-->

ads

BERSATU; UTOPISKAH? (Analisis Buku Muhammadiyah itu NU; Dokumen Fiqih yang Terlupakan)

Senin, 01 November 2021

 

Sumber Klikmu.co


Oleh: DR. H. Masduki Duryat, M. Pd.I*)


Buku ini sangat menarik untuk ditelaah, dipelajari dan—bila perlu merekunstruksi—pemahaman keagamaan ummat, sehingga idealisasi ummat yang bersatu menjadi sebuah keniscayaan. 


Walaupun penulisnya, Mochammad Ali Shodiqin ragu, galau—dalam bahasa Jawa disebut ewuh pakewuh—untuk membuka kembali dokumen Fiqih Muhammadiyah 1924. Dengan bahasa yang sangat indah ia mengilustrasikan "Dilema mendera antara dibuka atau tidak kotak misterius ini. Sedangkan malam gulita melarutkan angkara. Apakah kotak itu berisi matahari yang kita harapkan? Ataukah justru ular berbisa?" Lalu ia melanjutkan, "Kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 itu seolah membeku di peti es. Membaca kitab itu serasa dihujani jarum. Menulis ulang kitab itu serasa tertusuk sembilu. Di sana ada ranjau yang bisa menjebak hawa nafsu. Lalu apa pentingnya kitab itu ditulis, jika tidak untuk dibuka kepada orang lain? Apa untungnya menggelapkan dokumen sejarah bagi anak keturunan sendiri".


Reaksi jelas akan muncul—tulus atau tidak—dengan membuka kembali dokumen fiqih ini. Tetapi penulisnya meyakini bahwa orang Muhammadiyah dan NU tidaklah seperti yang kita bayangkan. Mereka bukanlah manusia yang berbedak debu tebal yang baru menamatkan proses evolusinya di rimba belantara yang mengumpat dengan bahasa Tarzan. 


Mereka adalah kaum beradab yang tidak perlu diperintah untuk mandi di hulu. Sebab, mereka bersih secara alami, seperti ikan di laut  yang lebih bersih daripada artis ibu kota. Mereka memahami al-Quran dan hadits dari dulu, sebab Islam telah memasuki wilayah Nusantara ribuan tahun lalu. 


Metamorfosa Muhammadiyah

Kitab fiqih Muhammadiyah 1924 yang dikarang dan diterbitkan oleh bagian Taman Pustaka Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1924, sesungguhnya bukan hanya warisan berharga bagi warga Muhammadiyah saja, melainkan juga warga NU. Isinya sama dengan kitab-kitab pesantren yang banyak diajarkan dalam dunia NU. Masalahnya hanya satu, bahwa tahun 1924 itu NU belum lahir.


NU lahir tahun 1926, dua tahun setelah kitab itu terbit dan hingga hari ini, isi ajaran fiqih yang ditulis dalam kitab itu masih terpelihara sebagai amalan orang NU. Amalan itu pula yang telah turun-temurun sejak ratusan hingga ribuan tahun lalu di perairan Nusantara ini—yaitu fiqih mazhab Syafii.


Dengan demikian, walaupun NU belum lahir, namun ulama-ulama pesantren yang kemudian mendirikan NU itu tiap harinya mengamalkan ajaran fiqih sebagaimana yang ada di dalam fiqih Muhammadiyah 1924 itu. Artinya, di masa awal berdirinya, Muhammadiyah itu adalah NU, fiqihnya menggunakan mazhab Syafii yang sama dengan orang NU. 


Kyai Dahlan mendapatkan ilmunya dari ulama-ulama yang sama dengan kyai-kyai NU menimba ilmu. Satu guru, satu ilmu bahkan satu keluarga. Kyai Dahlan Muhammadiyah dan Kyai Hasyim NU adalah sama-sama keturunan Sunan Giri. Kyai Dahlan dan warga Muhammadiyah ketika itu mengamalkan qunut, dan tarawih 20 rakaat. Mereka azan Jumat 2 kali dan takbiran 3 kali. Mereka shalat 'id di masjid--bukan di lapangan. 


Pertanyaannya, kapan Muhammadiyah berubah? dan kenapa berubah? jawabannya bertahap, bermetamorfosa. Pada tahun 1925, dua tahun sepeninggal Kyai Dahlan, Muhammadiyah dinilai telah berubah dengan mulai diterimanya paham Wahhabi yang anti amalan pesantren. 


Hal ini seiring dengan mengorbitnya Ibnu Saud di pusat Islam dunia—Makkah dan Madinah—yang hendak mendirikan kekhalifahan Wahhabi. Hal ini memancing reaksi kalangan pesantren untuk mendirikan NU pada tahun 1926, yang ingin membentengi para santri dari 'godaan' paham baru—termasuk Wahhabi dan komunisme. 


NU merekrut dan menerima sebanyak mungkin jamaah dan adat istiadat mereka di-Islam-kan dengan mengakomodir tradisi hingga kini. Sebaliknya, Muhammadiyah juga membuat benteng baru yakni benteng keterbukaan berlabel Islam tanpa mazhab, dan berupaya menjebol benteng tradisi Islam seluruhnya dengan slogan anti-tahayul, anti-bid'ah, dan anti-khurafat (TBC). Dengan benteng baru anti-TBC itulah orang-orang NU merasa dipersalahkan. Beruntung Kyai Mansur di tahun 1927 mendirikan Majelis Tarjih, untuk menyelamatkan Muhammadiyah dari gelombang besar Wahhabi global. 


Fiqih Muhammadiyah juga bermetamorfosa; Pertama, Masa Syafii (1912-1925), Kedua Masa Pembauran Syafii-Wahhabi (1925-1967), Ketiga Masa HPT (1967-1995) dan Keempat Masa Pembauran HPT-Globalisasi (1995-kini). 


Perubahan Fiqih Muhammadiyah

Dalam sejarah panjangnya Muhammadiyah mengalami perkembangan sekaligus perubahan. Dalam konteks fiqih Muhammadiyah--sebagaimana dapat ditelusuri pada kitab fiqih Muhammadiyah jilid 3 dan keputusan Majlis Tarjih—ada beberapa perubahan utama, misalnya; Pertama, Menyentuh Lawan Jenis. mengalami pergeseran makna dari bersentuhan—sebagaimana tercantum pada kitab fiqih Muhammmadiyah 1924 h. 10--yang berkonsekuensi berwudhu ke bersetubuh—sebagai hasil HPT 1971, HPT 1974-an, dan HPT 2011. 


Kedua, Membaca Al-Quran saat Hadats Besar. Pada Fiqih Muhammadiyah 1924 h. 16, membaca al-Quran saat hadats besar diharamkan. Namun di masa kemudian, HPT 1971, HPT 1974-an dan HPT 2011 tidak dituliskan larangan bagi orang yang berhadats besar—junub dan haidh—yang belum mandi untuk membaca al-Quran, sebab hadits yang melarangnya dianggap dhaif. Ketiga, Memegang al-Quran Tanpa Wudhu. Dalam fiqih Muhammadiyah 1924 h. 16 memegang al-Quran tanpa udhu itu haram.  Keempat, Niat Ushalli. Berbeda dengan kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 h. 25 yang mengajarkan ushalli, maka pada HPT 1971 tidak melafalkan niat ushalli. Kelima, Doa Iftitah. Pada kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 h. 25 adalah Kabiran walhamdulillahi katsiran, namun kemudian diganti dengan doa iftitah: Allahumma ba’id baina .... 


Keenam Ta’awudz dan Basmalah Sirr atau Jahr. Pada Munas Tarjih ke-27 tahun 2010 di Malang, memberikan fatwa bahwa membaca basmalah secara sirr lebih utama daripada jahr, meskipun membacanya secara jahr juga boleh. Ketujuh, Bacaan Ruku’. Bacaan ruku’ dalam HPT adalah subhanaka Allahumma rabbana wa bihamdika allahummaghfirli. Kedelapan, Doa Qunut. Keberadaan doa qunut yang diajarkan dalam kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 h. 27-28 dan dipertahankan dalam HPT 1971, maka sejak 1972 dihapuskan—sebagamana termuat dalam HPT 1974-an. Kesembilan, Shalawat tanpa Sayyidina. HPT tidak melafalkan sayyidina saat bershalawat di dalam shalat, berbeda yang diajarkan dalam Fiqih Muhammadiyah 1924 h. 29. 


Kesepuluh, Mengacungkan jari. Sunnah mengacungkan jari telunjuk tangan kanan dalam tahiyat adalah ketika sampai pada bacaan illallah, maksudnya adalah menegaskan tauhid, yaitu Allah Maha Esa. Kemudian diganti mengacungkan telunjuk dilakukan sejak awal membaca tasyahud, sebab tasyahud adalah doa. Dan beberapa amalan lain, yang menunjukkan ada kesamaan apa yang dilakukan oleh orang NU dengan yang diajarkan pada Fiqih Muhammadiyah 1924. 


Buku ini di bab terahir, untuk memperkuat pandangan penulisnya disertakan bahasa Arab Jawa aslinya yang tertuang dalam kitab Fiqih Muhammadiyah 1924.


Bersatu, Utopiskah?

Ada dua hal yang disepakati pada tataran pemikiran ummat Islam; Pertama masalah Ushul, pokok. Kedua masalah furu’iyah, cabang, interpretasi. 


Menyangkut masalah pokok ummat Islam sepakat untuk tidak memperdebatkannya, terjadi perbedaan itu ketika memasuki wilayah furu’iyah, interpretasi. Tetapi pada wilayah kedua ini juga, jika kita sepakat dengan pandangan Nurchalish Madjid bahwa jangan memutlakkan pandangan kita, karena ketika kita sudah memutlakkan pandangan dan interpretasi kita maka sudah musyrik—mensejajarkan diri dengan kemutlakkan pandangan Tuhan—karena yang paling benar adalah pandangan Tuhan. Maka akan indah kehidupan bermasyarakat dan keberagamaan ummat dalam bingkai ihtilaful imam rahmatul ummah.


Buku ini sejatinya ingin merekatkan kembali, harmonisasi hubungan antara Muhammadiyah dengan NU untuk menyamakan gagasan-gagasan, ide besar untuk membangun bangsa ini  ke arah keberadaban. Jika Muhammadiyah dan NU—yang merupakan ormas terbesar—bersatu maka akan membentuk konfigurasi kekuatan raksasa ummat Islam Indonesia sekaligus teladan persatuan bagi ormas lain.


Semoga semangat persatuan menjadi nilai utama yang terus diperjuangkan agar negeri ini tetap survive—dalam bahasa KH. Toha Abdurrahman mempersatukan ummat harus radikal, tidak boleh separuh hati—dengan menerima realitas. Tidak ada yang tidak mungkin, selama kita mau dan berusaha untuk bersatu.


Wallahu a’lam bi al-shawab


*)Penulis adalah Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Tinggal di Kandanghaur Indramayu


0 comments: