Haruskah Ada Rivalitas PMII Versus HMI; Perebutan Kursi Ketua Umum PBNU
PMII vs HMI (Gambar Kompasiana.com) |
Oleh: Masduki Duryat
Kritik tajam disampaikan oleh Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin, MA., Ketua Umum PP. Pergunu terkait dengan makin tersingkirnya kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dari top figur PBNU, sebaliknya justru kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang mulai dominan. Bahkan Prof. Asep sampai mengatakan, “untuk apa mendirikan PMII, jika ketua umum PBNU kader HMI”.
Sehingga KH. Imam Jazuli juga sampai pada kesimpulan dengan tanpa menafi’kan peran organisasi mahasiswa keislaman lainnya menggarisbawai, satu-satunya anak ideologis NU di lingkungan mahasiswa adalah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Tidak ada organisasi kemahasiswaan yang sanad keilmuan, intelektualitas dan spiritualitas yang lahir dari kalangan NU selain PMII. Walaupun pada realitasnya ada warga NU yang aktif di organisasi lain seperti di HMI dan lainnya. Tetapi secara ideologis, PMII lah yang mewarisi ideologi NU, bukan HMI atau lainnya.
Tentu pandangan-pandangan ini konteksnya untuk membangkitkan kembali ghirah dan kiprah keilmuan, intelektualitas dan modalitas kepemimpinan kader PMII untuk terus menunjukkan jati dirinya dalam berkontestasi di internal NU maupun level kepemimpinan nasional.
PMII dan Keprihatinan
Diskursus mengenai sosok yang layak dan memiliki kapabilitas untuk memimpin PBNU menjadi sangat dinamis, setelah mantan Ketua PB PMII Hery Haryanto Azumi menyampaikan pernyataan bahwa kader PMII harus siap menjadi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU dan bahkan Presiden Indonesia.
Pada pandangan Hery Haryanto Azumi PMII secara kelembagaan, merupakan satu-satunya organisasi yang memiliki kaitan langsung secara keilmuan dengan NU.
Dalam AD/ART PMII disebutkan bahwa keislaman adalah nilai-nilai Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah An-Nahdliyah.
Sehingga menurut KH. Imam Jazuli—seperti dijelaskan di atas—hal penting yang patut digarisbawahi, satu-satunya anak ideologis NU di lingkungan mahasiswa adalah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Tidak ada organisasi mahasiswa yang sanad keilmuan, intelektualitas dan spiritualitas yang lahir dari NU selain PMII. Walaupun pada kenyataannya ada warga Nahdliyyin yang aktif di organisasi lain seperti di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan lainnya. Tetapi, secara ideologis, PMII lah yang mewarisi ideologi NU, bukan HMI dan lainnya.
Usia PMII yang telah menginjak 61 tahun, sudah sangat matang untuk merekomendasikan kader terbaiknya memimpin PB NU. Mulai tingkatan regional hingga nasional, PMII memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang mapan untuk memimpin perahu besar NU.
Ada banyak tokoh-tokoh PMII yang bisa berkontestasi di level nasional dan teruji. Di bidang politik ada Abdul Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB/Mantan Ketua Umum PB PMII), Nusron Wahid (Politisi Partai Golkar/Mantan Ketua Umum PB PMII), Akhmad Muqowam (Politisi PPP), dan banyak lagi deretan kader PMII sebagai politisi.
Sedangkan di bidang intelektual keagaman ada Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A (Imam Besar Masjid Istiqlal), Dr. Ali Masykur Musa, M.Si, M.Hum. (Mantan Ketua PB PMII), KH. Marsudi Suyud (Ketua PBNU), Hery Haryanto Azumi (Mantan Ketua PB PMII) dan masih banyak kader PMII yang berpotensi.
Potensi kepemimpinan di tubuh PMII tentu harus dikonsolidasikan dengan baik dan komprehensif. Sehingga dapat menghasilkan sebuah kekuatan dalam perebutan kursi Ketua Umum Tanfidziyah PB NU melalui mukhtamar ke-34 mendatang.
Nama-nama besar mantan aktivis PMII tersebut ternyata tidak cukup menjadi ‘garansi’ untuk mampu berkontestasi di level top PBNU karena secara realitas juga ternyata banyak kader-kader HMI misalnya yang berlatar belakang NU—yang pada kalangan NU disebut NUMI—menjadi rivalitasnya sejak lama.
Sebut saja misalnya, pendiri PMII yang sekaligus juga ketua umum PMII pertama alamarhum Mahbub Junaedi adalah kader HMI bahkan Pengurus Besar HMI. Almarhum Hasyim Muzadi, Helmi Faisal Zaini, Anas Urbaningrum, almarhum Nurcholis Madjid juga dari keluarga besar NU Jombang. Sekarang ada Prof. Mahfudz MD, Saefullah Yusuf, dan bahkan yang santer terdengar kandidat kuat Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf yang nota-benenya kader HMI.
Bahkan dengan bangganya kader-kader HMI secara keilmuan di beberapa Perguruan Tinggi mampu mendominasi untuk menjadi rektor dan guru besar untuk mampu juga berkipral pada level nasional maupun internasional.
Sekarang ada nama Yahya Cholil Staquf yang digadang-gadang akan berkontestasi pada level top kepengurusan PBNU. Hal ini yang kemudian membuat KH. Asep Saefuddin sampai mengeluarkan pernyataan untuk apa mendirikan PMII, jika ketua umum PBNU dari kader HMI karena jika ini terjadi PMII bisa tidak diminati. Walaupun pada analisis Fathul H. Panatapraja sejatinya bukan persoalan rivalitas HMI-PMII yang harus dibesar-besarkan—apalagi dibentur-benturkan—melainkan kualitas kaderisasi yang harus terus ditonjolkan.
Momentum Mempersatukan, Bukan Membelah
Secara kuantitatif maupun kualitatif memang banyak kader NU yang mengalami kaderisasi di HMI. Banyak di antara mereka yang menonjol dan tertempa secara baik dari sisi kemampuan kepemimpinan maupun intelektual.
Sehingga sejatinya membenturkan HMI-PMII dan mendichotomikannya dalam kontestasi struktural NU merupakan pola pikir yang akan mengkerdilkan kebesaran NU dan menyeret NU dalam konflik rutin yang tak berujung. Pada saat yang sama membuat NU akan mengalami kerugian besar yakni dalam bahasa Fahrus Zaman Fadhly disebutnya gelombang brain drain NU; pelarian intelektual terbaiknya ke entitas-entitas lain.
Fadhly bahkan dengan logikanya dengan merangkul mantan aktivis HMI dan PMII ke rumah besar NU. NU akan menjadi kekuatan civil society yang makin solid, kuat dan semakin diperhitungkan.
Selain hal ini akan mencitrakan NU sebagai konsolidator ukhuwah islamiyah dan frendly terhadap semua kadernya yang ‘mencari ilmu dan pengalaman’ di banyak tempat—termasuk HMI—akan semakin memperkuat posisi NU. Sehingga dalam konteks ini harusnya NU berterimakasih kepada HMI karena kadernya banyak ditempa pada organisasi kemahasiswaan terbesar di Indonesia ini.
Sikap ‘penganaktirian’ akan menjadi ‘konflik bawaan’ yang kontraproduktif bagi masa depan NU dan bangsa. DNA kader HMI-PMII itu sama-sama NU, hanya karena beda lingkungan. Pertanyaannya, apakah hanya karena beda lingkungan pengasuhan mereka mengalami diskriminasi?
Sehingga merivalitaskan, bahkan membenturkan HMI-PMII merupakan sikap kontraproduktif, cenderung provokatif, dan memelihara rivalitas yang memecah-belah.
Penutup
Hemat saya dan tentu juga harapan kita semua, sikap terbaik dalam menyongsong momentum muktamar NU ke-34 harusnya disambut dengan hangat dan welcome kepada semua kader terbaik NU yang ‘berdiaspora’ di berbagai entitas gerakan mahasiswa itu pada pangkuan rumah besar NU. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan walau ‘DNA’ nya sama. Ini momentum untuk mempersatukan, semangat dan bravo HMI, hidup dan selalu juga berjuang PMII.
*)Penulis adalah praktisi pendidikan, tinggal di Kandanghaur Indramayu