-->

ads

Dimensi Cinta; Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW (Refleksi Peringatan Maulid Nabi)

Selasa, 19 Oktober 2021
Gambar umsu.ac.id


 Oleh: DR. H. Masduki Duryat, M. Pd.I


Beberapa waktu yang lalu, Islamophobia telah secara tidak langsung dibangkitkan kembali oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron—sebagaimana disampaikan Muhyiddin Junaidi, wakil Ketua MUI. Sebelumnya Macron menyatakan ia tidak akan mencegah penerbitan kartun yang menghina Nabi Muhammad dengan dalih kebebasan berekspresi. Selama beberapa hari terakhir, Prancis telah menyaksikan pemasangan gambar yang menghina Nabi Muhammad di fasad beberapa bangunan di negara itu.


Selain kartun provokatif, awal bulan ini, Presiden Macron menggambarkan Islam sebagai agama yang sedang dalam krisis. Dia juga mengumumkan rencana mendorong undang-undang yang lebih keras untuk menangani apa yang disebutnya ‘separatisme Islam’ di Prancis.


Islamophobia Macron

Kontan, sikap Macron ini tidak hanya mendapat reaksi dari kalangan ummat Islam tetapi juga datang dari sejumlah umat Kristiani di Arab. Mereka menilai Macron menghina Islam dan Nabi Muhammad.


Macron langsung dikutuk atas pernyataannya itu. Bahkan negara Timur Tengah menyerukan boikot produk Prancis sebagai bentuk protes.


Ghada Owais, presenter Al-Jazeera yang beragama Kristen mengatakan, "Saya menolak untuk menyakiti perasaan Muslim atau untuk menggeneralisasi terorisme dan mengaitkannya dengan Islam.” Ayman Dababneh mengatakan, "Siapa yang menyinggung dan tidak menghormati saudara Muslim saya tidak menghormati saya sebagai seorang Kristen Yordania.


Michael Ayoub berkata di Twitter: "Saya benar-benar membenci orang [yang] menghina agama orang lain atau mengejek dia atau utusannya. Apa yang terjadi di Prancis adalah kemerosotan, dan ini menggarisbawahi bahwa mereka sangat jauh dari ajaran al-Kitab."


Sejatinya dengan meminjam kata-kata Gus Dur, apa yang dilakukan mereka tidak akan menurunkan kemuliaan akhlaq Nabi Muhammad SAW. Tetapi dengan bahasa yang berbeda—walau maknanya debatable—Buya Hamka pernah mengatakan; “Jika diam saat agamamu dihina, gantilah bajumu dengan kafan”.


Kepemimpinan Nabi, Bertabur Cinta

Bahwa ada gerakan separatis dari sempalan gerakan Islam yang mengekspresikan dengan kekerasan dari interpretasi ajarannya tidak bisa dipungkiri ada semenjak awal kemunculan Islam, misalnya yang diperlihatkan oleh Khawarij. Tetapi dengan mengeralisasikan bahwa Islam dan ajarannya identik dengan kekerasan, teroris juga tidak bijak dan kurang memahami sejarah serta ajaran Islam secara holistic. 


Cukuplah apa yang disampaikan Nabi ketika melakukan haji Wada’ menggambarkan kerahmatan Islam di bukit Namirah; Nabi memandangi wajah para sahabatnya. Lalu bertanya, “Tahukah kamu siapa yang disebut Muslim? Al-Muslimu man saliman Nasu min lisanihi wayadih. Seorang Islam ialah orang yang seluruh manusia tidak pernah diganggu dengan lidah dan tangannya”, kata Nabi yang mulia. 


Lalu Nabi bertanya lagi, “Tahukah kamu siapa yang disebut mukmin?” Al-Mu 'minu man aminan Nasu fi amwalihim wa anfusihim.   Seorang mukmin ialah orang yang mendatangkan rasa aman pada orang lain dalam  hartanya dan  dalam (kehormatan dan  kehidupan) dirinya.


Dengarkan apa kalimat terakhir dari wasiatnya yang terakhir: La tarji'u ba'di kuffaran yadhribu ba'dhukum riqaba ba'dhin.   Janganlah  kamu kembali kafir, yakni kamu saling memerangi di antara kamu!


Menurut Nabi saw, seorang Muslim tidak akan pernah menggunakan lidah dan tangannya untuk menyakiti siapa pun. Ia menamakan pengikutnya Muslim, yang artinya  selain  orang  yang   pasrah  kepada  Allah  SWT., juga orang  yang mendatangkan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan kepada orang-orang di sekitamya.  "Inginkah kamu menjadi orang-orang yang saling mencintai?  Ufsyus salam  baynakum. Sebarkan kebahagiaan, keselamatan di antara kalian.  Seorang Muslim, dalam makna nabawi, dalam definisi profetik,  adalah orang yang misi hidupnya adalah menebarkan kebahagiaan, keselamatan!


Pada tataran realistik—dengan mengutip tulisan jalaluddin Rakhmat—salah satu kunci keberhasilan kepemimpinan Nabi Muhammad adalah; Pertama, Perhatian yang tulus; Kedua, Pandai memuji, memberikan reward; Ketiga, Kepemimpinan yang memberikan contoh, teladan. 


Yang semua ini merupakan refleksi dari kepemimpinan publik Nabi dengan mengadaptasi QS. Al-Fath [48]: 29 adalah, “Pertama, keras dan tegas terhadap kekafiran (penyimpangan); (menegakkan aturan dengan tanpa pandang bulu atau tebang pilih). “lau anna Fathimata binti Muhammadin saraqat laqatha’tuha”. Kedua, kasih sayang terhadap sesama; (populis, berpihak kepada kepentingan public, selalu menjaga soliditas dan solidaritas, keragaman masyarakat memperkaya inovasi, perbedaan menjadi rahmat bukan menjadi laknat). Ketiga, selalu ruku’ dan sujud; (rajin beribadah, rendah hati, giat bekerja, tulus, dan senantiasa berbuat semata karena Allah dan umtuk kepentingan masyarakat banyak). Keempat, selalu mencari karunia dan ridha Allah; (kreatif menggali potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM), cerdas menangkap peluang, taat dan patuh terhadap aturan, seimbang antara do’a dan ikhtiar, serta optimis atas rahmat dan ridha Allah). Kelima, bekas sujud Nampak di wajahnya; (kesalehan ritualnya memberi dampak pada kesalehan sosial, integritasnya sebagai muslim tercermin pada perilaku kesehariannya, yang selalu berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan masyarakat)”.


Sangat indah tulisan Husein Muhammad dengan menceritakan kembali cerita Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya yang berjudul "Insaniyyat Muhammad", Kemanusiaan Muhammad. 


Suatu hari seseorang laki-laki datang menemui Nabi. Dia belum pernah melihat wajah Nabi. Dia hanya mendengar nama Muhammad  dan mendengar kabar bahwa Muhammad  menghina Tuhan-tuhan kabilah Quraisy dan kabilah-kabilah yang lain. Dia juga sering mendengar tuduhan-tuduhan yang tak tak berdasar terhadap beliau. "Muhammad itu si gila, dukun, tukang sihir, dan sehenisnya".


Orang tadi ingin menemui Nabi. Ia kemudian menuju Makkah dengan membawa pedang yang sudah diasah tajam dan bersumpah akan mempertaruhkan nyawanya dengan Muhammad. Ia bertanya-tanya kepada setiap orang yang ditemuinya di sana di mana Muhammad dan bagaimana wajahnya. Begitu bertemu orang yang dipanggil Muhammad darahnya mendidih, kata-kata kasar dan penuh caci maki berhamburan dari mulutnya. 


Mendengar itu semua Nabi hanya tersenyum saja. Tetapi senyum itu mengembuskan cahaya, dan cahaya itu menerobos jantung laki-laki tadi. Senyum itu meluluhkan hati keras laki-laki itu. Beberapa menit kemudian hati laki-laki itu  galau, berkecamuk dan berubah. Kebengisan berubah menjadi kelembutan, kemarahan berubah menjadi simpati dan cinta. Ia lalu menjatuhkan diri di kaki dan pelukan Nabi, sambil menangis tersedu-sedu. 


Ketika telah tenang, dia berkata: “Wahai Muhammad, demi Tuhan aku berusaha menemuimu. Saat itu tak ada orang di muka bumi ini yang paling aku benci, kecuali engkau. Tetapi kini aku berbalik. Tak ada orang yang paling aku cintai kecuali engkau”. 


Ada apa gerangan dengan Nabi sehingga ia begitu mudah mampu membalik perilaku orang, dari benci dan dendam kesumat menjadi cinta menggelora?. Tidak ada apapun kecuali karena dia (Nabi) mencintai laki-laki itu dengan seluruh hatinya. Muhammad tidak berpura-pura mencintai. Tetapi cinta yang melekat di dalam diri Nabi-lah yang menaklukkan jiwa laki-laki itu.


Khalid Muhammad Khalid mengatakan: “Hati Muhammad selalu terbuka bagi semua orang; para sahabatnya dan para musuhnya”.


Memimpin dengan Ketakutan

Memperbincangkan kepemimpinan kurang menarik untuk tidak mengutip tulisan M. Alfan Alfian dalam bukunya “Wawasan Kepemimpinan Politik, Perbincangan Kepemimpinan di Ranah Kekuasaan”, salah satunya ia mengilustrasikan; “Memimpin itu hakikatnya melayani, bukan dilayani dan dengan penuh ketamakan ingin menggerus sikap bijak dengan kesombongan.


Berbanding terbalik dengan kepemimpinan Nabi, menarik kisah yang ditulis oleh Alfan Alfian untuk mengilustrasikan tentang pentingnya demokrasi yang berkonotasi bukan kuantitatif dan penuh ketakutan.


Alkisah, di suatu hutan, singa sebagai rajanya, tiba-tiba pemarah dan otoriter sekali. Sikap bijaknya tenggelam oleh nafsu berkuasa, dan itu harus diekspresikannya dengan mengharuskan masyarakat hutan untuk menyetor binatang-binatang setiap hari untuk dijadikan mangsanya.


Masyarakat hutanpun kecewa dengan kebijakan sang raja. Tetapi tidak ada pilihan lain. Setiap hari seekor binatang harus direlakan untuk disantap sang Singa, entah itu Kera, Kijang, Kuda, Anjing, Kucing, Ayam, Burung, dan apa saja. Sampailah saatnya, Kelinci. Ia hadir untuk menaklukkan raja yang rakus, tetapi bodoh”. Lalu terjadi dialog antara Singa dan Kelinci:


“Kau terlambat”. “Aku nyaris tak sampai,” jawab Kelinci dengan tenang dan pasti. “Kami diserang di perjalanan”. “Kami, kami, siapa?”. “Yah, hewan-hewan yang mengirimku berpikir bahwa binatang seukuranku tak akan kenyang bila hanya memangsa satu kelinci yang kurus kering ini. Mereka megirim dua supaya perutmu kenyang”. “Lantas di mana temanmu?” “Kami sedang di perjalanan, ketika mendadak kami diserang oleh seekor …” “Seekor apa?” “Seekor Singa”.


Betapa kagetnya sang Singa, raja hutan itu, mendengar adanya Singa lain. Ia mengaum dalam kemurkaan dan kemarahan. Kemarahan memuncak ketika mendengar penjelasan bahwa Singa lain itu, sangat besar dan garang. “Aku akan membunuhnya, betapa kurang ajarnya dia,” kata Singa yang bermuka merah, karena marah. Sang Singa meminta Kelinci menunjukkan di manakah Singa lain itu, dan Kelinci pun menjawab, hingga ke tepi sebuah sumur. “Di mana Singa itu?” “Di sana, di dalam sumur itu!” “apa? Di dalam sumur? Apa kau coba menjebakku? “Kau mau coba mendorongku agar jatuh ke dalam sumur?” Singa menaruh curiga. Kelinci pun gemetar ketakutan, tetapi ia menahan diri, dengan mengatakan bahwa ia sungguh-sungguh”. 


“Aku bersumpah padamu, ia benar-benar ada di dalam sumur itu. Coba lihat sendiri,” tukas Kelinci. Dan Singapun menyanggupi. Begitu ia mengintip ke dalam sumur, bepata kagetnya ia. Ada seekor Singa yang garang di dalamnya. “Lihat! itu dia! Serang sebelum ia menerkam kita!” Dan Singa pun dengan kemarahannya menerkam Singa di dalam sumur, yang tak lain adalah bayangannya itu. 


Alfan Alfian kembali menegaskan dengan ilustrasi di atas, bahwa kemarahan pada ahirnya akan dikalahkan oleh kelihaian. Kedamaian diciptakan dengan ketulusan. Dalam demokrasi ada prinsip cheks and balances, justru untuk mencegah penguasa dzalim. 


Penutup

Ketulusan inilah yang difragmentasikan Nabi dalam kepemimpinannya, sehingga menjelang akhir hayatnya masih menyebut “ummatku, ummatku, ummatku”. Masihkah meragukan kemuliaan akhlaq Nabi yang Allah menyebutnya di dalam al-Quran dengan “Wa innaka la’alaa khuluqin ‘adhim”.

Wallahu a’la, bi al-Shawab


*Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu


0 comments: