-->

ads

Empathic Society Megashift Pasca Covid-19

Kamis, 02 September 2021

Dr. Pendi Susanto, M.Pd (Gambar FB)


Dr. Pendi Susanto, M.Pd. *)


New Normal (Kenormalan Baru) : Prediksi Perubahan Perilaku Manusia Pasca Covid-19


Setiap masayakat manusia pasti akan mengalami suatu perubahan. Perubahan sosial di dalam masyarakat mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap, pola perilakunya sehingga perubahan-perubahan mana kemudian mempengaruhi segi-segi struktur masyarakat lainnya. Perubahan sosial mempunyai tujuan, diantaranya perubahan yang tidak dikehendaki atau direncanakan. Seperti yang sekarang, seluruh dunia ditakutkan dengan pandemic Covid-19.  


Pandemik Covid-19 telah memaksa perubahan yang harusnya berlangsung dalam 5 tahun menjadi hanya dalam waktu 2-3 bulan.  Itu sebabnya kita harus struggling menjalaninya. Awalnya sama sekali tidak bisa berenang, kemudian diceburkan, dan karena tak boleh tenggelam, maka mati-matian berusaha, dan akhirnya lulus bisa berenang.  Tentu saja awalnya sarat dengan penolakan (denial) yang kemudian diikuti dengan resistensi (resistence). Tapi karena dipaksa akhirnya mencoba, bereksperimen, dan bereksplorasi (exploration). Dan akhirnya terbentuk komitmen (commitment) untuk melakukan perubahan perilaku dan membentuk kebiasaan baru.


Proses denial-resistence-exploration-commitment tersebut dimanfaatkan dari 5 tahun menjadi hanya 2-3 bulan. Bagaimana bisa? Karena kita “dipaksa berenang” sehingga kebiasaan-kebiasaan baru muncul dalam ukuran beberapa minggu atau bulan, bukan bertahun-tahun.


Terdapat prediksi mengenai perubahan perilaku manusia selama dan pasca Covid-19 menuju New Normal (Kenormalan Baru), yakni :  Pertama, Stay at home style, gaya hidup baru, tinggal di rumah dengan aktivitas, working, living, playing, karena adanya social distancing; kedua, Bottom of Pyramida, mengacu pada piramida Maslow konsumen kini bergeser kebutuhannya dari “puncak piramida”  yaitu aktualisasi diri dari esteem ke “dasar piramida”, yaitu makan, kesehatan dan keamanan jiwa raga; ketiga, Go Virtual, dengan adanya covid 19 konsumen menghindari kontak fisik, mereka beralih menggunakan media virtual/digital; dan keempat adalah Emphatic society, banyak korban nyawa akibat  covid 19 melahirkan masyarakat baru yang penuh dengan empati, welas asih dan sarat dengan solidaritas sosial.


Emphatic Society : Masyarakat Baru yang Welas Asih dan Sarat Solidaritas Sosial


Empati dipahami sebagai suatu kemampuan untuk memahami kebutuhan orang lain, yang artinya mengerti dengan benar perasaan dan pikiran orang lain. Berkaitan dengan memahami kebutuhan, perasaan dan pikiran orang lain, ini tidak berarti kita setuju dengan mereka, namun kita menunjukkan kemauan untuk menghargai dan memahaminya. Empati akan mampu mempromosikan perilaku prososial maupun perilaku menolong orang lain. Empati adalah saat kita  menempatkan diri pada posisi orang tersebut dan berbagi kesedihan bersama. Empati adalah kemampuan untuk melihat situasi dari perspektif orang lain. Ini melibatkan sudut pandang, emosi, dan kesulitan yang dialami seseorang. Anda menempatkan diri pada posisi mereka dan merasakan apa yang mereka rasakan.


Menghadapi pandemik Covid-19, kita seyogyanya menumbuhkan sikap empati  dan terus meningkatkan kepedulian satu sama lain serta saling bantu dalam mempertahankan hidup.  sebagai orang timur khususnya Indonesia yang dikenal salah satu karakternya adalah peduli sesama dari kalangan berada. Sikap membangun kepedulian sosial harusnya dapat kita aplikasikan dalam kondisi seperti ini.


Dalam empathic society terdapat tiga trend di masa depan pasca pandemic Covid-19, yakni : 

The Rise of Emphaty and Solidarity. Krisis Covid-19 merupakan bencana kemanusiaan paling dahsyat abad ini dengan korban nyawa manusia yang begitu besar. Umat mansuaia di seluruh dunia terketuk hatinya menyaksikan ratusan ribu korban meninggal dunia di seluruh dunia. Begitu banyak orang cemas, takut, mengalami kesulitan hidup. Hikmahnya Covid-19 telah menciptakan solidaritas dan kesetiakawanan sosial. Covid-19 melahirkan rasa senasib dan sepenanggungan yang melahirkan tujuan bersama (common goal) untuk melawannya, tak heran jika rasa empati dan kepedulian berbagai pihak terhadap nasib sesama tumbuh luas di tanah air dan di seluruh dunia.


Berbagai gerakan kepedulian dan aksi solidaritas dilakukan oleh banyak kalangan masyarakat secara genuine untuk mengurangi penderitaan orang-orang yang terdampak. Rasa simpati yang luar biasa diberikan kepada para tenaga kesehatan yang telah berjuang menyelamatkan  para korban dengan resiko nyawa. Covid-19 menciptakan masyarakat baru yang empatik, penuh cinta dan welas asih terhadap sesamanya, sesuatu yang langka sebelumnya.


From Drone Parenting to Positive Parenting. Orang tua di seluruh dunia pada saat ini sedang menghadapi tantangan parenting yang tidak sama dengan zaman modern sebelum Covid-19 merebak. Transisi seluruh anggota keluarga untuk stay at home telah mengacaukan jadwal dan rutinitas sehari-hari. Orang tua dihadapkan pada tanggung jawab untuk menjaga kesehatan anak, membuat anak tetap sibuk selagi mereka bekerja serta menghindari masalah disiplin reaktif. Ditambah dengan tekanan ekonomi dan sosial yang menjadikan rumah tangga lebih stressful dari sebelumnya.


Psikolog menyarankan pola pengasuhan yang efektif di situasi pandemic ini adalah positive parenting. Pola asuh di mana orang tua secara proaktif menjelaskan perilaku yang baik dan menjak anak-anak untuk bersama memahami situasi sulit ini. Pola pengasuhan ini berbeda dengan drone parenting ala melineal yang membebaskan anak untuk mengekplorasi banyak hal sementara orang tua memantau dari jauh. Bisa dikatakan positive parenting adalah komnbinasi antara drone dan helikopter parenting dimana orang tua memantau anak dari dekat namun tidak mengekang. 


Pandemik Covid-19 tidak hanya merevolusi perilaku manusia pada umumnya tapi juga perilaku rumah tangga termasuk di dalamnya pola asuh yang akan membentuk karakter resillence dalam diri anak.


More Religious. Situasi panik dan khawatir memerlukan katarsis. Agama adalah salah satu medium yang dapat dijadikan sandaran bagi setiap individu untuk  mengeliminasi rasa kepanikan dan kehawatiran yang berlebihan. Pun di tengan krisis Covid-19 agama menjadi tempat bersandar mencari ketenangan sekaligus harapan.


Sebagian besar masyarakat menganggap krisis ini adalah bencana yang atau hukuman yang diberikan Tuhan, bahkan dianggap sebagai tanda-tanda hari akhir akan tiba. Terlebih ketika terjadi pembatasan aktivitas ibadah di rumah-rumah ibadah seperti masjid atau gereja. Situasi ini membuat masyarakat menjadi semakin religious.


Fenomena ini juga terjadi secara global. Sebuah survey di Amerika Serikat  yang dilakukan oleh McLaughlin & Associates menunjukkan bahwa jutaan orang menjadi lebih religious atau memilih kembali ke jalan Tuhan di tengah pandemic covid-19. Hasilnya survey ini menunjukkan, 44% responden beranggapan krisis covid 19 yang terjadi dalam empat bulan terakhir ini adalah pertanda agar semua orang kembali kepada Tuhan dan tanda segera datangnya hari penghakiman atau hari akhir.


Masyarakat Indonesia adalah masyarakat religious, cobaan Covid-19 semakin mendekatkan mereka kepada Tuhan. Karena di tengah wabah ajal bisa setiap  saat datang, maka mereka memperbanyak amal-ibadah untuk bekal ke akherat.


*) Penulis Dosen Pasca Sarjana pada IAI Bunga Bangsa Cirebon


0 comments: