Pilkada Indramayu Head to Head; Melanggengkan Praktik Klientelisme Demi Kekuasaan
Gambar The Columnist |
Oleh: Masduki Duryat*)
Konstelasi
politik Indramayu menjelang pendaftaran Bakal Calon Bupati dan Wakil Bupati
semakin menarik untuk dianalisis.
Prediksi
awal, langkah Lucky Hakim akan ‘dijegal’ dengan pola head to head antara
bupati incumbent Nina Agustina dan koalisinya, dengan Koalisi Indramayu
Maju yang terdiri dari Partai Golkar, Gerindra dan Demokrat.
Tapi
dinamika yang terjadi belakangan, Lucky Hakim malah diprediksi akan maju dengan
koalisi besar; Golkar, Gerindra, Nasdem, PKS, dan menyusul dalam waktu dekat
Demokrat dengan jumlah 27 kursi.
KIM Plus; Dinamika dan Dampaknya di Daerah
Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang pada pemilihan
Presiden dan wakil Presiden 2024 berhasil mengusung dan memenangkan Prabowo
Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, akan melanjutkan kiprah politik mereka di
Pilkada 2024. Bedanya, koalisi ini akan terus menggandeng partai politik lain.
Perluasan koalisi itu disebut dengan KIM Plus.
KIM Plus
akan terus diupayakan kiprahnya untuk berkoalisi dengan partai lain di beberapa
daerah dalam Pilkada 2024 ini.
Menurut Dasco, petinggi Partai Gerindra; Perluasan
koalisi kubu pemerintah itu disebabkan oleh berbagai dinamika politik yang
terjadi. KIM Plus, menurut dia, akan menentukan pilihan untuk melangkah bersama
di sejumlah provinsi utama. "Nanti pada waktunya pasti akan diputuskan
secara bersama-sama, satu suara oleh Koalisi Indonesia Maju Plus," kata
Dasco.
Dasco menyatakan bahwa dalam waktu dekat akan ada
pertemuan petinggi KIM usai Presiden terpilih Prabowo Subianto pulang dari
kunjungannya ke sejumlah negara, termasuk Rusia. Tidak hanya partai anggota
KIM, pertemuan itu berpotensi dihadiri partai lain.
Lucky Hakim dan Dukungan KIM Plus Versus Incumbent
Dinamika belakangan terjadi cukup menarik pada
pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Indramayu pada Pilkada 2024 ini. Pasalnya
akan diprediksi head to head antara bupati incumbent Nina
Agustina yang didukung oleh PDI dan koalisinya dengan Lucky Hakim yang diusung
oleh KIM Plus yang terdiri dari Partai Golkar,
Gerindra, Nasdem, PKS, dan menyusul dalam waktu dekat Demokrat dengan jumlah 27
kursi.
“Saya tetap semangat dan sebulan ini saya
focus berada di Jakarta untuk mendapatkan rekomendasi dan alhamdulillah
sekarang sudah 25 kursi, dan dalam waktu dekat akan bertambah dari Partai
Demokrat 2 kursi sehingga semuanya 27 kursi”, kata Lucky Hakim. “Ini juga akan
menjadi kekuatan tersendiri, lebih solid dari sisi dukungan politis di
parlemen”, lanjutnya.
Majunya Lucky Hakim pada Pilkada
Indramayu 2024 ini, memang sudah diprediksi dari awal. Ketika Lucky Hakim
mengundurkan diri dari kursi wakil Bupati dan ‘tidak difungsikan’ perannya.
Ini diprediksi sebagai langkah
awal, ‘ancang-ancang’ Lucky Hakim untuk ikut berkontestasi pada Pilkada
Indramayu 2024.
Adlan Da’i menulis, Lucky Hakim adalah "Man Of Contradiction",
mengutip judul buku Ben Bland, seorang penulis buku tentang problem kontradiksi
Jokowi.
Kontradiksi Lucky Hakim satu
sisi ia "Political Powerless", yakni figur politik yang tidak
memiliki power politik besar secara formalistik kecuali sebagai ketua partai
Nasdem Indramayu, sebuah partai "medioker" dalam spektrum peta
politik di Indramayu.
Di sisi lain, lanjut Adlan Da’i "bocoran" data survey periode
Oktober 2023 dan periode 4 Pebruari 2024 justru Lucky Hakim sangat kuat secara
elektoral. Data survey di atas nyaris "mutlak" mengunggulkan Lucky
Hakim kandidat kuat "the next" bupati Indramayu dalam
kontestasi pilkada 2024.
Dalam tinjauan rezim politik
elektoral Lucky Hakim memiliki faktor determinasi politik pada aspek "good
looking" dan piawai memposisikan diri sebagai tokoh politik "hati
yang kau sakiti" (soundtrack lagu Rossa yang diputar dalam sinetron
"Azab" ala TV Indosiar dan kerap dibintangi Lucky Hakim.
Sementara Bupati incumbent,
Nina Agustina juga memiliki segalanya. Dari kekuatan birokrasi sampai dengan
ruang kesiapan, popularitas selama memimpin Indramayu pada periode sebelumnya
dan tentu kekuatan logistic.
Bupati Indramayu Nina Agustina merupakan kader dari
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Partai berlambang banteng moncong
putih itu berpotensi mengusung Nina uuntuk kembali maju pada Pilbup Indramayu
2024. Dilihat dari hasil Pileg
kemarin, PDIP Indramayu memperoleh suara mereka di tingkat Kabupaten Indramayu
naik sepuluh persen dari 14 persen menjadi 24 persen, dan kini berada di urutan
ke dua. Atas perolehan itu, Nina Agustina
untuk kembali dicalonkan sebagai Bupati Indramayu. Namun bentukan koalisi
dipastikan tidak sama dengan koalisi partai pada Pilpres lalu.
Nina
Agustina merupakan bupati incumbent, ia memiliki kesiapan yang cukup
dari sisi kapital, popularitas, mesin partai dan—tentu jangan dikesampingkan—peran
birokrasi yang sekarang—tanpa malu-malu—memanfaatkan mesin birokrasi ini untuk
mendulang suara sebanyak-banyaknya dari birokrasi dinas/instansi, kuwu,
jaringan non-pemerintahan sampai pada Tingkat RT di tiap desa.
Ini ‘pertarungan’ menarik, kita
akan menunggu kepastian dari masing-masing pengusungnya pada pengumuman koalisi
dan pendaftaran. Menarik, karena pada akhirnya terjadi head to head antara
bupati incumbent Nina Agustina dengan ‘mantan’ wakilnya, Lucky Hakim.
Praktik Klientelisme;
Sebuah Kekhawatiran
Pada
modul kelas Politik Cerdas Berintegritas (PCB) mendefinisikan klientelisme sebagai salah satu bentuk korupsi
politik yang berlangsung dalam hubungan relasi kekuasaan politik dengan
corak patron-client.
Hubungan
tersebut biasanya terjadi ketika elite politik yang memiliki otoritas kekuasaan
atau posisi politik mengeksploitasi simpatisan atau warga dengan janji-janji
demi “dipertukarkan” dengan dukungan dan loyalitas politik.
Ramadhan
dan Oley menuliskan bahwa klientelisme adalah fenomena sosial politik Indonesia
yang erat kaitannya dengan pemilihan umum.
Pasalnya,
praktik pertukaran janji dan loyalitas politik tersebut, di Indonesia,
misalnya, “lebih erat kaitannya dengan kompetisi kekuasaan antara dinamika
demokratisasi dan distorsi oligarki,” tulis Ramadhan dan Oley.
Ramadhan
dan Oley menyebutkan ada dua poin mengapa klientelisme bisa termasuk perilaku
koruptif dalam konteks demokrasi.
Pertama, tidak
terpenuhinya hak-hak kewarganegaraan. Ketika hak rakyat tidak terealisasi
sebagaimana yang dijanjikan para elit politik, ada mekanisme kontrol dan
penuntutan akan kewenangan-kewenangan tersebut kepada sosok lain yang
mencalonkan diri sebagai pemimpin pada periode berikutnya.
Alih-alih
menunggu realisasi program yang dicanangkan, rakyat memilih untuk melakukan
transaksi relasi kuasa dengan bentuk imbalan material secara langsung.
Kedua, faktor
saling menguntungkan. Mengakarnya praktik klientelisme adalah hasil dari
keadaan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak yang terlibat.
Dari
sisi pejabat publik, transaksi relasi kuasa ini akan membantunya mencapai
posisi tertentu dan mempertahankan posisi itu pada periode pemilu berikutnya.
Ini
kekhawatiran yang bisa merusak suasana demokratis dalam Pilkada—termasuk di
Indramayu—yang jujur, adil, bebas, rahasia dan tanpa ada intimidasi—bisa
dikawal dengan baik.
Memang
sebagaimana studi yang dilakukan oleh E. Aspinall dan W. Berenschot dalam
“Democracy for Sale; Pemilu, Klientelisme dan Negara di Indonesia”, ada tiga
pendekatan dalam konteks Pemilu yang selama ini berlangsung di Indonesia. Pertama,
pendekatan kultural yang memunculkan klientelistik. Kedua, pendekatan
marketis dan Ketiga, pendekatan institusional.
Di
sini peran Lembaga Bawaslu dan Masyarakat di era civil society diperlukan
aksinya dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan Pilkada yang hasilnya bisa
dipertanggungjawabkan secara adil dan transparan.
*)Penulis adalah Dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP al-Amin Indramayu, tinggal di Kandanghaur