-->

ads

Aliansi BEM Jakarta; Kemana Nuranimu?

Kamis, 12 Agustus 2021

 

Ilustrasi (Beritasatu.com)

Aliansi BEM Jakarta; Kemana Nuranimu?

Oleh: DR. H. Masduki Duryat, M. Pd.I*)


Di tengah makin merebaknya wabah Covid-19 di Indonesia—terutama di Jakarta—yang semakin hari, makin bertambah jumlah korbannya terus mengancam kita semua. Virus ini yang penyebarannya melalui orang ke orang, sangat menghawatirkan. Tenaga medis yang menjadi garda terdepan penanganan penyakit ini juga tidak luput dari ancaman paparan virus ini. Tercatat ada 18 orang dokter meninggal dan menurut catatan PPNI ada 6 perawat yang meninggal dunia akbiat menangani pasien Corona. Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) paling tidak ada dua penyebab dokter atau tenaga medis dapat terinveksi virus Corona; Pertama, tenaga medis tertular pasien yang tidak mengetahui bahwa pasien yang ditangani positif Covid-19; dan Kedua, karena minimnya jumlah alat pelindung diri yang memenuhi standar dan memadai untuk digunakan tenaga medis selama menangani pasien.  Jumlah korban akan terus bertambah, seiring dengan jumlah penderita yang positif akibat pandemi Covid-19 yang terus bertambah.


Dengan pertimbangan menyelamatkan manusia, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyetujui usulan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Keputusan Menteri ini berlaku Jumat 10 April 2020, dengan demikian sejumlah kegiatan warga akan dibatasi guna mencegah Covid-19. Kita tentu, tidak ingin korban dari hari ke hari terus berjatuhan dengan sia-sia.


Konon Presiden Korea Selatan sangat terpukul dan bersedih ketika ada satu dokter yang meninggal, akibat menangani kasus Covid-19 ini. Sementara di kita ada kesan ‘pembiaran’ dengan ‘asik’ melihat—yang menurut Anies Baswedan, bukan angka-angka statistik—semakin bertambahnya korban. Di saat Gubernur Jakarta misalnya memberikan apresiasi atas kinerja dan pengorbanan paramedis untuk menempati hotel milik BUMD Pemprov DKI; Hotel Grand Cempaka Bisnis, Hotel D’Arcici Al-hijra, D’Arcici Hotel Sunter, dan D’Arcici Hotel Plumpang dengan fasilitas makan, transportasi dan sarana pendukung lainnya diprotes antara lain oleh Aliansi BEM Jakarta hotel berbintang lima untuk tenaga medis dinilai berlebihan dan sarat nuansa politis.


Kisah Sedih Paramedis; Sebuah Konsekuensi


Seperti yang sudah dijelaskan di atas, dokter dan tenaga medis sangat rentan terpapar Covid-19 ini. Di antara mereka ada yang meninggal dan ada yang harus diisolasi di Rumah Sakit. Sebutlah Dian salah satunya, perempuan yang bertugas di bagian rekam medis yang terpapar saat menangani pasien rujukan  suspect Corona. Ketika itu dia mendata pasien dengan kondisi batuk terus-menerus selama proses pendataan.


“Saya kontak dengan pasien sekitar 15 menit-an, sedangkan waktu itu saya juga tidak mengenakan masker”. Setelah pasien tersebut dirawat dan dinyatakan positif Corona. Dian merasakan mulai ada gejala demam, batuk dan panas tinggi sampai kemudian pingsan dan dinyatakan positif Corona. Dian tak kuasa menahan tangisnya lantaran ia tidak bisa bertemu langsung dengan buah hatinya, dan ia harus diisolasi. Rasa rindu itu semakin membuncah berbalut sakit yang semakin menyayat hatinya, saat orang tuanya mengabarkan bahwa sang buah hati menanyakan ibunya.


Dian hanya salah satu dari kisah-kisah pilu perjuangan dan pengorbanan tenaga medis saat pandemi Covid-19. Dari media sosial juga kita mendengar/membaca berita ada tenaga medis diusir atau diminta keluar dari kost-annya karena pemilik rumah hawatir penghuni lain akan terpapar virus. Ada pula kisah tenaga medis memperlihatkan “perjuangan” mereka untuk sekedar mengenakan alat pelindung diri (APD), harus menahan minum, buang air kecil, belum lagi ‘hawa’ panas lantaran banyaknya lapisan yang harus mereka pakai.


Tetapi semua itu belum ‘ada apa-apanya’, jika dibandingkan dengan beberapa tenaga medis yang harus gugur dan dinyatakan positif terpapar Covid-19 atau hal lain yang berkaitan dengan tugas mereka dalam melawan virus ini.


Duka mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Sebuah kehilangan besar dirasakan keluarga, kerabat, kolega, sahabat dan tentu bangsa ini. Tetapi di antara mereka yang masih bekerja merawat pasien yang terpapar Covid-19 masih tetap bersemangat sambil mengusung jargon, “kalian tetap di rumah untuk kami, dan kami tetap bekerja untuk kalian”.


Peran Mahasiswa; Pertaruhan


Mahasiswa adalah agen perubahan, mahasiswa adalah kaum intelektual yang memiliki ilmu yang tinggi. Mahasiswa lahir dari masyarakat sehingga sudah sepatutnya mahasiswa berperan aktif di dalam membela kepentingan masyarakat untuk kemajuan bangsa ini.


Aktivitas mahasiswa tidak melulu berkutat dengan diktat kuliah yang diberikan dosen dan diskusi di ruang kelas, tetapi mahasiswa harus berkontribusi nyata dalam membela kebutuhan rakyat. Karena mahasiswa adalah salah satu unsur terpenting dalam pembangunan bangsa. Peranan mahasiswa menjadi sangat penting karena mahasiswa adalah kelompok yang idealis yang terlepas dari pengaruh pihak manapun. Idealisme yang dimiliki mahasiswa membuatnya semangat melakukan perjuangan terhadap kebenaran yang dia yakini.


Paling tidak ada empat peran yang bisa dimainkan mahasiswa dalam mengawal idealismenya. Pertama, Agent of change. Mahasiswa berperan di dalam melakukan perubahan terhadap kondisi bangsa; Kedua, Iron Stock. Iron stock merupakan peranan mahasiswa yang tidak kalah penting, dengan idealisme yang dimilikinya membuat mahasiswa menjadi tangguh untuk menggantikan generasi-generasi sebelumnya; Ketiga, Social control. Mahasiswa berperan dalam melakukan control ketika melihat adanya gejala ketidakadilan, penindasan, saluran demokrasi tersumbat, korupsi, kesewenang-wenangan dan bentuk ketidakberesan lainnya di tengah-tengah masyarakat; dan Keempat, Moral Force. Mahasiswa dituntut untuk memiliki akhlak yang baik, karena mahasiswa berperan sebagai teladan di tengah-tengah masyarakat.


Aliansi BEM Jakarta; Masih Punya Nurani?


Dengan melihat segala pengorbanan yang diperlihatkan oleh tenaga medis—tidak hanya tenaga, pikiran, kerinduan dengan keluarga—bahkan ada dokter yang usai menangani pasien yang terpapar Covid-19 pulang ke rumah hanya menatap anak dan istrinya dari balik teralis pagar rumahnya karena hawatir keluarganya terpapar dan ada di antara mereka yang tidak berani pulang dengan memendam kerinduan yang mendalam—bahkan sampai ada yang harus meninggal dunia. Diperhadapkan dengan peran mahasiswa yang sedemikian strategis sebagai pengawal idealisme dan moral bangsa, seharusnya mereka masih ‘memiliki hati’ dan tidak terjebak pada purba sangka dalam lingkaran politik praktis.


Rasanya sangat menyakitkan, bahwa fasilitas hotel berbintang lima untuk tenaga medis dinilai terlalu berlebihan, seperti yang disuarakan oleh Aliansi BEM Jakarta.


Beberapa tokoh bereaksi, sebut saja Fadli Zon yang mengatakan “Sungguh tidak memiliki apresiasi dan empati. Dokter dan tenaga medis adalah pahlawan saat ini. Mereka mempertaruhkan nyawa untuk menolong orang lain”. Hidayat Nur Wahid menilai “Mestinya kelompok tersebut turun sebagai relawan, bukannya menolak fasilitas yang diberikan kepada petugas medis”. Jansen Sitindaon malah menyindir dengan nada sarkasmenya, “Bagus juga kalian ini jadi relawan corona kemudian gantian tidur di hotel itu. Saran saya pada situasi darurat corona seperti ini, tenaga medis dan dokter jangan diganggu. Hampir tiap hari ada dokter yang meninggal dunia mereka pejuang di garis depan”.


Pada pandangan M. Rafidhan Hindani malah mempertanyakan kapabilitas dan integritas mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM Jakarta yang menurutnya minim wawasan dan daya kritisnya. Hal ini disebabkan paling tidak; Pertama, mereka belum memahami aspek keselamatan maksimal bagi tenaga medis. Bagaimana dokter dan tenaga medis dapat melayani dengan maksimal, jika kurang mendapatkan fasilitas yang dapat memenuhi kebutuhan dan keselamatan dirinya; Kedua, pernyataannya sangat politik dan tidak memberi solusi nyata; Ketiga, apa yang sudah dilakukan karya nyata mereka dalam konteks keterlibatannya untuk menangani kasus Covid-19 ini.


Akan lebih elok, sebagai mahasiswa yang masih memiliki nurani dan lebih elegan lagi sebagai pengawal moral bangsa melakukan tindakan nyata, misalnya menjadi katalisator dalam penyelesaian masalah dan sedapat mungkin tidak memunculkan masalah baru dengan melakukan statement-statement yang kontra produktif. Meneguhkan kembali jati diri mahasiswa yang tidak hanya dapat mempertanggungjawabkan kapasitas keilmuannya tetapi juga menjadi dinamisator perubahan masyarakat menuju perkembangan yang lebih baik sekaligus kontrol positif terhadap perubahan sosial yang jauh dari kepentingan politik sesaat.


Mahasiswa menduduki strata sosial tertinggi di kalangan masyarakat dari sisi intelektual yang identik dengan kreatifitas dan solutif. Bahkan yang lebih penting lagi mahasiswa bagian yang tidak terpisahkan dari rakyat.


*)Penulis adalah Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Wirapanjunan, Kandanghaur Indramayu


0 comments: