-->

ads

Pemimpin itu Perlu Jabatan? (Kasus Pandemi Covid-19 di Indonesia)

Selasa, 21 September 2021

 

Puan Maharani dan Megawati Soekarnowati (Dok. Sinpo.tv)

Oleh: Masduki Duryat*)

James McGregor Burn menulis dengan elegan; krisis kepemimpinan saat ini ditandai dengan mengemukanya perilaku biasa-biasa saja atau tidak bertanggungjawab dari begitu banyak orang berkuasa, namun kepemimpinannya jarang hadir memenuhinya.


Itu yang kemudian menurut Yasraf Amir Pilialang, dinarasikannya kekuasaan tanpa kuasa tentu sebuah ironi karena ia seperti kata tanpa makna, atau konsep tanpa realitas. 


Sehingga Alfan Alfian mengamini pandangan ini, jika terjadi maka otoritas kekuasaan memang ada yang dipegang pemangku kekuasaan di dalam aneka aparatur negara. Tetapi ia tidak mampu menunjukkan kuasanya. Kekuasaan lantas menjadi “kekuasaan minimalis”, yakni ketika sistem kekuasaan hanya mampu menunjukkan efek yang sangat kecil, dengan efek perubahan yang sangat minim. 


Pemimpin Perlu Jabatan?

Pertanyaan ini boleh jadi dijawab dengan iya dan tidak. Seperti jawaban Sanborn dalam buku Wawasan Kepemimpinan Politiknya M. Alfan Alfian. Ia berpandangan, dalam diri semua orang bisa menjadi pemimpin. Seorang pemimpin itu bisa memimpin dengan atau tanpa jabatan. “Kita semua tahu tentang para pemimpin yang memiliki jabatan besar,” pada pandangan Sanborn, “tetapi sebenarnya mereka bukan pemimpin”. Artinya, ada seseorang jabatan formalnya tinggi, tetapi ia bukan pemimpin. Ia berada dalam bayang-bayang sosok lain yang lebih berpengaruh dari dirinya, yang mendiktekan kebijakan-kebijakan strategis kepadanya. 


Kepemimpinan itu pengaruh, kata Sanborn lebih lanjut. Untuk mengembangkan pengaruh, pemimpin tidak harus memiliki jabatan—formal. Pesan McGannon, leadership is action not position. Pesannya sangat ideal, bukannya posisi tidak penting, tetapi kepemimpinan lebih banyak berurusan dengan tindakan. 


Bayang-Bayang Luhut Binsar Panjaitan; Kritik Terhadap Jokowi

Apa yang diilustrasikan oleh Sarborn, dalam konteks Indonesia terjadi saat ini—terutama dalam penanganan Covid-19—yang melanda bangsa kita. 


Berbagai upaya dilakukan, salah satunya dengan melakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), yang mengalami beberapa kali perpanjangan. Akankah dengan diperpanjangnya PPKM ini akan mampu menekan laju pandemi Covid-19 di Indonesia dengan berbagai perubahan nama PPKM Level 1-4—yang meminjam bahasa William Shakespeare What is in a name (apalah arti sebuah nama)—kalau esensinya sama, ‘gagal’. Sampai-sampai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menyampaikan permohonan maaf ke publik atas pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang belum maksimal—untuk tidak mengatakan gagal—yang dilakukan pemerintah.


Salah satu faktor penyebab semakin mewabahnya pandemi Covid-19 adalah dikarenakan penanganan yang lambat dan tidak tepat. Hal ini yang kemudian mengundang reaksi, kritik dan bahkan ‘demo’ di beberapa tempat. Tidak terkecuali kritik keras yang disampaikan oleh PDI-P melalui Megawati Soekarno Putri, Puan Maharani dan Effendi Simbolon kepada Presiden Joko Widodo yang nota-benenya kader PDI-P. 


PDI Perjuangan dikenal sebagai partai yang selalu mendukung Joko Widodo dalam dua pemilihan presiden terakhir—tahun 2014 dan tahun 2018—yang lalu. Kini ketika dimunculkan isu presiden tiga periode, PDI-P tidak mendukung wacana tersebut.


Ada apa ini? PDI Perjuangan kenapa tidak mendukung Jokowi lagi? Bahkan Presiden Joko Widodo menjadi bahan kritikan dan  teguran orang-orang PDI Perjuangan. Bukankah mereka semua petugas partai dari PDI Perjuangan. 


Pertama Effendi Simbolon, yang secara blak-blakan menyalahkan Jokowi dalam penanganan virus Corona.


"Presiden tidak patuh konstitusi. Kalau patuh sejak awal lockdown, konsekuensinya paling banyak keluar uang Rp 700 triliun. Sebulan Rp 1 juta saja kali 70 (juta rakyat) masih Rp 70 triliun. Kalau 10 bulan Rp 700 triliun. Angka itu masih  di bawah jumlah uang yang sudah dikeluarkan pemerintah untuk hal yang tidak jelas ke mana larinya. Pada akhirnya, yang terjadi kini  lebih mahal ongkosnya. PSBB saja tahun lalu habiskan Rp 1.000 triliun lebih. Kita menggunakan terminologi PSBB sampai PPKM, mungkin di awal mempertimbangkan dari sisi ketersediaan dukungan dana dan juga maslah ekonomi." kata Effendi Simbolon. 


Puan Maharani juga tidak kalah sangarnya menegur Presiden Joko Widodo. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) ini,  menyoroti penanganan pandemi Covid-19 yang dilakukan pemerintah.


Salah satunya aturan makan di tempat selama maksimal 20 menit dalam PPKM Level 4.  Puan menghawatirkan aturan makan di  tempat selama maksimal 20 menit itu, hanya akan menjadi lelucon. Padahal, pemerintah seharusnya menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan PPKM.


"Bangun kepercayaan masyarakat mulai dari prosesnya. Sampai masyarakat akhirnya merasakan langsung dampak positif dari kebijakan tersebut. Jangan malah mengeluarkan pernyataan yang membuat bingung rakyat dan memperkeruh situasi. Perbaiki komunikasi publik, termasuk kejelasan siapa yang pegang komando komunikasi ini, terutama terkait dengan keputusan pemerintah”, demikian saran Puan. 


Bahkan dengan lantangnya Megawati mengkritisi kebijakan presiden Jokowi dalam menangani pandemi Covid-19—terutama menyangkut tongkat komando dalam situasi darurat seperti ini. “Saya bilang sama presiden, bapaklah yang namanya kepala negara presiden RI yang harus langsung. Karena ini persoalannya adalah extraordinary. Coba tolong pikirkan, saya mau ngomong ke Pak Jokowi siapakah yang harus pegang komando. Sekarang kan Satgas pandemi kan ada, harusnya kan itu ya sudah begitu. Tapi yang saya lihat di lapangan semua bisa dibilang jak-jakan”. 


Apalagi secara realitas yang ditunjuk oleh presiden dalam penanganan pandemi Covid-19 ini, menteri yang berasal dari partai kompetitor—yang pada konteks tertentu jika berhasil akan menaikkan citra partainya, tetapi sebaliknya jika gagal maka presiden dan partai pengusungnya yang terdampak—bukan presiden langsung. 


Angin sepertinya sudah berbalik arah. PDI Perjuangan yang dulunya beramai-ramai  mendukung Jokowi, kini sebaliknya beramai-ramai menegur dan mengkritik Presiden Joko Widodo.


Kritik Jokowi; Ada apa ini?


Bagi PDI-P penanganan pandemi Covid-19 ini adalah sesuatu yang sangat urgent, sebab ini menyangkut kredibilatas partai. Bagi Megawati kejengkelan yang membuncah sedemikian rupa ini dikarenakan nama baik PDIP akan rusak dan kredibilitasnya akan turun jika Jokowi gagal dalam menangani Pandemi dan ini akan menjadi ‘jalan terjal’ untuk mengulang menjadi partai penguasa serta mendorong kader terbaiknya—Puan Maharani—untuk menjadi orang nomor satu di Republik ini. Seorang Ganjar juga ditegur di ruang terbuka, karena Mega tidak ingin posisi Puan Maharani untuk 2024 akan terganggu.


Sehingga kritik Mega itu memiliki muatan ganda; Pertama, bertujuan mengkritik lambannya kinerja pemerintah dalam mengatasi Covid-19. Kedua, Megawati juga ingin menaikkan citra putrinya, Puan Maharani yang digadang-gadang akan bertarung di 2024. Karena tentu saja, kejengkelan itu tidak semata soal citra PDIP, tapi juga citra Puan. Puan membutuhkan popularitas dan kenaikan elektabilitas. Itu bisa diraih, selain dari baliho yang mulai bertebaran sekarang ini, juga dari citra kinerja pemerintah yang sekarang. Bahkan bagi Effendi Simbolon secara terang-terangan ketua umum partailah yang harus didorong dan diusung untuk menjadi presiden. 


Atau boleh jadi PDI-P belum move-on menjadi partai pemenang, lebih nyaman sebagai oposisi. Sehingga seorang presiden yang diusung partainya pun dikritik habis-habisan, yang pada konteks tertentu sangat ironi dan boleh jadi juga akan menurunkan elektabilitas partai pengusungnya (dalam hal ini PDI-P). 


Pemimpin dalam Jabatannya

Pernyataan Megawati yang mengungkit bahwa dirinya pernah meminta Presiden Jokowi menjadi komando langsung tanggap darurat, disampaikan karena tidak ada perbaikan nyata di lapangan. Malah kondisinya semakin memburuk, menjadi episentrum baru yang menghawatirkan dengan tingkat kematian yang sedemikian tinggi. 


Di  sisi lain, Jokowi selalu mengandalkan orang lain sebagai komandan PPKM. Yang ini dinilai semakin kontraproduktif dan membuat semakin kacaunya dalam penanganan pandemi Covid-19. Hal ini juga semakin meniscaya komando penanggulangan pandemi Covid-19 bukan oleh presiden, pelaksanaan pengendalian yang berubah-ubah berikut dasar hukumnya, dari PSBB ke PPKM dengan Darurat atau yang level-level dengan dasar hukum hanya Instruksi Mendagri. 


*)Penulis adalah Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu


0 comments: