-->

ads

Dukun dan Kyai; Perbedaan serta Perspektifnya Dimensi Agama

Selasa, 16 Agustus 2022


Oleh: Masduki Duryat*)

Praktik perdukunan dalam dunia supranatural sebenarnya sudah lama terjadi pada masyarakat kita. Masayarakat kita masih banyak yang terjebak pada persoalan mistis dan mempercayai “orang sakti”. Bahkan sengaja atau tidak dunia perdukunan ini juga dijadikan  ladang “basah” karena menjadi pundi-pundi uang dengan mudahnya mengalir dari pasien atau pejabat, pelaku dunia usaha yang berharap “doa” dan “keramat” dari sang dukun.


Pandangan Sosiolog kontemporer August Comte, bahwa ada tiga stadia pemikiran manusia; Primitif, Agama dan ilmu pengetahuan tidak berarti berurutan dan ketika menapaki tangga tertentu akan meninggalkan tangga yang lain. Tetapi ia terus berkelindan seperti lingkaran setan. 


Fakta, seperti yang sedang viral saat ini terbongkarnya praktik perdukunan “Gus” Samsudin Jadab oleh Pesulap Merah semakin menegaskan bahwa pada pandangan Pesulap Merah Samsudin Jadab telah menggunakan cara khusus dengan sulap dan trik-trik licik untuk mengelabui dan membodohi masyarakat. 


Bahkan embel-embel “Gus” di depan Namanya juga menjadi debatable. Karena pada terma kalangan NU “Gus” identik dengan orang yang paham  atau memiliki wawasan keislaman yang luas, atau anak keturunan seorang kyai. 


Dukun atau Kyai?

Melekatnya nama “Gus” pada nama Samsudin Jadab dinilai oleh Tokoh NU, KH. Ahmad Fahrur Rozi terasa bias dan cenderung menyesatkan karenanya harus selektif, jangan dukun di-kyai-kan dan jangan kyai-kan dukun. Pada pandangannya juga karomah itu tidak diobral. Walau pada pandangan Samsudin, sapaan “Gus” diakuinya tidak ada korelasinya dengan keluarga kyai atau wawasan tentang keilmuan agama yang dimilikinya. Samsudin mengakui sapaan “Gus” ia peroleh berasal dari sebutan orang Jawa. Menurutnya pada terma Jawa Gus bermakna anak laki-laki, cah bagus berarti anak baik. Jadi tidak ada yang salah, apalagi yang mengundang “Gus” juga orang lain bukan kehendaknya.


Tentang terma dukun dan kyai ini menarik untuk dibahas karena seringkali menurut Ustadz Khalid Basalamah seiring berjalannya waktu banyak dukun yang berpenampilan sebagai ustadz atau kyai tapi sebaliknya juga ada seorang yang bergelar pemimpin agama, memakai kopiah haji, ada di tempat ibadah, membuka rumah yatim, ternyata orang tersebut dukun. Menurut Ustadz Khalid, jika orang yang berpenampilan jelas seperti dukun, kemungkinan masih bisa diingatkan. 


Pada pandangan Ustadz Khalid, secara sederhana untuk membedakan dukun atau kyai. Ketika kita memiliki masalah datang kepada kyai atau ustadz yang benar, ia akan mengatakan bertaubatlah kepada Allah. Tidak akan meminta persyaratan seperti foto, ayam disembelih, atau lainnya karena hal itu tidak ada dalam ajaran agama. Tapi kalau sudah meminta persyaratan misalnya harus malam jumat kliwon, atau segala macamnya patut diduga bukan kyai atau ustadz.


Dukun (Kahin, dalam bahasa Arab) adalah orang yang mengabarkan perkara ghaib yang terjadi di masa depan dengan bersandarkan pada pertolongan setan (jin). Dukun atau tukang sihir memiliki kesamaan karena keduanya sama-sama meminta bantuan Jin untuk mencapai tujuannya. 


Ada pula terma ‘Arraf (orang pintar), yakno orang yang memberitakan tentang berbagai peristiwa, misalnya mengenai barang curian, siapa yang mencurinya, di mana letaknya—melalui cara-cara tertentu yang tidak masuk akal—sebagian ulama memasukkannnya pada kategori kahin/dukun dan munajjim/ahli astrologi masuk kategori ‘Arraf. Wilayah ‘Arraf lebih luas ketimbang kahin. Tetapi ada juga yang mengkategorikannya ‘arraf sama dengan kahin. Walau ada juga yang berpendapat ‘arraf adalah orang yang memberitakan persoalan-persoalan yang tersembunyi dalam hati (Lihat Fath al-Majid: 285-286).


Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa ‘arraf itu umum; mencakup dukun, ahli nujum, dan semacamnya yang mengaku mengetahui perkara-perkara ghaib—masa lalu atau masa depan—melalui media perbintangan, membuat garis di atas tanah, melihat air dalam mangkok, membaca telapak tangan, melihat rasi bintang/horoskop dan sebagainya. 


Hakikatnya semua bermuara pada satu titik kesamaan; meramal, mengaku mengetahu perkara ghaib yang akan datang terkait nasib seseorang, peristiwa, beruntung atau nahas, atau sejenisnya. Bedanya hanya pada media yang digunakan untuk meramal.


Sebutan kyai pada Kamus Bahasa Indonesia (JS. Badudu), adalah sebutan terhadap seseorang yang dipandang dan diakui sebagai ulama dalam Islam. Para ulama yang sebenarnya merupakan orang yang bertaqwa. Taqwa ini merupakan implmentasi dari buah keimanannya kepada Allah. 


Lalu bagaimana dengan orang-orang yang mengklaim sebagai ulama tetapi melakukan perbuatan syirik dengan mengaku mengetahu perkara ghaib dan mendemonstrasikan sihir? Hendaknya orang-orang yang masih memiliki akal sehat tidak terpedaya dengan berbagai atribut agama yang melekat padanya. 


Kriteria Dukun Berbalut Kyai atau Ustadz? 

Agar kita tidak tertipu—baik secara materi ataupun tergadainya iman—ada beberapa kriteria kategori dukun:

Pertama, seorang dukun akan selalu memperlihatkan kemampuan atau kehebatannya; Kedua, Seorang dukun umumnya langsung mengetahui nama dan masalah pasien sebelum memperkenalkan diri; Ketiga, menggunakan media, misalnya hewan atau telur dan mengaku ustadz atau kyai; Keempat, Sang dukun biasanya meminta syarat yang aneh dan tidak lazim; Kelima, Dukun akan memberikan jimat sebagai obatnya; Keenam, melakukan proses pengobatan secara berdua-duaan dengan pasien yang bukan muhrim.


Ketujuh, Ketika mengalami kegagalan, sang dukun akan berlindung di balik kalimah “hanya Allah yang menolong”. Kedelapan, biasnya mereka akan menggunakan pakaian khusus sebagai pakaian yang mendatangkan kesaktian; dan Kesembilan, ujung-ujungnya duit. 


Lebih spesifik perbedaan dukun dukun dengan kayai atau ustadz, supaya kita tidak salah melangkah yang akan berimplikasi pada kerugian dunia akhirat. Perbedaan itu adalah: Pertama, dalam hal jenis ilmu. Dukun menggunakan ilmu hitam/sihir/azimat/ilmu metafisika. Kyai menggunakan ilmu agama; Kedua, dalam hal media. Dukun menggunakan kekuatan dan aji kesaktian, tenaga dalam sedangkan kyai menggunakan ketaatan kepada Allah; Ketiga, dalam hal cara perolehan; Dukun ngelmu yang bertentangan dengan syariat agama—bertapa, puasa pati geni, merapal hizib, Latihan tenaga dalam dan lainnya—untuk mendapatkannya. Sedangkan kyai belajar ilmu agama dan membentuk kesalihan diri.


Keempat, dalam hal sumber ilmu. Dukun berlindung pada setan/iblis/khodam jin, sedangkan ustadz bersandar pada al-Quran dan Hadist dengan pemahaman para salafush shalih; Kelima, dalam hal pasien diarahkan. Dukun mengarahkan agar setia dan taat kepada dirinya dan jauh dari Allah sedangkan kyai mengarahkan paisennya untuk taat hanya kepada Allah SWT. Keenam, dalam hal motivasi menolong. Dukun hanya untuk mencari keuntungan materi dan kepuasan sedangkan kyai sebagai ladang ibadah. 


Ketujuh, dalam hal bentuk komunikasi. Dukun memfragmentasikan kesaktian dan meramal-ramal. Sedangkan kyai bersikap tawadhu, memberikan nasihat dan bimbingan agama, menghindari praktik ramal-meramal; Kedelapan, dalam hal sifat pelayanan. Dukun tidak berusaha untuk memperbaiki pasien, tetapi boleh jadi menyuruhnya untuk balas dendam, memberikan azimat, tidak memberikan nasihat kebaikan. Sedangkan kyai memberikan bimbingan untuk lebih taat beribadah, memperbaiki akhlaq, dan meningkatkan kualitas diri.


Kesembilan, dalam hal yang disambat atau dituju. Dukun yang disambat makhluk-makhluk halus, khodam jin, arwah-arwah karuhun yang sewaktu hidup dikenal sakti. Sedangkan kyai hanya bermunajat kepada Allah SWT. Kesepuluh, dalam hal yang dianjurkan. Dukun menganjurkan hal yang bertentangan dengan ajaran agama, sedangkan kyai sesuai dengan ajaran agama. Kesebelas, dalam hal dampak bagi yang sering dekat. Dukun, kagum, hormat dan ketagihan terus bertanya agar meramal yang akan terjadi dan melayani keinginan dirinya. Sedangkan kyai kesadaran agama dan keshalihannya meningkat. 


Peristiwa Ghaib hanya Allah yang Tahu

Dengan mengutip QS. Luqman: 34 ada hak prerogratif Allah yang tidak bisa diintervensi oleh manusia dan hanya Allah SWT., yang mengetahuinya; “Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang hari kiamat, dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam Rahim. Dan tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakan besok”. 


Dengan demikian tidak ada kewenangan manusia—apalagi dengan menggunakan media yang tidak dianjurkan oleh agama—untuk bisa meramal dan menentukan nasib baik dan nahas seseorang. Apalagi apa yang akan terjadi esok pada diri seseorang. 


Ketika Nabi menyampaikan untuk menanggulangi kejahatan setan dan jin pun dengan membaca ayat Kursi. Rasulullah menyatakan kebenaran ayat Kursi sebagai wasilah untuk mendapatkan perlindungan dari Allah SWT. Ayat Kursi bukan sebagai jimat namun sebagai doa dan wasilah  untuk mendapat pertolongan dari Allah SWT. 


Wallahu a’lam bi al-Shawab


*)Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Tinggal di Wirapanjunan Kandanghaur Indramayu

0 comments: