Pengasuhan Anak Berbasis Komunitas Versi Tanoker
Komunitas Tanoker Jember (Dok. Pemkab Jember) |
Oleh: Dr. H. Masduki Duryat, M. Pd.I
Tidak terlintas dalam pikiran begitu pertama kali datang ke lembaga pendidikan informal dan pemberdayaan bagi anak buruh migran dengan icon egrang—yang menyematkan namanya dengan Tanoker—dalam bahasa Madura, kepompong di daerah Ledokombo, Jember. Bermetamorfosa dalam sikap, pengetahuan, paradigma dan tentu value—dalam bahasa Prof. Achmad Sanusi disebut dengan the six value’s System—dari nilai teologis sampai teleologis betul-betul menginspirasi dari desa kecil tapi mendunia.
Komunitas ini memfasilitasi ‘kebutuhan’ anak yang mayoritas orang tuanya buruh migran di kota-kota besar di Indonesia maupun di luar negeri dengan metode pembelajaran yang berbasis humanistic dan egaliter. Betapa teori-teori Paulo Freire, Ivan Illic tidak hanya sebatas kata tetapi diimplementasikan dalam tataran realitas, pendidikan yang membebaskan dengan memperhatikan potensi anak—yang dalam penemuan terbaru disebut dengan kecerdasan majemuk (multiple intelligence)—yang semakin tergerus oleh performa sekolah formal—yang cenderung mengesampingkan potensi anak—untuk tidak menyebutnya mematikan potensi anak—karena hanya memperhatikan kecerdasan intelektual.
Tanoker; Pembelajaran yang Membebaskan
Pertanyaan yang muncul, bahwa komunitas ini akan menjadikan anak akan tercerabut dari akar psikologis dengan keluarganya juga terbantahkan. Karena sungguhpun anak-anak ini orang tuanya tidak ada, tetapi tetap tinggal bersama saudaranya yang lain dan mereka kapanpun dengan stimulus renang, iming-iming hadiah bisa datang ke tempat ini setelah sekolah formal. Bahkan dengan memanfaatkan teknologi sekarang melalui media social progress report anaknya bisa diakses secara cepat oleh orang tuanya dengan pendampingan pembelajaran oleh relawan maupun tenaga pengajar tetap di komunitas tersebut.
Dengan teori pembelajaran yang membebaskan, komunitas ini menempatkan dirinya menjadikan anak belajar dengan nyaman dan menyenangkan tanpa tekanan. Pembelajaran juga berangkat dari masalah dan dipecahkan bersama dengan media bermain, perpustakaan, dan kolam renang.
Tentu yang menjadi icon komunitas ini adalah egrang. Egrang yang dalam terminology modern tentu tidak hanya sarana permainan tetapi memiliki makna filosofis keuletan, kemandirian, istiqamah, dan belajar dari masalah—karena banyak orang yang sukses berangkat dari jatuh bangun—dalam bahasa Jawa itu ada filosofi jika ingin maju dan sukses, salah satunya adalah Bangia, (Baka Tiba, Tangia—kalau jatuh, bangun lagi). Tetapi dalam makna sesungguhnya egrang juga sebuah bentuk permainan yang cukup menarik, sehingga difertivalkan tiap tahun dan pada festival yang ke-8 sekaligus launching kabupaten Jember menuju kota layak anak. Dalam konteks egrang sebagai icon budaya edukasi wisata, komunitas ini tidak hanya milik Jember tetapi sudah mendunia dengan tampilnya anak-anak mereka di dalam maupun luar negeri pada momentum internasional.
Pada perkembangannya, kini Tanoker memiliki organisasi mitra kampung wisata, misalnya Pokdarwis Tanoker, Kukun-EQ, kelompok kuliner Sekarwani, kelompok kuliner Nawang Wulan, kelompok wirausaha perempuan, paguyuban homestay, sekolah bok ebok, sekolah pak bapak, batik egrang kho kho dan lainnya.
Tanoker; dalam Pusaran Manajemen Strategik
Pada konteks ini, dalam perspektif manajemen strategic, komunitas Tanoker sedemikian luar biasa merencanakan, implimentasi, controlling dan evaluasinya sesuai dengan fungsi-fungsi manajemen.
Meminjam bahasa Hadari Nawawi manajemen strategik dapat ditilik dari 4 (empat) hal; Pertama, Manajemen Strategik adalah “proses atau rangkaian kegiatan pengambilan keputusan yang bersifat mendasar dan menyeluruh, disertai penetapan cara melaksanakannya, yang dibuat oleh manajemen puncak dan dimplementasikan oleh seluruh jajaran di dalam suatu organiasasi, untuk mencapai tujuannya”. Kedua manajemen strategik adalah “usaha manajerial menumbuhkembangkan kekuatan organisasi untuk mengeksploitasi peluang yang munculguna mencapai tujuannya yang telah ditetapkan sesuai dengan misi yang telah ditentukan”.
Ketiga, Manajemen Strategik adalah “arus keputusan dan tindakan yang mengarah pada pengembangan strategi yang efektif untuk membantu mencapai tujuan organisasi”. Pengertian ini menekankan bahwa arus keputusan dari para pimpinan organisasi dan tindakan berupa pelaksanaan keputusan, harus menghasilkan satu atau lebih strategis, sehingga dapat memilih yang paling efektif atau yang paling handal dalam usaha mencapai tujuan organisasi.
Keempat, manajemen strategik adalah perencanaan berskala besar (disebut Perencanaan Strategik) yang berorientasi pada jangkauan masa depan yang jauh (disebut Visi), dan ditetapkan sebagai keputusan manajemen puncak (keputusan yang bersifat mendasar dan prinsipil), agar memungkinkan organisasi berinteraksi secara efektif (disebut Misi), dalam usaha menghasilkan sesuatu (Perencanaan Operasional) yang berkualitas, dengan diarahkan pada optimalisasi pencapaian tujuan (disebut Tujuan Strategik) dan berbagai sasaran (Tujuan Operasional) organisasi.
Tanoker telah menerapkan teori modern manajemen strategik tersebut, walau tempatnya di desa kecil wilayah Jember.
Kerjasama komunitas, keluarga dan masyarakat merupakan kunci dari kesuksesan dalam membentuk karakter anak di komunitas ini. Termasuk dukungan stakeholders, dalam hal ini pemerintah—apalagi dalam mengorganisasikan festival egrang tiap tahun—yang merupakan bentuk ekspresi budaya anak yang kemudian dilembagakan oleh pemerintah daerah Jember.
*)Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP al-Amin Indramayu