-->

ads

Etika (Urgensi dan Eksistensinya Dalam Ilmu Pengetahuan)

Jumat, 15 Januari 2010

Ilustrasi (liputanbanten.com)

ETIKA

(URGENSI DAN EKSISTENSINYA DALAM ILMU PENGETAHUAN)

Oleh: Masduki Duryat

Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hamper semua aspek kehidupan manusia. Berbagai permasalahan seolah hanya dapat dipecahkan kecuali denga upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi.[1] Selain manfaat bagi kehidupan manusia, perubahan juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat[2]. Sisi positif kemajuan ilmu pengetahuan, adalah bersifat fasilitatif (memudahkan) kehidupan manusia yang hidup dalam kesehariannya dan sibuk dengan berbagai problema yang kadang semakin mengemelut. Pada sisi lain, ilmu pengetahuan telah membawa dampak negatif terutama dalam bidang moral dan spiritual yang menimbulkan keresahan batin yang menyakitkan, karena kejutan-kejutannya tidak terkendali lagi. Karena sifat ilmu pengetahuan bebas dari nilai apapun.


Diperhadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersifat merusak ini, menurut Jujun S. Suriasumantri[3] para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama, menginginkan bahwa ilmu pengetahuan harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya; apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan yang baik, ataukah dipergunakan untuk tujuan yang buruk.

Golongan kedua, sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik (ontologi) keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya (aksiologi), bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegitan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Lebih lanjut Jujun S. Suriasumantri mengatakan bahwa: “Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dalam melakukan prostitusi intelektual”.[4]

Oleh karena itu,melalui kajian filsafat ilmu ini, diharapkan ditemukan penjelasan mengenai urgensinya menanamkan nilai-nilai etika dalam ilmu pengetahuan.

Definisi dan Term yang Terkait dengan Nilai-nilai Etika

Cecep Sumarna[5] menegaskan bahwa mengkaji nilai bukanlah suatu hal yang mudah, karena nilai sulit diukur dan bersifat relatif-subjektif. Antara individu yang satu dengan individu yang lainnya mempunyai pandangan tersendiri tentang makna nilai apalagi antar komunikasi, idiologi, dan agama, tentunya mempunyai pandangan yang berbeda tentang makna nilai.

Nilai atau “vulue” (bahasa inggris) termasuk bidang kajian filsafat. Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari dalam salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiologi, Theory of Vulue)[6]. Dalam bahasa yang sama Cecep Sumarna menyebut teori nilai sama dengan aksiologi.[7] isilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya “keberhargaan” (worth) atau kebaikan (goodness), dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian.[8] jadi, nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu. Misalnya, bunga itu indah, perbuatan itu susila. Indah, susila adalah sifat atau kualitas yang melekat pada bunga dan perbuatan. Dengan demikian,nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang “tersembunyi” di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Ada nilai itu karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai (wurtrager).

Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu yang lain, kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu merupakan keputusan nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, indah atau tiddak indah. Keputusan nilai yang dilakukan oleh subjek penilai tentu berhubungan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia sebagai subjek penilai, yaitu unsure-unsur jasmani, akal, rasa, karsa (kehendak) dan kepercayaan. Sesuatu itu dikatakan bernilai apabila sesuatu itu berharga, berguna, benar, indah, baik, dan lain sebagainya.

Menurut Cecep Sumarna[9] ada dua istilah yang sering dikatakan dan dihubungkan dengan persoalan nilai yaitu moral dan etika. Istilah etika dan moral sering tidak bisa dibedakan secara jelas dan sering mengacu pada hukum yang berlaku secara umum dimasyarakat. Terdapat berbagai pandangan dalam memahami etika dan moral. Sebagian ilmuan ada yang menganggap baahwa antara etika dan moral memiliki makna yang sama.

Etika adalah sebuah cabang filsafat yang membedakan tentang nilai dan norma yang menentukanprilaku manusia dalam hidupnya. Sebagai cabang filsafat, etika amat menekankan yang kritis dalam melihat dan menggumuli nilai dan norma serta permasalahan yang timbul dalam kaitan nilai dan norma. Etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma yang menentukan dan terwujud dalam sikap serta pola prilaku hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok.

Secara etimologi,berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti watak. Sedangkan moral dari bahasa Latin mos (bentuk tunggal) dan mores (bentuk jamak) yang sering diartikan sebagai kebiasaan.[10]

Menurut Helden dan Richard yang dikutif Sjarkawi[11] merumuskan pengertian moral sebgai suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan dengan tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip dan aturan. Selanjuynya, Atkinson yang juga dikutip Sjarkawi[12] mengemukakan moral dan moralitas merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan. Selain itu, moral juga merupakan seperangkat keyakinan dalam suatu masyarakat berkenaan dengan karakter atau kelakuan dan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Oleh karena itu, menurut Cecep Sumarna[13] dalam tulisannya yang lain mengatakan moral pasti membutuhkan norma. Norma moral akan menjadi tolok ukur dalam menentukan bentuk salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat sebagai pelaku peran tertentu. Tolok ukur itu misalnya agama, tradisi dan ideology yang dianutnya.

Terlepas dari perbedaan pandangan tersebut di atas, kajian terhadap persoalan nilai-nilai etika dalam ilmu pengetahuan menjadi bagian penting, karena menurut Cecep Sumarna[14] persoalan nilai, etika dan moral yang seharusnya menjadi landasan epstimologi dalam bangunan sistem ilmu pengetahuan, ternyata tidak dijalankan. Padahal persoalan nilai memiliki pengaruh yang besar terhadap berbagai segi kehidupan umat manusia.

Dengan demikian, pentingnya menanamkan nilai-nilai etika dalam ilmu pengetahuan adalah sebuah keharusan, karena ilmu pengetahuan tanpa nilai akan menjadi hampa.

Urgensi Nilai-niali Etika dalam Ilmu Pengetahuan

Pemanasan Global pada akhir-akhir ini telah menjadi perbincangan public di jagat raya ini, efek rumah kaca akibat makin banyaknya gas karbondioksida hasil pembakaran bahan bakar fosil tidak hanya mengancam sebagin dunia, tapi seluruh dunia. Ancaman lain adalah menipisnya lapisan ozon atmosfer karena gas-gas yang dilepaskan pada penggunaan penyegar, misalnya “ deadoran”, dan “aerosol”. Meskipun jumlahnya kecil, hanya seperjuta bagian, ozon sangat penting untuk melindungi kehidupan dari serangan ultraviolet sinar matahari. Berkurangnya ozon bisa mengakibatkan bencana bagi kesehatan manusia maupun makhluk lainnya. Menurut Haidar Bagir ada perkiraan yang menyebutkan bahwa pengurangan ozon akan mencapai sepuluh persen lebih pada 2050[15], bencana lain yang juga cukup terkenal adalah penyakit Minamata di sepanjang Pantai Buyat Sulawesi Utara.meski limbah methylmcrcuri (MeHg) hanya berasal dari pabrik Newmont Minahasa, akibat yang ditimbulkan sudah mengerikan. MeHg yang masuk ke tubuh manusia akan menempuk di otak, terutama pada bagian pengatur keseimbangan dan penglihatan.

Contoh-contoh di atas belum seberapa jika dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya perang nuklir. Jumlah senjata nuklir pada saat ini cukup untuk menghancurkan manusia beberapa kali. Lebih dari empat puluh ribu hulu ledak bom nuklir, yang ada di dunia kini, masing-masing berkekuatan ribuan kali bom yang pernah jatuh di Hirosima dan Nagasaki. Sementara bayangan kita belum lepas dari apa yang pernah terjadi di Hirosima dan Nagasaki, 170.000 manusia tewas clan sekitar 100 ribu lagi terluka.[16]

Lebih dasyat lagi, setelah penelitian sains memiliki kemampuan untuk menciptakan bentuk kehidupan baru lewat rekayasa genetika, pada April 1987 Kantor Hak Cipta Amerika serikat mengumumkan bahwa organism hidup ini―termasuk binatang―dapat diberikan hak paten. Memang terjadi perdebatan atas keputusan ini, tapi tak sedikit pula ilmuan yang menganggap hal ini wajar-wajar saja. Kalau memang manusia telah mampu menciptakan suatu organisme hidup yang baru, lalu di manakah peran Sang Pencipta? Ini juga bisa memaksa manusia mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting lainnya yang sudah keluar dari lingkup ilmu pengetahuan.

Itu semua baru sebagian dari dampak ilmu pengetahuan modern. Ada dampak lain, dampak psikologis, misalnya; meningkat pesatnya statistik penderita depresi, kegelisahan, psikologis, kasus bunuh diri, dan lain sebagainya. Inilah akibat langsung pemisahan manusia (sebagai) subjek ilmu pengetahuan dengan objeknya.

Argumen bahwa ilmu pengetahuan itu netral―bahwa ilmu pengetahuan bisa digunakan untuk kepentingan yang baik dan buruk, bahwa pengetahuan yang dalam tentang atom bisa digunakan untuk menciptakan bom nuklir dan juga bisa untuk menyembuhkan kanker, bahwa ilmu genetika bisa untuk mengembangkan pertanian di dunia ketiga dan juga bisa untuk “menyaingi Tuhan”, semua ini tampaknya (peernah) amt meyakinkan, Tapi benarkah ilmu pengetahuan bisa dipisahkan dari penerapannya, sementara hamper 80 persen anggaran penelitian dan pengembangannya diarahkan kepada tujuan-tujuan militer, dan hanya sebagian kecil untuk kepentingan umum.

Akibat bom atom di Hirosima dan Nagasaki masih berbekas dalam lembar sejarah kemanusiaan kiita. Kenegrian pengalaman Hirosima dan Nagasaki memperlihatkan kepada kita wajah yang lain dari pengetahuan.Selain itu, isu pencemaran lingkungan yang telah mengancam kehidupan manusia akibat penyalahgunaan ilmu pengetahuan telah menyadarkan sebagian para ilmuwan akan pentingnya landasan etika dan moral dalam ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan yang selalu bersifat “netral” dan tidak memihakdalam masalah-masalahkemanusiaan dan lingkungan mulai digugat oleh para ilmuwan.karena, klaim ilmu pengetahuan yang netral (bebas nilai) dan objektif pada akhirnya telah mengantarkan manusia pada permusuhan dan peperangan, eksploitasi alam yang semena-mena yang mengakibatkan banyaknya berjatuhan korban. Menurut epistimologi Kuhn yang dikutip Mujamil Qomar[17] bahwa sebuah sains yang objektif, bebas nilai dan netral, tidak mungkin aka nada. Lebih lanjut Dr. Jekyll dan Mr. Hyde yang dikutip Jujun S. Suriasumantri[18] menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan bagaikan pisau yang bermata dua, diperlukan landasan moral yang kukuh untuk mempergunakan ilmu pengtahuan secara konstruktif. Jika tidak, meminjam bahasa William F. Ogburn seperti yang dituturkan Jalaluddin Rakhmat telh terjadi kesenjangan budaya “(cultural lag ), masyarakat kehilangan keseimbangan. Akibatnya, manusia diantarkan pada situasi yang mencemaskan. Bukan saja terjadi peluruhan social, tetapi juga kepribadian.[19]

Persoalan etika dalam tradisi keilmuan Barat sering diabaikan, sehingga Barat mampu mencapai kemajuan sains dan teknologi, namun kemajuan tersebut sesungguhnya semu dan mengalami kepincangan mengingat dalam waktu yang bersamaan menimbulkan dekadensi moral yang sangat parah.[20] porak porandanya lembaga keluarga, hilangnya pegangan hidup (anomie), revolusi seksual,kejahatan, alkoholisme, eskapisme, sadisme, penyakit mental, adalah sisi nyata kehidupan modern sebagai dampak ilmu pengetahuan tanpa terkawal moral. Maka kemudian tidak aneh muncul sikap pesimisme dikalangan ilmuwan― bahkan di antaranya mulai anti sains, Biolog Harvard, Everett Medesohn, misalnya berkata: “sains, sebagaimana kami ketahui, telah melewati masa gunanya”. Sebenarnya, sains bukan saja sudah melewati masa gunanya,malah sudah memasuki masa bencana.[21]

Dalam Islam diyakini bahwa etika memiliki peranan yang besar dalam menuntun perkembangan pengetahuan dan respon masyarakat, sehingga pertimbangan-partimbangan aksiologis selalu ditempatkan menyertai pertimbangan-pertimbangan epistimologis, supaya di samping mampu mencapai kemajuan juga mampu mempertahankan keutuhan moralitas yang positif. Mujamil Qomar yang mengutip Rashid Moten[22] menegaskan, “Dalam Islam ilmu harus didasarkan nilai dan harus memiliki fungsi dan tujuan. Dengan kata lain, pengetahuan bukan untuk kepentingannya sendiri, tetapi menyajikan jalan keselamatan, dan agaknya tidak seluruh pengetahuan melayani tujuan ini”. Etika Islam bukan sekedar teori, tetapi dipraktekkan oleh sejumlah manusia dalam suatu zaman, sehingga mereka muncul sebagai penyelamat dunia dan pelopor peradaban. Etika Islam berbeda dengan etika lain, mempunyai sosok dalam diri Muhammad SAW. Telah menjadi contoh indah dari etika Islam. Maka kata Bernard Shaw, sastrawan Inggris yang terkenal, menulis dalam On Getting Maried, “Jika seorang seperti Muhammad menguasaidunia modern, maka ia akan berhasil membawa dunia pada perdamaian dan kebahagiaan yang sangat dibutuhkan”.[23]

Pentingnya nilai-nilai etika mendasari ilmu pengetahuan tersebutpada bagian lain juga untuk kesejahteraan dan kekuatan manusia. Hanya menempatkan manusia sebagai subjek, maka manusia dapat memanfaatkan Ilmu secara optimal. Bila manusia ditempatkan sebagai”objek” maka dia tidak akan mampu berperan secara leluasa dan derajatnya tidak lagi terhormat. Oleh karena itu, ilmu seharusnya selalu didasari nila-nilai etika dan moral agar selamat dari penyelewengan.

Kedudukan Nilai dan Etika dalam Ilmu Pengetahuan

Cecep Sumarna[24] menegaskan bahwa, nilai sangat terkait dengan suara hati sebagai samudra batin, hati mengaktifkan nilai-nilai manusia yang paling dalam. Lalu apa hubungannya antara suara hati dengan pengembangan ilmu pengetahuan . kebebasab memilih adalah sifat naluriah yang hanya dimiliki manusia. Ketika manusia akan menentukan pilihan-pilihan tertentu, maka pilihan tersebut akan ditentukan oleh suara hatinya. Di sinilah letak hubungan antara suara hati dengan ilmu pengetahuan. Ari Ginanjar yang dikutip Cecep Sumarna[25] menegaskan bahwa, setiap manusia dalam dirinya telah dikaruniai oleh Tuhan sebuah jiwa (hati). Dengan jiwa tersebut, setiap orang bebas memilih sikap; bereaksi positif atau negative, benar atau salah, berhenti atau melanjutkan, marah atau sabar reaktif atau proaktif, baik atau buruk. Suara hati inilah yang akan membimbing dan menuntun manusia dalam menentukan sebuah pilihannya.

Istilah hati dalam bahasa Arab sering disebut Qalb, menurut Jalaluddin Rahmat[26] Qalb mempunyai dua makna: qalb dalam bentuk fisik dan qalb dalam bentuk ruh. Dalam arti fisik, qalb dapat diterjemahkan sebagai “jantung”. Dalam hubungan inilah Nabi SAW. Bersabda, “Di dalam tubuh itu ada Mudhghah, asda suatu daging; yang apabila ia baik, maka baiklah seluruh tubuh dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh itu”. Dalam hal ini Mudghah sama dengan qalb.

Dalam satu riwayat Nabi Muhammad SAW, menjelaskan tentang peranan hati dalam ruhani manusia. Rasulullah Saw bersabda:

“Hati itu bagaikan raja, dan hati itu memiliki bala tentara, apabila raja itu baik, maka baiklah seluruh bala tentaranya, dan kalau hati itu rusak maka rusaklah seluruh bala tentaranya”.

Hati ibarat seperti panglima perang yang akan menentukan kalah dan menangnya peperangan, hati juga dapat diibaratkan sebagai jaksa yang memutuskan segala perkara. Apabila hatinya baik akan melahirkan kedamaian dan ketentraman dalam seluruh aspek kehidupan. Tapi, apabila hatinya rusak maka akan melahirkan kerusakan dunia yang merajalela.

Dengan demikian, sangat jelaslah peranan suara hati manusia akan menentukan segalanya. Ketika suara hati mengatakan ilmu pengetahuan harus digunakan bagi kemaslahatan manusia, maka kesejahteraan dan kemakmuran yang akan didapat. Tewtapi, ketika suara hati mengatakan ilmu pengetahuan akan digunakan untuk menindas dan menzolimi manusia, maka kehancuran yang didapat.

Murtadho Muthahhari[27] menegaskan bahwa, ilmu pengetahuan member penjelasankepada manusia ihwal alam fisik, ilmu pengetahuan juga member keahlian kepada manusia dalam menguasai alam fisik dan berkat ilmulah manusia menundukan alam fisik. Namun Iman (nilai-nilai kebenaran yang tersimpan dalam hati) dapat membuka sebuah pintu yang ilmu sekalipun tidak dapat membukanya.

Penutup

Persoalan etika dan moral tak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menentukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran, diperlukan keberanian moral. Sikap sosial seorang ilmuan adalah konsisten dengan proses penelaahan keilmuan yang dilakukan dengan bertujuan untuk memajukan dan kemaslahatan manusia.

Orang sering mengatakan bahwa ilmu terbebas dari sistem nilai. Ilmu itu sendiri netral dan para ilmuanlah yang memberinya nilai. Dalam hal ini masalah apakah ilmu itu terikat atau bebas dari nila-nilai tertentu, semua itu tergantung kepada langkah-langkah keilmuan yang bersangkutan dan bukan kepada proses keilmuan secara keseluruhan.

Namun, sebagai orang Islam tentunya kita sepakat bahwa niali-nilai etika dan moral harus menjadi landasan dalam semua perbuatan termasuk dalam penerapan ilmu pengetahuan. Dengan landasan etika dan moral ini diharapkan konsep Islam yang “rahmatan lil alamin” betul-betul terbukti dan merupakan keniscayaan―dalam bahasa Azyumardi Azra, ilmu pengetahuan harus dikawal dengan iman dan taqwa.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Islam dari Transformasi Budaya Abad-21 makalah pada seminar

Nasional Respon Islam terhadap Tranformasi Budaya Abad-21, IAIN SGD Bandung, 29 Maret 1996

Budiyono, Kabul, 2007. Nilai-Nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia, Bandung: Alfabeta

Daud Ibrahim, Marwah, 1995. Teknologi Emansipasi, Bandung: Mizan

Ghulsyani, Mahdi, 1989. Filsafat-Sains Menurut al-Quran, Bandung: Mizan

Muthahhari, Murtadha, 1995. Falsafah Akhlak: Kritik atas Konsep Moralitas Barat, Bandung: Pustaka Hidayah

Prihananto, 2005. Teknologi Komunikasi untuk Pengembangan Pesantren: Konsepsi dan Alternatif Penerapannya dalam Manajemen Pesantren, Yogyakarta: LkisS Pelangi Aksara

Qomar, Mujamil, 2005. Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, Bandung: Benang Merah Press

Rakhmat, Jalaluddin, 1991. Islam Alternatif, Ceramah-Ceramah di Kampus, Bandung: Mizan

Rakhmat, Jalaluddin, 2002 Renungan-Renungan Sufistik, Bandung: Mizan

Suriasumantri, Jujun, 1995. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Sjarkawi, 2006. Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan Sosial sebagai wujud Intregritas Membangun Jati Diri, Jakarta: Bumi Aksara

Sumarna, Cecep, 2005. Rekontruksi Ilmu; dari Empiris-Rasional Ateistik ke Empirik-Rasional Teistik, Bandung: Benang Merah Press

Sumarna, Cecep, 2008. Filsafat Ilmu, Bandung: Mulia Press

Sumarna, Cecep, 2008. Revolusi Peradaban, Usaha Menemukan Tuhan dalam Batang Tubuh Ilmu, Bandung: Saejaya Media Sejahtera

Syaodih Sukmadinata, Nana, 2006. Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah (Konsep, Prinsip dan Instrumen), Bandung: Refika Aditama


[1]Ilmu pengetahuan membahasa tentang know-what dan know why. Teknologi membahas know how. Ketika seseorang tahun bahwa yang terbit ditimur dan tengelam di barat setiap hari untuk menyinari bumi, adalah matahari. Mengapa fenomena itu muncul? Kita memasuki domain ilmu pengetahuan. Adapun ketika laboratorium dan industry menghasilkan sel-sel surya untuk menampung sinar matahari menjadi energy, maka itulah teknologi”. Marwah Daud Ibrahim. Teknologi Emansipasi. (Bandung : Mizan, 1995) Cet. Ke-1, h. 18.

[2]Azyumardi Azra menyebutkan bahwa globalisasi-informasi telah mendorong berkembangnya nilai-nilai, norma-norma dan gaya hidup masyarakat banyak. Kemajuan yang dihasilkan teknologi transportasi, mendorong terjadinya perkembangan budaya travel dan migrasi sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran nilai-nilai budaya dan peradaban antar manusia secara langsung. Pertumbuhan kebudayaan material dan konsumerisme yang hamper tidak dapat dikendalikan pada pada gilirannya menimbulkan gejala hedonistic yakni gaya hidup yang mengedepankan dan mempertuhankan benda dan kesenangan. Islam dan tranformasi budaya abad-21, Makalah seminar nasional, “Respon Islam terhadap tranformasi budaya abad-2” IAIN SGD Bandung, 29 Maret 1996. Bandingkan dengan tulisan Alvin Toffler (1989), seorang futurolog yang membagi peradaban manusia kedalam tiga gelombang, pertama gelombang agraris (8000 SM-170M) kedua gelombang industry (1700 M-1970-an) dan ketiga gelombang kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. lihat Prihananto dalam Teknologi Komunikasi Untuk Pengembangan Pesantren, Konsepsi Dan Alternative Penerapannya Dalam Manajemen Pesantren, (Yogyakarta : LKis Pelangi Aksara, 2005), cet. Ke-1, h. 154. Pada era ini dituntut manusia-manusia yang berusaha tahu banyak (knowing much), berbuat banyak (doing much), mencapai keunggulan (Being Excellence), menjalin hubungan dan kerjsama dengan orang lain (being sociable), serta memegang teguh nilai-nilai moral (being morally). Manusia-manusia unggul, bermoral dan pekerja keras, inilah yang menjadi tuntutan dari masyarakat global, yang akan mapu berkompetensi. Nana Syaodih Sukmadinata, et al, Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah (Konsep, Prinsip, Dan Instrument), (Bandung : Refika Aditama, 2006), cet. Ke-1, h. 6

[3]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995),h.235

[4] Ibid

[5]Baca lebih lanjut Cecep Sumarna, Rekonstruksi Ilmu; dari Empiris-Rasional Ateistik ke Empirik-RasionalTeistik, (Bandung; Benang Merah Press, 2005), h.94

[6]Kabul Budiyono, Nilai-Nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2007), h.69

[7]Etika adalah cabang aksiologi yang banyak membahas tentang nilai baik dan buruk. Etika menurutnya mengandung tiga pengertian, 1) Nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang ataau sekelompok orang yang mengatur tingkah lakunya, 2) Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral. Misalnya kode etik, dan 3) Etika merupakan ilmu tentang yang baik dan buruk. Baca lebih lanjut Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu, (Bandung: Mulia Press, 2008), cet.Ke-3, h.2099

[8] Kabul Budiyono, Op.cit.,h.69

[9] Cecep Sumarna, Op.cit.,h.94

[10] Cecep Sumarna, Ibid, h, 209

[11] Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, intelektual, Emosional, dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h.28

[12] Ibid

[13] Cecep Sumarna, Revolusi Peradaban, Usaha Menemukan Tuhan dalam Batang Tubuh Ilmu, (Bandung:Saejaya Media Sejahtera, 2008), h. 103

[14] Cecep Sumarna, Op.cit.,h.98

[15] Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains Menurut al-Qur’an, (Bandung: Mizan), 1989), h.9

[16] Ibid

[17]Mujamil Qomar, Epistimologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Bandung: Benang Merah Press, 2005), h. 159

[18] Jujun Suriasumantri, Op,cit., h. 249

[19]Panjang lebar dan sangat menyentuh ketika kang Jalal menguraikan etika dan sains dengan berbagai implikasinya. Baca lebih lanjut Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, Ceramah-Ceramah di Kampus, (Bandung: Mizan), h. 156-160

[20] Mujamil Qamar, Op.cit., h.161

[21] Jalaluddin Rahmat, Op.cit., h.159

[22] Mujamil Qamar, Op.cit.,h. 162

[23] Jalaluddin Rahmat, Op.cit, h.160

[24] Cecep Sumarna, Op.cit., h.123

[25] Ibid, h. 124

[26] Jalaluddin Rahmat, Renungan-Renungan Sufistik, (Bandung:Mizan, 2002), h. 69

[27] Murtadha Muthahhari, Falsafah Akhlak:Kritik atas konsep Moralitas Barat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), h. 225

1 comments on Etika (Urgensi dan Eksistensinya Dalam Ilmu Pengetahuan) :

ex_zham.blogspot.com mengatakan...

nama:tarmidi
kelas:x1 ssn2

saya setuju dengan artikel yang bapa buat ? karena untuk inspirasi pemuda sekarang yang di mana sekarang ini pergaulan bebas semakin marak. pahala dan dosa selalu bersama