-->

ads

Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh

Selasa, 17 Agustus 2021


Oleh: 

DR. H. Masduki Duryat, M. Pd.I

(Dosen Pascasarjana IAIN SNJ Cirebon)


Hari Ulang Tahun RI ke-76, 17 Agustus 2021 mengusung tema “Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh”. Tema Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh yang diangkat pada 2021 ini mendeskripskan nilai-nilai ketangguhan, semangat pantang menyerah untuk terus maju bersama dalam menempuh jalan penuh tantangan agar dapat mencapai masa depan yang lebih baik.


Kita mafhum, negeri ini secara bertubi-tubi diterpa ujian mulai dari masih maraknya mental hipokrit para pejabatnya, korupsi sudah pada titik nadir, kemiskinan, sulitnya lapangan kerja, belum berdaya saingnya SDM Indonesia jika dikomparasikan dengan negara lain, gap yang terlalu melebar antara yang kaya dengan yang miskin, dan masih belum melandainya kasus pandemi Covid-19. Memerlukan tenaga ekstra dalam melakukan pembenahan dan dibutuhkan kepemimpinan yang tidak hanya memiliki niat baik tetapi ‘sekali tarikan nafas’ memiliki kecerdasan adversity dan visioner dalam menangkap dan peka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang kadang tidak linier perkembangannya.


Leadership; Adversity Quotient (AQ)

Adalah Dr. Paul G. Stoltz yang mengumpulkan berbagai informasi dan hasil riset tentang Adversity Quotient (AQ) selama belasan tahun. Ia memanfaat tiga cabang ilmu pengetahuan; Psikologi kognitif, psikoneuroimunologi dan neurofisiologi. Ujungnya, diperoleh kesimpulan bahwa AQ adalah dasar semua kesuksesan.


IQ dan EQ—yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman—tidaklah cukup menghantarkan seorang pemimpin untuk sukses. Ada orang cerdas sekaligus pandai bergaul, tetapi bisa gagal karena tidak kuat bertahan dalam iklim keras dan penuh persaingan. Mereka menurut Bambang Trim (2009) yang sanggup bertahan dan malah dapat menaklukkan tantangan adalah mereka yang memiliki AQ. 


Lalu Paul G. Stoltz membagi kepemimpinan dalam konteks ini dengan tiga jenis; Pertama, Mereka yang berhenti (quitters), keluar, menghindari kewajiban dan berhenti; Kedua, Mereka yang berkemah (campers), memilih apa adanya, tinggal di comfort zone, merasa suksus sudah dicapai; dan Ketiga,  Mereka yang mendaki (climbers), terus mendaki tanpa memedulikan apapun pada dirinya dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan tetap bersemangat.


Situasi pandemi seperti sekarang ini—sebagai ujian terberat abad ini—diperlukan kepemimpinan yang tahan uji, tahan banting (AQ), dengan tetap juga technical skill, human relation skill dan conceptual skill atau dalam bahasa Muhamad Ali (2020) disebutnya kemampuan multidimensional yang harus dimilikinya.


Bukan zamannya lagi pemimpin yang hanya berfikir untuk memperkaya diri, mengotori kesucian kekuasaannya dengan sikap arogan, kebohongan dan kedurhakaan, bermental hipokrit, dan ‘menyembunyikan amanah rakyat. 


Memimpin memang berat, bahkan H. Agus Salim mengilustrsikan dalam bahasa Belanda “leiden is ledjen”—memimpin adalah jalan untuk menderita—memimpin adalah melayani. Memimpin tidak hanya menaklukkan bawahan dan ‘lawan-lawan politik’.  Pemimpin adalah inspirator dan lokomotif penarik gerbong perubahan perilaku, minset dan suasana kebatinan publik. Cahaya pencerah penuntun masa depan.

 

Karena itu, pemimpin dengan diskresi yang dimandatkannya di level manapun—tentu dengan kadar dan derajat dan tantangannya masing-masing—mengutip pandangan Ibnu Hisyam dalam “Shirah Nabawiyah” haruslah memiliki sifat-sifat dasar kepemimpinan yang kemudian disebut dengan terma “prophetic leadership” yakni Siddiq, amanah, tabligh dan fathanah; jujur, akuntabel, komunikatif dan cerdas. Bukan hanya lip service, harus tampak senyawa dan membatin dalam aksi yang mendrive jiwa kepemimpinannya. 


Sebaliknya dengan meminjam bahasa al-Quran, pemimpin memerankan dirinya di wilayah publik sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Fath; [48]: 29 adalah; Pertama, keras dan tegas terhadap kekafiran (penyimpangan); (menegakkan aturan dengan tanpa pandang bulu atau tebang pilih). “lau anna Fathimata binti Muhammadin saraqat laqatha’tuha”. Kedua, kasih sayang terhadap sesama; (populis, berpihak kepada kepentingan public, selalu menjaga soliditas dan solidaritas, keragaman masyarakat memperkaya inovasi, perbedaan menjadi rahmat bukan menjadi laknat). Ketiga, selalu ruku’ dan sujud; (rajin beribadah, rendah hati, giat bekerja, tulus, dan senantiasa berbuat semata karena Allah dan umtuk kepentingan masyarakat banyak). Keempat, selalu mencari karunia dan ridha Allah; (kreatif menggali potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM), cerdas menangkap peluang, taat dan patuh terhadap aturan, seimbang antara do’a dan ikhtiar, serta optimis atas rahmat dan ridha Allah). Kelima, bekas sujud Nampak di wajahnya; (kesalehan ritualnya memberi dampak pada kesalehan sosial, integritasnya sebagai muslim tercermin pada perilaku kesehariannya, yang selalu berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan masyarakat)”.


Janji Pemimpin; Mensejahterakan Rakyat


Dalam konteks Indonesia, ada untaian kalimat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sangat sakral dan berkonsekuensi pada kemerdekaan dan prinsip egaliter suatu bangsa, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Bahkan kemudian dilanjutnya dengan kalimat, “… kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi sgenap bangsa Indonesa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ….”


Untaian kalimat sakral dan mulia itu selalu dibaca setiap upacara Senin di sekolah dan peringatan detik-detik proklamasi setiap tanggal 17 Agustus. Ironisnya kegiatan itu berlangsung secara rutin nyaris tanpa makna yang mungkin tanpa membangkitkan semangat solidaritas dan nasionalisme kemerdekaan.  Kita hapal di luar kepala—bahkan para pejabat sering membacakannya—padahal pada pandangan Anies Baswedan itu seharusnya sekaligus menjadi sebuah janji yang harus direalisasikan oleh siapapun yang diamanahi jabatan untuk memimpin bangsa ini di tiap level tingkatan. 


Indonesia Tumbuh, Indonesia Tangguh


Ketika komitmen untuk merealisasikan janji cita-cita kemerdekaan ini menginternal dalam diri seorang pemimpin dalam level apapun. Rakyat mendukung penuh dengan cinta, maka Indonesia akan survive  sebagai sebuah bangsa dan bertumbuh untuk mampu berkompetisi dengan bangsa lain dengan penuh percaya diri berselancar di era global dengan tetap berpijak pada kearifan lokal. 


Proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan the founding father’s  bangsa memiliki makna sangat penting dan membawa perubahan sangat besar dalam kehidupan bangsa Indonesia, yaitu: Pertama, Proklamasi merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya; Kedua, Dengan proklamasi berarti bangsa Indonesia mendapat kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa yang berdaulat; Ketiga, Proklamasi merupakan jembatan emas untuk menuju masyarakat yang adil dan makmur.


Merdeka dalam membangun, merdeka dalam belajar, merdeka dalam menentukan kebijakan publik, dan merdeka dalam menangani persoalan-persoalan bangsa dalam menentukan  nasibnya sendiri sebagai bangsa yang berdaulat.


Persoalan bangsa—terutama di masa pandemi Covid-19—menyelipkan blessing indisguese utamanya adalah terbukanya, atau terungkapnya persoalan-persoalan fundamental di banyak sektor yang selama ini tertutup dan belum kita pikirkan dengan serius dan matang. 


Persoalan fundamental itu antara lain; Pertama bagaimana ketahanan sektor kesehatan Indonesia yang ternyata rentan dan rapuh. Seluruh pihak menyaksikan langsung bagaimana fasilitas kesehatan yang nyaris kolaps dan angkat bendera putih; Kedua adalah bagaimana ketahanan sektor sosial negara ini. Pemerintah ternyata juga kesulitan untuk secara cepat dan mendadak harus menyalurkan bantuan sosial kepada warga negaranya. Terutama mereka yang terdampak secara langsung; Ketiga, mengenai ketahanan sektor pendidikan di Indonesia. Ketika proses belajar mengajar harus dibatasi dan dilakukan secara online, terjadi ketidaksiapan infrastruktur dan kualitas pembelajaran yang akhirnya tergambar secara nyata bahwa Indonesia tidak siap dan tidak mampu memenuhi standar.


Keempat, bagaimana penyelamatan ekonomi rakyat, yang ternyata usaha kecil rakyat, yang didominasi usaha mikro dan kecil, tidak mampu secara cepat bertransformasi dari market space ke market place. Karena faktanya, marketplace yang ada didominasi barang-barang impor. Anak bangsa hanya menjadi pedagang yang menjual melalui dropshipper besar yang ada. Tepatnya hanya menjadi importir besar. 


Inilah pekerjaan besar kita sebagai bangsa yang merayakan kemerdekaan ke-76 tahun pada 17 Agustus 2021. 

Wallahu a’lam bi al-shawab




0 comments: