-->

ads

Sekolah Bukan ‘Kuburan Masal’ Mekanisasi Sesuai Kemauan Negara

Senin, 11 Oktober 2021

Pelajar

Oleh: Dr. H. Masduki Duryat*)


Bung Karno pernah menyampaikan, dekadensi akal pikiran merupakan bencana batin yang paling besar bagi bangsa. Ketika kebodohan bersemayam di dalam jiwa, maka karakter bangsa menjadi lemah dan inferior. Para pemimpin dan masyarakatnya sukar mengerti posisi dan situasi dirinya, sehingga kemakmuran alam yang ada akan dengan mudah dirampas dan sulit diraih kembali. Kaum imperialis dan kolonialis berkepentingan dengan kebodohan serupa. 


Pendidikan tentu saja bukanlah serangkaian upaya mengurangi angka buta huruf atau transfer of knowledge semata. Pendidikan sejatinya adalah gerakan untuk memberantas penyakit batin berupa akal pikiran yang bengkok dan kerdil, kemauan yang lemah terkulai. Ia adalah proses penyadaran tentang harkat diri sebagai manusia dan pembentukan mindset sebagai bangsa yang merdeka. Karena itu, jalan pendidikan bagi sebuah bangsa adalah perjuangan untuk survive dan melindungi diri dari berbagai keterpurukan dengan menciptakan kesejahteraan serta membangun kebudayaan. 


Kondisi Pendidikan Kita?

Ada ungkapan yang menarik untuk kita renungkan:

      … Apa guna kita memiliki

        sekian ratus ribu alumni sekolah

            yang cerdas, tetapi massa rakyat dibiarkan

        bodoh? Segeralah kaum sekolah itu pasti 

        akan menjadi penjajah rakyat

        dengan modal kepintaran mereka (YB. Mangunwijaya).

       

Atau tulisan Hadi Purwanto yang dikutip pengantar redaksi “Problematika Pendidikan Islam Kontemporer”, ketika menyebut problem pendidikan (agama) masih bersifat doktrinal:

        Guru bicara, murid menulis

        Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa

        Guru mengatur, murid diatur

        Guru menghukum, murid dihukum

      Dosen membaca, mahasiswa mencatat

        Dosen bertanya tentang bacaannya, mahasiswa menjawab dengan catatannya

        Dosen diam, mahasiswa tidur

        Dosen absen, mahasiswa pulang

        Dosen pulang, mahasiswa berkelahi dengan aparat,

        mabuk, aborsi, lalu ekstasi 


Siapa di antara akademisi dan intelektual yang tidak akan “tersinggung” dengan pernyataan di atas? Namun, ini bukan masalah “tersinggung” atau tidak, melainkan mengapa ungkapan seperti itu muncul? Apa yang terjadi dengan kebijakan dan praktik kependidikan kita? Dan tentunya, bagaimana pula “seharusnya” kita—selaku pemerhati dan praktisi pendidikan—menyikapi persoalan-persoalan kependidikan yang memunculkan kekecewaan yang demikian?


Kita hanya memproduksi anak sekolahan, bukan anak berpendidikan. Ada gagasan yang diparadokskan antara pendidikan dan persekolahan. Pendidikan dianggap sebagai proses belajar lewat pengalaman sosial alamiah masing-masing individu. Berbeda dengan persekolahan yang hanya menghasilkan satu corak pendidikan. Anak sekolahan tidak berarti manusia berpendidikan. Sekolah yang ada sekarang hanya kepanjangan tangan Negara otoritarian saja. Sekolah memerosotkan tanggungjawab individual, yang kemudian menjadikan anak-anak yang tidak bisa dididik dalam makna pendidikan yang sejati. Anak dimekanisasi sesuai dengan kemauan Negara, dekadensi moral, perilaku menyimpang, dan tidak ‘memiliki hati’ dan ‘penghormatan’ kepada guru dan orang lain.


Pendidikan dan Pembacaan Kritis; Konsep Paulo Freire

Pada pandangan Paulo Freire, dunia pendidikan memerlukan kepemimpinan yang revolusioner, metodanya bukan hanya ‘propaganda libertarian’ yang tidak hanya sekedar ‘menanam’ tetapi dengan dialog. Kepemimpinan revolusioner mesti mempraktekkan pendidikan ko-intensional. Artinya para guru dan siswa sama-sama bertindak dalam dan bertindak terhadap kenyataan, sama-sama menjadi subjek, bukan hanya dalam tugas menyingkap kenyataan, supaya mengetahuinya secara kritis, namun juga dalam tugas menciptakan kembali pengetahuan tadi.


Dalam tulisan yang lain, Ia juga menyebutkan perlunya pembelajaran selalu diasosiasikan dengan “pembacaan kritis” terhadap realitas. Dengan pembelajaran demikian, guru menyampaikan bagaimana cara berpikir. Kita tidak dapat memberikan bahan pelajaran semata-mata seolah konteks sekolah di mana bahan pelajaran tersebut disampaikan bisa direduksi menjadi sebuah ruang netral yang terbebas dari konflik-konflik sosial. Latihan “berpikir benar” juga tidak dapat dipisahkan dari penyampaian suatu bahan pelajaran. Ini mestinya yang dilakukan dalam pembelajaran dunia pendidikan kita.


Dunia kependidikan kita—sejak era kolonial kemerdekaan, dan bahkan sampai era reformasi ini—masih menyisakan banyak persoalan yang tidak pernah bisa diselesaikan. Sistem pendidikan lebih banyak dibangun di atas dekrit-kebijakan yang mereproduksi ideologi penguasa kaum borjuis, bukan lahir dari “rahim” kesadaran pembangunan masyarakat baru secara “revolusioner” dan “visioner”. Cita-cita pembangunan masyarakat baru kiranya belum dielaborasikan ke dalam visi, misi, dan orientasi sistem pendidikan. Srategi perubahan “revolusioner”, sebagai peran yang harus dimainkan oleh pendidikan, belum jelas atau bahkan sengaja tidak diperjelas. Sehingga eksistensi sekolah sebagai pemasok utama masyarakat berpendidikan hanya menjadi media reproduksi ideologi pemerintah. Ini perlu dimaklumi, “karena negara ini tidak pernah di/melahirkan pemimpin yang akomodatif terhadap pendidikan maju, sehingga pertanggungjawaban secara akademis/intelektual di akhir jabatan pun bukan sesuatu yang utama”. 


Hal yang cukup relevan dengan dunia pendidikan kita adalah kenyataan bahwa kurangnya pengalaman kita dalam berdemokrasi, termasuk lemahnya demokrasi di lembaga-lembaga pendidikan kita. Kelemahan itu sangat tampak pada lemahnya penegakkan nilai-nilai sebagai orientasi idealitas kehidupan yang bermakna pengukuhan terhadap nilai-nilai fundamental kemanusiaan, seperti keadilan (adalah), persamaan (musawwa) dan kemerdekaan (hurriyah).


Dalam konteks kemerdekaan ini lagi-lagi Freire menyampaikan, sekolah harus menjadi alat menyampaikan kritik untuk menentang praktek-praktek hegemoni—bukan hanya wacana—sebab jika tidak, kritik hanya akan terlempar pada jurang keputusasaan


Titip Pesan untuk Pemimpin Kita

Ada yang menarik perkembangan pendidikan kita sekarang ini. Ketika kemudian paradigm bergeser dari sekolah formal ke sekolah non-formal. Pandangan bahwa sekolah formal memandang potensi semua anak sama—bahkan ada yang berpandangan cenderung ‘mematikan potensi anak’ menjadi ‘kuburan massal’, harus sama kecerdasan intelektualnya. Padahal penemuan terbaru adanya “kecerdasan majemuk” yang dimiliki oleh setiap anak dan berpotensi sukses dengan potensinya masing-masing, jika kemudian dikembangkan dan didorong lebih maksimal. Sekolah alam, home schooling, sekolah sepak bola, sekolah seni, sekolah wirausaha modern dan semacamnya saat ini berkembang dengan cepat. Bahkan sekarang—di era disrupsi—ada semacam konsorsium yang membutuhkan tenaga kerja tanpa mempersyaratkan ijazah, yang penting memiliki skill dan kompetensi di bidang IT dan digitalisasi untuk secara online melayani konsumen/pelanggan.


Oleh karena itu—tentu harapan kita, kepada para pemimpin—pendidikan harus terus diberdayakan, prosesnya harus terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), maka diharapkan pemerintah bersama kalangan swasta terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas. Hal ini ditujukan antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi. Perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Meski usaha tersebut telah dilakukan, pada kenyataannya upaya pemerintah belum cukup berarti dalam meningkatkan kualitas pendidikan.


Berangkat dari konteks ini, maka perspektif/kerangka sekolah sebagai ujung tombak pembangunan pendidikan, merupakan sesuatu prioritas yang harus dipikirkan dalam merencanakan formula reformasi pendidikan oleh para pemimpin kita. Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan merupakan lembaga strategis dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Sekolah mau tidak mau akan menjadi pusat perhatian seluruh elemen bangsa untuk dikaji kembali. Kajian dimaksud dilakukan melalui perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasannya yang lebih efektif dan efisien.


*)Penulis adalah dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Indramayu


0 comments: