-->

ads

Marjinalisasi Guru Honor (Pengabdianmu Tak Seindah Nasibmu)

Senin, 06 September 2021

Guru Honorer (Gambar Suara.com)

 

Oleh: Dr. H. Masduki Duryat, M. Pd.I*)


Setiap tanggal 2 Mei kita memperingati hari pendidikan nasional. Hari pendidikan tidak lepas memperbincangkan guru, sebagai komponen terpenting dalam pendidikan. Guru yang sangat berjasa dalam mencerdaskan anak bangsa. Di antara mereka yang berjasa itu adalah guru honorer, yang belum ‘memiliki tempat’ di negeri ini karena belum ada keberpihakan pemerintah kepada mereka. Demo sering dilakukan, walau itu sejatinya tindakan yang memalukan karena termasuk ‘aurat’ tetapi menunggu ‘tangan-tangan kasih’ pemerintah juga tidak kunjung datang. Beberapa kali demo tetap hasilnya ‘membentur tembok’ kekuasaan yang tak berempati. Sejatinya tuntutan  mereka sederhana hanya ingin dimanusiawikan—beberapa di antara mereka adalah Sarjana S1, bahkan S2—dengan honor yang jauh dari kata layak berbanding terbalik dengan buruh—lulusan SLTA—dengan gaji standar UMR. 


Ada sedikit pencerahan sekarang ini bagi guru honorer di tingkat SLTA ‘dihargai’ yang layak oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat tetapi itu baru terbatas pada guru honorer di sekolah negeri. Bagi mereka yang bekerja di yayasan sekolah swasta masih harus bersabar dengan tanpa berbatas waktu, dengan ironi dan logika yang terbalik ‘pengakuan lembaga formal’ hanya di sekolah negeri. Sulit dibayangkan, kalau tidak berangkat dari cinta—teaching with love—dan panggilan jiwa, siapa yang mau hidup dengan honor di bawah Rp. 100.000,- per bulan di negeri yang anggaran pendidikannya 20 persen dari total APBN, bahkan jauh lebih kecil dari gaji buruh pabrik.  


Ironi Nasibmu Guru Honor

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Dan yang disebut dengan profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. 


Oleh karena itu guru ditempa dan dididik dalam lembaga khusus keguruan supaya kompeten di bidangnya, dan profesional dalam menjalankan tugasnya. Karena profesional, maka konsekuensi logisnya guru medapatkan tunjangan profesi—sebagaimana diamanatkan dalam UU Guru dan Dosen.  Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (UU RI No. 14/2005).


Guru yang profesional akan tercermin dalam pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode. Selain itu, juga ditunjukkan melalui tanggung jawabnya dalam melaksanakan pengabdiannya. Guru profesional hendaknya mampu memikul dan melaksanakan tanggung jawab sebagai guru kepada peserta didik, orang tua, masyarakat, bangsa, negara, dan agamanya. 


Guru profesional mempunyai tanggung jawab pribadi, sosial, intelektual, moral, dan spritual. Tanggung jawab pribadi yang mandiri dan mampu memahami dirinya, mengelola dirinya, mengendalikan dirinya, dan menghargai serta mengembangkan dirinya. Tanggung jawab sosial diwujudkan melalui kompetensi guru dalam memahami dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan sosial serta memiliki kemampuan interaktif yang efektif. Tanggung jawab intelektual diwujudkan melalui penguasaan berbagai perangkat pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menunjang tugas-tugasnya. Tanggung jawab spiritual dan moral diwujudkan melalui penampilan guru sebagai mahluk beragama yang perilakunya senantiasa tidak menyimpang dari norma-norma agama dan moral.


Idealitas yang sangat membanggakan itu juga dimiliki oleh guru honor, sebab profesionalisme juga bukan monopoli guru PNS. Guru honorpun memiliki hak dan peluang yang sama—bahkan kalau diukur dari sisi loyalitas dan kinerja—mereka sudah sangat teruji. Berbanding lurus dengan tanggungjawab yang dipikulnya—sama dengan guru PNS—mengawal peserta didik agar bermoral, di samping berilmu, cakap dan kreatif. 


Tetapi pengabdiannya tidak seindah nasibnya, banyak di antara mereka—guru honorer—yang hidup jauh dari kata layak. Kebanyakan di antara mereka yang mendapatkan gaji yang tak layak adalah guru-guru Taman Kanak-Kanak (TK) yang berada di desa-desa. Jangan dikira mereka—guru-guru TK—bahagia meski dari pagi hingga siang mereka bernyanyi terus. 


Gaji guru yang berstatus PNS jauh di atas rata-rata honor guru swasta. Yayasan sekolah swasta umumnya tidak mampu menaikkan honor guru setiap tahun, seperti yang dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu setiap tahun kesenjangan gaji guru yang berstatus PNS dan bukan PNS semakin terus melebar. 


Untungnya di negeri ini, masih ada orang-orang yang tidak hanya mengukur kebahagiaan dari sisi materi—untuk membahagiakan diri—seringkali kata-kata Imam Ali bin Abi Thalib selalu menjadi acuan; materi itu jangan dikejar dari sisi kuantitasnya tapi keberkahannya.


Adalah kehormatan menjadi guru dan kebanggaan tersendiri sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan dari masyarakat. Sangat mengharukan ada guru yang mengatakan: “Ini adalah sebuah pilihan, menjadi guru honor atau tidak menjadi guru honor kami tetap harus ada buat sekolah—sungguhpun honornya tidak layak”. 


Penawar Duka

Pendidikan sejatinya memberikan ilmu pengetahuan, dalam bahasa UNESCO learning to know, learning to do, learning to be dan learning to life together kepada generasi penerus bangsa untuk mewujudkan negara yang lebih maju dan terhormat. Upaya itu tidak lepas dari peran dan posisi guru—termasuk guru honor—yang senantiasa memberikan bimbingan kepada peserta didiknya di sekolah.


Peran guru tidak akan pernah tergantikan walaupun teknologi semakin maju dan berkembang pesat—paling tidak untuk konfirmasi dan tempat bertanya ketika ada persoalan yang dihadapi peserta didik. 


Hembusan ‘angin surga’ sidang anggota DPR tanggal 24 Januari 2017 dengan agenda perubahan Undang-Undang ASN No. 5 tahun 2014 bagi tenaga honorer, guru tetap, guru tetap maupun guru kontrak untuk diangkat menjadi PNS juga hanya sebatas mereka yang bekerja di lembaga pemerintah, tidak untuk mereka yang bekerja di sekolah swasta atau yayasan. Beruntung ada di antara mereka—sebagian kecil—yang sudah disertifikasi dengan tunjangan Rp. 1.500.000,- (belum dipotong pajak) dan infashing walaupun belum semua. 


Kehadiran guru honorer sangat dibutuhkan, berdasarkan data dan proyeksi Kemendikbud dalam lima tahun ke depan (2016-2020) guru yang pensiun sebanyak 316.535 guru atau rata-rata 62.000 guru pertahun. Sementara pengadaan guru profesional melalui pendidikan profesi guru—sebagai guru yang memenuhi syarat Undang-Undang Guru dan Dosen (D4/S1 dan memiliki sertifikat pendidik) hanya 3.000-5.000 guru pertahun. 


Ada diskriminasi yang nyata-nyata—dan ini ditegaskan oleh Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Pusat—dengan akan adanya surat penugasan dari Pemerintah Daerah bahwa guru honorer di sekolah negeri agar bisa dibayar dengan dana BOS dan diharapkan untuk diangkat menjadi PNS. Sebaliknya guru honorer di sekolah swasta harus melalui proses yang umum. 


Kualitas sekolah swasta juga terus mengalami persoalan karena ketidakmampuan untuk membayar honor yang layak dan melengkapi fasilitas sekolah. Dari sisi ketenagaan ada di antara guru yayasan yang diangkat menjadi PNS atau berpindah ke sekolah negeri yang lebih menjanjikan dari segi finansial dan masa depan. 


Oleh karena itu, kita sepakat untuk secara bertahap guru swasta yang memenuhi kualifikasi untuk diangkat menjadi PNS kecuali untuk yayasan sekolah swasta yang tidak menghendaki. Realitas menunjukkan mayoritas yayasan sekolah swasta tidak mampu membayar gaji guru setara dengan gaji guru berstatus PNS. 


Jika ada pertanyaan, kalau begitu apa bedanya sekolah swasta dengan negeri? Secara sederhana dapat dijawab bahwa perbedaan itu tetap ada, yakni pada kekhasan sekolah—kalau  di swasta selama ini menganut MBS—dan itu yang tidak boleh diganggu oleh pemerintah. Yang pasti peserta didik yang ada di sekolah swasta adalah juga anak bangsa dan mereka juga harus dibiayai oleh negara. 


Tentu kita juga sepakat dengan PGRI, gaji guru dari TK hingga SLTA minimal Rp.2,5 juta dan ini diperlukan intervensi dan polical will dari pemerintah. Gaji guru tidak boleh kalah dari gaji pegawai Ditjen Pajak. Peran para guru sangat besar dan strategis dalam mendongkrak mutu pendidikan dan jika pendidikan semakin berkualitas, maka SDM Indonesia juga berkualitas serta pada saat yang sama kita memiliki daya tawar ketika diperhadapkan dengan kualitas SDM bangsa lain. 


Guru honorer adalah sarjana dan mereka patut dimanusiawikan, diberikan kesejahteraan yang baik sehingga mereka bermartabat dalam menjalankan tugasnya. 

Wallahu a’lam bi al-shawab


*)Penulis adalah praktisi pendidikan dan dosen di Pascasarjana IAIN Cirebon juga ketua STKIP al-Amin Indramayu, tinggal di Indramayu


0 comments: