-->

ads

Merawat Asa Kepemimpinan Melalui Pendidikan

Jumat, 22 Oktober 2021

Emha Ainun Nadjib (Gambar Serikatnews.com)

 

Oleh: DR. H. Masduki Duryat, M. Pd.I*)


Melanggengkan kekuasaan seringkali dilakukan para pemimpin kita. Fenomena kepala Daerah, menteri, kepala dinas dan juga pengusaha dari kalangan swasta ditangkap KPK atau terjerat kasus hukum lainnya yang cukup menghawatirkan. Semakin meniscayakan pandangan Lord Action yakni cara merebut kekuasaan dan memupuknya menjadi semakin kuat untuk dapat bertahan lebih lama. 


Adagium politiknya yang sangat popular, “Power tends to corrupt, but absolute power, corrupt absolutely”, makin absolut kewenangannya, makin potensial kecenderungan tindakan dan perilaku politik koruptipnya.  Dengan meminjam bahasa Adlan Da’i, demikianlah sejatinya “watak politik kekuasaan” dalam teori politik Lord Action. Sebuah pandangan politik yang makin mendapatkan legitimasi pembenarannya dalam praktek proses politik kekuasaan hingga hari ini. Apalagi dengan melihat realitas  untuk  menjadi pemimpin di negeri ini menghabiskan dana yang cukup besar dan tidak sebanding dengan gajinya yang secara normative hanya beberapa juta saja ditambah tunjangan lainnya. Hal ini semakin menguat berdasarkan testimony Bupati Banjarnegara, Jawa Tengah—yang dengan menyesal menerima kenyataan gaji seorang kepala daerah yang sangat minim—sehingga ‘memaksa’ perilaku koruptif Kepala Daerah, sementara di sisi lain pemerintah sudah menyiapkan perangkat penegak hukum, misalnya KPK. 


High Cost dan Syahwat Kekuasaan

Sekarang ini terlalu mahal biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk memilih seorang pemimpin, sebagai contoh untuk menjadi seorang kepala daerah (gubernur, bupati atau walikota) di pulau Jawa atau daerah-daerah tertentu di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, menurut Muhammad Syafi’i Antonio (2007) dibutuhkan dana kampanye minimal 7-15 milyar rupiahbahkan lebih. Ketika calon bupati/walikota meminjam dari beberapa pengusaha dan rekanan, ia akan langsung menjadi penghutang besar (gharimun kabir) yang harus dibayar selama masa pemerintahannya. Di sinilah ia akan memulai tugas utama sebagai bupati/walikota dengan program ‘balik modal’. 


Program ‘balik modal’ ini jelas tidak akan dapat diharapkan dari gaji struktural, karena take-home payment resmi para pejabat itu tidak lebih dari Rp. 15-20 juta perbulan. Mungkin jika ditambahkan dengan berbagai tunjangan resmi mencapai Rp. 50-100 juta. Jika Rp. 50 juta dikalikan 60 bulan masa jabatan maka total pendapatan resmi dan halal bupati/walikota hanya Rp. 3 milyar. Dari mana ia harus menutupi sisanya? Masih menurut Syafi’i Antonio, jawabannya dengan menitipkan prosentase tertentu dari APBD kepada kontraktor. Setiap kontraktor yang ikut tender harus siap untuk setor 5, 10, hingga 20 prosen jika ingin memenangkan tender. 


Demikian juga pimpinan daerah akan mendapat tambahan income saat bendaharawan pemerintah daerah melakukan pembayaran ke kontraktor. Pimpinan Pemda juga masih akan mendapatkan tambahan income non-halal dari setiap perizinan dan konsesi penambangan dan investasi yang dilakukan di wilayahnya—dan keberterimaan pemimpin atas perilaku kepemimpinan kepada para pengikutnya sangat bergantung kepada tipe dan gaya kepemimpinan. Tipe kepemimpinan ini sering disebut perilaku kepemimpinan atau gaya kepemimpinan (leadership style). Miftah Toha (2003) gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. 


Memperbincangkan persoalan kepemimpinan selalu menarik dan aktual, apalagi sekarang terjadi ‘kegaduhan’ akibat simphoni yang dialunkan tak seirama dengan instruksi sang dirigent. Di sini pentingnya seni memimpin dan kepiawaiannya dalam menghantarkan tujuan bersama yang diinginkan.


Reformasi yang didengungkan bersama telah mengakibatkan ruang kebebasan kian cenderung tak bertepi. Setiap suara, keinginan, dan kepentingan memiliki hak yang sama untuk diaktualisasikan berbagai kalangan. Namun—menurut Azyumardi Azra—suara itu akan menjadi riuh, keinginan menjadi gaduh, bahkan kepentingan akan berubah rusuh, ketika upaya mewujudkannya dilakukan tanpa aturan. Inilah yang kita saksikan sekarang terkait dengan aktualisasi kepentingan elite politik dan menguatnya aspirasi masyarakat yang cenderung tak terkendali. Politik menjadi pintu masuk pemuas hasrat meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Akibatnya demokrasi mengalami deviasi karena tindakan dan aksi atas nama demokrasi tak jarang berujung anarki. Ini semua merupakan muara dari perilaku politik yang mengalir melampaui mekanisme dan sistem yang tertoreh dalam konstitusi dan tata tertib hukum—law and order. 


Kepemimpinan dan Pendidikan

Kekuasaan seringkali diterjemahkan menjadi tujuan bukan alat (tool), sehingga kekuasaan bukan untuk mensejahterakan. Hal ini juga terjadi dalam dunia pendidikan, politisasi kekuasaan dalam pendidikan, ‘kasus UN’ dulu yang seperti lingkaran setan, pengangkatan kepala sekolah—yang kadang melampaui aturan, berubah menjadi sistem kedekatan, ‘uang’, dengan mengesampingkan profesionalitas. Sehingga yang terjadi kepala sekolah lebih loyal kepada atasannya—bupati/wali kota, kepala dinas—daripada memikirkan kesejahteraan, kemajuan sekolah dan warganya. 


Tidak jarang, kepala sekolah sebagai pemimpin tanpa improvisasi dalam implementasi kepemimpinannya, hanya menunggu instruksi atasan dan cenderung mencari ‘aman’. Padahal kita sepakat bahwa peran pemimpin dan kepemimpinan sangatlah penting. Kepemimpinan sangat diperlukan oleh suatu organisasi, untuk menggerakkan dan memotivasi seluruh anggota organisasi, agar bisa mencapai tujuan. Kepemimpinan adalah proses membimbing staff anggota organisasi agar mampu mencapai tujuan yang sudah ditetapkan bersama. Bahkan hal yang menentukan sukses atau gagalnya suatu organisasi—termasuk sekolah—adalah kepribadian dan kualitas kepemimpinan. 


Untuk merawat asa kepemimpinan yang diidealkan, maka pendidikan memegang peranan yang penting, sebab hakikatnya pendidikan memiliki dua fungsi utama. Pertama, fungsi konservatif adalah bagaimana mewariskan dan mempertahankan cita-cita dan budaya suatu masyarakat kepada generasi penerus. Kedua, fungsi progresif adalah bagaimana aktifitas pendidikan dapat memberikan bekal ilmu pengetahuan dan pengembangannya, sehingga generasi penerus mempunyai bekal kemampuan dalam kesiapan untuk menghadapi tantangan masa kini dan masa yang akan datang. 


Dalam posisinya yang demikian, pendidikan menemukan momentumnya untuk dapat menghasilkan pemimpin dan generasi penerus yang lebih baik, mumpuni dan survive komitmen pada nilai-nilai moral. Bahwa kualitas manusia yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah kualitas manusia seutuhnya yang mencakup tidak hanya aspek rasio, intelek atau akal budinya dan aspek fisik atau jasmaninya, tetapi juga  aspek psikis atau mentalnya maupun aspek sosial yaitu dalam hubungannya dengan sesama manusia dalam masyarakat dan lingkungannya, serta aspek spiritual yaitu hubungannya dengan Tuhan YME, sang pencipta. Kualitas manusia dalam spiritualitas (hubungan dengan Tuhan) dan dalam aspek sosial (hubungan dengan sesama dan lingkungannya), yang menjadi syarat tercapainya tujuan pembangunan, dan ini hanya dapat dicapai melalui proses dan partisipasi pendidikan. 


Misi yang diemban guru dan pemimpin pendidikan—melalui proses dan partisipasi pendidikan—adalah bagaimana anak bisa tumbuh dewasa dan mampu berselancar pada zamannya, sebab anak-anak adalah anak zamannya. “anak-anakmu sesungguhnya bukan anakmu, tapi anak zamannya”, kata Umar bin Khatthab.  Ali bin Abi Thalib memberikan pesan; “Didiklah anak-anakmu tidak seperti kamu dididik dahulu, karena mereka dipersiapkan untuk zamannya yang berbeda dengan zamanmu”. Tentu, sebagaimana diamanatkan UU No. 20 tahun 2003 landasan kokoh dalam berselancar di era ini dengan iman dan taqwa—dalam bahasa Azyumardi Azra, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai indikator kemajuan zaman tetap harus dikawal dengan agama—sebagai landasan teologisnya dalam bahasa Prof. Achmad Sanusi. Sehingga diharapkan akan muncul pemimpin ‘baru’ yang tidak hanya mengandalkan akal, skill, tetapi juga memiliki ‘hati’. 


Keshalihan Individu Versus Sistem

Menarik untuk dicermati pandangan Emha Ainun Nadjib bahwa keshalihan seseorang melalui ibadah badaniah, spiritual, intelektual dan mental, misalnya melalui ibadah shalat, puasa atau haji seringkali telah menghasilkan kemenangan-kemenangan yang bersifat personal. Akan tetapi kemenangan yang sifatnya personal ini, tidak menjamin bahwa ia juga mampu menaklukkan realitas kolektif dan makro di mana ia terkurung. 


Kematangan pribadi seseorang dari penempaan ibadah yang dilakukannya, akan harus siap babak belur dan kalah ketika kemudian ia masuk ke pasar sejarah, birokrasi kantor, system-sistem social di mana manusia saling mengikat satu sama lain dalam pola tatanan kolektif yang seringkali tidak sejalan dengan nilai internal dirinya. 


Ada banyak keluhan dan bahkan kegelisahan di antara kita yang menyangkut paradoksal antara kesadaran pribadi terhadap nilai-nilai baik dengan kondisi konkret atau realitas hidup misalnya profesi, perusahaan, birokrasi kekuasaan, korupsi sistemik dan kolusi otomatik dalam tatanan Negara dan masyaratakat dan seterusnya.


Di ujung setiap kegelisahan itu orang kembali bertanya; untuk mengubah semua ini harus dimulai dari sistemkah atau dari manusianya? Dan tampaknya kata Emha Ainun Nadjib, tema itu merupakan isi kecemasan sejarah kontemporer kita. Seseorang bisa berjam-jam sujud ketika malam dalam tahajudnya, justru karena sebagai pimpinan di sebuah lembaga perusahaan, secara sistemik ia tidak sanggup menghindarkan lembaganya itu dari ‘keharusan ekonomi’ untuk memproduksi hal-hal yang destruktif terhadap kesehatan mental, jiwa dan kebudayaan masyarakat. Rajin shalatnya tetapi ketika ia masuk dalam jajaran birokrasi, ia kalah terjebak pada tindakan yang destruktif dalam system. 


‘Kemenangan’ personal melalui ibadah yang dilakukan, harus dicambuk oleh kesadaran tentang kekalahan-kekalahan structural global mereka di tengah sejarah. Bukan terutama kekalahan suatu pihak oleh pihak lain, bukan kekalahan arus nilai oleh arus nilai yang lain, tetapi terutama kekalahan manusia oleh system-sistem destruktif yang mereka ciptakan sendiri.

Wallahu a’lam bi al-Shawab


*)Penulis adalah Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon tinggal di Kandanghaur Indramayu


0 comments: