-->

ads

Perpindahan Ibukota; Sebuah Ironi

Senin, 30 Agustus 2021
Desain Ibukota Baru di Kalimantan (Gambar Liputan6.com)


Oleh: DR. H. Masduki Duryat, M. Pd.I*)

Beberapa waktu yang lalu, perbincangan publik—baik di media sosial maupun media publik lainnya—viral membicarakan rencana perpindahan ibukota Negara. Presiden Jokowi sedemikian menggebu dan ingin serba cepat merealisasikan gagasan besar ini. Bahkan ILC TV One pun secara khusus membincangkan persoalan ini dengan mengangkat tema “Perlukah Ibukota Negara dipindahkan?”. Meminjam bahasa Fadhil, sangat disayangkan pemerintah tetap mengikuti egonya sendiri untuk meneruskan rencana pemindahan ibukota negara. Hal ini tercermin dari aksi peletakan batu pertama (groundbreaking) di kawasan calon ibu kota baru. 


Pro kontra atas rencana ini tidak terhindarkan. Ada yang menilai rencana tersebut sebagai sebuah gagasan besar dan strategis untuk kemajuan bangsa, namun ada yang menilai rencana ini sebagai sebuah gagasan gila, pengalihan opini dan kental nuansa politis, di tengah kondisi perekonomian Indonesia yang masih terpuruk.


Gagasan Perpindahan Ibukota

Presiden Jokowi dengan penuh optimistik memimpin rapat terbatas sebagai tindak lanjut rencana pemindahan ibukota Negara. Pada pandangannya pemindahan ibukota sebagai sebuah pemikiran yang visioner dan menjangkau ke depan untuk berselancar dengan era global yang kompetitif dan menuju Negara maju. Ada dua pertimbangan, saat ini Jakarta sebagai ibukota Negara; memiliki beban sebagai pusat pemerintahan dan pusat pelayanan publik serta bisnis. Pertanyaannya mampukah Jakarta memikul beban tersebut? Menurut presiden beberapa Negara sudah melakukan perpindahan ibukota Negara dengan pertimbangan mengantisipasi perkembangan zaman. Misalnya Korea Selatan dari Seoul ke Sejang, Brazil, dari Rio de Janiero ke Brasilia, demikian pula Kazakhastan, Malaysia dan lainnya. 


Perpindahan ibukota ini diprediksi menelan biaya yang sangat besar. Sebagaimana yang diusulkan oleh Bappenas, ada dua skema yang ditawarkan; skema rightsizing dan non-rightsizing. Dengan skema rightsizing, biaya yang diperlukan sekitar Rp. 323 triliun sedangkan yang non-rightsizing sekitar Rp. 466 triliun. 


Dengan estimasi anggaran yang sangat besar ini, rencana perpindahan ibukota menuai pro dan kontra. Mereka yang kontra, mengajukan beberapa argumentasi; Pertama, urgensi perpindahan ibukota, padahal kemiskinan di Indonesia masih tinggi; Kedua, perpindahan ibukota bukan prioritas utama untuk menjawab permasalahan-permasalahan strategis nasional. Ketiga, dugaan hanya sekedar untuk menjalankan proyek infrastruktur. Keempat,  sangat politis; dan Kelima, perlu ada kajian akademis yang mendalam—terutama dari aspek hukum tata Negara—misalnya UUD 1945 menjelaskan bahwa ibukota adalah tempat seluruh rakyat Indonesia mengambil keputusan, maka MPR bersidang di ibukota Negara, semua uang Negara yang dipakai oleh institusi Negara  akan diawasi oleh lembaga yang berkedudukan di ibukota Negara, yakni BPK. Tahun 1964 Soekarno mengeluarkan Undang-Undang yang menyatakan Jakarta adalah daerah khusus ibukota. Soekarno beralasan Jakarta adalah tempat proklamasi kemerdekaan, tempat bendera merah putih dikibarkan pertama kali, dan tempat menyebarkan ideologi Pancasila ke seluruh penjuru dunia. Pertanyaannya adalah bisakah ibukota dipindahkan? Jawabannya adalah ketika ditemukan fakta baru bahwa Jakarta bukan tempat proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta bukan pusat aktivitas revolusi dan seterusnya. 


Tetapi yang pro, mengajukan beberapa alasan. Paling tidak; Pertama, beban demografi pulau Jawa telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan yang berujung pada krisis air bersih, bencana banjir dan tanah longsor; Kedua, produktivitas kerja, karena ASN dan Non-ASN yang tinggal di daerah penyangga Jakarta yang macet sekaligus menimbulkan stress; Ketiga, pemerataan pembangunan di nusantara; Keempat, berdampak positif pada dunia usaha dan investasi, karena memunculkan kota metropolitan baru; Kelima, efesiensi, karena ibukota baru akan mengadopsi konsep smart city, karena menggunakan transportasi elektric vehicle dan lainnya. Keenam, ini yang mengejutkan pulau Jawa rawan bencana yang dapat terjadi kapan saja seperti gempa dan tsunami. 


Kondisi Ekonomi Indonesia 

Mengacu pada analisis pakar ekonomi Kwik Kian Gie, utang yang ditanggung Negara hingga 2017 saja sudah sangat berbahaya. Utang Negara mencapai jumlah sekitar RP. 3.600 trilyun. Dalam dua tahun pemerintahannya saja utang Negara bertambah sebesar Rp. 1.000 trilyun atau sebesar 38,56%. Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah per akhir Oktober 2019 berada di angka Rp. 4.756,13 trilyun. Rasionya mencapai 29,87% terhadap PDB, posisi utang ini mengalami kenaikan sebesar Rp. 277,56 trilyun dibandingkan posisi Oktober 2019 yang tercatat sebesar Rp. 4.478,57 trilyun. Hal ini diakibatkan karena Negara melakukan liberalisasi. 


Rakyat diperas oleh pemerintah melalui pajak. Utang dibayar melalui APBN yang sumbernya 90% dari pajak dengan memungut pajak yang lebih besar dari rakyat dengan berbagai cara dan intimidasi. Menurut Kwik utang Negara yang sedemikian besar ini adalah akibat dari sikap ambisius Jokowi dalam bidang infrastruktur yang kebablasan. Pembangunan tidak diperhitungkan secara matang terkait dengan pembiayaan dan manfaatnya. Bahkan lebih pada pencitraan belaka. 


Dengan kondisi utang yang sedemikian ‘menggunung’ bahkan BPS dengan lantang mengatakan rakyat miskin hidup dengan Rp. 11.000 per hari, sementara naik bis saja sudah Rp. 10.000, belum lagi untuk membayar listrik Rp. 150.000 per bulan untuk rumah kecil dan keperluan biaya sekolah. Munculnya musibah Covid-19 memporak-porandakan sendi-sendi ekonomi negara, dolar menembus angka Rp. 20.000,- toko, mall, kantor, pabrik ditutup, kebijakan stay at home juga mempengaruhi penghasilan keluarga—terutama di kalangan miskin ke bawah—jumlah pengangguran semakin bertambah. Akan lebih bijak untuk membenahi persoalan-persoalan kemiskinan, penanggulangan dampak Covid-19 dibandingkan untuk berpikir memindahkan ibukota Negara dengan biaya yang sangat mahal dan bermodalkan utang. 


Apalagi kalau kebijakan ini hanya berlandaskan pencitraan dan politis belaka, misalnya janji kampanye jika menjadi presiden Jakarta akan bebas dari banjir, pengangguran, kemacetan, menghentikan impor dan lainnya lalu melakukan politik pengalihan isu.


Kaji Ulang Rencana Perpindahan Ibukota

Dengan pertimbangan keuangan Negara, lingkungan hidup dan alasan hukum ketatanegaraan perpindahan ibukota Negara agaknya perlu dipertimbangkan kembali. 


Pemindahan ibukota Negara sepatutnya dilakukan dalam kondisi perekonomian negara sedang stabil dan mapan.  Ketika produktivitas industry atau sector tradable good berbasis sumber daya  sedang tumbuh baik. Akan lebih elegan pemerintah fokus pada kondisi ekonomi global yang unpredictable dengan mendorong produktivitas agregat supply. Seperti industrialisasi dini, lapangan kerja, kualitas sumber daya manausia, pemanfaatan infrastruktur dan lainnya. 


Sekarang ini terjadi demi sebuah ambisi perpindahan ibukota, tetapi di sisi lain menekan daerah bahkan ada kesan mengemis-ngemis ke daerah untuk kebutuhan rakyat. 


Aktivis lingkungan bahkan mempertanyakan kenapa harus ke Kalimantan, padahal Kalimantan adalah ‘paru-parunya’ dunia dengan hutannya. Akan terjadi perusakan lingkungan dengan banyaknya pembangunan gedung dan infrastruktur lainnya akan menjadi sesuatu yang sangat berbahaya dari sisi lingkungan hidup. 


Dari sisi ketatanegaraan adakah temuan fakta baru bahwa ibukota Negara harus pindah dari Jakarta. 


Sehingga bagi Ari Darmastuti dari Unila misalnya mengingatkan, pemindahan ibukota Negara ada tiga hal yang harus diperhatikan; Pertama, masalah urgensi; Kedua, landasan hukum; dan Ketiga, prioritas kebijakan.


Pemindahan ibukota memang penting tetapi belum menjadi prioritas utama, karena masih banyak permasalahan yang harus diselesaikan salah satunya mengenai kesejahteraan rakyat. Pemindahan ibukota juga  harus dilihat penyebab utamanya dan cara efektif penanggulangannya. Jika alasannya kepadatan penduduk, tidak bisa dipungkiri kepadatan juga akan terjadi di ibukota baru. 

Wallahu a’lam bi al-shawab


*)Penulis adalah dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu



0 comments: