-->

ads

Pandemik Covid-19 : Tatanan Ideologi Kompetisi dan Pragmatisme Pendidikan

Kamis, 02 September 2021

Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (Gambar Ekslusif)


 Dr. H. Pendi Susanto, M.Pd. *)


Pandemi covid-19 telah membuat orang stres dan takut karenanya. Sudah empat bulan aktivitas pembelajaran juga terkena dampaknya,  sekolah diliburkan dan diganti dengan kegiatan belajar di rumah. Bagaimana mekanisme belajar di rumah? Apakah para orangtua peserta didik akan menggantikan peran guru? Atau guru akan ‘menyiksa’ peserta didik dengan menyiapkan berjibun pekerjaan rumah (PR) ? Tentu, ada beberapa sekolah elite yang menginstruksikan pembelajaran di rumah dengan sistem daring (e-learning). Lalu, bagaimana sekolah yang ada di pelosok desa dengan segala keterbatasannya? Misalnya, daerah tertinggal yang belum dijamah internet. 


Seorang teman yang juga berprofesi sebagai guru di pelosok desa, demi menyiasati keterbatasan akses, proses pembelajaran di rumah dilakukan dengan cara daring bagi siswa yang memiliki smartphone. Akan tetapi, persoalannya menjadi ironi karena tidak semua orangtua dan peserta didik memiliki smartphone yang sudah dilengkapi dengan sistem Android. Karena keterbatasan sarana belajar, yang bisa dilakukan para orangtua peserta didik, selain mengeluh, hanyalah menabur doa dengan harapan pandemi segera berakhir. 


Persoalan di atas secara kasatmata memperlihatkan ketimpangan dalam civitas pembelajaran. Itu menunjukkan persoalan fundamental, seperti ketidaksetaraan, ketimpangan, dan ketidakadilan dalam pendidikan selama ini kurang mendapat perhatian. Satu persoalan di atas bisa berakibat panjang bagi perkembangan peserta didik di kemudian hari. Itu dapat terjadi karena peserta didik tidak bisa menghindar dari predikat yang dilekatkannya secara personal; pintar dan bodoh. Sebagaimana labeling disematkan pada sekolah dalam bentuk dikotomis yang dangkal; sekolah favorit dan nonfavorit. Status quo itulah yang berlaku sekaligus ‘dipertahankan’ otoritas pendidikan di Indonesia. 


IDEOLOGI KOMPETISI 


Tak bisa dimungkiri ‘ideologi kompetisi’ yang diterapkan di pelbagai jenjang pendidikan mulai TK (Taman Kanak-kanak) sampai dengan Perguruan Tinggi menyebabkan eksploitasi terhadap peserta didik. Peraturan ‘rangking’ dan perburuan untuk mendapatkan ‘nilai A’ ialah praktik sekaligus wujud lain dari ‘ideologi kompetisi’ itu sendiri. Jika kita lihat sistem ‘ideologi kompetisi’ dari perspektif ‘pendidikan kritis’ (critical pedagogy), jelas akan tampak kesenjangan yang melebar disebabkan ketidaksetaraan dari partisipan peserta didik.


Tidak bisa dibayangkan, bagaimana mungkin sekolah dengan fasilitas seadanya dan murah (mayoritas dihuni kelas sosial bawah), harus bersaing satu sama lain dengan sekolah elite dan mahal (mayoritas dipenuhi anak dari kelas sosial menengah-atas). Bagaimana mungkin peserta didik yang tinggal dan bersekolah di pelosok desa dengan sarana dan prasarana terbatas, harus bersaing dengan peserta didik yang berada di lingkungan sekolah elite dan mahal (dalam persaingan akademik maupun sosial di kemudian hari). Argumentasinya begini, tentu tidak adil jika anak dari keluarga ekonomi menengah-atas yang sedari kecil mendapatkan pendidikan memadai, harus bersaing dengan anak dari keluarga ekonomi lemah yang tinggal dan bersekolah di pelosok desa maupun di daerah tertinggal.


Oleh sebab itu, menjadi wajar jika ada hipotesis yang mengatakan dengan sinis, bahwa sistem pendidikan secara sistematis didesain untuk para pemenang. Tentu, itu bagi mereka yang kuat secara pendidikan dan ekonomi (kapital). Dalam konteks sosiologis yang terjadi ialah munculnya hierarki sosial-ekonomi (kelas sosial) dalam bentuknya yang paling banal; antara yang mapan dan miskin. 


Inilah konsekuensi logis yang harus diterima dari ‘ideologi kompetisi’. Seperti sindiran yang dilontarkan ekonom Samuel Bowles dan Herbert Gintis (1976); pendidikan tidak dijadikan sebagai media bagi orang-orang miskin dan tidak pandai untuk bisa mentransendensi posisi kelas sosial mereka ketika dewasa. 


Senada dengan apa yang dikemukakan sosiolog pendidikan Henry Giroux (1983); tanpa kita sadari bahwa pendidikan dengan ideologi kompetisi tidak lain ialah bagian dari culture positivisme global (neoli¬beralism). Pengaruh kapitalisme dan budaya positivisme terhadap pendidikan sangat jelas; ilmu yang didiseminasikan kepada peserta didik adalah ilmu yang mengorientasikan mereka untuk beradaptasi dengan dunia masyarakat industri, dengan mengorbankan aspek critical subjectivity, yaitu kemampuan untuk melihat dunia secara kritis. 


PRAGMATISME 


Jika kita kaji persoalan sistem pendidikan di Indonesia, akan tampak jelas cita-cita pendidikan yang berangkat bukan dari kegelisahan idealisme dan rasionalitas komunikatif, melainkan budaya pragmatisme dan rasionalitas teknologis. Misalnya, belum lama ini Mendikbud, Nadiem Anwar Makarim membuat kebijakan Kampus Merdeka. Jika kita telaah isi dari kebijakan itu ialah hanya menyoal menyiapkan mahasiswa untuk siap kerja. 


Dalam budaya pragmatisme antara ‘kesadaran palsu’ masyarakat dan institusi pendidikan telah menemukan momentumnya, yakni sama-sama memahami pendidikan (ijazah) sebagai alat untuk mencari pekerjaan. Tentu, hal itu tidak lepas dari retorika pembangunan nasional yang digaungkan. Padahal, mencari pekerjaan atau mendapatkan pekerjaan layak hanyalah irisan dari bagian pendidikan, bukan inti utama tujuan pendidikan itu sendiri. Jadi, peserta didik bersekolah untuk memenuhi keingintahuan (curiosity) dalam memahami kehidupan dan melihat realitas persoalan di tengah masyarakat. 


Tentu, di samping sebagai upaya untuk melepaskan diri dari belenggu yang mengungkungnya. Itulah perspektif etis critical pedagogy yang memberikan penghargaan tinggi terhadap nilai kemanusiaan. Itulah tujuan utama pendidikan diselenggarakan; mencerdaskan kehidupan bangsa. 


Sementara itu, dalam kebijakan Kampus Merdeka secara terang benderang mempertegas ‘manuver’ pendidikan dengan menjungkirbalikkan academic values ke corporate values (dari nilai humanistis ke nilai materialistis). Pendidikan tidak lagi menjadi tungku perapian untuk menggodok nilai etis-humanistis, tetapi sebaliknya, sistem pendidikan kontemporer di Indonesia disesuaikan dengan kepentingan pasar.


Pada titik itulah teori kritis ala Habermas (teknis, praktis, dan emansipatoris) menjadi penting, sebagaimana dikutip M Agus Nuryatno (2011); jika budaya pragmatisme mendominasi pendidikan, pengetahuan teknis-praktislah yang akan didesiminasikan dalam proses pembelajaran. 


Jadi dapat disimpulkan, sistem pendidikan kontemporer di Indonesia alpa dari proses dialektika untuk menghasilkan apa yang disebut oleh Freire ‘konsientisasi’ (conscientization); critical awareness guna melihat secara kritis kontradiksi sosial di sekitarnya dan mampu mengubahnya. Filosofis dari pendidikan rasionalitas teknokratik hanya mengedarkan kepentingan pragmatisme; what is, tetapi abai terhadap persoalan idealis-utopis; what should. Ringkasnya, meminjam Giroux; pragmatis di kedepankan dan nilai etis dipinggirkan.


*) Dosen Program Pasca Sarjana IAI Bunga Bangsa Cirebon


0 comments: