-->

ads

Opportunity Pendidikan; Transformasi di Era Disrupsi dan Revolusi Industri 4.0

Selasa, 12 Oktober 2021

 

Revolusi Industri 4.0 (Gambar Sindonews.com)

Oleh: Dr. H. Masduki Duryat, M. Pd.I*)


Sekarang ini kita sedang memasuki era yang belum pernah dibayangkan sebelumnya, era disrupsi dan revolusi industry 4.0.  


Terma disrupsi merujuk pada perubahan yang fundamental yang dipopulerkan pertama kali oleh Clayton M. Christensen. Profesor administrasi bisnis dari Universitas Harvard ini menyebut disrupsi sebagai perubahan besar yang membuat industri tidak berjalan seperti biasa disebabkan karena penemuan teknologi. Perubahan itu telah memunculkan pemain-pemain baru dan membuat pemain bisnis lama harus memikir ulang strategi berhadapan dengan era baru ini.


Sedangkan revolusi industry 4.0 menurut Hargyo Tri Nugroho Ignatius adalah istilah bagi revolusi industry ke-4 setelah dunia mengalami tiga kali revolusi, yaitu; Pertama, karena penemuan mesin uap. Kedua, karena penemuan listrik. Ketiga, karena perkembangan elektronik, teknologi informasi dan otomasi, kemudian yang keempat—disebut sebagai industry 4.0—merupakan akibat dari perkembangan yang luar biasa teknologi robotika, machine learning dan kecerdasan buatan (AI), internet of things, serta 3D printing. Titik berat industry 4.0 ada pada kolaborasi, interkonektifitas, serta keterbukaan data yang memungkinkan kolaborasi dilakukan tidak hanya antar manusia tetapi juga antar mesin.


Apa dampaknya bagi perkembangan selanjutnya—baik di bidang ketenagakerjaan, bisnis, pendidikan dan lainnya—era disrupsi dan revolusi industry 4.0 ibarat dua sisi mata pisau bisa menjadi hambatan tetapi juga tantangan dan sekaligus opportunity. Dalam bahasa Rhenald Kasali, kita tidak boleh merasa berada di zona nyaman—jika tidak ingin tergusur oleh perubahan dan persaingan.


Dalam konteks pendidikan—terutama pendididkan tinggi—sebagai pencetak sumber daya manusia terampil—yang kemudian Anies Baswedan menyebutnya dengan keterampilam 4 C (creativity, critical thinking, communication, dan collaboration) harus betul-betul disiapkan dengan matang karena pada era canggih ini manusia akan berdampingan dengan mesin pintar di tempat kerja. Jack Ma (pendiri Alibaba) di World Economic Forum 2018 mengatakan bahwa pendidikan harus berubah, jika tidak, maka 30 tahun lagi kita akan menghadapi masalah besar. Ia menyebutnya dengan istilah everything we teach should be different from machines—semua yang diajarkan harus membuat manusia berbeda dari mesin. Pertanyaannya, mampukah dunia pendidikan kita menghadapi era semacam ini?


Era Disrupsi dan Revolusi Industri 4.0

Sebagaimana diuraikan di atas, secara singkat disruption adalah sebuah inovasi. Inilah inovasi yang akan menggantikan seluruh system lama dengan cara-cara baru. Disruption berpotensi menggantikan pemain-pemain lama dengan yang baru. Disruption menggantikan teknologi lama serbafisik dengan teknologi digital yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru dan lebih efisien dan lebih bermanfaat. Dalam bahasa Clayton Christensen, disruption menggantikan ‘pasar lama’, industry, dan teknologi, dan menghasilkan suatu kebaruan yang lebih efisien dan menyeluruh. Ia bersifat destruktif dan creative.  Inovasi memang sejatinya destruktif sekaligus kreatif. Karena itulah menurut Rhenald Kasali selalu ada yang hilang, memudar, lalu mati. Semua ini menakutkan sekaligus bisa membuat kita membentengi diri secara berlebihan. Di sisi lain, ada hal baru yang hidup. Meski ada lapangan kerja yang hilang, selalu ada yang menggantikannya—yang membutuhkan kretaivitas, semangat kewirausahaan, dan cara-cara baru—demikianlah siklus alam. 


Sedangkan era Industri 4.0, mesin-mesin maupun pabrik-pabrik akan saling terhubung, bertukar data, bekerja sama, serta mengambil keputusan mandiri secara kolektif. Tentu saja hal ini akan merubah banyak hal: bagaimana pabrik beroperasi, bagaimana hubungan bisnis dilakukan, maupun bagaimana konsumen berbelanja. Era Industri 4.0 menawarkan efisiensi waktu dan sumber daya, penghematan biaya, kenaikan pendapatan, kelincahan (agility), maupun inovasi bagi industri. Industri lama atau petahana akan digantikan oleh industri gaya baru yang lebih efisien. Disrupsi ini harus diantisipasi dengan baik sehingga kita dapat melihat peluang-peluang baru di masa depan.


Disrupsi sebagai dampak inovasi ini sebenarnya berlangsung sudah sejak lama. Dahulu disrupsi terjadi relatif lambat, namun karena perkembangan teknologi informasi, disrupsi menjadi datang lebih cepat dan masif. Clayton Christensen pada tahun 1997 membuat teori disruptive innovation yang menyatakan bahwa berakhirnya zaman di tangan para inovator yang menciptakan sesuatu yang baru dengan menjawab kebutuhan zaman melalui mekanisme lebih sederhana, lebih terjangkau, dan lebih mudah diakses. Penarik becak tergantikan oleh tukang ojek pangkalan, lalu kini muncul ojek online sebagai disrupsi terhadap ojek pangkalan. Pendapatan sopir taksi tergerus oleh sopir taksi berbasis aplikasi yang tak lama lagi bisa jadi akan terganggu oleh driveless taxi. Tak hanya menganggu perusahaan taksi konvensional, menurut Joel Barbier (Direktur Cisco Digitization Office): kecanggihan dan kecerdasan autonomous car diprediksi juga akan menjadi disrupsi bagi perusahaan penyedia jasa parkir, asuransi, real estate, hotel, bengkel mobil, maupun perusahaan otomotif lainnya.


Perusahaan atau organisasi harus berpikir ke depan, dan berani melakukan perubahan untuk menghadapi era disrupsi. Rheinald Kasali memberikan tiga hal untuk menghadapi era disrupsi. Pertama, organisasi tidak boleh berada di zona nyaman. Organisasi yang merasa sangat nyaman selalu berasumsi bahwa pelanggan mereka sudah sangat loyal. Padahal, ketika terjadi perubahan fundamental saat ini, perlu ditengok ulang lagi apakah terjadi pergeseran segmen konsumen yang bisa jadi berkarakter lain dengan konsumen lama.


Kedua, organisasi tidak boleh takut mematikan (kanibalisasi) produk sendiri dan membuat produk baru, jika produk lama tersebut tidak sesuai dengan perubahan. Cara ini mungkin terlihat ekstrim, tetapi harus dilakukan agar efektif dalam beradaptasi dengan perubahan. Ketiga, organisasi terus-menerus membentuk ulang atau menciptakan inovasi dengan memodifikasi yang sudah ada dalam bentuk lain atau bahkan menciptakan hal baru.


Kondisi Pendidikan Kita: Keharusan Transformasi

Harus diakui bahwa dunia pendidikan kita jika dipersandingkan dengan pendidikan Negara luar—bahkan tetangga kita—masih belum kompetitif dan komparatif, walaupun juga ada beberapa anak bangsa kita yang sudah mengharumkan nama bangsa melalui ajang olympiade sains dan semacamnya tetapi itu belum merefresentasi ‘wajah’ kebermutuan dunia pendidikan kita.  Data UNESCO (2000) peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index) makin menurun, di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998) dan ke-109 (1999). Menurut survey Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000) Indonesia memiliki daya saing yang rendah—hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara—yang disurvei di dunia. Masih menurut WEF (2017) daya saing Indonesia diurutan ke-36 dari 137 negara, Singapura ke-3, Malaysia ke-23, Thailand ke-32, sedangkan total pengangguran terbuka sekitar 7 juta orang dari kurang lebih 128 juta angkatan kerja, sementara pengangguran sarjana ada 618 ribu atau sekitar 8,8% (BPS, Agustus 2017). 


Ini sebuah tantangan tersendiri, dengan agak miris Anies Baswedan (2018) menyebut situasi pendidikan saat ini diperhadapkan dengan era disrupsi kelasnya ada di abad ke-19, gurunya ada di abad ke-20 dan siswa/mahasiswanya berada di abad ke-21. Maka tidak boleh ditawar-tawar lagi dunia pendidikan kita harus mentransformasi, bermetamorfosa ke arah yang lebih baik dan memenuhi tantangan sesuai zamannya. 


Perubahan-perubahan ke depan yang harus diantisipasi dunia pendidikan kita adalah—antara lain—banyak dari pekerjaan yang paling dicari dan diminati hari ini bahkan belum ada pada 15 tahun yang lalu (misalnya social media manager, drone operator, app developer, data scientist dan lain-lain), diperkirakan 65 %  dari anak sekolah sekarang ke depan akan memiliki pekerjaan yang saat ini belum ada, kita sekarang sedang menyiapkan anak-anak sekolah untuk: Pertama, jenis-jenis pekerjaan yang saat ini belum ada. Kedua, menggunakan teknologi yang saat ini belum ditemukan dan ketiga, memecahkan masalah-masalah yang saat ini belum kita sadari. 


Dengan realitas seperti itu dan disadari bahwa disrupsi akan mengusik zona nyaman, Namun, jika disikapi dengan baik perubahan teknologi yang sedemikian cepat justru malah akan memperbaiki kualitas pembelajaran di perguruan tinggi. Contoh sederhana adalah penggunaan smartphone di kelas. Mahasiswa saat ini yang rata-rata merupakan generasi milenial adalah generasi yang selalu terhubung (always-connected), aktif secara sosial (social-savvy), menggemari aplikasi (app-happy), sangat bergantung pada smartphone (smartphone-dependent).


Pada sisi lain, mereka adalah self-learner. Smartphone memang sangat menganggu jika digunakan untuk hal-hal yang tidak terkait perkuliahan seperti chatting atau gaming. Maka tidak heran bila banyak dosen melarang mahasiswa menggunakan smartphone di kelas. Namun dengan pendekatan student-centered learning maupun collaborative learning, kita bisa mengajak mahasiswa untuk menggunakan smartphone dalam rangka mencari informasi sebagai bahan diskusi secara berkelompok. Dengan begitu, pembelajaran akan menjadi jauh lebih menarik, interaktif, melatih kreatifitas, kolaborasi, maupun teamwork yang sangat dibutuhkan di era industri 4.0. Pada pandangan Hargyo justru kita berterimakasih kepada smartphone karena kita tak perlu membawa banyak buku ke kelas. Ini adalah literasi baru menurut Intan Ahmad, agar lulusan bisa kompetitif diperlukan kurikulum orientasi baru—yang tidak cukup literasi lama (membaca, menulis, dan matematika)—sebagai modal dasar untuk berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Literasi baru itu meliputi, Literasi Data; Kemampuan untuk membaca, analisis,dan menggunakan informasi (big data)  di dunia digital. Literasi Teknologi; Memahami cara kerja mesin,  aplikasi teknologi (Coding,  Artificial Intelligence, & Engineering Principles). Literasi Manusia; Humanities, Komunikasi, & Desain. 


Sehingga pada pandangan Jack Ma senada dengan laporan berjudul Workforce For The Future oleh PwC. Hasil survei PwC terhadap banyak CEO di China, UK, US, dan India, menyatakan bahwa keterampilan yang membedakan manusia dengan mesin dan akan dicari pada tahun 2030 adalah kemampuan menyelesaikan masalah (problem-solving), kemampuan adaptasi (adaptability), kolaborasi (collaboration), kepemimpinan (leadership), kreatifitas dan inovasi (creativity and innovation). Sangat jelas bahwa baik Jack Ma maupun hasil survei PwC memandang softskill menjadi suatu hal yang perlu dilatih oleh setiap institusi perguruan tinggi khususnya dalam menghadapi era revolusi industri 4.0. Menyikapi fenomena ini, maka seorang dosen perlu kembali menilik perannya sebagai pendidik, bukan hanya sebagai pengajar. Sebagai pendidik, dosen perlu mengupayakan agar pendidikan softskill yang membuat manusia berbeda dengan mesin. Hal ini tentu tercermin pada kegiatan pembelajaran yang dilakukan. 


Penutup 

Diperlukan perubahan yang mendasar dalam proses pembelajaran menghadari era disrupsi dan revolusi industry 4.0 yang tidak hanya membekali mahasiswa dengan sejumlah pengetahuan tetapi keterampilan kepemimpinan (leadership) dan bekerja dalam tim (team work) serta semangat entrepreneurship  dengan metode pembelajaran studi tematik berbagai disiplin, hubungan dengan dunia nyata dan project based-learning melalui general education, dan ekstrakurikuler. 


Dengan demikian dunia pendidikan—Perguruan Tinggi—akan tetap eksis dan survive dalam menghadapi era disrupsi dan industry 4.0.

*)Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon




0 comments: