-->

ads

Menebar Keselamatan dan Kebahagiaan; Belajar dari Khutbah Terakhir Rasulullah SAW

Selasa, 31 Agustus 2021


 

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ لاَ إِلَهَ اِلاَّ الله اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ.

 

اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي جَعَلَ هَذَا الْيَوْمَ عِيْدًا لِلْمُسْلِمِيْنَ وَرَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِيْنَ. نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِا للهِ مِنَ شُرُوْرِ أَنْفُسِناَ وَمِنْ سَيِّأَتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَّهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُّضْلِلْ فَلاَ هاَدِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَّ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ أَشْرَفِ الْأَنْبِياَءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ صَادِقِ الوَعْدِ الأَمِيْنِ وَعَلىَ أَلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنَ أَماَّ بَعْدُ :

مَعَاشِرَ المسْلِمِيْنَ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ كَماَ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِى كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ : إِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقاَتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ, فَتَزَوَّدُوْا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَقاَلَ أَيْضًا : إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقاَكُم


Allahu Akbar3x
Hadirin Rahimakumullah,

Hari ini kita beridul adha, untuk kembali menegaskan bahwa kita adalah ummat yang satu. Ummat yang diikat dengan akidah yang sama, yaitu akidah Islam, persaudaraan kita juga 'laksana saudara sekandung' karena kita diikat dengan iman yang sama. Itulah kenapa Kata Prof. Quraish Shihab dalam al-Quran disebut dengan innama al-mukminuna ikhwatun. Ikhwah bermakna saudara sekandung. Duka ummat Islam dimanapun adalah duka kita, bahagianya mereka juga bahagianya kita.


Dalam konteks demikian, agaknya kita menemukan momentum yang tepat untuk kembali mendekatkan diri kepada Allah, dengan berakidah yang benar dan merealisasikan akidah itu dalam  bentuk 'pengorbanan' apapun yang  kita miliki kepada saudara-saudara kita yang membutuhkan —dengan tanpa melihat  paham dan golongan mereka. Inilah yang diperlihatkan oleh panutan kita, rasulullah saw yang tidak hanya menyampaikan risalah, tetapi juga menerapkannya dalam kehidupan keseharian dan ini pula yang dipragmentasikan oleh khalilullah,  nabi Ibrahim as yang konsisten untuk mencintai Allah dan segala perintahnya di atas segalanya— termasuk kebahagiaannya bersama keluarga—yang bersifat  semu dan sementara.


Hadirin Rahimakumullah,

Sekali setiap tahun, jauh disuatu tempat dipadang pasir Arabia, sekelompok ummat Islam berdesak-desak melempar jumrah di Mina. Jutaan manusia dengan pakaian yang sudah lusuh, dengan rambut yang penuh debu, dengan keringat  yang membasahi tubuh, berkumpul di sebuah tempat yang kecil.. Iring-iringan manusia bergerak sejak jumratul ula, Jumratul wustha, sampai jumratul Aqobah. Kelihatan jutaan tangan terangkat dan batu-batu  kecil menghambur, sementara angkasa mina bergemuruh dengan suara takbir. Dalam lautan manusia yang begitu dahsyat, tangan-tangan pelempar tampak begitu kecil, tetapi dalam gerakan serentak, tangan-tangan kecil ini membentuk konfigurasi kekuatan raksasa yang menakjubkan, dalam bahasa Jalaluddin Rakhmat disebutnya sebagai suatu kesatuan ummah yang berpadu dalam akidah dan ibadah.


Tidak jauh dari  Mina, terletak Arafah, suatu padang pasir yang membentang lengang sepi dan tanpa warna, selain bukit-bukit batu yang muncul di sana-sini, Pada 9 Dzulhijjah, ketika mereka berkumpul disana, Arafah dipenuhi kemah yang beraneka  ragam.  Hampir  dua juta manusia  datang   kesitu.  Pagi-pagi  mereka berkeliaran; sebagian mendaki  Jabal Rahmah  mengenang perilaku Nabi Muhammad SAW.,  sedangkan sebagian lain berjalan-jalan sekedar menyaksikan pesona konferensi umat manusia seluruh dunia. Tetapi, ketika matahari mulai tergelincir, azan duhur  mulai dikumandangkan, seluruh manusia menghentikan semua kegiatanya selain tahmid, tahlil dan takbir. Mulut-mulut yang semula bicara dengan berbagai bahasa, sekarang bergema dengan ucapan yang sama.

Pada saat itulah menurut Rasulullah SAW., Allah SWT turun ke langit dunia membanggakan jamaah haji di hadapan para malaikatNya.


"Hamba-hamba-Ku    datang pada-Ku  dengan  rambut kusut dan penuh  debu dari sudut-sudut   negeri  yang jauh,   tiba  disini  mengharapkan    surga-Ku.   Sekiranya dosamu  sebanyak  bilangan pasir,    atau sejumlah butiran  hujan, dan gelembung lautan, Aku akan mengampuninya. Berangkatlah hai hamba-Ku dengan ampunanKu atasmu.''


Inilah wuquf di Arafah, inilah inagurasi jamaah haji, inilah saat yang mendebarkan dalam seluruh perjalanan mereka yang suci. Tidak  jarang, di sela-sela suara talbiyah, terdengar isakan tangis anak manusia yang menyadari dosa-dosanya yang lalu. Begitu sucinya peristiwa ini, sehingga kalau ada orang yang meninggal  di Arafah, kelak di hari akhir, ujar Rasulullah SAW. "Dia akan dibangkitkan dengan pakaian hajinya; dia  akan bangun seraya mengucapkan: labbaik, allahumma labbaik agar dikiranya ia berada di Arafah."


Suara talbiyah sudah bergema sejak tanggal 8   Dzulhijjjah, ketika rombongan jamaah haji meninggalkan Makkah menuju Arafah. Saat itu para penumpang  bis, pemakai taksi, atau pejalan  kaki sepanjang jalan tidak henti-hentinya berdzikir: labbaik;  allahumma  labbaik. labbaikla  syarika  laka, labbaik.  Innal-hamda wanni'mata lakawal-mulk, lasyarikalaka. (kami datang memenuhi panggilanMu, kami dating memenuhi panggilan-Mu; ya Allah kami datang memenuhi panggilan Mu. Tidak ada sekutu bagiMu; sesungguhnya segala pujian, karunia dan kekuasaan semua kepunyaan-Mu).



Hadirin Rahimakumullah,

Jamaah haji dari bermacam-macam  bangsa dan bahasa sekarang berzikir dengan bahasa yang sama. Pakaian mereka pakaian ihram yang  sama. Laki-laki semua memakai pakaian yang putih, tidak berjahit dan membuka setengah dada. Tidak ada beda raja dengan hamba sahaya,  pembesar dengan rakyat jelata, sarjana dengan orang biasa. Semua gelar kebanggaan yang sering digunakan untuk merendahkan orang sekarang ditinggalkan; segala pakaian, kekayaan  yang  sering ditampakan untuk melukai , sekarang dilepaskan, seluruh pangkat kebesaran yang sering ditonjolkan untuk menakut-nakuti orang, kini dilemparkan. Semua sama di hadapan Allah Rabbul'Alamin, semua kecil didepan penguasa alam semesta.


Inilah puncak dari seluruh perjalanan haji. "Al-Hajju  'Arafah"     sabda Nabi saw. Haji itu Arafah.   Jutaan  manusia dari berbagai bangsa, minkullifajjin 'amiq,  dari seluruh pelosok dunia, berbaiat suci dihadapan hadirat Ilahi. Seribu empat ratusan tahun  yang lalu, jumlah manusia yang berkumpul di situ hanya sekitar 140ribu orang saja.


Tapi  diantara  mereka ada seorang manusia yang merupakan penghulu dari seluruh  umat manusia, bahkan penghulu dari seluruh ciptaan Tuhan. Manusia paling mulia itu menambatkan ontanya, Al-Qashwa, di bukit Namirah.


Mengutip tulisan Prof. Jalaluddin Rakhmat, ketika matahari sudah tergelincir, di tengah hari, dalam panas terik yang membakar, manusia suci itu menuruni lembah Arafah. Al-Qashwa menjulurkan lehernya dan mendongakkan kepalanya menunjukkan kebahagiaannya karena di punggungnya ada manusia besar yang diciptakan hanya untuk menyebarkan kasih sayang di seluruh alam semesta. Ratusan ribu manusia menyaksikan dengan seksama langkah-langkah kaki onta yang bergerak  dengan anggun, menyibakkan kerumunan  manusia yang menyemut.  Dipusat lembah itu, ia berdiri seperti sebuah gemintang   di tengah-tengah     galaksi.  Ratusan  ribu manusia tidak henti-hentinya memandang  wajah Nabi saw yang penuh kasih.


"Ayyuhan Naas." terdengar Rasulullah saw berkata, dengan suara yang lembut tapi terdengar jelas. Beberapa orang sahabat ditempat-tempat yang berbeda mengulang kembali  sabdanya, bersahut-sahutan, menggemakan suara lembut itu keseluruh Arafah. "Isma'u qawli. Fa inni la adri la'alli alqaakum ba'da' aami haadzaa bi hadza mawqif abadan. " (Dengarkan baik-baik pembicaraanku. Karena sungguh aku tidak tahu apakah aku bisa berjumpa lagi dengan kalian setelah tahun ini di tempat ini untuk selama-lamanya).


Kemudian ia berhenti sejenak, menarik nafas panjang, dengan butir-butir air mata yang menggenangi pelupuk matanya. Ia memandangi para pengikutnya, sekali lagi dengan tatapan penuh kasih.


Ayyuhan Naas, ayyu yawmin hadza? Tahukah kalian hari  apakah ini? Yawmun haram.    Hari    yang    suci     (Gemuruh    suara    ratusan    ribu     manusia) Ayyu baladin   hadza? Negeri apakah ini? Baladun  haram! Negeri yang suci.  Ayyu syahrin hadza? Bulan apakah ini? Syahrun haram. Bulan yang suci. 


Fa inna dima-akum wa amwalakum  wa a'radhakum  'alaikum haram kahurmati yawmikum   hadza fi baladikum   hadza fi  syahrikum   hadza.  Ketahuilah, sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian sama sucinya dengan sucinya hari ini, negeri ini dan bulan ini. Tidak boleh darah manusia ditumpahkan; tidak  boleh  hartanya  dihancurkan;  tidak  boleh  kehormatannya  dijatuhkan.


Fa a'adaha  miraran. Rasulullah saw mengulang berkali-kali sabdanya.

Kemudian  ia memandang lagi para sahabatnya. Tahukah kamu siapa yang disebut Muslim? Al-Muslimu man saliman Nasu min lisanihi wayadih. Seorang Islam ialah orang yang seluruh manusia tidak pernah diganggu dengan lidah dan tangannya, kata Nabi yang mulia. 


Lalu Nabi bertanya lagi, “Tahukah kamu siapa yang disebut mukmin?” Al-Mu 'minu man aminan Nasu fi amwalihim wa anfusihim.   Seorang mukmin ialah orang yang mendatangkan rasa aman pada orang lain dalam  hartanya dan  dalam (kehormatan dan  kehidupan) dirinya.


Kemudian manusia yang paling santun ini mengangkat kepalanya. Allahumma hal balaghtu!   Ya Allah, apakah aku sudah menyampaikan risalahMu?   Ia menghadapkan  lagi wajahnya kepada ratusan  ribu para pendengarnya:  Hal balaghtu! Apakah   aku sudah menyampaikan  risalah Tuhanku! Balaghta ya Rasulallah! Engkau sudah menyampaikannya, Wahai Utusan  Allah! Fal yuballighisy syahidul ghaib. Hendaknya    yang   hadir   sekarang    ini menyampaikannya kepada yang tidak hadir.


Dengarkan apa kalimat terakhir dari wasiatnya yang terakhir: La tarji'u ba'di kuffaran yadhribu ba'dhukum riqaba ba'dhin.   Janganlah  kamu kembali kafir, yakni kamu saling memerangi diantara kamu!


Menurut Rasulullah saw, kita disebut kafir kalau kita memerangi sesama kita, kalau kita saling memukul  kuduk-kuduk kita. Kalau kita saling mengkafirkan hanya karena beda interpretasi. Memutlakan pandangan dan interpretasi sendiri masuk kategori musyrik menurut Prof. Nurchalish Madjid, karena sudah mensejajarkan diri dengan Tuhan, karena yang mutlak/absolut kebenarannya hanya Tuhan. Dahulu, Rasulullah saw mendefinisikan orang yang tidak beriman sebagai orang  yang tidak mendatangkan kedamaian kepada  sesama manusia;   atau orang yang tidak peduli dengan penderitaan sesamanya,   yang   tidur   kenyang   sementara   tetangganya     kelaparan    di sampingnya; atau orang yang suka memaki, melaknat, berkata kasar, dan menusuk hati. Rasulullah saw mendefinisikan kekafiran dan ketidakberimanan   sebagai akhlak yan gburuk.


Bagi kita sekarang suara Sang Nabi saw terdengar asing dan aneh. Mungkin terlalu jauh jarak yang  memisahkan kita dengan dia. Mungkin rentangan zaman yang panjang telah membuat suaranya  terdengar sayup-sayup saja. Sekarang kita mendefinisikan kafir sebagai orang yang tidak seagama dengan kita, bahkan tidak sepaham  dengan kita, bahkan tidak satu golongan dengan kita.  Sehingga kalau orang itu kita anggap kafir, kita halalkan darahnya, kehormatannya, dan hartanya. Suara  Nabi saw adalah suara kasih sayang. Suara kita sekarang adalah suara kebencian!


Menurut Nabi saw, seorang Muslim tidak akan pernah menggunakan lidah dan tangannya untuk menyakiti siapa pun. Ia menamakan pengikutnya Muslim, yang artinya  selain  orang  yang   pasrah  kepada  Allah  SWT., juga orang  yang mendatangkan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan kepada orang-orang di sekitamya.  "Inginkah kamu menjadi orang-orang yang saling mencintai?  Ufsyus salam  baynakum. Sebarkan kebahagiaan, keselamatan diantara kalian.  Seorang Muslim, dalam makna nabawi, dalam definisi profetik,  adalah orang yang misi hidupnya adalah menebarkan kebahagiaan, keselamatan!


Bagi kita sekarang suara Sang Nabi saw terdengar asing dan aneh. Mungkin terlalu jauh jarak yang memisahkan kita dengan beliau. Mungkin rentangan zaman yang panjang telah membuat suaranya  terdengar sayup-sayup saja. Sekarang kita mendefinisikan Muslim sebagai orang yang satu agama dengan kita, bahkan yang sepaham dengan kita, bahkan  yang satu golongan   dengan kita.    


Sehingga keramahan kita, pertolongan kita,  penghormatan kita, perhatian kita hanya kita berikan kepada orang-orang yang segolongan dengan kita.   Muslim yang dahulu berarti orang yang menyebarkan kebahagiaan kepada semua orang, sekarang berarti orang yang menyebarkan kebahagiaan diantara orang yang segolongan dengan dia. Agama Rasulullah saw adalah agama yang inklusif. Agama kita adalah agama yang eksklusif. Islamnya Rasulullah saw adalah Islam yang "rahmatanlil 'alamin", kasih saying untuk seluruh umat manusia. Islam kita adalah Islam yang"rahmatan lil muslimin" saja, bahkan"rahmatan lith-thai-ifiyyin" (kasih sayang untuk kelompok kita saja, golongan kita, paham kita, partai kita).


Ajaran inilah yang disampaikan Rasulullah  SAW., ketika pertama kali dating di kota Madinah sebagai mana dituturkan oleh Abdullah bin Salam;


Afsyussalam  wa ath 'imuththa'am wa athibulkalam wa shilul arham wa shalluu billaili wannasu niyamin....   (sebarkan salam, keselamatan, kebahagiaan, berikan makan kepada yang lapar, lembutkan perkataan, sambung silaturrahim, shalat malam disaat yang lain tidur) kata Nabi lebih lanjut ya dhulunaljannah bisalamin (maka akan masuk surga dengan penuh keselamatan, kebahagiaan).



Hadirin Rahimakumullah,

Inilah keselamatan, kebahagiaan yang  sesungguhnya, keselamatan dan kebahagiaan untuk  semua, bukan hanya untuk golongan. Kebahagiaan, keselamatan yang diajarkan oleh ajaran haji dengan menanggalkan apapun untuk meraih kebahagiaan dan keselamatan bersama  dan menuju Allah SWT.  


Ajaran ini yang disebut oleh Gus Dur dengan terma kosmopolitanisme; peradaban Islam yang muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas  budaya dan heterogenitas politik—yang tidak hanya bicara persoalan hukum tetapi juga nilai-nilai humanitas secara universal—yang dalam bahasa Prof. Said Aqil Siradj inilah yang dimaksud dengan Islam yang rahmatan lil-‘alamin. Agak ekstrern memang, ketika beliau mengatakan, di tengah kemajemukan, multikultur, etnis dan agama, justru persaudaraan kebangsaan lebih penting didahulukan daripada persudaraan sesama kaum muslimin. 


Barakallahu lii walakum fil quranil   ‘adhim, wana fa’ani  waiyyaakum bimaa  fiihi minal aayaati wa dzikril  hakim wataqabbala minnii wa minkum tilawatuhu,  innahu huwal ghafururrahim 

0 comments: