-->

ads

Perkembangan Tradisi Keilmuan, Keagamaan Nusantara

Kamis, 09 September 2021
Gambar ilustrasi (kumparan.com)


Oleh: Masduki Duryat


Pendahuluan

Nurchalish Madjid, mengutip tulisan Robert N. Bellah mengatakan bahwa masyarakat Muslim klasik itu “modern” (terbuka, demokratis, dan partisifatif), dan bahwa keadaan itu kemudian berubah total setelah tampilnya dinasti Bani Umayah.[1] Oleh karena itu, kesenjangan yang ada sekarang antara ide dan realitas dalam masyarakat-masyarakat Islam harus ditelusuri sebagai kelanjutan apa yang dilihat oleh Bellah sebagai “kegagalan” di masa-masa awal itu sendiri. Demikianlah Islam sejagad dan keadaan Islam di tanah air. Terlebih-lebih lagi, keadaan Islam di tanah air disebabkan oleh beberapa hal: realitas masyarakat (Islam) dengan ide dalam ajaran (Islam) terasa semakin besar kesenjangannya—terutama dalam realitas. Dengan memakai analisis Bellah, bahwa Islam datang ke Indonesia jauh setelah di tempat asalnya telah mengalami “kegagalan” (munculnya rezim Bani Umayyah).


Islam datang ke Indonesia setelah melewati proses akulturasi dengan warisan budaya Persia atau, lebih luas lagi, Iran (“orang-orang Arya”). Unsur-unsur Aryanisme menjadi “polusi” prinsip-prinsip Islam yang “modern”. Sebab Aryanisme, telah ikut mengukuhkan sistem masyarakat Islam yang hirarkis warisan Bani Umayyah. Sistem yang bertingkat-tingkat pada masyarakat Islam Indonesia yang tidak egaliter sepenuhnya—seperti pada masyarakat Islam Klasik, sebagian adalah akibat faktor-faktor historis tersebut. Sebagian lagi, tentu saja, adalah akibat interaksi ajaran Islam itu dengan budaya setempat melalui agama-agama Hindu dan Budha. Beberapa unsur luar yang sempat masuk ke dalam tubuh praktek-praktek Islam itu sedemikian jauh senjangnya dari norma-norma ajaran Islam, “Islam periferial”—yang jauh dari karakter aslinya. Itu sebabnya, sikap keberagamaan (Islam) di wilayah Nusantara yang telah mengalami proses akomodasi kultural dianggap bukan Islam otentik karena sudah berubah dari ajaran aslinya.[2] Sehingga kelak menjadi sasaran program-program gerakan pembaharuan seperti dilakukan oleh kaum Paderi, Muhammadiyah, Persis dan al-Irsyad.


Sejarah Masuknya Islam di Nusantara

Diskursus tentang masuknya Islam di Nusantara, selalu saja menjadi perdebatan. Pelacakan ini agak menyulitkan, hal ini disebabkan karena kurangnya fakta yang ditinggalkan oleh ummat Islam. Besar kemungkinan, dikarenakan akibat sikap ulama Indonesia seperti yang disinyalir Bung Karno, para kyai dan ulama kurang dan bahkan tidak memiliki pengertian akan urgensitas penulisan sejarah.[3] Inskripsi tertua tentang Islam tidak membicarakan kapan masuknya Islam di Nusantara. Pada inskripsi tertua ini hanya membicarakan tentang adanya kekuasaan politik Islam, Samudera Pasai pada abad ke-13 Masehi.[4] Selain itu kesulitan untuk memastikan kapan masuknya agama Islam ke Nusantara, berhadapan dengan luasnya wilayah Nusantara Indonesia.[5]


Menurut J. C. Van Leur sebagaimana dikutip Badri Yatim, dapat diperkirakan bahwa sejak 674 M. ada koloni-koloni Arab di barat laut Sumatera, yaitu di Barus, daerah penghasil kapur barus terkenal.[6] Di masa dinasti Tang—berdasarkan berita dari Cina, abad ke-9-10 orang-orang Ta-Shih sudah ada di Kanton (Kan-Fu) dan Sumatera. Ta-Shih adalah sebutan untuk orang-orang Arab dan Persia, yang ketika itu jelas sudah menjadi muslim. Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara negeri-negeri di Asia bagian barat dan timur, mungkin disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah Bani Umayyah di bagian barat dan kerajaan Cina zaman dinasti Tang di Asia bagian timur serta kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara. Akan tetapi, menurut Taufik Abdullah, belum ada bukti bahwa pribumi Indonesia di tempat-tempat yang disinggahi oleh para pedagang muslim itu yang beragama Islam. Adanya koloni itu, diduga sejauh yang bisa dipertanggungjawabkan, ialah para pedagang Arab tersebut hanya berdiam untuk menunggu musim yang baik bagi pelayaran.[7]


Baru pada zaman-zaman berikutnya, penduduk kepulauan ini masuk Islam—tentu bermula dari penduduk pribumi di koloni-koloni pedagang muslim itu. Menjelang abad ke-13 M, masyarakat muslim sudah ada di Sanudera Pasai, Perlak dan Palembang di Sumatera. Di Jawa, makam Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) yang berangka tahun 475 H. (1082 M.) dan makam-makam Islam di Tralaya yang berasal dari abad ke-13 M. merupakan bukti berkembangnya komunitas Islam, termasuk di pusat kekuasaan Hindu-Jawa ketika itu, Majapahit. Namun, sumber sejarah yang shahih memberikan kesaksian sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan tentang berkembangnya masyarakat Islam di Indonesia, baik berupa prasasti dan historiografi tradisional maupun berita asing, baru terdapat ketika “komunitas Islam” berubah menjadi pusat kekuasaan.[8]


Sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam itu, perkembangan agama Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase. (1) Singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Sumbernya adalah berita luar negeri, terutama Cina, (2) Adanya komunitas-komunitas Islam di beberapa daerah kepulauan Indonesia. Sumbernya di samping berita-berita asing, juga makam-makam Islam, dan (3) Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.[9]


Untuk lebih jelas mengenai kapan Islam masuk ke Nusantara dan siapa yang membawanya. Ada tiga teori yang mencoba untuk menjelaskanya. Teori Gujarat, Teori Makkah, dan Teori Persia. Ketiga teori inipun tidak mencoba untuk membicarakan masuknya agama Islam ke tiap pulau, melainkan hanya menganalisis masuknya agama Islam ke Sumatera dan Jawa, karena kedua wilayah ini menjadi refresentasi untuk wilayah Nusantara lainnya. Dengan kata lain, masuknya agama Islam ke pulau tersebut menentukan perkembangan Islam pulau lainnya.


Mengenai ketiga teori ini Ahmad Mansur Suryanegara[10] menjelaskan, Pertama Teori Gujarat menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13, berasal dari Gujarat dan pelakunya adalah pedagang India yang telah memeluk agama Islam. Peletak dasar teori ini adalah Snouck Hurgronje, didukung juga dengan pendapat W.F. Stutterheim, yang mengajukan bukti batu nisan Sultan pertama dari kerajaan Samudera Pasai—yakni Malik al-Saleh yang wafat pada 1297. Ada unsur kesamaan antara relief nisan Malik al-Saleh dengan nisan yang terdapat di Gujarat dan berbau Hinduistis. Kedua, Teori Makkah cenderung menyataan bahwa penyebaran Islam ke Nusantara terjadi pada abad ke-7, walaupun berbeda dari sudut pelakunya, ada yang menyatakan tetap berasal dari Gujarat, dan ada yang menyatakan asalnya dari Timur Tengah—yakni Mesir dan Makkah dengan pelakunya pedagang Arab Islam. Pendapat ini dikemukakan oleh Hamka dengan asumsi bahwa peranan bangsa Arab sebagai pembawa agama Islam ke Indonesia, Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah semata, dan Makkah sebagai pusat, atau Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran Islam. Di Nusantara abad ke-13 telah berdiri kekuasaan politik Islam, maka masuknya Islam ke Nusantara terjadi jauh sebelumnya yakni pada abad ke-7. Bangsa Arab telah sampai ke Ceylon pada abad ke-2 SM. Memang tidak dijelaskan lebih lanjut sampainya ke Indonesia. Tetapi bila kita hubungkan dengan penjelasan kepustakaan Arab kuno yang menyebutkan al-Hind berarti India atau pulau-pulau sebelah timur sampai ke Cina, dan Indonesia pun disebut sebagai pulau-pulau Cina, besar kemungkinan pada abad ke-2 SM bangsa Arab telah sampai ke Indonesia. Hanya penyebutannya sebagai pulau-pulau Cina atau al-Hind. Wajar kalau kemudian pada 674 M telah terdapat perkampungan perdagangan Arab Islam di pantai Barat Sumatera. Ketiga Teori Persia.[11] Teori ini dikembangkan oleh P.A. Hoesein Djajadiningrat. Fokus pandangan ini lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia.


Dari uraian tersebut dapat kita lihat adanya unsur perbedaan dan persamaan dari ketiga teori di atas, antara lain: Antara teori Gujarat dan Persia terdapat unsur kesamaan pandangan mengenai masuknya agama Islam ke Nusantara yang berasal dari Gujarat. Perbedaannya terletak pada teori Gujarat yang melihat ajaran agama Islam mempunyai kesamaan ajaran dengan mistik di India, sedangkan teori Persia memandang adanya kesamaan ajaran sufi di Indonesia dengan di Persia. Gujarat dipandangnya sebagai daerah yang dipengaruhi oleh Persia, dan menjadi tempat singgah ajaran syiah ke Indonesia. Dalam hal Gujarat sebagai tempat singgah bukan pusat, sependapat dengan teori Mekkah. Tetapi teori Mekkah memandang Gujarat sebagai tempat singgah perjalanan perdagangan laut antara Indonesia dengan Timur Tengah, sedangkan ajaran Islam diambilnya dari Mekkah atau Mesir.


Sungguhpun ketiga teori ini tidak terdapat titik temu, tetapi ada konklusi yang menarik untuk di kedepankan bahwa Islam sebagai agama dikembangkan di Nusantara dengan cara damai dan Islam tidak mengenal adanya missi—sebagaimana yang dijalankan oleh kalangan Kristen dan Katolik.


Tradisi Keilmuan, Keagamaan Nusantara

Azyumardi Azra dalam studinya yang cukup mendalam mengatakan, sejak abad ke-17 hubungan antara Islam Nusantara dengan Timur Tengah bersifat keagamaan dan keilmuan, meski juga terdapat hubungan politik antara beberapa kerajaan muslim Nusantara.[12]


Sungguhpun demikian, sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa pembahasan tentang Islam di Nusantara—menunjuk pada kenyataan, agama itu dibawa ke Nusantara oleh para sufi. Ini menjadi sebuah reasning, mengapa Islam di Nusantara banyak berkompromi dengan budaya lokal. Sufisme (tasawuf) dapat dikatakan mewakili segi paling intelektual agama Islam (dibandingkan dengan fiqh yang berpandangan lebih praktis, dan kalam yang cenderung defensif). Nurchalish Madjid[13] dalam kaitan ini mengatakan pada masa-masa kemunduran politik dan militer Islam, kaum sufi berjasa menjaga eksistensi agama Islam, untuk kemudian menyebarkannya ke tempat-tempat lain tanpa penaklukan militer. Seperti terjadi di Afrika Barat, banyak orang India (Hindu) konversi ke agama Islam melalui ajaran-ajaran sufi. Bahkan menurut Cak Nur, misalnya ajaran Hindu tentang advaita (ketidakduaan, nonduality) tidak jauh berbeda dengan ajaran-ajaran sufi tentang Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid), khususnya pengertian Tauhid menurut interpretasi wahdatul wujud. Perbedaannya hanyalah dalam peristilahan saja. Para sufi mengajarkan teosufi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Mereka mahir dalam soal-soal magis dan mempunyai kekuatan-kekuatan menyembuhkan. Dengan tasawuf, “bentuk” Islam yang diajarkan kepada penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam pikiran mereka yang sebelumnya menganut agama Hindu. Di antara sufi yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-Islam ini adalah Hamzah Fansuri di Aceh, ajaran mistiknya masih tetap berkembang di abad ke-19 M bahkan di abad ke-20 M ini.[14]


Pengaruh sufisme di Indonesia sudah sering menjadi bahan pembicaraan ilmiah. Namun masih ada sesuatu yang harus ditegaskan dalam makalah ini, yaitu bahwa, pada analisis terakhir, apa yang disebut “kejawen” pun dapat dilihat sebagai penjawaan sufisme Islam, atau pengislaman mistisisme Jawa. Pengaruh al-Ghazali, yang pikiran-pikirannya menjagad itu, juga amat terasa dalam kalangan “kejawen”,[15] di samping pengaruhnya yang besar sekali di kalangan kaum santri sendiri. Kejawen—terutama di bidang spiritualisme (atau, katakan, “kebatinan”) banyak terpengaruh oleh sufisme, bentuk lain pengaruh penting Islam dalam budaya Indonesia. Bahkan dalam tulisan Martin Van Bruinessen[16], Islam di Indonesia sudah mengalami sinkretisme.


Tidak dapat disangkal lagi, kepercayaan dan ritual sinkretisme nampak pada kepercayaan dan praktek kaum abangan misalnya. Banyak peneliti Islam Indonesia, yang memberikan keterangan tentang Islam yang begitu berbeda dengan Islam Arab, telah ada di negara Islam lain.


Dalam sejarah Islam Nusantara, para ulama penyebar Islam—konteksnya dengan pengembangan ilmu keislaman, telah memadukan budaya setempat dengan nilai-nilai Islam sebagaimana telah dikembangkan oleh wali songo. Bahkan ada beberapa tokoh Islam yang telah mengembangkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di Nusantara, misalnya:


1. Hamzah Fansuri

Hamzah Fansuri merupakan salah seorang ulama yang mengajarkan faham tasawuf yang banyak dipengaruhi oleh ajaran Ibnu Arabi, al-Hallaj, al-Busthami dan lainnya. Ia merupakan pelopor penulisan risalah tasawuf dan keagamaan lain dengan menggunakan kaidah ilmiah yang disusun secara sistematis. Beliau juga mengembangkan pengetahuan filsafat dan mistik dengan pendekatan Islam.[17]Beberapa pokok ajarannya (1) tentang wujud; wujud itu hanyalah satu, walaupun kelihatannya banyak. (2) tentang Allah; Allah adalah zat yang mutlak dan qadim, first causal dan pencipta alam semesta. (3) tentang penciptan; wujud Tuhan itu laksana lautan yang dalam (al-Bahr al-amiq) yang tak bergerak dan alam semesta ini merupakan gelombang dari lautan wujud Tuhan itu. (4) tentang manusia; ia adalah aliran/pancaran langsung dari zat yang mutlak.


2. Abdurrauf Singkel

Nama lengkapnya adalah Syekh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri al-Jawi, lahir di Fansur pada tahun 1620 M dan meninggal di Kuala tahun 1693 M.


Selain seorang sufi, beliau juga dikenal sebagai sebagai seorang ulama besar bermazhab Syafi’i. Pemikirannya di kedua bidang ini banyak menjadi referensi kaum muslimin di Asia Tenggara. Karya-karyanya ada yang berbahasa Melayu juga berbahasa Arab. Sejauh menyangkut tulisannya tentang tasawuf, Abdurrauf Singkel senantiasa menjelaskan bahwa wajib bagi para sufi untuk menempuh jalur syariat. Beliau seorang pengikut dan tokoh thariqat Syattariyah.


3. Nuruddin ar-Raniry

Nama lengkapnya ialah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniry. Ia berasal dari Ranir (Rander) Gujarat, hidup pada masa abad ke-17 M. Beliau seorang penulis produktif, politikus dan flosofis. Beliau adalah seorang mufti kerajaan Aceh dan menjalin hubungan yang harmonis dengan Sultan Iskandar Tsani. Kitab-kitab karangannya banyak membahas fiqh, sejarah, dan hadits. Dalam pengembangan ajaran Islam di Aceh berpaham ahlussunnah waljamaah bermazhab Syafi’i.


Salah satu pokok ajarannya—dari sekian banyak tulisannya, beliau ‘menyerang’ pemikiran Hamzah dan Syamsudin. Misalnya tentang roh Nuruddin berpendapat, bahwa roh itu diciptakan oleh Tuhan. Pengertian hadits “Barang siapa mengenal dirinya, sesungguhnya ia telah mengenal Tuhannya” telah dilewengkan oleh Hamzah dengan konsep penyatuan manusia dengan Tuhannya. Nuruddin memahami hadits itu dengan pengertian, bahwa barang siapa mengenal dirinya sebagai makhluk, maka ia akan mengenal Tuhan sebagai khalik yang menciptakan. Dan barang siapa mengenal dirinya sebagai fana, maka dia akan mengenal Tuhannya sebagai yang baqa. Tuhan adalah pencipta dan wajibul wujud lagi qadim, karenanya disebut wujud haqiqi. Alam ini adalah mumkinul wujud, artinya dijadikan Tuhan dari al-‘adam (tiada) menjadi wujud yang khariji, karenanya disebut wujud majazi.[18]


4. Yusuf al-Makasari

Beliau merupakan salah satu kerabat dari kerajaan Gowa. Pada tahun 1644, belajar di Mekkah. Sebelum berangkat ke Mekkah, singgah di Banten, kemudian ke Aceh untukbelajar dengan Nuruddin Ar-Raniry.


Pada tahun 1667, Yusuf kembali ke Nusantara setelah mengembara selama 22 tahun untuk belajar agama di Mekkah maupun Yaman. Setelah kembali, Yusuf langsung melancarkan gerakan pembaharuan yang bertujuan untuk melakukan furifikasi ajaran Islam dari sisa-sisa paganisme dan kepercayaan-kepercayaan yang tidak Islami. Melalui karya-karyanya, beliau menyebarkan gagasan-gagasan tentang Islam yang murni dan lebih berorientasi pada syariat.


Kesimpulan

Islam masuk ke Nusantara memang menjadi perdebatan tersendiri, baik dari sudut waktu maupun pembawa ajarannya. Ada teori Gujarat, Makkah maupun Persia. Walakhir, meminjam pendapat Ahmad Mansur Suryanegara,[19] teori Makkah yang dipelopori oleh Hamka mendapat apresiasi dan pembenaran dalam seminar-seminar: Sejarah Masuknya Agama Islam ke Indonesia (1963), Sejarah Islam di Minangkabau (1969), Sejarah Riau (1975), Sejarah Masuknya Agama Islam di Kalimantan (1976), dan Seminar Pendahuluan Sejarah Islam di Indonesia (1980).


Islam masuk ke Nusantara mengalami sinkretisme dengan budaya setempat dan ini memudahkan ajaran Islam dapat diterima oleh penduduk. Pendekatan semacam ini pada akhirnya menimbulkan polemik lanjutan tentang realitas sejarah Islam baik dalam tradisi kultural Arab maupun non-Arab termasuk di Indonesia mengajak untuk menanyakan adakah Islam yang autentik? Mencari keautentikan berarti menelusuri apa yang “sebenarnya” ketimbang apa yang tampak, yang fundamental ketimbang yang superfisial, yang asli ketimbang yang tambahan, yang benar ketimbang yang salah. Diskursus ini kemudian—dalam konteks Indonesia, memunculkan gerakan ide Pribumisasi yang dipelopori Abdurrahman Wahid (Gus Dur) versus ide Islamisasi, Paderi, gerakan purifikasi, fundamentalisme, pembaharuan Islam dan semacamnya, yang menuntut pemurnian Islam di Nusantara ini dari unsur-unsur ‘lokal’ yang tidak Islami. Jargon ‘Islam Kaffah’ dimaknai sebagai realisasi pengislaman seluruh sistem hidup, ekonomi, masyarakat, negara, lengkap dengan bentuk dan simbolnya. Di Indonesia pada akhirnya—seperti yang akan dibahas pada makalah selanjutnya, muncul Muhammadiyah, Persis, al-Irsad, bahkan Hizbut Tahrir dan gerakan Wahabisasi lainnya. ‘Arabisasi’ yang dilakukan kaum pemegang jargon ‘pemurnian’ telah berimplikasi tercerabutnya akar budaya lokal dan dianggap tidak bijaksana, demikian kata Gus Dur.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, (Ed). 1991, Sejarah Ummat Islam di Indonesia, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia

IAIN Sumatera Utara, 1981/1982, Pengantar Tasawuf, Sumatera Utara: IAIN

Madjid, Nurchalish, 1992, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan

Mansur Suryanegara, Ahmad, 1995, Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Bandung: Mizan

Milal Bizawi, Zainun, Dialektika Tradisi Kultural: Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi Islam, Tashwirul Afkar, Edisi No. 14 tahun 2003

Pengantar Islam Pribumi: Mencari Wajah Islam Indonesia, Tashwirul Afkar Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi No. 14 Tahun 2003

Soegondo, R.M.G., tt., Ilmu Bumi Militer, Jakarta: Pembimbing

Soekarno, tt., Di bawah Bendera Revolusi, Djakarta: Panitia Penerbit di Bawah Bendera Revolusi, Djilid I

Van Bruinessen, Islam Lokal dan Islam Global di Indonesia, Tashwirul Afkar Edisi No. 14 Tahun 2003

Wawan Junaedi, MS., 2006, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Listafariska

Yatim, Badri, 1994, Sejarah Peradaban Islam, Dirosah Islamiyah II, Jakarta: Grafindo Persada

________________________________________

[1] Nurchalish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1992), h. 63

[2] Islam Pribumi: Mencari Wajah Islam Indonesia, dalam Tashwirul Afkar Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi No. 14 Tahun 2003, h. 14

[3] Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi, (Djakarta: Panitia Penerbit di Bawah Bendera Revolusi, tt), Dijid I, h. 332

[4] Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. Ke-2, h. 73

[5] R.M.G. Soegondo, Ilmu Bumi Militer, (Jakarta: Pembimbing, tt), h. 17

[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Grafindo Persada, 1994), Cet. Ke-2, h. 192

[7] Taufik Abdullah, (Ed), Sejarah Ummat Islam Indonesia, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 1991), h. 35

[8] Ibid, h. 38

[9] Ibid, h. 39

[10] Baca lebih lanjut Ahmad Mansur Suryanegara, Op.cit, h. 74-94

[11] Ada kesamaan budaya antara masyarakat Islam Indonesia dengan Persia, antara lain: Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syiah atas syahidnya Husain. Kedua, adanya kesamaan antara ajaran Syaikh Siti Jenar dengan ajaran sufi Iran al-Hallaj. Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab. Keempat, nisan pada makam Malikus Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap mazhab Syafii sebagai mazhab yang paling utama di daerah Malabar. Baca juga lebih lanjut, Ahmad Mansur Suryanegara, Ibid, h. 90-91

[12] Zainul Milal Bizawie, Dialektika Tradisi Kultural: Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi Islam dalam Tashwirul Afkar, Edisi No.14 Tahun 2003, h. 49

[13] Nurchalish Madjid, Op.cit, h. 66

[14] Badri Yatim, Op.cit, h. 202-203

[15] Ini dapat dilihat buktinya dari banyaknya konsep kesufian dalam literatur kejawen, seperti konsep tarikat, makrifat, hakikat dan lain-lain.

[16] Martin Van Bruinessen mengutip pola Clifford Geertz tentang adanya dichotomi antara santri dan abangan dilengkapi dengan kelompok elite yang lain, priyayi. Geertz telah menggambarkan beberapa praktek abangan (dan priyayi) sebagai tidak Islami, dan kadang-kadang merujuk pada ajaran Hindu. Pemujaan terhadap nenek moyang dan percaya kepada roh dengan pemberian sesaji sebagai bentuk utama ritual, magis, dan bentuk-bentuk mistisisme yang menekankan kemanungalan Tuhan dan manusia, hingga bertapa di tempat-tempat terpencil, merupakan praktek keagamaan yang asing bagi Islam dan lebih dekat kepada ajaran Hindu. Lebih lanjut lihat Martin Van Bruinessen, Islam Lokal dan Islam Global di Indonesia, dalam Tashwirul Afkar, Edisi No. 14 Tahun 2003, h. 69

[17] MS. Wawan Djunaedi, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Listafariska Putra, 2006), h. 80-81. Baca Juga IAIN Sumatera Utara, Pengantar Tasawuf, (IAIN Sumatera Utara, 1981/1982), h. 186

[18] Lihat IAIN Sumut, Ibid, h. 221-222

[19] Ahmad Mansur Suryanegara, Op.cit, h. 94

0 comments: