-->

ads

Puasa; Riyadhah Konsistensi Untuk Taat Azas

Minggu, 03 April 2022


Oleh:  Masduki Duryat*)

Kemuliaan Ramadhan sangat dinanti oleh ummat Islam karena di dalamnya di samping diwajibkan melaksanakan ibadah puasa, juga karena di bulan ini al-Quran diturunkan—sebagai pedoman hidup ummat Islam—sehingga berkonsekuensi adanya lailatul qadar. 


Berulangkali kali kita melaksanakan puasa di bulan Ramadhan ini, tetapi berulangkali pula kita terjebak ibadah yang bersifat rutinitas yang seolah tak berdampak pada realitas sosial. Padahal ketika kita sedang berpuasa, kemahahadiran Tuhan terasa semakin dekat. Kita tidak berani melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama—makan, minum, dan yang membatalkan puasa di siang hari—padahal tidak ada yang melihat apa yang kita lakukan—karena meyakini Allah Maha Melihat apa yang kita lakukan. 


Terjawab sudah pertanyaan anak gembala ‘fa aina Allah?’ di bulan Ramadhan ini. Kejujuran, kedisiplinan, kepedulian adalah bagian kecil nilai yang dapat dihikmai dalam melaksanakan ibadah puasa. 


Tetapi Political and Economic Risc Consultancy (PERC) Hongkong masih menempatkan kita menjadi negara yang terkorup di Asia. Prof. Dr. Amin Rais menyodorkan hasil penelitian dari world bank bahwa dari sekitar 45 bangsa di dunia, ternyata bangsa Indonesia tidak termasuk bangsa yang paling rajin. Tetapi dari bangsa yang malas, ternyata bangsa Indonesia menduduki rangking ketiga dari 45 bangsa itu. Dalam konteks demikian jaddidu imanakum menjadi jargon yang selalu relevan untuk terus mereformasi—dalam bahasa Umar Ibn Khaththab hasibuu qabla an tuhasabu— ibadah kita ke arah yang lebih baik dan berdampak pada realitas sosial.


Kelebihan Ummat Muhammad SAW.

Ketika Allah menurunkan wahyu kepada Musa AS difirmankan kepadanya: “Wahai Musa akan Aku berikan kepada ummat Muhammad dua sinar yang cemerlang agar mereka tidak terjebak dalam menghadapi dua kegelapan”, Musa langsung menyahut “Ya Allah apa yang dimaksud dengan dua cahaya cemerlang itu? Dua cahaya cemerlang itu adalah cahaya Ramadhan dan cahaya al-Quran. Lalu Musa bertanya lagi, apa yang dimaksud dengan dua kegelapan? Dua kegelapan itu adalah kegelapan alam kubur dan kegelapan hari kiamat”. 


Dialog Allah SWT. dan Musa AS. ini mengindikasikan kepada kita ummat Muhammad SAW. akan adanya karunia dan kelebihan yang diberikan kepadanya yang tidak diberikan kepada ummat lain. Sehingga adalah sebuah kewajaran jika ummat Islam memanfaatkan Ramadhan ini untuk berpuasa secara sungguh-sungguh pada siang harinya dan mengkaji ayat-ayat al-Quran secara intens di siang dan malam harinya. Sebuah pemandangan yang jarang terlihat di bulan lain selain bulan Ramadhan. 



Modal sebagai Khalifah

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.


Mengapa Allah menuntun manusia dengan firmanNya seperti di atas? Tidak lain karena sasaran manusia hidup di dunia ini bukan hanya makan ansic, tetapi ada tujuan yang lebih luhur yaitu menjadi khalifah Allah di muka bumi ini (QS, 2: 30). Hewan tidak perlu dituntun dengan firman, karena hewan telah diatur melalui pola insting. Herbivora tidak akan pernah menjadi carnivora, demikian sebaliknya. Tetapi manusia, jenis daging, rerumputan juga dilahapnya, jika ‘wal-wal keduawal embuh kodok embuh kadal sing penting diuntal’ maka derajat manusia lebih rendah daripada hewan—dan itu tidak layak dilakukan oleh seorang khalifah. 


Dengan demikian, jika manusia ingin benar-benar mengimplementasikan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi, maka hendaklah dia mencari makan yang halal dan baik serta tidak mengikuti langkah-langkah setan. 


Setan selalu mencoba untuk menjerat manusia melalui makanan, agar manusia terseret ke dalam langkah-langkahnya. Berapa banyak di antara kita yang berkelahi, berebut jabatan, bermusuhan, memutarbalikkan yang halal menjadi haram. Kebenaran menjadi ‘abu-abu’, bahkan setan dapat memunculkan permusuhan dan pembunuhan sampai kepada peperangan dalam mempersoalkan makan ini.


Oleh karenanya lebih lanjut kepada orang-orang yang beriman, Allah SWT. mengeluarkan pula tuntunan khusus mengenai makanan ini dengan “syariat puasa ramadhan’.


Di dalam puasa ramadhan ini manusia yang beriman dituntun bukan hanya untuk makanlah yang halal dan baik saja, tetapi juga manusia yang beriman ditarbiyahi untuk kapan saatnya makanan yang halal dan baik itu boleh dimakan dan kapan harus ditunda dulu untuk sementara. Ini berarti mengandung sistem pengendalian diri, bukan hanya terhadap barang yang haram saja, tetapi mampu pula mengendalikan diri terhadap barang yang halal dan baik dalam konteks taat kepada Allah.


Dengan demikian, manusia yang beriman diajak untuk lebih meningkatkan diri menuju kepada tingkat kemuliaan selaku khalifahNya di muka bumi. Syariat yang dituntun di sini bukan hanya sekedar menahan 14 jam dalam siklus waktu sehari semalam, tetapi secara terus-menerus dilaksanakan selama satu bulan, untuk mendapatkan tingkat kontinuitas dan konsistensi yang tinggi selaku khalifah. Kalau dilakukan dalam kurun waktu sehari saja, manusia cenderung bersifat semu dan penuh kepura-puraan. Tetapi dengan syariat selama satu bulan terus-menerus ini manusia dituntun untuk selalu taat azas. Inilah karakteristik orang yang bertaqwa. Karena itu, maka di ujung ayat perintah puasa ramadhan itu disebutkan agar kita menjadi taqwa (QS. 2: 183).


Puasa Berdimensi Sosial

Dengan berpuasa diharapkan kita semakin dekat dengan orang miskin. Karena di samping kita diperintahkan untuk melaksanakan ubudiyah kepada Allah yang bersifat spiritual, kita juga diperintahkan untuk mengurangi kesenjangan sosial, dengan banyak bersedekah, infak, zakat dan ibadah sosial lainnya. 


Tetapi sangat disayangkan pada dimensi sosial ini masih kalah intensitasnya jika dibandingkan dengan dimensi spiritual. Bukankah masih banyak di antara kita yang melakukan shalat, menunai haji berkali-kali, tetapi ‘tidak peduli’ terhadap tetangganya yang tidak sekolah, tergelepar mati pelan-pelan karena tidak memiliki biaya untuk ke rumah sakit dan sebagainya. Bukankah masih ada di antara kita yang melakukan dzikir secara konvensional? Yakni dengan mengulang ungkapan nafi wa istbat (peniadaan dan penegasan ketuhanan Allah, yakni laa ilaaha illallah) atau kita sekedar mengulang-ulang kata ”Allah” isim dzat, tetapi jarang melakukan dzikir sosial? Berlama-lama kita dzikir di atas sajadah, tetapi tidak tergerak hatinya melihat tetangganya yang miskin, tidak sekolah dan sebagainya. 


Agak ekstrim ketika Syaikh Ahmad Sirkindi sampai pada satu kesimpulan; ada saat-saat kita berdosa mengucapkan dzikir. Baginya, mengucapkan dzikir dalam situasi orang membutuhkan kita, boleh dikatakan berdosa. Ia menunjuk contoh, menyelamatkan orang buta yang berdiri selangkah di pinggir mulut sumur lebih baik daripada berdzikir. Allah tidak membutuhkannya atau dzikirnya, sementara orang buta membutuhkan bantuan, memerlukan seseorang untuk menyelamatkannya—khususnya orang yang terpilih sebagai penyelamat yang diberi kesempatan untuk berada di dekatnya.


Menyelamatkan orang buta dalam situasi tersebut merupakan bentuk dzikir juga, karena perbuatan itu memenuhi perintah Allah. Dalam berdzikir dengan menyebut nama Allah, kita hanya melaksanakan satu tugas—yakni tugas kepada Allah. Namun bila kita berusaha menyelamatkan orang, kita telah melaksanakan dua tugas secara berbarengan—tugas kepada Allah dan tugas kepada manusia. Dalam konteks inilah, membantu orang-orang miskin, anak-anak yatim di sekolahkan, membela orang-orang tertindas masuk dalam kategori dzikir.


Momentum puasa inilah saatnya kita mentawazunkan antara ibadah spiritual dan sosial—hablun minallah wa hablun minannaas.


Wallahu a’lam bi al-shawab

*)Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP al-Amin Indramayu


0 comments: