-->

ads

Daya Tarik Perempuan

Minggu, 22 Agustus 2021
Wanita bercadar (Dok. Pinterest)


Oleh : Masduki Duryat*)


Setiap manusia dapat mengatakan bahwa dia merasakan dan menghayati cinta, tetapi tidaklah mudah untuk merumuskannya dan membuat parameter yang sama.


Pada abad pertengahan cinta diilustrasikan sebagai sesuatu yang adi luhung, suci dan tidak boleh dirusak oleh tindakan-tindakan hawa nafsu. Tetapi makna cinta bergeser di abad ini; sulit untuk membedakan antara cinta dan tarikan seks.


Cinta; Pendekatan Definisi


Menarik diskursus cinta dari sisi definisi pada pandangan para pakar; misalnya Magnus Hirschfield, ia mengungkapkan: “Cinta adalah perselisihan antara khayal dan pikiran”. Lalu Dini S. mengatakan, “Kemenangan dalam cinta yang didapat dengan mudah, akan segera kehilangan indahnya cinta. Cinta yang sukar didapat lebih bernilai”. “Cinta adalah rahasia kebahagiaan rumah tangga. Rumah tanpa cinta, bagaikan tubuh tanpa ruh. Ketika penghuni sebuah rumah kehilangan Cinta, hidup mereka berada di ujung tanduk,” kata Nizar Abazhah dalam Bilik-Bilik Cinta Muhammad. 


Lalu yang lain mengatakan, “Cinta? Mimpi yang tidak pernah selesai. Kalau mau nikah, nikahlah dengan hatimu. Carilah kesucian batin, jangan sekali-kali karena uang”. Atau ada juga yang mengatakan, “Pernikahan adalah pohon, bukan buah. Siramlah supaya berbuah. Cinta utuh hanya datang dari Tuhan dan cinta dari seorang ibu”.  


Ungkapan Islam  ada istilah cinta, kasih, tenteram, serasi, sebagai gambaran yang dalam istilah modern sekarang disebut dengan cinta; perpaduan antara ruh dan pemikiran. 


Mengapa cinta diperbincangkan? Karena cinta menjadi faktor penting dalam membangun rumah tangga. Rumah tangga bersama cinta yang mengikatnya—dalam perspektif agama tali-temalinya adalah mawaddah, rahmah dan amanah—tidaklah datang secara sendirinya. Sinyalnya kuat atau tidak, menyala atau tidak api cintanya tergantung dari niat dan kemauan antara laki-laki dan perempuan yang akan menjalaninya. Durasi yang dibutuhkan juga untuk membangun cinta pada setiap keluarga juga berbeda. Ada yang cepat, lambat, dan mungkin ada yang tidak dapat menggapainya selama hidup. 


Cinta pada perspektif laki-laki normal tidak lepas memperbincangkannya dengan terma perempuan.


Perempuan atau Wanita?

Kenapa terma ini juga diperbincangkan? Ada sisi yang berbeda ketika memperbincangkan keduanya. Penulis lebih cenderung menggunakan terma perempuan—walaupun kemudian mengalami pergeseran makna—dibanding dengan terma wanita. 


Kalau kita tilik Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kedua kata tersebut bermakna demikian; Pertama,  Perempuan /pe·rem·pu·an/(n) orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; Kedua, Wanita /wa·ni·ta/(n) istri; bini.


Kata perempuan berasal dari kata dasar empu yang berarti ‘tuan’ atau ‘orang yang mahir/berkuasa’. Terdapat makna yang cukup dalam di sini. Kata ini berarti bahwa perempuan memiliki penuh tubuhnya dan menjadi tuan bagi dirinya sendiri.


Seiring berjalannya waktu, kata perempuan bergeser maknanya di masyarakat menjadi hal-hal yang berkaitan dengan keistrian dan rumah tangga.


Dengan kata lain, jika seseorang disebut sebagai perempuan, sering disalahartikan hanya sebagai ‘penunggu rumah’ saja. Padahal, secara arti, perempuan memiliki makna kemerdekaan seseorang tanpa kewajiban ‘melayani’ atau ‘diinginkan’.


Kata berikutnya adalah wanita. Wanita, dalam etimologi bahasa Jawa, diterjemahkan sebagai ‘wani ditoto’, artinya ‘berani diatur’. Berangkat dari sini, maka sulit bagi seorang wanita untuk memiliki kontrol terhadap dirinya sendiri, apalagi di masyarakat. Maka, seorang wanita tidak bisa menghindar jika didikte oleh seorang pria.


Ringkasnya,  penggunaan kata wanita cenderung membuat seseorang menjadi objek saja, karena tidak merdeka atas dirinya sendiri.


Itulah kenapa di negeri ini, ada Kementerian bernama Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dan pada dunia internasional ada hari perempuan internasional.


Apa korelasinya dengan daya tarik dengan terma perempuan? Ternyata—paling tidak pada perspektif laki-laki—perempuan ‘empu’ yang mulia itu memiliki bagian-bagian yang menjadi daya tarik tersendiri. Apalagi juga secara teologis al-Quran menjelaskan itu semua secara menarik.


Daya Tarik Perempuan

Agama mengajarkan kepada kita—laki-laki—bahwa “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah perempuan shalihah. Dalam riwayat lain; dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah perempuan yang dapat membantu suaminya dalam urusan akhirat”. 


Lalu ada juga ajaran Nabi, “Setelah taqwa kepada Allah, seorang mukmin tidak bisa mengambil manfaat yang lebih baik, dibanding istri yang shalihah dan cantik, yang jika suaminya memerintahkan sesuatu kepadanya, dia selalu taat, jika suami memandangnya, dia menyenangkan, jika suami menyumpahinya, dia selalu memperbaiki dirinya, dan apabila suaminya meninggalkannya (bepergian), dia pun selalu menjaga diri dan harta suaminya”. 


Tetapi ada hal yang lebih spesifik dan menarik di dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang dapat memberikan informasi daya tarik perempuan—pada pandangan laki-laki—secara fisik sebagaimana dipahami dari ilustrasi karakteristik perempuan di surga—yang dikenal bidadari idaman.


Daya tarik itu, sebagaimana diuraikan pada Tafsir Ilmi “Mengenal Ayat-Ayat Sains dalam al-Quran” adalah; Pertama, Mata. Dalam al-Quran ada lima ayat yang menjelaskan mata bidadari surga, yaitu pada surat (1) ad-Dukhan/44: 54, (2) at-Tur/52: 20, (3) ar-Rahma/55: 56, (4) al-Waqiah/56: 22, (5) as-Shaffat/37: 48. Mata adalah salah satu dari sekian anggota tubuh perempuan yang mempunyai daya pikat sangat dominan. Dengan kerlingan dan sorot mata yang tajam dan penuh arti perempuan akan mampu memikat lawan jenisnya.


Kedua, Kulit. Dalam al-Quran setidaknya ada dua ayat yang menjelaskan kulit bidadari surga; (1) Surat as-Shaffat/37: 49, (2) ar-Rahman/55: 58. Imam al-Baidhawi dalam tafsirnya menjelaskan tentang pemahaman dari ayat-ayat tersebut bahwa warna kulit mereka berwarna putih bercampur sedikit kekuningan, bersih dan bening. Disertai kemerah-merahan bagian atas dari pipi mereka. 


Ketiga, Payudara. Barangkali hanya satu ayat yang menerangkan tentang bentuk payudara bidadari di surga yaitu pada surat an-Naba/78: 33 yang berbunyi “Wa kaw’iba atraba”. Kata “Kawa’iba” adalah bentuk plural dari “ka’ib”. dalam al-Mu’jam al-Wasit II/957 disebutkan “ka’ubat al-fatah ka’uban, nahida sadyuha fa hiya ka’ab”, artinya gadis tersebut payudaranya montok, padat, berisi. Bidadari di surga adalah simbol keindahan seorang perempuan.  Allah sengaja menjelaskan hal ini untuk menggambarkan betapa cantik dan moleknya tubuh mereka. Kata “Atraba” bermakna umur mereka sebaya.


Keempat, Keperawanan. Hal ini bisa ditilik pada QS. Ar-Rahman/55: 56 kemudian juga pada QS. Al-Waqiah/56: 36. Al-Badawi menulis untuk mengomentari ayat-ayat itu bahwa setiap kali bidadari itu digauli, keadaan mereka tetap saja masih perawan/gadis. Masalah keperawanan pada perempuan adalah masalah yang menarik untuk diperbincangkan terutama bagi kaum laki-laki. 


Kelima, Betis. Betis perempuan adalah salah satu daya tarik bagi kaum laki-laki. Oleh karena itu tidak jarang banyak perempuan yang mendambakan betis yang indah. Dalam QS. An-Naml/27: 44 Allah berfirman, “Dikatakan kepadanya (Balqis) masuklah ke dalam istana. Maka ketika dia (Balqis) melihat (lantai istana) itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya (penutup) kedua betisnya.”


Itu beberapa daya tarik—secara fisik—yang ada pada perempuan, kadang membuat laki-laki lena dan terpedaya.


Tetapi jauh di atas itu semua, jika ingin menikahi perempuan—bagi laki-laki—ada juga rambu-rambu Rasulullah yang juga dipedomani kita; “Seorang perempuan dinikahi karena empat hal; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka hendaklah kamu menikah dengan perempuan yang kuat agamnya, agar kamu memperoleh kebahagiaan”. 


Wallahu a’lam bi al-Shawab


*)Penulis adalah dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Wirapanjunan, Kandanghaur Indramayu

0 comments: