Muhammadiyah; Organisasi Pergerakan dan Dakwah Indonesia (Refleksi Milad Muhammadiyah Ke-106)
KH. Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyah (Dok. Ilmusiana.com) |
Oleh: Dr. H. Masduki Duryat, M. Pd.I*)
Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Organisasi ini lahir pada tahun 1912, tepatnya pada 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan dengan 18 Nopember 1912 Miladiyah, empat belas tahun lebih awal dari lahirnya ormas Islam Nahdlatul Ulama. Sampai-sampai Jenderal Tito Karnavian—waktu menjadi Kapolri—dalam sebuah pidatonya menyatakan, “selama ada Muhammadiyah dan NU kemudian bersatu, maka Indonesia akan tetap tegak berdiri”. Muhammadiyah adalah salah satu perekat bangsa.
Nama Muhammadiyah berarti pengikut nabi Muhammad SAW, pendirinya adalah KH. Ahmad Dahlan atau yang biasa disebut Muhammad Darwis. Kyai Dahlan mendapatkan ilmunya dari ulama-ulama yang sama tempat kyai-kyai NU menuntut ilmu. Dengan kyai Hasyim NU satu guru satu ilmu, bahkan satu keluarga. Kyai Dahlan dengan kyai Hasyim adalah sama-sama keturunan Sunan Giri. Sunan Giri adalah anak Maulana Ishak yang nasabnya sampai ke Siti Fatimah binti Rasulullah. Maulana Ishak kemudian mengajar di Pasai Aceh, pusatnya pengembangan Islam Nusantara ketika itu, yang pengikutnya samai ke Sumatera Barat, yang kelak kaum Paderi bermukim di situ.
Tujuan utama organisasi ini adalah mengembalikan segala sesuatu yang menyimpang yang terjadi pada proses dakwah. Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya.
Din Syamsuddin , dalam pengantarnya di Komik Muhammadiyah menyatakan bahwa sejak awal berdirinya, tujuan utama Muhammadiyah adalah mendukung pencapaian Islan yang berkemajuan. Semua ini dilakukan sepenuhnya guna lebih membumikan ‘Izzul Islam Walmuslimin—untuk memuliakan agama Islam dan seluruh kaum muslimin. Menurutnya, inti nilai dasar Islam yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam merumuskan Islam yang memiliki spirit berkemajuan itu adalah tauhid.
Signifikansi tauhid ini, seperti dicetuskan oleh pendiri Muhammadiyah, terlihat dalam dua bentuk; tersurat dan tersirat. Bentuk tersuratnya adalah sebagaimana dinyatakan dalam kalimat dua syahadat yang tertera di lambang Muhammadiyah. Sedangkan bentuknya yang lebih tersirat adalah sebagaimana dikandung dalam doktrin keseimbangan (tawazun) antara konsepsi tajrid atau pemurnian dan tajdid atau pembaruan yang diusung Muhammadiyah.
Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, di antaranya dalam QS. Ali Imran (2) ayat 104 yang berbunyi:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Sejarah Berdirinya Organisasi Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KH. Ahmad Dahlan.
Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Hingga kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
Di samping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
Beberapa karya Ahmad Dahlan yang ditinggalkan banyak dijadikan pedoman bagi para guru sekolah Muhammadiyah. Bagi Ahmad Dahlan ada gagasan utama—sebagaimana diuraikan oleh Djoko Marihandono dalam Muhammadiyah di Era: Antara Pro dan Kontra—peran pengikat kehidupan manusia terdiri atas; (1) ilmu pengetahuan yang terlalu besar untuk dipikirkan; (2) ummat harus mempelajarinya dengan serius dan mempelajarinya dengan cermat; (3) untuk mengatur dirinya, manusia hendaknya menggunakan instrument al-Quran.
Ia juga menjelaskan bahwa ada beberapa alasan yang membuat setiap manusia memiliki perasaan yang sama. Hal ini didasari paling tidak, pertama ummat manusia di manapun asal etnisnya—pada dasarnya—berasal dari satu leluhur yakni Adam dan Hawa. Dengan demikian, manusia harus saling berhubungan karena mereka berasal dari satu darah. Kedua, manusia dalam hubungan dengan yang lain membentuk tatanan yang damai dan bahagia dalam kehidupannya. Hal ini tidak akan tercapai bila tidak memiliki perasaan yang sama dan hati terpadu. Bagi Ahmad Dahlan, hal ini merupakan kebenaran yang tidak terbantahkan.
Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah
Keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah adalah; Pertama, Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma'ruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai Allah SWT, untuk malaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. Kedua, Muhammdiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi.
Ketiga, Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: Al-Qur'an: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW; Sunnah Rasul: Penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur'an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Keempat, Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang: 'Aqidah, Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid'ah dan khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.
Akhlak, Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia.
Ibadah, Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia. Muamalah Duniawiyah, Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu'amalat duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadi semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT; dan kelima, Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT: "Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur". Hal ini berdasarkan Keputusan Tanwir Tahun 1969 di Ponorogo.
Ciri Perjuangan Muhammadiyah
Dengan melihat sejarah pertumbuhan dan perkembangan persyarikatan Muhammadiyah sejak kelahirannya, memperhatikan faktor-faktor yang melatarbelakangi berdirinya, aspirasi, motif, dan cita-citanya serta amal usaha dan gerakannya, nyata sekali bahwa di dalammya terdapat ciri-ciri khusus yang menjadi identitas dari hakikat atau jati diri Persyarikatan Muhammadiyah.
Secara jelas dapat diamati dengan mudah oleh siapapun yang secara sepintas mau memperhatikan ciri-ciri perjuangan Muhammdiyah itu adalah; 1) Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, 2) Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah Islam, 3) Muhammadiyah sebagai 4) Gerakan Tajdid, dan 5) Muhammadiyah sebagai Gerakan Nasional
Ijtihad Politik Muhammadiyah
Muhammadiyah, sebagaimana dijelaskan oleh Zuly Qodir telah memasuki abad kedua. Tantangan abad ini tentu tak kalah rumit jika dibandingkan pada abad pertama, persoalannya Muhammadiyah tidak lagi berdiri sebagai ormas modern berbasis social kemasyarakatan di Indonesia. Tetapi kini berhadapan dengan persoalan nasional maupun internasional.
Persoalan ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Muhammadiyah untuk semakin berkiprah bagi ummat secara global. Muhammadiyah yang sejak awal tidak didesain untuk menjadi partai politik dan karenanya sering gamang dalam berhadapan dengan dunia perpolitikan—terutama gerakan massif politik praktis yang penuh pragmatism—perlu mendapatkan perhatian serius.
Muhammadiyah tidak boleh lagi “menjadi penonton dan pembantu” Negara dengan pelbagai amal usaha yang telah dikerjakan. Muhammadiyah harus menjadi bagian penting dari Negara, dan syukur jika Muhammadiyah dapat menjadi “imam” di negeri ini yang secara kultur berislam moderat dan membutuhkan organisasi social keagamaan seperti Muhammadiyah.
Dalam bahasa Bahtiar Effendy kegamangan dan ambiguitas itu telah menyebabkan pimpinan Muhammadiyah mengambil sikap defensif yang tak pernah bakal terealisasikan dalam kehidupan dunia nyata dan akhirnya Muhammadiyah mengambil sikap berjarak dengan kekuatan-kekuatan politik. Tetapi berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN) yang tak lain adalah ijtihad politik Amin Rais (dan Muhammadiyah) yang awalnya diharapkan bakal mencatatkan cerita keberhasilan Muhammadiyah di dunia politik, tidak juga meyakinkan Muhammadiyah bahwa politik perlu dipertimbangkan secara sungguh-sungguh sebagai sebuah amal usaha Persyarikatan.
Muhammadiyah dikesankan oleh Hajriyanto Y. Thohari , warga Muhammadiyah cenderung negative dan pesimis, dan tidak fair atau bersikap ambivalen dalam memandang dunia politik. Intinya politik itu tidak begitu baik/positif bagi Muhammadiyah: politik akan mengalihkan perhatian warga Muhammadiyah dari dakwah atau kerja-kerja kemanusiaan besar yang digelutinya selama ini. Sehingga menurut Syafi’i Ma’arif , pertanyaannya apakah Muhammadiyah akan tetap menjadi pembantu Negara, atau mau bergerak lebih jauh untuk juga sebagai penentu perjalanan Negara Indonesia? Pilihan bergantung kepada pemikiran dan pertimbangan warga persyarikatan.
Penutup
Munculnya gerakan pembaharuan di dunia Islam secara umum merupakan pengaruh dari perubahan sosial orang Barat. Hal ini disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara itu pada saat yang sama kejayaan umat Islam yang telah berabad-abad menguasai dunia semakin stagnan dan bahkan mundur. Dalam keadaan semacam ini, muncullah para tokoh pembaharu Islam yang berusaha untuk membangkitkan kembali kejayaan Islam.
Muhammadiyah sebagai suatu organisasi Islam hadir atau berdiri untuk memurnikan kembali ajaran agama Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits tanpa terkontaminasi dengan budaya yang tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Untuk mengembangkan ide–ide pembaharuannya, Muhammadiyah melaksanakan berbagai gerakan sosial dengan mendirikan berbagai amal usaha, seperti lembaga pendidikan, panti asuhan, rumah sakit dan lain-lain.
Paham keagamaan Muhammadiyah yang pada garis besarnya meliputi persoalan akidah, akhlak, ibadah dan muamalah itu, secara umum masih relevan dan kondusif terhadap perubahan tuntunan zaman.
*)Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP al-Amin Indramayu, tinggal di Kandanghaur