-->

ads

Pribumisasi Islam; Reinterpretasi Ide Gus Dur (Refleksi Memperingati Hari Santri Nasional)

Senin, 18 Oktober 2021

Gus Dur (Gambar Detiknews.com)

 

Oleh: Dr. H. Masduki Duryat, M. Pd.I*)


Ide pribumisasi Islam yang digagas oleh KH. Abdurrahman Wahid tentu berbeda dengan terma pribumi yang sedang booming saat pidato Anies—sebagaimana diucapulang pada pidato perdananya Gubernur DKI Jakarta Prof. Anies Rasyid Baswedan—yang kemudian ada yang memperkarakannya karena dianggap melanggar undang-undang tentang larangan diskriminasi dan ras, kemudian KUHP pasal 157, undang-undang ITE pasal 28 ayat 2 serta larangan kata pribumi pada Inpres No. 26 tahun 1998 yang sangat sensitif. Prof. Anies membantahnya dengan melihat konteks kata pribumi terkait masa kolonialisme Belanda. 


Ide pribumisasi Islam akan kita bahas pada tulisan ini, walaupun bukan sesuatu yang baru dan mengingatkan kembali tentang ide besar dari pemikiran seorang tokoh besar dalam memperingati Hari Santri Nasional, dan Gus Dur nota bene-nya adalah seorang santri tulen, lahir dan dibesarkan serta mengabdi di Pesantren. 


Abdurrahman Wahid alias Gus Dur adalah sosok yang menarik sekaligus kontroversial untuk dibicarakan. Sekedar menyebut contoh, ketika orang ramai-ramai membicarakan sistem bunga pada bank konvensional, ia mendirikan bank Nusamba. Saat goyang “ngecor” Inul diperbincangkan—bahkan membuat ‘murka’ raja dangdut Rhoma Irama—ia dengan enteng mengatakan barisan tentara saja masing goyang-goyang, begitu saja kok repot. Menolak untuk duduk pada jajaran kepengurusan ICMI, karena dianggapnya sekterian dan elitis. Pada tataran keilmuan, dunia Islam sepakat dengan gagasan Islamisasi, ia menggelindingkan ide Pribumisasi Islam yang hanya ada di Indonesia. 


Bahkan pemikiran yang bersentuhan dengan budaya Barat—yang berbeda dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup dan penuh etika, dunia Timur yang terbuka dan keras—juga menjadi ciri pemikirannya yang liberal, rasional dan sekuler. Keterlibatannya dalam Forum Demokrasi (Fordem) semakin menegasikan itu, walaupun sampai ahir hayatnya hampir tidak ada yang dominan (Pesantren, Timur Tengah dan Barat), tetapi bersinergi dan melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu dinamis dan susah dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.


Selayang Pandang Biografi Gus Dur

Beliau lahir dengan nama Abdurrahman  Addakhil. “Addakhil” berarti “Penakluk”, terma “Addakhil” tidak begitu dikenali dan diganti dengan nama “Wahid” (satu, esa, tunggal), dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan mesra dan manja Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pondok pesantren kepada seorang anak kyai yang bermakna “abang” atau “mas”. Gus Dur merupakan anak sulung dari enam bersaudara dari tokoh besar dan kyai masyhur, KH. Wahid Hasyim. Gus Dur keturunan ‘darah biru’ dari KH. Hasyim Asy’ari—pembina dan pendiri NU—juga dari KH. Bisri Syamsuri—pengajar pesantren pertama yang membuka kelas untuk perempuan.


Gus Dur lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 atau 7 September 1940 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Sholehah. Pada ahir 1944 ayahnya pindah ke Jakarta, Gus Dur dibawanya ikut serta dan terpilih menjadi ketua Masyumi. Setelah kemerdekaan, Gus Dur kembali ke Jombang. Pada akhir perang tahun 1949, KH. Wahid Hasyim pindah ke Jakarta dan dilantik sebagai menteri agama. Gus Dur belajar di Jakarta masuk SD, ia banyak membaca buku-buku non-muslim, majalah dan surat kabar untuk memperluas cakrawala pengetahuannya. Pada 18 April 1953 ayahnya meninggal dunia karena kecelakaan kereta dalam perjalanan ke Sumedang.


Pada 1954, Gus Dur masuk SMP kemudian dipindahkan ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan belajar kepada KH. Ali Maksum di Ponpes Krapyak dan belajar di SMP. Pada 1957, melanjutkan di Ponpes Tegalrejo, tahun 1959 pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, melanjutkan pendidikan sendiri dan sekaligus menjadi guru. Tahun 1963 Gus Dur menerima beasiswa dari Kemenag untuk belajar di Universitas Al-Azhar. Dari Kairo pindah ke Irak, di sini Gus Dur belajar Satra Arab, falsafah dan teori sosial Eropa, di samping kesukaannya menonton film-film klasik. Kemudian beliau ke belanda, bertolak ke Jerman, Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971. 


Kembali dari pengembaraannya, ia menjadi guru di Jombang tahun 1971 pada fakultas Ushuluddin Universitas Tebuireng Jombang. Menulis menjadi aktivitasnya yang lain sampai ahirnya bergabung di LP3ES dan pada tahun 1979 Gus Dur merintis Pesantren Ciganjur. Banyak jabatan yang diembannya, di NU, DKJ bahkan FFI. Kemudian pada muktamar NU ke-27 di Situbondo, kemudian hasil muktamar ke-28 di Krapyak dan Cipasung terpilih menjadi ketua umum NU (1994) kemudian jabatan itu dilepasnya karena terpilih menjadi Presiden Indonesia yang ke-4. Ia juga pernah menjadi ketua Konferensi Agama dan Perdamaian sedunia (1994), anggota MPR (1999), ketua Forum Demokrasi (1991-1999). Dan banyak jabatan lainnya, baik formal maupun non formal pemerintahan. Pada Rabu, 30 Desember 2009 beliau wafat di RSCM, Jakarta akibat komplikasi penyakit. 


Ide Pribumisasi

Pada tulisan Greg Barton, sedikitnya ada lima elemen pemikiran Gus Dur: Pertama, progresif dan bervisi jauh ke depan dengan harapan pasti bahwa bagi Islam dan masyarakat muslim sesuatu yang terbaik pasti akan datang. Kedua, pemikirannya sebagian besar merupakan respon terhadap modernitas. Ketiga, posisi sekularisme ketuhanan yang ditegaskan dalam Pancasila merupakan dasar yang paling mungkin dan terbaik bagi terbentuknya negara Indonesia yang modern. Keempat, pemahaman Islam liberal yang terbuka dan toleran terhadap perbedaan serta sangat peduli dalam menjaga keharmonisan dalam masyarakat. Kelima, pemikirannya mewakili perpaduan Islam tradisional, modern dan kesarjanaan Barat modern yang berusaha menghadapi tantangan modernitas baik kejujuran intelektual yang kuat maupun dengan keimanan yang kuat terhadap kebenaran Islam yang sebangun dengan pandangan liberalisme.


Elemen pemikiran ini yang kemudian tertuang di bidang hubungan agama dan negara, Pribumisasi Islam, dinamika fiqh dan ushul fiqh, wawasan keadilan dan pluralisme, martabat wanita, tapi dari semua pemikirannya adalah liberalisme, demokrasi dan universalisme. 


Ide pribumisasi Islam Gus Dur ini bersentuhan dengan persoalan budaya, ketika Islam berdialog dengan budaya suatu negara atau daerah. Pribumisasi dilakukan agar kita tidak tercerabut dari akar budaya setempat. Sebaliknya kecenderungan “Arabisasi” bukan saja kita menjadi terasing dengan budaya sendiri, tetapi banyak hal sering tidak berkorelasi bahkan bertentangan dengan tujuan. Sehingga ada kata-kata yang terkenal Gus Dur yang diabadikan sampai sekarang, “Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab. Bukan untuk ‘aku’ jadi ‘ana’, ‘sampeyan’ jadi ‘antum’, ‘sedulur’ jadi ‘akhi’. Kita pertahankan milik kita, kira harus serap ajarannya, tapi bukan budaya Arabnya”.


Dalam buku Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Gus Dur dengan lugas menyampaikan bahwa kata ‘Gusti’ tidak mesti diganti dengan Allah, sebab ketika orang Jawa menyampaikan kata Gusti pasti konotasinya adalah Allah. 


Demikian juga kata ‘sembahyang’ tidak harus diganti dengan ‘shalat’, karena ketika orang Jawa sembahyang bukan sanghyangwidi yang disembah tetapi tetap Allah, sekolah menjadi madrasah, karena nilai dan konotasi kata itu adalah sama sehingga tidak ada keharusan untuk mengkultuskan bahasa Arab tersebut. 


Tentang Jilbab menurut Gus Dur disesuaikan dengan keadaan, situasi dan budaya Indonesia—kebiasaan di Indonesia memiliki kebiasaan yang berbeda dalam berpakaian, kebaya di Jawa, baju jurung di Minang—kalau dilihat karakter pakaian tersebut hampir sama dengan ‘jilbab’ gaya Arab. Bedanya hanya pada penutup kepala. Hal ini dapat dipahami karena karakter orang Indonesia yang memandang daerah kepala bagian yang biasa nampak. 


Membangun masjid juga tidak harus sama dengan bangunan di Makkah atau di Madinah tetapi tampilan masjid dengan budaya lokal seperti di Demak atau tempat lainnya juga tetap islami. Pribumisasi Islam memberi tempat kepada jenis Islam lokal. 


Pribumisasi Islam merupakan suatu proses yang tak terelakkan ketika agama bersentuhan dengan budaya lokal. Agama Islam diyakini bersumber dari wahyu Allah, budaya adalah produk pemikiran manusia. Agama bersifat mutlak, absolut, tetap, sementara budaya bisa berubah-ubah. 


Tetapi—sebagaimana diungkap oleh Ahmad Sahal—banyak di antara kita yang salah melakukan interpretasi dengan mengesankan bahwa Gus Dur antibudaya Arab. Kesan ini tidak sepenuhnya benar, Gus Dur hanya ingin mengatakan budaya Arab sama seperti budaya lainnya di dunia—tidak identik dengan Islam. 


Artinya kita tidak lantas lebih islami hanya karena telah berjubah, bersorban, atau menggunakan kata ana, antum, akhi, milad, ahad, dalam keseharian, perilaku ini hanya meng-Arabkan. Tentu saja, mengadopsi budaya Arab tidaklah salah, Gus Dur pun memiliki nama Arab, menempuh pendidikan dan bersekolah di Timur Tengah. Namun pernyataan Gus Dur menegaskan kembali bahwa Arab tidak sama dengan Islam. Untuk menyebut contoh, Nabi jelas Arab, tetapi memiliki musuh yang juga berasal dari Arab. Abu Jahal dan Abu Lahab juga bersurban, berjubah; begitu pula berbincang dengan kosa kata Arab seperti ana dan antum.

 

Lantas bagaimana proses pribumisasi dapat dikawal dan dengan tepat memposisikan relasi antara Islam dan Arab? Gus Dur menawarkan pola yang cukup sederhana yaitu dengan mempergunakan variasi pemahaman nash dengan tetap memberikan peranan kepada Ushul Fiqh dan qaidah fiqhiyah seperti al-‘adah al-muhakkamah (adat istiadat menjadi hukum) dan al-muhafazatu bi qadimi al-shalih wa akhazu bi al-jadid al aslah (memelihara yang lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik) misalnya boleh menjadi pedoman untuk mendorong, mengawal dan sekaligus mengevaluasi ide Pribumisasi ini. 


Yang pasti Islam bersifat shalihun li kulli zaman wa makan, Islam relevan untuk segala zaman dan tempat. Dalam konteks ide Gus Dur ini; Pribumisasi Islam, keislaman yang mengakomodasi dan dapat diserap budaya setempat.


Sayangnya—sebagaimana diungkapkan oleh Akhmad Sahal—Pribumisasi Islam seringkali direduksi dengan contoh yang kemudian memunculkan kontroversi, misalnya Gus Dur mengganti “Assalamu’alaikum” dengan selamat pagi dan seterusnya. Contoh itu hanya mereduksi pemikiran Gus Dur dari poin utamanya bahwa universalisme Islam mesti ditampilkan dalam ekspresi-ekspresi kultur setempat. 


Penutup

Pribumisasi Islam Gus Dur muaranya adalah sama; kesetiaan kepada Islam, loyalitas kepada NKRI dan merawat budaya sendiri secara beriringan. Sehingga tidak ada yang salah kalau dalam perayaan Hari Santri Nasional, kita upacara dengan menggunakan sarung, baju koko, berkopyah, sendal jepit yang mencerminkan budaya lokal, Indonesia.


Dimensi Islam yang universal, tampil sebagai peradaban yang kosmopolit, terbuka terhadap akulturasi dan adopsi budaya lain sehingga memperkaya peradaban Islam.


*)Penulis adalah dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP Al-Amin Indramayu, tinggal di Kandanghaur




0 comments: