-->

ads

Hilangnya Pasal-Pasal TPG Semakin Melengkapi Tangis Pilu Guru (Honorer)

Kamis, 10 Agustus 2023

 

Ilustrasi Pasal-pasal (LintasTungkal)


Pendidikan yang kita impikan untuk bisa kompetitif dan komparatif tidak bisa dipisahkan dengan peran guru.  Di era disrupsi dan revolusi industri 4.0 pun perannya tak tergantikan, karena pendidikan tidak melulu transfer of knowledge—tetapi yang lebih utama mengawal moral anak—jasanya tak ternilai dalam mencerdaskan anak bangsa. 


Di antara mereka yang berjasa itu adalah guru honorer, yang belum ‘memiliki tempat’ di negeri ini karena belum ada keberpihakan pemerintah kepada mereka.


Demo sering dilakukan, walau itu sejatinya tindakan yang memalukan karena termasuk ‘aurat’ tetapi menunggu ‘tangan-tangan kasih’ pemerintah juga tidak kunjung datang. Beberapa kali demo tetap hasilnya ‘membentur tembok’ kekuasaan yang tak berempati. Sejatinya tuntutan  mereka sederhana hanya ingin dimanusiawikan—beberapa di antara mereka adalah Sarjana S1, bahkan S2—dengan honor yang jauh dari kata layak berbanding terbalik dengan buruh—lulusan SLTA—dengan gaji standar UMR/K.


Persoalan belum selesai, sekarang muncul di pemberitaan tentang hilangnya pasal-pasal TPG (Tunjangan Profesi Guru) pada draft Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Guru—termasuk dosen—merasakan kegelisahan yang sama, melihat perkembangan draft Undang-undang  Sistem Pendidikan Nasional Indonesia yang tengah masuk di prolegnas prioritas.  


PB PGRI pun bereaksi, press release yang dilakukan oleh Organisasi PGRI pada Minggu siang menolak dihilangkannya pasal-pasal terkait dengan Tunjangan Profesi Guru dan Dosen dari draft Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Bahkan pemerintah dianggapnya abai dalam memuliakan profesi guru di Indonesia dengan munculnya isu hilangnya pasal-pasal TPG pada draft Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional.


Hilangnya Pasal-Pasal TPG 

Hilangnya pasal-pasal TPG pada draft Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional ini mengundang komentar menarik Agustinus Marjito yang menyatakan, bangsa ini akan semakin terpuruk, jika Guru-Guru yang berjuang keras memerdekakan generasi muda dengan mencerdaskan mereka tidak mendapatkan kesejahteraannya dalam menjalankan profesinya sebagai Guru bangsa ini. 


Gejala ke arah abainya pemerintah dalam memuliakan profesi Guru di Indonesia tergambar dari isu hilangnya pasal-pasal tentang Tunjangan Profesi Guru dalam draft Undang-undang Sisdiknas. 


Jika hilangnya pasal-pasal ini, benar terjadi maka sungguh melukai profesi Guru di Indonesia sebab ini bukti bahwa 'guru tidak dihargai', profesi guru dinafikan dengan hilangnya pasal tentang tunjangan profesi guru dan Dosen. 


Selain itu tunjangan guru yang bertugas di daerah terluar turut hilang dengan hilangnya pasal-pasal tersebut.


Tentu—kalau berita ini benar—kita sepakat dengan Ketua Pengurus Pusat PGRI Pusat ibu Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd. dalam press release-nya bahwa jika peristiwa ini sungguh terjadi, menjadi wujud semakin tidak seksinya profesi Guru di Indonesia. Jika Tunjangan profesi Guru benar-benar dihilangkan, maka profesi guru akan tidak lagi menarik bagi generasi muda kita. Demi tumbuhnya profesi Guru dan demi memuliakan profesi Guru di Indonesia, Tunjangan profesi Guru harus tetap ada dan dicantumkan dalam Undang-Undang Sisdiknas.


Banyak yang menuding Tunjangan prosesi guru dikatakan tidak berkorelasi dan berbanding lurus dengan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Banyak juga diskursus—terutama mereka yang tidak rela dengan adanya tunjangan bagi guru—menganggap akan menjadi beban dalam APBN.  Mungkin bisa benar atau bisa salah. Namun tentu ada yang lebih urgent di sini yakni  bahwa lewat TPG ini setidaknya pemerintah telah memberikan reward atas profesi guru di Indonesia ini lebih diperhatikan dan dihargai. Terutama guru-guru honorer yang nasibnya tidak sebanding dengan pengabdiannya, honornya masih sangat jauh dari UMR/K.


Jika isu ini benar adanya, kita dukung perjuangan Pengurus Besar PGRI Pusat untuk memperjuangkan nasib Guru di Indonesia dan perjuangan untuk semakin memuliakan profesi guru yang perannya sangat fundamental bagi pembangunan manusia bangsa Indonesia. Kita tidak ingin profesi guru di Indonesia mengalami mati suri.


Jika berita ini benar akan semakin melengkapi air mata guru terus mengalir dan kualatlah kita—terutama pemegang kebijakan di bidang Pendidikan—dengan lahirnya kebijakan P3K bagi guru. 


P3K dan Air Mata Guru

Sorotan tajam disampaikan sejarawan muda JJ. Rizal terkait kebijakan PPPK bagi guru ini. Pada pandangannya mayoritas pendiri bangsa ini adalah guru. Sebab itu, apa kita tidak merasa kualat, durhaka membuat guru-guru di republik ini terus mengalir air matanya, kesedihan tak habis-habisnya, dan nasibnya selalu dimanipulasi tak putus-putus. Sebuah kepedihan yang pada bahasa saya pengabdian guru tak seindah nasibnya. 


Pemerintahan Presiden Joko Widodo menetapkan kebijakan lowongan CPNS, tenaga pengajar atau guru mulai 2021 dialihkan menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) bukan sebagai PNS. 


Kebijakan ini sontak menyulut sikap pro dan kontra termasuk dari DPR. DPR menganggap ini kebijakan yang diskriminatif. PGRI melalui ketua umumnya Unifah Rosyidi bahkan melayangkan surat protes kepada pemerintah melalui Badan kepegawaian Negara serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang kebijakan ini. Namun bak Anjing Menggonggong Kafilah Tetap Berlalu, kebijakan ini tetap berlanjut bahkan 2023 tenaga honorer juga diwacanakan untuk dihapus. 


Syaiful Huda—Ketua Komisi X—berasumsi guru pada pandangannya merupakan profesi yang memerlukan stabilitas dan standar hidup tinggi untuk menjamin kesejahteraan. Status PNS pun dipandangnya bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Bahkan anggota DPR RI, Irwan Fecho menilai kebijakan pemerintah ini dinilainya terburu-buru, blunder dan diskriminatif. Kebijakan ini akan menimbulkan pertanyaan besar di ruang publik, mengapa guru tidak boleh menjadi PNS? Bagaimana jaminan masa depan mereka? Bagaimana dengan lulusan keguruan yang ingin menjadi guru? Bagaimana dengan Pemda yang mampu membiayai dan mengatur penempatan PNS guru yang merata di daerahnya? Baginya kebijakan ini sangat melukai perasaan dan rasa keadilan para guru honorer dan juga para mahasiswa keguruan ataupun guru yang sedang melanjutkan pendidikan. Secara berbarengan juga akan berdampak pada Lembaga pencetak calon guru.


Teaching With Love

Guru di India disebut dengan terma Sonsei—orang suci—kalau saja para guru tidak berangkat dari cinta (teaching with love, with heart) untuk mendidik, rasanya mereka akan mencari profesi lain, yang lebih menjanjikan.


Tetapi mereka tulus, mencerdaskan anak bangsa, calon pemimpin masa depan dengan kesabaran yang tak berbatas. 


Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. 


Oleh karena itu guru ditempa dan dididik dalam lembaga khusus keguruan supaya kompeten di bidangnya, dan profesional dalam menjalankan tugasnya. Karena profesional, maka konsekuensi logisnya guru medapatkan tunjangan profesi—sebagaimana diamanatkan dalam UU Guru dan Dosen.  Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (UU RI No. 14/2005).


Tugas dalam mendidik anak, dengan mengadopsi istilah yang diusung UNESCO tidak sekedar transfer ilmu, tetapi 4 (empat) pilar sekali tarikan nafas dapat diraih yakni; Pertama, learning to know; Kedua, learing to do; Ketiga, learning to do; dan Keempat, learning to live to together. 


Karena Pendidikan bukan hanya  soal belajar materi dari buku. Pendidikan adalah soal belajar hidup, ini misi berat yang diemban oleh para guru kita. 


Tetap semangat guru-guru SEPIA-ku, Guru yang memiliki SEPIA; Spiritual Quotient, Emosional Quotient, Powerfull  Quotient, Intellectual Quotient dan Adversity Quotient untuk terus mencerdaskan kehidupan bangsa. 


Semoga berita hilangnya TPG dalam draft Sisdiknas, sebagaimana yang disampaikan Dudung Nurullah Koswara hanyalah gagal pahamnya seorang Ketua PB PGRI. Tetapi sebaliknya pemerintah malah sedang berupaya untuk lebih meningkatkan dan memberikan kemudahan bagi guru untuk lebih sejahtera dan bermartabat. Guru harus disejahterakan  dan dimartabatkan. Karena di antara kejahatan negara yang paling besar adalah mengabaikan nasi banak didik. Nasib anak didik berada di tangan guru. 


*)Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP al-Amin Indramayu


0 comments: