Memahami Musibah Dalam Perspektif Al-Quran
Oleh:
Masduki Duryat
Indonesiaku Sayang, Indonesiaku Malang
Sejak awal tahun 2007 M. yang lalu atau di akhir tahun 1427 H. musibah mendera kita secara bertubi-tubi, di darat, laut dan udara. Rasanya semakin melengkapi rasa duka di tengah kesulitan ekonomi yang masih kita rasakan. Banjir terjadi di belahan
Sungguh menyayat hati dengan duka dan kerugian materi maupun immateri yang tidak ternilai. Duka itu kian bertambah ketika beberapa waktu lalu tepat pukul 15:04 terjadi gempa di Tasik disusul kemudian di Padang pukul 17:16 dan susulannya pukul 17: 58, esok harinya terjadi di Jambi tepat pukul 8:52, yang kalau kita renungkan jam-jam tersebut sangat relevan berbicara tentang pembinasaan suatu negeri karena kedurhakaan dan sikap kaumnya yang berperilaku seperti Fir’aun. Apakah ini suatu kebetulan? Sebuah ujian? Cobaan? Ataukah siksa? Atau merupakan peristiwa alam biasa, karena terjadinya pergeseran lempengan bumi yang akan terjadi setiap beberapa tahun sekali? Wallahu a’lam. Yang jelas bencana dan berbagai musibah sekarang ini menjadi sesuatu yang tidak asing lagi terjadi di tengah-tengah kita. Bencana Padang menurut para ahli lebih dahsyat ketimbang bencana di Jogja dengan korban lebih dari seribu orang.
Sebelumnya di tahun 2004 tepatnya tanggal 26 Desember--yang tidak akan terlupakan dalam sejarah, Aceh dan Sumatera Utara ditimpa bencana Tsunami yang mengakibatkan ratusan ribu orang tewas, sungguh merupakan suatu peristiwa yang sangat luar biasa serta menimbulkan dampak yang luar biasa pula, bukan saja dari segi fisik-material, bahkan juga psikis-spiritual. Berbagai tanggapan muncul dan sekian banyak orang terguncang hati dan imannya.
Musibah; Murka Tuhan?
Sebagai orang beragama yang percaya akan keesaan Tuhan dan kasih sayang-Nya yang dilukiskan-Nya sendiri sebagai mengalahkan amarah-Nya, maka ungkapan tadi tidaklah wajar terlintas dalam benak kita—lebih-lebih dari seseorang yang berprasangka baik kepada Tuhan.
Kita harus yakin bahwa Allah SWT., Tuhan yang Maha Esa adalah Rabbul ‘alamin (pemelihara seluruh alam) dan dalam konteks pemeliharaanNya itu terjadi sekian banyak hal yang antara lain, dapat terlihat—menurut kaca mata manusia—sebagai malapetaka atau tanpa kasih.
Memang, adanya sesuatu yang kita nilai buruk atas izin Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Adil itu, bukanlah satu hal yang mudah untuk dijelaskan. Ia merupakan salah satu yang amat musykil, khususnya bila ingin memuaskan semua nalar. Itu sebabnya yang merasakan Kemahabesaran dan Kemahabijaksanaan Tuhan biasanya hanya berkata: “
Tetapi jawaban semacam ini, jelas tidak memuaskan nalar. Keyakinan bahwa ada dua Tuhan, Tuhan cahaya (kebaikan) dan Tuhan kegelapan, pernah menjadi jawaban yang dilontarkan oleh sebagian penganut agama atau pemikir. Tetapi, keyakinan yang sekaligus merupakan jawaban itu ditolak penganut monoteisme. Karena ini mengurangi kuasa Tuhan. Al-Quran secara tegas menolak dualisme, baik dalam penciptaan, kekuasaan, maupun pengaturan alam raya.
“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan yang menjadikan kegelapan dan cahaya” (QS. Al-An’am [6]:1)
Sementara pakar agama, termasuk agama Islam, menyelesaikan persoalan ini dengan menyatakan bahwa “apa yang dinamakan keburukan, sebenarnya ‘tidak ada’, atau paling tidak hanya pada pandangan nalar manusia yang memandang secara parsial”, bukankah Allah menegaskan dalam al-Quran bahwasanya:
“Dialah yang membuat segala sesuatu dengan sebaik-baiknya” (QS. As-Sajdah [32]:7).
Kalau demikian, segalanya diciptakan oleh Allah, dan segalanya baik. Keburukan adalah akibat keterbatasan pandangan. Ia sebenarnya tidak buruk, tetapi nalar manusia mengiranya demikian. Ini serupa dengan yang memandang pada praktek amputasi tanpa mempertimbangkan sebab dan tujuannya. Tetapi jika diketahui penyebab, tujuan dan dampak akhirnya, maka dokter yang mengamputasi akan sangat terpuji. Atau serupa dengan yang memandang titik hitam (tahi lalat) pada wajah seorang wanita. Keterbatasan pandangan pada objek tersebut menjadikan pemandang melihatnya buruk, tetapi jika wajah dipandang secara menyeluruh, maka titik hitam tersebut justeru menjadi unsur kecantikannya.
Karena itulah maka Allah mengingatkan bahwa:
“Boleh jadi engkau tidak senang kepada sesuatu, padahal ia itu baik untuk kamu, dan boleh jadi juga engkau menyenangi sesuatu padahal itu buruk untuk kamu, Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah [2]:216). Jangan beranggapan bahwa gempa di satu daerah, gunung meletus dan musibah lainnya tidak membawa dampak positif bagi daerah itu. Demikian uraian ilmuwan.
Karena itu pula:
“Sekian banyak hari. Ketika itu kumencucurkan air mata itu. Tetapi setelah berlalu, aku menangisinya. Menyesal mengapa dahulu aku menangis”
Musibah; Bagaimana mensikapinya?
Di sisi lain, ummat manusia adalah satu ummat, kesatuannya menjadikan masing-masing harus saling menopang guna mencapai tujuannya. Manusia adalah makhluk sosial, dan dari sini sebagian harus berkorban demi sebagian yang lain. Harus ada yang sakit agar manusia mengetahui nikmatnya sehat, harus ada yang menakutkan agar diketahui nilai keberanian, harus ada petaka agar dirasakan makna kesabaran, demikian seterusnya.
Apabila satu penderitaan terjadi karena kesalahan, maka setimpallah akibat dengan ulah, sedangkan bila yang bersangkutan tidak bersalah, maka pasti ada pula imbalan yang disiapkan Tuhan baginya, jika tidak di dunia ini, maka di akhirat kelak.
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Innaalillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun’. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al-Baqarah [2]:155-157).
Demikian, Wa Allah A’lam bi Al-Shawab.