-->

ads

Aksi Unjuk Rasa Kepala Desa dan Tuntutannya di Tahun Politik; Realistik kah?

Kamis, 10 Agustus 2023
Demo Kepala Desa (Kompas)

Para kepala desa melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI pada Senin (19/01/2023) tuntutannya agar masa jabatannya diperpanjang dari semula 6 tahun menjadi 9 tahun. 


Gayungpun bersambut, konon tidak kurang Presiden, wakil ketua MPR, DPR dan Kementerian Desa PDTT menyetujui tuntutan tersebut dan dianggap rasional.


Regulasi Masa Jabatan Kepala Desa

Masa jabatan kepala desa diatur pada Undang-undang No. 6 tahun 2014 pada pasal 39 tentang desa.


Pada pasal 39 tersebut disebutkan bahwa Kepala Desa memegang jabatan selama 6 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Kepala desa bisa menjabat paling banyak tiga kali berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.


Artinya jika kepala desa mencalonkan diri selama 3 periode dan jadi, maka bisa menjabat selama 18 tahun. 


Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi misalnya menjelaskan, “Kepala desa yang sudah menjabat 1 (satu) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 2 (dua) periode. Begitu pula, bagi kepala desa yang sudah menjabat 2 (dua) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 1 (satu) periode”. 


Sehingga, Penjelasan Pasal 39 UU Desa yang semula berbunyi “Kepala Desa yang telah menjabat satu kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali paling lama 2 (dua) kali masa jabatan. Sementara itu, Kepala Desa yang telah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan” menjadi selengkapnya berbunyi “Kepala desa yang sudah menjabat 1 (satu) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 2 (dua) periode. Begitu pula, bagi kepala desa yang sudah menjabat 2 (dua) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 1 (satu) periode”. 


Tuntutan Kepala Desa

Masa jabatan kepala desa selama 6 tahun ini dan bisa dipilih kembali selama 3 periode pada pandangan kepala desa dirasa tidak cukup. Bahkan pada aksi unjuk rasa tersebut mereka menyuarakan bahwa aspirasi ini adalah keinginan rakyat. 


Ada 2 tuntutan mereka; Pertama, penambahan durasi waktu masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun; dan Kedua, penundaan Pilkades tahun 2024. 


Tuntutan pertama reasoning mereka adalah masa 6 tahun tidak cukup untuk merealisasikan program-program di desa dan tuntutan kedua dengan alasan supaya tidak mengganggu Pemilu 2024. 


Respon terhadap Tuntutan Kepala Desa

Tuntutan para kepala desa ini menimbulkan keriuhan respon di tengah-tengah masyarakat, tidak kurang Presiden, dari kalangan MPR dan DPR, politisi juga pengamat, cendekiawan dan pemerhati dari Perguruaan Tinggi. Umumnya ada yang pro dan kontra tentang tuntutan para kepala desa ini, terutama menyangkut penambahan masa jabatan dan alasannya.


Presiden konon melalui Bambang Sudjatmiko, setuju untuk mengabulkan tuntutan para kepala desa dan dianggap masuk akal. 


Hal sama juga diungkapkan oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar ia bahkan menilai dengan usulan 9 tahun ini, akan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat desa.


Kepala desa dinilai punya lebih banyak waktu untuk mensejahterakan warganya dan pembangunan desa. Serta, dapat lebih efektif tidak terpengaruh oleh dinamika politik akibat Pilkades.


Masyarakat desa menurutnya  tidak perlu terlalu sering menghadapi suasana ketegangan yang tidak produktif.  Menurut Menteri, fakta konflik polarisasi pasca-Pilkades nyaris terjadi di seluruh desa. Akibatnya Pembangunan akan tersendat dan beragam aktivitas di desa juga terbengkalai.


Tetapi respon berbeda disampaikan oleh Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, curiga akan isu perpanjangan masa jabatan kepala desa ini. Konteks waktu aspirasi ini adalah pada momen tahun politik menjelang Pemilu 2024.


Menurutnya ada ruang politis membujuk kepala desa untuk mendukung calon tertentu dengan proyek perpanjangan masa jabatan. Bagaimanapun, kepala desa sebagai kepala pemerintahan terendah punya masa riil di bawah yang tentu saja akan memengaruhi hasil Pemilu 2024. 


aspirasi ini perlu disikapi dengan kritis. Pada pespektifnya, ini cenderung tidak sehat kalau kemudian durasi jabatan ini diberlakukan langsung kepada kepala daerah saat ini dan menjelang tahun Politik 2024. (Bila aspirasi ini dikabulkan) Ini semacam 'sogokan' bagi kepala desa untuk mengamankan kepentingan politik tertentu.” 


Sedangkan Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus, berharap DPR dapat kritis akan aspirasi revisi UU Desa itu. DPR jangan langsung menerima tuntutan para kepala desa tersebut. 


Menurutnya, DPR jangan merusak tatanan kehidupan desa dengan memenuhi permintaan yang sesungguhnya menghancurkan desa ketimbang membangun desa. Patut dicurigai sambutan cepat DPR yang nampak mendukung niat kades-kades ini saya kira hanya datang dari dorongan politis yang berharap dukungan kades pada Pemilu 2024. Belum juga dikaji, tetiba dukung 9 tahun?


Penutup

Mencermati tuntutan para kepala desa dan pandangan dari para steakholder tersebut, tentu akan bijak bahwa tuntutan ini tidak direspon secara cepat untuk disetujui tanpa melalui kajian yang mendalam. Karena seringkali dalam konteks teori kebijakan di kita, selalu saja terjebak pada 3 hal; Pertama, elitis; Kedua, instan; dan ketiga seringkali terjadi distorsi.  


Selanjutnya pada tataran program supaya terjadi kesinambungan program dan realisasi pembangunannya bisa dibuat semacam ‘GBHN’ di desa. Hal ini akan menjadi acuan dalam realisasi program pembangunan secara berkesinambungan siapapun yang menjabat kepala desa-nya. Atau Pendidikan politik menjadi tanggung jawab bersama—Partai Politik, akademisi, anggota dewan dan masyarakat—untuk terus melakukan edukasi kepada masyarakat, bahwa konsekuensi perbedaan dalam alam demokrasi adalah persoalan kewajaran. Sehingga alasan penambahan durasi waktu menjadi tidak relevan lagi.


Sebab penambahan waktu tanpa diberengi niat untuk membangun, tidak ada program, ‘turu bae’, juga akan menjadi sesuatu yang tidak efektif. Apalagi kalau hanya berorientasi ‘balik modal’ dari cost yang sudah dikeluarkan ketika pemilihan kepala desa. 


*)Penulis adalah Ketua STKIP al-Amin Indramayu dan Dosen Pascasarjana IAIN Syek Nurjati Cirebon, Tinggal di Kandanghaur Indramayu


0 comments: