-->

ads

Fenomena Suryadi Carkaya

Rabu, 22 September 2021

Suryadi Carkaya (Dok. Facebook.com)

 

Oleh: Masduki Duryat*)


Suryadi Carkaya—atau yang lebih dikenal dengan panggilan Carkaya—sangat fenomenal, paling tidak untuk tataran politik Indramayu. Bagaimana tidak, sosok yang pada waktu kampanye pemilihan bupati Indramayu terkenal dengan jargon ‘ratakan’nya ini membombardir kebijakan Bupati dengan kritik-kritik yang sangat tajam. 


Bupati terpilih Indramayu ibu Nina Agustina adalah bupati yang diusung oleh PDI-P, masih baru beberapa bulan memimpin Indramayu dan Carkaya adalah salah satu wakil ketua bidang politik DPC PDI-P Indramayu. 


Carkaya; Sang Fenomenal

Carkaya, laki-laki yang lahir pada tanggal 5 September 1984 dan pernah mengenyam pendidikan di SMK Negeri 1 Losarang sangat fenomenal. Betapa pada saat pemilihan bupati pernyataan-pernyataan dan jargon yang dilontarkannya sangat lugas dan tajam, ‘ratakan’ menjadi sangat booming untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Ia begitu konsisiten menyerang RG dan Partai Golkar kala itu—yang nota-benenya partai yang berkuasa di Indramayu—dengan relatif cukup lama. Pada akhirnya kemudian ibu Nina menjadi pemenang dan dilantik menjadi Bupati Indramayu.


Ia dengan penuh percaya diri membangun filosofinya “walaupun kita menjadi pemenang, kesejahteraan tidak akan datang dengan sendirinya. Karena kesejahteraan harus direbut, logika pemenang adalah berbagi dan membagi bukan menunggu belas kasihan”. Itu kenapa ia tidak begitu nyaman melihat kepemimpinan ibu Nina beberapa bulan ini yang belum menunjukkan perubahan secara signifikan. Apalagi terjebak pada zona nyaman euforia kemenangan, “Biarkan mereka menari, hargailah kebahagiaan semunya. Ada waktunya kita berpesta lalu menari dengan riang gembira”, demikian Carkaya menulis. Ia tidak mau terjebak dalam diam, “hidup itu melawan nasib” tambahnya.


Kritik Carkaya; Ambisi atau Konsekuensi Demokrasi?

Kritik-kritik tajam yang dilontarkan Carkaya kepada Bupati Indramayu begitu viral di beranda FB-nya, apakah ini mengikuti trend seniornya di PDI-P Pusat yang juga mengkritik begitu tajam terhadap Presiden Jokowi—seorang kader terbaik PDI-P—mulai dari Effendi Simbolon, Puan Maharani dan bahkan ‘yang dipuja’ Megawati Soekarno Putri. 


Effendi Simbolon bahkan menyebut Jokowi, tidak patuh konstitusi karena dari awal penanganan pandemi Covid-19 tidak menerapkan UU Karantina, Puan melontarkan “Bangun kepercayaan masyarakat mulai dari prosesnya. Sampai masyarakat akhirnya merasakan langsung dampak positif dari kebijakan tersebut.” Megawati dengan lantangnya mengkritisi kebijakan presiden Jokowi dalam menangani pandemi Covid-19—terutama menyangkut tongkat komando dalam situasi darurat seperti ini. 


Carkaya mengadaptasi sikap politik seniornya atau memang ada naluri semangat untuk ‘selalu menjadi pribadi oposan’, walau terhadap sesama kadernya di PDI-P yang menjadi penguasa. Ada yang mengatakan karena ada ‘kepentingan’ yang tidak terakomodir, tetapi yang pasti ia sangat ingat betul pesan Megawati “jangan pernah memunggingi rakyat”. 


Reasoning yang digunakan Carkaya, PDI-P memaknai kekuasaan itu hanya sebagai alat untuk merealisasikan kesejahteraan rakyat. Maka PDI-P akan memilih bersama rakyat dan membela kepentingan rakyat. Karena instruksi ketua umum PDI-P sangat tegas bahwa kader PDI-P jangan memunggungi rakyat. Tiga pilar partai; lihat, dengar dan rasakan penderitaan mereka. Ia berdalih yang saya dukung bukan individu tapi dari awal perubahan. Ketika sosok yang kita anggap gagal, maka bukan menghujat demi pujaan tapi demi idealisme. 


Kritik-kritik tajam Carkaya terhadap kebijakan bupati Indramayu tanpa tedeng aling-aling. Menyangkut program unggulan, ia menyampaikan; “Si doi panen raya ngomong produksinya tinggi, padahal ngerti saja tidak. Apalagi berbuat untuk petani, 99 program prioritas bagaimana? Mblekeneng. “Dulu kau meminta kami memilih, sekarang mau kau injak-injak kami seperti semut. Jangan pikir rakyat bodoh”. “10 program prioritas 100 hari kerja bupati, apa indikator keberhasilannya? Berapa prosen ketercapaiannya? Apa manfaatnya bagi masyarakat? Mblekeneng”. 


Dalam fungsinya sebagai civil-society dan masyarakat menggunakan fungsi kontrolnya, ia menyampaikan “Calon pemimpin itu harus dikritisi habis dan dipreteli. Intelektualitas, kredibilitas, dan kapasitasnya harus diukur. Publik berhak dan wajib mengambil peran”. 


Dalam konteks demokrasi Carkaya melihat bupati Indramayu masih belum juga memenuhi keinginan aspirasi rakyatnya. “MKKS dan KKKS dibubarkan tanpa tahu substansinya, ibarat bongkar mobil si doi langsung minggat. Mau dibawa ke mana? Mblekeneng’. “Ketua PKK Indramayu mengundurkan diri, mungkin gantinya Pangeran dokmong (dodok ora ngomong-ngomong), mblekeneng”. Bahkan ia menulis, “Bertahun-tahun melawan RG demi perubahan daerah ke arah yang lebih baik. Buang-buang umur kalau hanya diam melihat ketidakbecusan di depan mata”. “Daripada mikiri pemimpin dengan hari mending mangan bubur ayam sing pedes. Joss keringetan nambah imun”. “Selain tiktokan, selfi dan kerja jabrugan. Prestasi si doi menaikkan level 3 Covid-a9 ke level 4. Memimpin dengan hati dudu nganggo emosi”. “Kami butuh pemimpin, bukan penguasa”. 


Banyak lagi kritik-kritik yang dilontarkan Carkaya terhadap kebijakan Bupati Indramayu dengan khas bahasa dan dialek Indramayu. 


Akankah Carkaya tamat riwayatnya karena akan ‘ditegur’ oleh partainya? Atau akan dibiarkan menjadi ‘lembaga’ di luar DPRD yang akan terus mengawal kebijakan bupati Indramayu. Carkaya akan menjadi ‘pengawal demokrasi” sebagai konsekuensi logis dari proses demokrasi dan akan “aman” karena konstitusi kadang tidak cukup untuk menjadi piranti demokrasi.


Demokrasi dan Menahan Diri

Sangat menarik fenomena Carkaya ini untuk dicermati, sehingga membuat penulis juga ingat sebuah buku How Democracies Die yang best seller itu, termasuk di Indonesia. 


Best sellernya buku How Democracies Die yang ditulis oleh Steven Levistsky dan Daniel Ziblatt semakin populer—di Indonesia—ketika Anies Baswedan sambil duduk santai dengan membaca buku ini. Yang menarik salah satu di antara tulisan judul kecil pada buku ini tentang “Pagar Demokrasi”, selama bertahun-tahun orang AS mempercayai konstitusi AS sebagai pusat keyakinan sebagai negara dan bangsa yang terpilih, dibimbing Ilahi, mercusuar harapan dan kemungkinan dunia. 


Berbagai piranti demokrasi dibuatnya untuk mencegah pemimpin berkonsentrasi dan menyalahgunakan kekuasaan. Namun, apakah sarana perlindungan konstitusional itu bisa memadai untuk mengamankan demokrasi? Penulis buku ini meyakini, tidak. Konstitusi yang dirancang dengan baik pun kadang gagal. Konstitusi yang dirumuskan dengan baik pun tidak dengan sendirinya menjamin tegaknya demokrasi, memang konstitusi selalu tidak lengkap. Ada saja kesenjangan dan ambiguitas di dalam semua sistem hukum, maka tidak bisa hanya mengandalkan konstitusi untuk menjaga demokrasi. 


“Tuhan tidak pernah menganugerahi negarawan atau filosof, atau siapapun”, tulis mantan presiden AS Benjamin Harrison, “dengan cukup banyak kebijaksanaan untuk merumuskan suatu sistem pemerintahan yang bisa langsung dijalankan semua orang begitu saja”. Itu yang kemudian dengan mengadaptasi pandangan Gunnar Myrdal karena nilai-nilai tidak dapat terlaksana dengan sendirinya diperlukan sikap saling toleran dan menahan diri secara kelembagaan maupun individu untuk bagaimana harus berbuat—di luar batas hukum—untuk menjalankan fungsinya secara kelembagaan maupun individu.


*)Penulis adalah dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu


0 comments: