidikan adalah investasi besar untuk jangka panjang dan menengah.
Hal ini seperti yang disampaikan oleh Nir dan Kafle (2013) dalam penelitiannya bahwa sejauh menyangkut kualitas pendidikan, stabilitas politik memainkan peran yang jauh lebih signifikan dibandingkan dengan keadaan ekonomi negara-negara yang terbukti dalam PDB per kapita.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa stabilitas politik memainkan peran utama dalam menjelaskan tingkat kelangsungan hidup dalam pendidikan. Oleh karena itu, setiap menteri pendidikan yang ditunjuk oleh kepala pemerintahan akan selalu melakukan inovasi-inovasi agar bidang yang dikelola memberi nilai plus politik tersebut. Kurikulum pendidikan adalah salah satu sektor yang sangat menjanjikan. Jika berhasil dalam urusan pendidikan ini dan mempunyai nilai plus di mata rakyat, maka akan mudah mengeruk suara pada pemilu berikutnya.
Penelitian dari Ijaduola (2012) menyiratkan bahwa hubungan timbal-balik antara politik dan pendidikan mensyaratkan bahwa orang-orang itu sendiri mengerahkan upaya mereka sendiri, bergabung dengan pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi, sosial dan budaya mereka. Hal ini berkaitan dengan kehidupan dan kebutuhan masyarakat total dan harus melibatkan seluruh partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Namun pada kenyataannya, belum tentu perubahan kurikulum yang dilakukan mempunyai dampak baik bagi masyarakat. Seperti yang bisa dilihat, perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia selalu memberikan masalah-masalah baru. Argumen bisa diajukan, mengapa kurikulum yang sudah lama berlaku kemudian diganti? Bukankah itu menunjukkan bahwa kurikulum sebelumnya memiliki kekurangan atau kelemahan? Jika memang demikian, kurikulum lama hanya perlu disempurnakan, bukan diganti secara menyeluruh.
Perubahan kurikulum yang ada di berbagai negara memang tidak pernah lepas dari kondisi politik yang sedang berlaku di negara tersebut. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Seperti yang disampaikan oleh Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Hamid Hasan, dalam rapat dengan Panja Kurikulum DPR RI, Rabu (22/1/2013). Beliau mengatakan bahwa fakta tersebut juga terjadi di beberapa negara besar seperti Amerika dan Jepang, yang mengubah kurikulum dalam waktu singkat karena adanya pergolakan politik di negara tersebut. “Contoh saja Jepang, baru dua tahun pernerintah mengubah kurikulum hanya karena aspek politik. Jadi waktu itu terkait penjajahan Jepang, konten dalam pelajaran sejarahnya ada yang dihilangkan dengan maksud agar generasi saat itu tetap memiliki nasionalisme dan kecintaan terhadap negara,” katanya. “Jadi, tidak ada satu pun kurikulum bebas dari pengaruh politik. Itu sudah established dalam kurikulum. Begitu power politik itu berubah, akan ada berpengaruh juga pada kurikulum,” tambah pria yang menjabat sebagai Ketua Tim Inti Pengembangan Kurikulum 2013 itu.
Wakil Kurikulum SMA Negeri 1 Pasaman, Nulfalinda, juga mengatakan bahwa ada enam hal yang masih ditetapkan oleh pusat. Di antaranya pendidikan, hukum, fiskal, moneter, agama, dan politik luar negeri.
Jadi dalam hal pendidikan, tentu saja politik sangat berpengaruh terhadap perubahan kurikulum. Untuk mengatasi masalah tersebut, beliau menyarankan agar pemerintah tidak sembarangan mengotak-atik kurikulum yang sedang berlaku. Perubahan kurikulum harus dibahas bersama, dengan mendahulukan kepentingan masyarakat secara luas, bukan hanya mementingkan politik saja. Anggota Panja Kurikulum DPR RI, Raihan Iskandar, juga mengatakan, untuk meminimalisasi perubahan kurikulum akibat kondisi politik yang berubah, ada baiknya dibuat Rencana Strategis (Renstra) Pendidikan yang jelas dan kuat.
Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bondi (Sudrajat, 2008) dalam bukunya “Curriculum Development: A Guide to Practice” turut menjelaskan pengaruh politik dalam pembentukan dan pengembangan kurikulum. Hal ini jelas menunjukkkan bahwa pengembangan kurikulum dipengaruhi oleh proses politik, karena setiap kali tampuk pimpinan sebuah negara itu bertukar, maka setiap kali itulah kurikulum pendidikan berubah. Walaupun kekuasaan politik terpusat pada berbagai kelompok dan individu, efektifitas dan kegunaannya dibentuk oleh berbagai institusi. Pola institusional pendidikan publik mungkin saja tampak kokoh, cukup mantap, sehingga untuk dapat berhasil, setiap proposal perlu menyesuaikan diri dengannya.
Elliot (1959: 1047) menambahkan bahwa salah satu komponen terpenting pendidikan, kurikulum, misalnya, dapat menjadi media sosialisasi politik. Menurutnya, kurikulum di suatu lembaga pendidikan memiliki tiga sumber utama. Pertama, pendapat kelompok profesional pendidikan yang sangat dipengaruhi oleh institusi-institusi pelatihan guru dan seringkali merefleksikan atau mengadaptasi ide dari individu-individu yang didewa-dewakan, seperti John Dewey, John Lock, dan William Stern. Kedua, kebutuhan akan dana. Ketiga, aktivitas kelompok-kelompok berpengaruh, seperti asosiasi industri, perserikatan, dan beberapa organisasi kebangsaan yang memiliki semangat patriotik. Fungsi politik pendidikan secara khusus juga dapat diaktualisasikan melalui proses pembelajaran.
Menurut Massialas (1969: 18-79 dan 155), proses pembelajaran bisa bersifat kognitif (misalnya, mendapatkan pengetahuan dasar tentang suatus sistem), bisa bersifat afektif (misalnya, mengetahui sikap-sikap positif dan negatif terhadap penguasa atau simbol-simbol), bisa bersifat evaluatif (misalnya, menilai peran-peran politik berdasarkan standar tertentu), atau bisa bersifat motivatif (misalnya, penanaman rasa ingin berpartisipasi). Sebagian besar unsur-unsur pembelajaran tersebut dapat dirancang dan diarahkan sedemikian rupa untuk memenuhi tuntutan politik tertentu.
Di banyak negara totaliter dan negara berkembang, pemimpin politik sangat menyadari fungsi pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan politik. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengontrol sistem pendidikan dan menitipkan pesan-pesan politik melalui metode dan bahan ajar (curriculum content) pendidikan. Di negara-negara komunis, misalnya, metode brain washing digunakan secara luas membentuk pola pikir kaum muda, agar sejalan dengan doktrin komunisme.
Penelitian dari Sparapani dan Perez (2015) menyatakan negara melalui politisinya mengemban tanggung jawab pendidikan untuk mengajari orang-orang apa yang perlu mereka ketahui agar menjadi warga negara yang produktif. Untuk memastikan bahwa pendidik melakukan apa yang negara ingin mereka lakukan, pemerintah telah mengamanatkan standar dan tolak ukur yang, dalam sistem pendidikan, telah berevolusi menjadi kurikulum standar. Praktik pembelajaran tradisional yang kondusif untuk lingkungan pembelajaran standar melahirkan warga produktif atau menghasilkan pemikir yang kritis dan kreatif. Kepemimpinan transformatif adalah perubahan politik, dan harus dimulai dalam hubungan moral yang sama dengan orang lain.
Pemangku kepentingan perlu menghargai komunitas terbuka berdasarkan cita-cita di mana kebebasan berekspresi dilindungi, penegasan kesopanan, penghargaan dan pemahaman tentang perbedaan individu dihormati, dan pemangku kepentingan menghargai komunitas yang peduli di mana kesejahteraan setiap orang adalah penting. Dari generasi ke generasi negarawan dan pemimpin politik telah menyadari dampak yang dapat ditimbulkan oleh sistem pendidikan terhadap kehidupan politik. Mereka menyadari bahwa negara tidak dapat mengabaikan sekolah jika ingin mencapai tujuan-tujuannya, termasuk tujuan untuk mempertahankan kekuasaan. Mengingat besarnya peluang untuk mengarahkan berbagai unsur kependidikan pada kebutuhan politik tertentu, tidak heran apabila pendidikan sering kali memainkan peran sentral dalam menemukan arah perubahan politik.
Seperti yang disampaikan oleh Sukasni dan Efendy (2017) dalam penelitiannya bahwa dampak politik terhadap sistem pendidikan dapat menyebabkan adanya ketidakberesan dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional di Indonesia. Kesalahan tersebut dapat dilihat dari dukungan politik, apakah itu politik dalam perumusan tujuan pendidikan, politik anggaran, dan politik organisasi pendidikan seperti mempersiapkan guru profesional, sarana persiapan, inkonsistensi antara tujuan pendidikan dan praktek pendidikan dan antara tujuan dengan model evaluasi pendidikan.
Kurikulum merupakan aturan dan cara yang dipakai oleh sebuah lembaga pendidikan dengan tujuan untuk meningkatkan mutu dari pada pendidikan atau lembaga pendidikan. Kurikulum dikatakan penting dalam sebuah pendidikan karena keberhasilan sebuah pendidikan untuk dapat mencetak output atau disebut dengan peserta didik yang bermutu dan baik sangat ditentukan oleh kurikulum sebuah pendidikan. Kurikulum pendidikan yang kurang tepat bagi siswa atau sekolah justru akan memberi masalah masalah baru dalam dunia pendidikan, karena kurikulum baru belum tentu sesuai dengan siswa atau dapat diterima siswa tersebut bahkan mungkin siswa tidak siap dengan sistem baru yang mungkin dapat menyusahkan mereka, lalu mengapa sistem pendidikan di Indonesia hampir sering digonta-ganti, mengapa sekolah atau lembaga pendidikan tidak memfokuskan diri pada satu sistem atau kurikulum supaya siswa dapat menyesuaikan dan menerima sistem tersebut dengan baik.
Pengaruh politik terhadap penerapan kurikulum adalah adanya penghapusan dan penggabungan beberapa mata pelajaran seperti pada kurikulum 2013. Meniadakan dan menggabungkan beberapa mata pelajaran menjadi keresahan tersendiri untuk guru. Pasalnya, mereka terikat dalam syarat minimal jam mengajar yaitu 24 jam pelajaran. Dalam Kurikulum 2013, guru mata pelajaran IPA untuk kelas X SMK ditiadakan. Contoh lainnya adalah penghapusan mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komputer (TIK) di SMP dan SMA. Penggabungan beberapa mata pelajaran juga berimplikasi pada nasib guru yang akan kekurangan bahkan kehilangan jam mengajar. Hal tersebut menjadikan guru resah karena tidak dapat memenuhi syarat jam mengajar yang sesuai standar kompetensi.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dari Nkyabonaki (2013) dimana mata pelajaran Kimia dikombinasikan dengan biologi oleh seorang politisi pada tahun 2000-an. Ini menyebabkan implementasi kurikulum yang serius di tingkat kelas. Selain itu, ada juga penghapusan beberapa mata pelajaran dari kurikulum seperti perdagangan dan pertanian oleh para politisi. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa peserta didik akan menerima mata pelajaran yang dihapus tersebut di tingkat perguruan tinggi untuk membuat peserta didik berkonsentrasi dengan beberapa mata pelajaran.
Dampak politik terhadap kurikulum lainnya adalah kurangya kualitas guru. Adanya perubahan kurikulum mengakibatkan para guru harus memahami dan mengimplementasikan kurikulum. Namun pada kenyataannya, masih banyak guru yang belum memahami kurikulum tersebut. Terbukti dari adanya guru-guru yang belum mampu menyusun silabus dan RPP sesuai dengan pedoman penyusunan perangkat pembelajaran yang diberikan oleh pemerintah. Hal ini seperti temuan penelitian dari Nkyabonaki (2013) bahwa faktor terbesar dalam kualitas pendidikan anak-anak adalah kualitas guru mereka sendiri, tetapi karena melonjaknya pendaftaran dan pelatihan pra-jabatan guru yang diperpendek, para guru mengalami masa yang lebih sulit dari sebelumnya. Hal ini banyak mempengaruhi pelaksanaan kurikulum di tingkat kelas, karena guru yang mengikuti pelatihan yang singkat tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang dasar-dasar prinsip kurikulum dan psikologi pendidikan peserta didik.
Tujuan pemerintah mengganti kurikulum dalam pendidikan tidak lain adalah karena ingin memperbaiki mutu pendidikan supaya bisa berkembang lebih baik dari sebelumnya. Tapi apakah demikian. Pada kenyataannya tidak ada perubahan mutu yang diberikan oleh pendidikan di Indonesia, bahkan mutu pendidikan selama kurang lebih dalam lima tahun ini memberikan hasil yang mengecewakan, justru perubahan kurikulum pendidikan yang begitu cepat menimbulkan masalah-masalah baru dalam dunia pendidikan, seperti halnya banyak prestasi siswa akan menurun hal ini mungkin disebabkan karena siswa tidak dapat menyesuaikan diri dengan sistem pembelajaran pada kurikulum yang baru.
D. Isu-isu Kebijakan Pendidikan Di Indonesia
1. Issu kritis Aspek Masalah Kurikulum dan Pembelajaran di Indonesia
Begitu banyak masalah-masalah kurikulum dan pembelajaran yang dialami Indonesia.Masalah-masalah ini turut andil dalam dampaknya terhadap pembelajaran dan pendidikan Indonesia. Berikut ini adalah beberapa masalah kurikulum (menurut sudut pandang penulis) :
a) Kurikulum Indonesia Terlalu Kompleks
Jika dibandingkan dengan kurikulum di negara maju, kurikulum yang dijalankan di Indonesia terlalu kompleks. Hal ini akan berakibat bagi guru dan siswa. Siswa akan terbebani dengan segudang materi yang harus dikuasainya. siswa harus berusaha kerasuntuk memahami dan mengejar materi yang sudah ditargetkan. Hal ini akan mengakibatkan siswa tidak akan memahami seluruh materi yang diajarkan. Siswa akan lebih memilih untuk mempelajari materi dan hanya memahami sepintas tentang materitersebut. Dampaknya, pengetahuan siswa akan sangat terbatas dan siswa kurangmengeluarkan potensinya, daya saing siswa akan berkurang.
b) Seringnya Berganti Nama
Kurikulum di Indonesia sering sekali mengalami perubahan. Namun, perubahan tersebut hanyalah sebatas perubahan nama semata. Tanpa mengubah konsep kurikulum, tentulah tidak akan ada dampak positif dari perubahan kurikulum Indonesia. Bahkan, pengubahan nama kurikulum mampu dijadikan sebagai lahan bisnis oleh oknum-oknumyang tidak bertanggung jawab.Dengan bergantinya nama kurikulum yang ada di Indonesia ternyata banyak tidak memberikan manfaat pada proses pendidikan yang ada di Indonesia karena denganmelihat kejadian nyata dilapangan malah menjadi masalah atau menjadi momok bagisekolah-sekalah dan guru dalam menjalankan tugasnya.
c) Kurangnya Pemerataan Pendidikan
Meninjau mengenai sarana dan prasarana, hal ini berkatan dengan kurangnya pemerataan yang dilakukan Mendiknas. Selain itu, pemerataan pendidikan juga ditinjaudari segi Satuan Tingkat Perdidikannya. Hal ini berkaitan dengan materi yang diajarkandi sekolah pada Tingkat Satuan Pendidikan tertentu. Pada tingkat Sekoalah Dasar, siswa diajarkan seluruh konsep dasar seperti membaca, menulis, menghitung dan menggambar. Pada tingkat ini siswa cenderung hanya diajarkansaja, tidak mengena pada pemaknaanya. Pada tingkat Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas, pelajaran yang diajukan cenderung hanya berkonsep pada tujuan agar anak mampu mengerjakan soal bukan konsep agar siswa mampu memahami soal.
2. Issu Kritis Aspek Pembelajaran
Skinner (1958) memberikan definisi belajar “Learning is a process progressive behavior adaptation”. Dari definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa belajar itu merupakan suatu proses adaptasi perilaku yang bersifat progresif. Skinner percaya bahwa proses adaptasi akan mendatangkan hasil yang optimal apabila diberi penguatan (reinforcement). Ini berarti bahwa belajar akan mengarah pada keadaan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya. Disamping itu belajar juga memebutuhkan proses yang berarti belajar membutuhkan waktu untuk mencapai suatu hasil.
Dengan melihat pendapat sciner diatas dan kita padukan pada kenyataan terhadap hasil pendidikan yang ada di Indonesia sunguh masih jauh dari harapan, salah satu contoh pembelajaran yang ada di Indonesia adalah pembelajaran di Indonesia lebih menekan masiswanya untuk mengahafal materi pembelajan, sehingga dalam proses ujian atau tugassiswa cenderung menyotek buku dari pada ia mengembangkan idenya, karena sistim penilian yang diberikan oleh guru harus sama dengan apa yang ada di dalam buku.inimerupakan salah masalah dalam proses pembelajaran.
Berikut beberapa masalah lain dalam pembelajaran yang terjadi di indonesia:
a. Berkurangnya motivasi para peserta didik untuk belajar atau berpartisipasi di dalam belajar
b. Semakin banyak siswa yang membolos pada saat jam pelajaran di mulai
c. Pada zaman yang berkembang ini juga banyak sekali perkelahian muncul di kalangan antar mahasiswa
d. Prestasi siswa yang semakin rendah dan mengalami kemerosotan nilai
e. Semakin menipisnya etika dan kesopanan di dalam belajar
f. Beberapa masalah pemebelajaran di atas sering terjadi dalam proses bejalanya pendidikan kita di Indonesia, kejadian- kejadian tersebut murupakan masalah sangatsering terjadi, maka dari itu guru, kepalah sekolah dan oknum-oknum yang terlibatdalam pengembangan pendidikan di Indonesia harus mampu melihat titik-titikmenuculnya masalah-masalah tersebut.
3. Issu Kritis Aspek Guru
a. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
b. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
4. Issu Kritis Aspek Masyarakat
Perubahan kurikulum yang mengikuti alur perubahan kepemimpinan telah membawa pendidikan kita pada kegitan politik sehingga memberi dampak negative terhadap pekembangan pendidikan dan kemampuan siswa di indonesia, tidak hanyasiswa dan lembaga pendidikan yang dikenai dampak perubahan tersebut, namun perubahan kurikulum juga berpengaruh pada masyarakat terdidik untuk terus mengimbangi perubahan aturan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
5. Issu Kritis Aspek Pemerintah Pusat
Gema reformasi dikumandangkan oleh para mahasiswa dan pemuda di Indonesia tepatnya tahun 1998 yang sempat menelan korban jiwa dan tidak sedikit harta benda yang melayang akibat chaos yang terjadi di sejumlah daerah. Teriakan pembaruan tersebut dilakukan oleh mahasiswa, pemuda, dan elemen bangsa lainnya karena mereka menganggap bahwa penguasa tidak lagi konsisten memperjuangkan amanat rakyat.
Namun setelah 19 tahun teriakan reformasi menggelora, Indonesia kini masih memiliki sejumlah persoalan kebangsaan dan kemasyarakatan yang tidak mudah untuk diselesaikan, baik untuk tingkat regional maupun nasional. Salah satu persoalan yang hingga kini masih mendera bangsa Indonesia adalah isu seputar kebijakan pendidikan. Pendidikan di Indonesia tidak mampu menghasilkan alumni yang siap kerja, para lulusan tidak memiliki kualitas yang dapat diandalkan, para tamatan SMU/SMK dan PerguruanTinggi tidak memiliki kecerdasaan dan kemampuan kewirausahaan (enterpreneurship), dan para Perguruan Tinggi gagal merubah perilaku para mahasiswa. LulusanSMU/SMK dan Perguruan Tinggi tidak siap memenuhi kebutuhan masyarakat dan dunia kerja.
Untuk mengatasi isu kritis perihal mutu (layanan) pendidikan, maka pihak-pihakterkait antara lain pemerintah, Civil Society, dan seluruh stakeholder di bidang pendidikan perlu bersinergi untuk mencari langkah-langkah strategis pencapaian mutulayanan pendidikan seperti diamanatkan oleh Pasal 31 Amandemen UUD 1945, Pasal 28Konvensi Hak Anak (KHA), dan Pasal 12 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)yang sekaligus menjadi arah dan dasar kebijakan pendidikan nasional.
E. Simpulan
Politik dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia berpengaruh pada anggaran pendidikan dan sumberdaya pendidikan. Selain itu, politik juga berpengaruh terhadap perubahan kurikulum. Berdasarkan kronologis historis kurikulum pendidikan nasional telah terjadi perubahan kurikulum dari tahun 1947 hingga tahun 2013.
Perubahan kurikulum tersebut ternyata terjadi saat ada perubahan kondisi perpolitikan di Indonesia. Perubahan politik ternyata diikuti dengan adanya perubahan kebijakan-kebijakan kurikulum dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh politik dengan sistem pendidikan nasional yang teridentifikasi dengan adanya perubahan kurikulum di Indonesia.
Pengaruh politik terhadap kurikulum dalam sistem pendidikan nasional secara aktual adalah adanya penghapusan beberapa mata pelajaran, pengurangan dan penggabungan materi pelajaran dengan tujuan efisiensi dan efektivitas pendidikan. Proses perkembangan kurikulum yang sifatnya senantiasa berubah, turut dipengaruhi oleh faktor-faktor sekitar yang merangsang reaksi manusia yang terlibat dalam kepentingannya. Hasrat terhadap perubahan kurikulum itu menggambarkan keperluan pendidikan yang menjadi wadah penerus kemajuan bangsa dan negara itu sendiri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan kurikulum adalah elemen yang saling berkaitan antara satu sama lain. Dapat dikatakan, bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kurikulum itu sendiri mencerminkan idealisme dan perubahan keperluan masyarakat dan negara, melalui institusi sekolah yang akan meneruskan kebudayaan. Pengaruh politik di dalam dunia pendidikan sangatlah kuat, perubahan kurikulum yang disebabkan faktor politik banyak menimbulkan masalah-masalah baru. Namun, para pengambil kebijakan di bidang pendidikan tetap bersikap kurang peduli dan tidak mau mengambil keputusan apapun untuk menjadikan dunia pendidikan bersih dari praktik-praktik bisnis politik.
Daftar Pustaka
Borah, R.R. 2012. “Impact of Politics and Concerns with the Indian Education System”. International Journal of Educational Planning & Administration, Volume 2, Number 2 (2012), pp. 91-96.
Ijaduola, K.O., Odunaike, K.O., Ajayi, V.B. 2012. “The Interplay between Politics and Education in Nigeria: Any Symbiotic Relationship?’. Journal of Education and Practice, Vol 3, No.9, pp. 124-129.
Maryanto, Khoiriyah, N., Saputro, S.P. 2017. “The Law Politics in Indonesia’s Pancasila and Citizenship Education Curriculum Revitalization of 2013”. Asian Social Science; Vol. 13, No. 9; pp. 167-173.
Miles, B.M & Huberman, A.M. 2008. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Nir, A.E. dan Kafle, B.S. 2011. “The effect of political stability on public education quality”. International Journal of Educational Management, Vol. 27 No. 2, 2013, pp. 110-126.
Nkyabonaki, J. 2013. “The space of politics in Tanzania`s Curriculum”. Scholarly Journal of Scientific Research and Essay (SJSRE), Vol. 2(7), pp. 109-117.
Sparapani, E.F. dan Perez, D.M.C. 2015. “A Perspective on the Standardized Curriculum and Its Effect on Teaching and Learning”. Journal of Education & Social Policy, Vol. 2, No. 5, pp. 78-87.
Sukasni, A. dan Efendy, H. 2017. “The Problematic of Education System in Indonesia and Reform Agenda”. International Journal of Education, Vol. 9, No. 3, pp. 183-199.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Wales, J., Magee, A., Nicolai, S. 2016. “How does political context shape education reforms and their success?”. Development Progress Dimension Paper, Vol. 06, August 2016.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakanhttps://www.kajianpendidikan.com/2013/03/kebijakan-pendidikan-pengertian-kebijakan- pendidikan.html
Dewi Salma Prawiradilaga, D. A. (2013). Mozaik Teknologi Pendidikan e-learning. Jakarta:Prenadamedia Group.
Chan, Sam M & Tuti T.Sam. (2005). Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta :Rajawali Pers.
H.A.R. Tilaar. (2003). Kekuasaan dan Pendidikan. Magelang : Indonesia
Tera Sodikin, Herdik "Politik Serta Kebijakan dalam Pendidikan"
https://ilmucerdaspendidikan.wordpress.com/2011/03/25/130/
Imron, Ali .2008. Kebijakan Pendidikan Di Indonesia: Proses, Produk, Dan Masa Depannya. Jakarta: Bumi Aksara,
Syafaruddin, 2008. Efektivitas Kebijakan Pendidikan: Konsep, Strategi, Dan Aplikasi Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif. Jakarta: Rineka Cipta,
Rohman, Arif .2012. Kebijakan Pendidikan: Analisis Dinamika Formulasi dan Implementasi.Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
https://id.wikipedia.org/wiki/Isu
http://pattyjamil.blogspot.co.id/2016/02/problematika-sistem-pendidikan-dan-isu.html