-->

ads

Politik Kekuasaan dalam Pendidikan; Problem Domestifikasi dan Stupidikasi

Senin, 08 April 2024
Ilustrasi : Bing Image


 Oleh: Masduki Duryat*)


Sekian lama kita mengalami Proses domestifikasi (penjinakan) dan stupidikasi (pembodohan) dalam pendidikan. Peserta didik menjadi subjek eksploitasi oleh suatu kekuasaan di luar pendidikan dan menjadikan peserta didik sebagai budak dan alat dari penjajahan mental yang dilakukan oleh para penguasa. Proses domestifikasi dalam pendidikan ini dapat kita lihat dari perlakuan yang salah terhadap ijazah (pemujaan ijazah). 


Ijazah dijadikan tangga untuk menaikkan status sosial, terlepas dari bagaimana proses yang dilalui dalam mendapatkannya. 


Siapa yang tidak tersinggung—apalagi seorang praktisi dan pengelola pendidikan—ketika ada orang yang mengatakan; “Kalau saja ijazah di negeri ini tidak menjadi persyaratan formal, maka tidak akan saya sekolahkan anak ke lembaga formal untuk mengejar selembar ijazah”.  Ijazah menjadi segalanya di republik ini, kita tidak akan diterima bekerja di institusi tertentu—walaupun memiliki kemampuan—ketika tidak memiliki ijazah. Ijazah menjadi tujuan, bukan alat (tool). Sehingga ijazah menjadi simbol status, strata sosial yang harus dicapai dengan berbagai cara—termasuk dengan uang. 


Skandal Gelar Tanpa Nalar

Jusuf Kalla ketika menjadi Wapres sempat meragukan terhadap gelar sarjana, S2 dan S3 yang disandang para calon kepala daerah. Seperti jamur yang tumbuh di musim hujan, tiba-tiba banyak kepala daerah bergelar ria, mulai dari SE, SH, MM, MBA, bahkan doktor. Padahal menurutnya, untuk mendapatkan gelar doktor—apalagi guru besar—sungguh sangat sulit persyaratannya terutama dari sisi akademik. 


Kerisauan Jusuf Kalla atau mungkin juga kita semua, patut muncul di tengah merebaknya ijazah palsu dan potret kelam dunia pendidikan kita yang diperhadapkan dengan sikap pragmatis masyarakat yang lebih memilih instant, korupsi, narkoba, prostitusi, dan budaya hedonistik lainnya. 


Ijazah, sejatinya hanyalah tanda atau simbol, bahwa seseorang telah mempelajari bidang tertentu. Tetapi pada tataran aplikatif ternyata ijazah atau sertifikat itu yang ternyata harus dikejar. Ini pula yang terjadi di sebagian masyarakat kita yang lebih mementingkan tampilan formal daripada substansi. 


Hal ini lebih diperparah dengan sikap pemerintah dan lembaga tertentu yang mementingkan ijazah daripada performa seseorang dan kompetensinya. Bagi orang yang berduit dan haus penghargaan atau gelar, tentu tidak sulit mengambil jalan pintas untuk mendapatkan gelar. Tetapi efek lebih jauh dari formalisasi tersebut adalah hancurnya korelasi antara gelar yang disandangnya dengan kualitas yang dimilikinya, sehingga memunculkan ‘inflasi’ gelar.


Problem Pendidikan Berdasarkan Kekuasaan

Arti penting pendidikan bagi keberlangsungan hidup ternyata masih banyak mengalami masalah-masalah yang cukup pelik ketika dilangsungkan berdasarkan kekuasaan. Setidaknya ada beberapa masalah yang berkenaan erat dengan pelaksanaan pendidikan berdasarkan kekuasaan, antara lain; Pertama, Domestifikasi dan Stupidikasi. Proses domestifikasi (penjinakan) dan stupidikasi (pembodohan) dalam pendidikan disebut juga imprealisme pendidikan dan kekuasaan. 


Artinya, peserta didik menjadi subjek eksploitasi oleh suatu kekuasaan di luar pendidikan dan menjadikan peserta didik sebagai budak dan alat dari penjajahan mental yang dilakukan oleh para penguasa. Proses domestifikasi dalam pendidikan ini dapat kita lihat dari perlakuan yang salah terhadap ijazah (pemujaan ijazah). Ijazah dijadikan tangga untuk menaikkan status sosial, terlepas dari bagaimana proses yang dilalui dalam mendapatkannya. 


Dengan pemujaan tersebut, dampaknya sangat luas seperti bertaburannya para pemegang ijazah yang tidak berkualitas, namun tak jarang mendapatkan posisi penting dan strategis dalam sebuah instansi baik negeri maupun swasta.


Kedua, Indoktrinasi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem pendidikan menjadi sasaran empuk bagi penguasa untuk bisa menancapkan kukunya dalam penentuan kurikulum. Kurikulum dari mulai taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi semuaya berada dalam genggaman pemerintah tanpa ada kebebasan dari lembaga-lembaga pendidikan tersebut untuk menyusun sendiri kurikulumnya. 


Semua serba sentralistik, anak ingin menjadi apa, dimekanisasi termasuk keinginan negara. Kurikulum selalu berubah dengan mengesampingkan kreativitas guru yang terjebak pada aspek-aspek administrative. Melalui kurikulum inilah proses indoktrinasi yaitu proses untuk mengekalkan struktur kekuasaan yang ada terjadi. 


Pengelolaan Lembaga Pendidikan yang Demokratis; Belajar dari Paulo Freire

Pendidikan tidak boleh terjebak pada domestifikasi dan stupidikasi. Di sini diperlukan demokratisasi dalam Pendidikan. 


Pada pandangan Paulo Freire, dunia pendidikan memerlukan kepemimpinan yang revolusioner, metodanya bukan hanya ‘propaganda libertarian’ yang tidak hanya sekedar ‘menanam’ tetapi dengan dialog. Kepemimpinan revolusioner mesti mempraktekkan pendidikan ko-intensional. Artinya para guru dan murid sama-sama bertindak dalam dan bertindak terhadap kenyataan, sama-sama menjadi subjek, bukan hanya dalam tugas menyingkap kenyataan, supaya mengetahuinya secara kritis, namun juga dalam tugas menciptakan kembali pengetahuan tadi.

       

Dunia kependidikan kita—sejak era kolonial kemerdekaan, dan bahkan sampai era reformasi ini—masih menyisakan banyak persoalan yang tidak pernah bisa diselesaikan. Sistem pendidikan lebih banyak dibangun di atas dekrit-kebijakan yang mereproduksi ideologi penguasa kaum borjuis, bukan lahir dari “rahim” kesadaran pembangunan masyarakat baru secara “revolusioner” dan “visioner”. 


Cita-cita pembangunan masyarakat baru kiranya belum dielaborasikan ke dalam visi, misi, dan orientasi sistem pendidikan. Strategi perubahan “revolusioner”, sebagai peran yang harus dimainkan oleh pendidikan, belum jelas atau bahkan sengaja tidak diperjelas. Sehingga eksistensi sekolah sebagai pemasok utama masyarakat berpendidikan hanya menjadi media reproduksi ideologi pemerintah. 


Ini perlu dimaklumi, “karena negara ini tidak pernah di/melahirkan pemimpin yang akomodatif terhadap pendidikan maju, sehingga pertanggungjawaban secara akademis/intelektual di akhir jabatan pun bukan sesuatu yang utama”. 


Hal yang cukup relevan dengan dunia pendidikan kita adalah kenyataan bahwa masih kurangnya pengalaman kita dalam berdemokrasi, termasuk lemahnya demokrasi di lembaga-lembaga pendidikan kita. Kelemahan itu sangat tampak pada lemahnya penegakkan nilai-nilai sebagai orientasi idealitas kehidupan yang bermakna pengukuhan terhadap nilai-nilai fundamental kemanusiaan, seperti keadilan (adalah), persamaan (musawwa) dan kemerdekaan (hurriyah).


Dalam konteks kemerdekaan ini lagi-lagi Freire menyampaikan, sekolah harus menjadi alat menyampaikan kritik untuk menentang praktek-praktek hegemoni—bukan hanya wacana—sebab jika tidak, kritik hanya akan terlempar pada jurang keputusasaan.


Pergeseran Paradigma; Sebuah Solusi

Di sini pula pentingnya melakukan rekonstruksi dunia Pendidikan kita. Rekonstruksi dunia pendidikan itu didasari dengan semakin terbukanya ruang pendidikan, ditengarai arah pendidikan akan bergeser ke pengelolaan yang lebih profesional, terbuka dan demokratis. 


Dampak ikutan dari itu semua telah mendorong terjadinya pergeseran sistem, arah, dan tata kelola pendidikan. Oleh karena itu, sekolah tidak cukup hanya membekali peserta didik dengan selembar ijazah. 


Dedi Mulyasana dengan lebih detil dan jelas menyampaikan bahwa implikasi dari itu semua telah mengakibatkan pergeseran dalam paradigma pendidikan. Hal ini menurutnya, dapat terlihat antara lain dari fenomena berikut ini: Pertama, kekuatan simbol (ijazah) akan bergeser ke kuatan kemampuan performa. Kedua, kekuatan individu akan bergeser ke kuatan jaringan. Ketiga, kekuatan formal akan bergeser ke daya pengaruh. Keempat, persaingan akan bergeser dari harga ke layanan dan kualitas. Kelima, persaingan akan bergeser dari darat ke dunia maya. Oleh karena itu jangan jual tenaga, keterampilan, dan ilmu semata, tapi juallah kepercayaan. 


Fenomena pergeseran tersebut akan ‘memaksa’ pendidikan dikelola secara terencana dengan tujuan yang jelas dan terukur hasilnya. Proses pembelajaran lebih menekankan pada kualitas proses daripada kuantitas hasil. Manajemen pendidikan tidak lagi mengutamakan sesuatu yang bersifat administratif, melainkan pada proses pematangan kualitas peserta didik. 


Dengan menganalisis fenomena pergesaran tersebut—sebagian sudah terjadi saat ini—maka diperlukan upaya-upaya agar bagaimana menjadikan lembaga pendidikan bermutu dan mampu bersaing untuk melahirkan manusia-manusia berkualitas, bukan kuantitas gelar yang hadir tanpa nalar.


 *)Penulis adalah Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP Al-Amin Indramayu, tinggal di Kandanghaur


30 comments:

fifi mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Alda Istikmal Al-muru'ah mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Alda Istikmal Al-muru'ah mengatakan...

Nama : Alda Istikmal Al-Muru'ah
Nim : 2108109039
Kelas : MPI 6B

Dalam blog ini, penulis mengulas beberapa masalah penting dalam sistem pendidikan saat ini. Berikut adalah tanggapan dan analisis saya terhadap isu-isu yang dibahas dalam blog tersebut:

*1. Ijazah sebagai Lambang Status dan Tujuan Pendidikan Primer*:
Penulis menyoroti bagaimana ijazah telah menjadi simbol status dan tujuan utama pendidikan, bukan sebagai alat untuk memfasilitasi pembelajaran dan pengembangan keterampilan. Ini adalah masalah umum dalam banyak sistem pendidikan di seluruh dunia, di mana nilai pendidikan sering dikurangi menjadi pencapaian akademik semata, bukan pengembangan individu secara menyeluruh.

*2. Pendidikan sebagai Sarana Indoktrinasi dan Pengekangan Kekuasaan*:
Penulis juga menyoroti bagaimana pendidikan sering dimanipulasi sebagai alat untuk indoktrinasi dan pengekangan kekuasaan. Hal ini sangat serius karena pendidikan seharusnya menjadi alat untuk memfasilitasi pemikiran kritis dan independen, bukan untuk mempromosikan agenda tertentu.

*3. Pentingnya Demokratisasi dalam Pendidikan*:
Selain itu, penulis menekankan pentingnya demokratisasi dalam pendidikan dan perannya dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan merdeka. Saya sependapat dengan pandangan ini bahwa pendidikan harus mendorong kemerdekaan berpikir dan bertindak, bukan mengekangnya.

*4. Pergeseran Paradigma dalam Pendidikan*:
Penulis juga membahas pentingnya pergeseran paradigma dalam pendidikan, dari fokus pada hasil menuju proses, dan dari pendekatan administratif ke pendekatan yang lebih berfokus pada pengembangan kualitas individu. Saya setuju bahwa pendidikan harus menjadi proses holistik yang berkelanjutan untuk pengembangan individu, bukan sekadar mencapai hasil tertentu.

Secara keseluruhan, saya sependapat dengan banyak poin yang dibuat oleh penulis dalam blog ini, dan saya merasa bahwa tulisan tersebut memberikan wawasan yang berharga tentang beberapa masalah utama dalam sistem pendidikan saat ini.

HARA JAUHARATUL FUADAH (2108109065) mengatakan...

HARA JAUHARATUL FUADAH
2108109065

Tanggapan saya tentang politik kekuasaan dalam pendidikan yaitu Politik kekuasaan dalam pendidikan merupakan sebuah konsep yang menggambarkan bagaimana kekuasaan politik berpengaruh pada sistem pendidikan. Kekuasaan politik ini memerlukan sumber-sumber untuk mendukung kekuasaannya, yang antara lain berupa senjata, penjara, kerja paksa, teknologi, pendidikan, sistem pengikat dan aparatur. Politik kekuasaan dalam pendidikan juga dapat berupa indoktrinisasi, dimana pemerintah mempunyai kepentingan untuk menguasai kurikulum, yang mendorong pendekatan budaya multikulturalisme dalam pendidikan, namun hambatan yang muncul dalam proses demokratisasi memungkinkan terjadi benturan budaya.
Lalu masalah domestifikasi dalam pendidikan yaitu proses pembelajaran yang mana proses domestifikasi atau penjinakan, dimana membunuh kreatifitas dan menjadikan peserta didik sebagai robot yang sekadar menerima tranmisi nilai-nila.
Sehingga seseorang yang menggambarkan tentang proses pembelajaran yang mengubah kehidupan politik, sosial, bahkan kebudayaan dari masyarakat, sebuah fenomena yang terjadi pada pemberontakan Mahasiswa Prancis tahun 1968.
Kemudian Refleksi dan aksi yang muncul dari studi dan domestikasi dalam pendidikan dapat menimbulkan masalah erat dengan pelaksanaan pendidikan berdasarkan kekuasaan. Masalah ini meliputi domestifikasi, indoktrinasi, demokrasi dalam pendidikan, dan integrasi sosial.
Hal lain terhadap transformasi sosial dalam masyarakat akan mengubah bentuk kekuasaan yang mempengaruhi atau mengatur tingkah laku manusia.
Oleh karena itu. Ideologi pendidikan di Indonesia, seperti Pancasila, dapat digunakan sebagai platform untuk menyejahterakan rakyatnya, dan ideologi ini dapat dijadikan sebagai sumber indoktrinasi yang telah memungkinkan kreativitas peserta didik
Sehingga pendidikan yang diperlukan untuk melestarikan kekuasaannya, negara pada akhirnya menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Namun pendidikan harus dilakukan secara konsisten untuk melakukan pembenahan, penataan, dan peningkatan sistem pendidikan nasional secara makro.

Ratu Sri Ayu Barkah mengatakan...

Nama : Ratu Sri Ayu Barkah
NIM : 2108109043
Kelas : MPI 6B

Izin menanggapi, Tentu sudah menjadi rahasia umum bahwasanya sistem pendidikan di Indonesia dikendalikan penuh oleh para penguasa, dengan tidak mementingkan atau mempertimbangkan kreatifitas para tenaga pengajar pendidikan, sehingga banyak ditemukan kecurangan-kecurangan dalam dunia pendidikan seperti maraknya ijazah-ijazah yang keluar namun kemampuan yang dimiliki oleh individu tersebut tidak mumpuni. Hal ini tentunya menjadi tanda tanya besar? Mengapa banyak orang melakukan segala cara hanya untuk mendapatkan selembar kertas tanpa meningkatkan kemampuan yang dimilikinya, sehingga kurangnya individu yang berkualitas?. Dan seperti yang dikatakan oleh Jusuf kalla bahwasanya untuk mendapatkan gelar S2 hingga doktor terbilang cukup sulit persyaratannya terlebih dalam urusan administrasi.

Politik kecurangan dalam dunia pendidikan seakan sudah menjadi adat kebiasaan bagi individu yang berkecimpung didalamnya. Tidak hanya kepada para penguasa yang menentukan sistem kebijakan kurikulum pendidikan, tetapi juga pada masing-masing instansi pendidikannya. Seringkali pada saat ujian nasional intansi pendidikan melakukan rekayasa penilaian hasil ujian siswa hanya agar siswa tersebut bisa lulus, sehingga nilai akreditasi lembaga atau citra baik lembaga tetap terjaga. Hal ini tentunya menjadi salah satu tanda stupidikasi (pembodohan) pendidikan, bahwasanya tujuan utama dalam menempuh pendidikan adalah dengan mendapatkan selembar kertas ijazah semata.

Yahya Abdul Ramdhani mengatakan...

Nama :Yahya Abdul Ramdhani
NIM : 2108109060
Kelas :6B MPI

Artikel tersebut mengulas beragam masalah yang terjadi dalam sistem pendidikan, terutama terkait dengan penilaian atas nilai ijazah serta pemanfaatan pendidikan untuk kepentingan politik dan ekonomi. Penulis menyoroti bahwa pendidikan sering kali digunakan sebagai alat untuk mencapai status sosial atau kepentingan pribadi tanpa memperhatikan substansi pendidikan itu sendiri.
Saya melihat bahwa artikel tersebut menyoroti perluasan perspektif pendidikan yang lebih demokratis dan revolusioner, seperti yang dianjurkan oleh Paulo Freire. Demokratisasi pendidikan diperlukan untuk menghindari proses domestifikasi dan stupidikasi, di mana peserta didik menjadi alat eksploitasi oleh kekuasaan di luar pendidikan.

Pendekatan yang mengedepankan kualitas substansi pendidikan dan pembangunan manusia berkualitas tampaknya menjadi fokus utama dalam artikel tersebut. Rekonstruksi pendidikan sebagai solusi untuk menghadapi berbagai masalah yang diuraikan juga menarik perhatian, dengan menekankan pergeseran dari penekanan pada ijazah menuju penekanan pada kemampuan performa dan kualitas proses pembelajaran.

Anonim mengatakan...

Nama : Tania Anggraeni
NIM : 2108109048
Kelas : MPI/6B

Tanggapan Saya Mengenai Artikel Tersebut Adalah :
Benar bahwa Ijazah seringkali dianggap sebagai tujuan akhir daripada sebagai alat untuk menunjukkan pemahaman dalam bidang tertentu. Tentu, tanggapan saya adalah bahwa sangat penting untuk memperhatikan substansi dari Pendidikan itu sendiri dan pengembangan diri, bukan hanya sekadar mengejar gelar semata, tetapi fokus juga pada pengetahuan dan kualitas diri merupakan hal yang lebih bernilai daripada sekadar status sosial semata.
Saya setuju bahwa masalah seperti domestifikasi, stupidikasi, dan indoktrinasi dalam sistem pendidikan memerlukan perhatian serius. Pendekatan demokratisasi dalam pendidikan, seperti yang dipaparkan oleh Paulo Freire, menawarkan perspektif yang revolusioner dan penting untuk memperbaiki sistem pendidikan yang terjebak dalam struktur kekuasaan yang tidak sehat. Oleh karena itu penting bagi kita semua untuk terus mempertimbangkan bagaimana pendidikan dapat menjadi sarana untuk menciptakan kesadaran kritis, kreativitas, dan kebebasan, bukan hanya sebagai alat reproduksi ideologi penguasa. Juga diskusi dan tindakan konkret dalam melawan hegemoni dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dalam pendidikan itu sendiri sangatlah penting.
Pendidikan yang terjebak dalam struktur kekuasaan yang tidak sehat memang memerlukan transformasi yang mendalam. Oleh karena itu sistem pendidikan yang hanya memperkuat ideologi penguasa tanpa menciptakan kesadaran kritis dan kebebasan sejati bagi individu bisa menjadi hambatan dalam menciptakan masyarakat yang lebih baik.
Dampak dari pergeseran paradigma ini membawa implikasi yang signifikan terhadap sistem pendidikan. Memahami bahwa pentingnya sekolah tidak hanya dalam pemberian ijazah, tetapi juga dalam mempersiapkan peserta didik dengan kemampuan performa yang kuat dan koneksi yang luas, merupakan langkah penting dalam menghadapi perubahan zaman.
Artikel ini menurut saya benar-benar memperlihatkan pentingnya transformasi dalam dunia Pendidikan, seputar demokratisasi pendidikan, pergeseran paradigma, dan fokus pada kualitas proses pembelajaran sungguh membangkitkan pemikiran yang mendalam. Penting untuk terus merenungkan bagaimana pendidikan dapat menjadi sarana untuk membangun kesadaran kritis, kreativitas, dan kebebasan sejati. Memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, meningkatkan kualitas peserta didik, serta menyesuaikan diri dengan perubahan zaman merupakan langkah penting dalam menciptakan generasi yang unggul.

Neila ratna fiainul jambak mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Neila ratna fiainul jambak mengatakan...

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh
Nama : Neila Ratna Fiainul Jambak
NIM : 2108109057
Kelas : MPI 6b
Izin menanggapi pak, Pernyataan diatas tentang politik kekuasaan dalam pendidikan menggambarkan persoalan yang mendalam di dalam sistem pendidikan saat ini. Saya setuju bahwa pendidikan telah tercemar oleh proses domestifikasi dan stupidikasi, di mana peserta didik seringkali dijadikan alat oleh kekuasaan eksternal untuk mencapai tujuan yang tidak selalu berkaitan dengan pengembangan substansi dan kompetensi sejati.
Pemujaan terhadap ijazah sebagai simbol status sosial telah menyebabkan degradasi nilai substansial dari pendidikan. Masalah ini diperparah oleh kecenderungan masyarakat yang lebih memprioritaskan tampilan formal daripada esensi dan kemampuan sesungguhnya.
Terkait dengan kekhawatiran Jusuf Kalla terhadap gelar-gelar yang diperoleh dengan mudah, hal ini mencerminkan degradasi kualitas akademik yang menjadi semakin meresahkan. Lebih lanjut, fokus pada formalitas ijazah daripada kompetensi sebenarnya telah menyebabkan inflasi gelar yang merusak kualitas dan integritas pendidikan.
Saya percaya bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya berfokus pada perolehan ijazah semata, tetapi pada pengembangan kemampuan dan karakter yang solid. Diperlukan reformasi mendalam dalam pendidikan, di mana lembaga pendidikan harus kembali menjunjung tinggi substansi dan kualitas, bukan sekadar mengejar gelar tanpa nalar. Komitmen untuk melahirkan manusia berkualitas harus menjadi prioritas utama, bukan hanya sekadar menghasilkan jumlah gelar yang terus meningkat tanpa relevansi substansial.
Itu saja pak, Sekian Terimakasih.

Mega Rifatul Amalia mengatakan...

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabbarakatu
Nama: Mega Rif’atul Amalia
Nim: 2108109050
kelas: MPI 6B

Ijin menanggapi terkait artikel di atas bapak, jadi menurut saya Artikel tersebut sangat relevan terhadap politik kekuasaan dalam pendidikan, serta masalah domestifikasi dan stupidikasi yang mempengaruhi sistem pendidikan kita di Indonesia. Dimana fokus utama dalam pembahasan dalam artikel ini terdiri dari:

1. Kasus-kasus ijazah yang seringkali menjadi fokus utama dalam pendidikan, bahkan melebihi substansi pendidikan itu sendiri. Pemujaan terhadap ijazah sering kali menghasilkan dampak negatif, seperti bertaburnya pemegang ijazah yang tidak berkualitas di posisi penting dalam instansi, serta menyebabkan inflasi gelar. Kita ambil contoh misalnya banyak kasus di indonesia yang salah satunya yaitu menjual gelar ilegal atau ijazah palsu, dan ini sudah ada kasusnya terjadi di Minahasa utara dan mengakibatkan rektor dari sekolah tinggi theologia elohim indonesia (STTEI) itu di tangkap oleh pihak kepolisian, dalam kasus ini terjadi aktivitas belajar mengajar yang ilegal dan tidak terdaftar di kemendikbud. selain itu juga pihak kampus menawarkan harga untuk ijazah palsu sekitar 2,5 juta sampai 7,5 juta dan sampai saat ini sudah ada 20 ijazah palsu yg sudah di terbitkan sejak beraktivitas dari 5 tahun yang lalu. Dalam kasus ini tentu kita bisa mengambil kesimpulan bahwasanya pendidikan di indonesia ini sangat miris sekali, terlebih mereka hanya ingin mendapatkan jabatan tetapi tidak dengan akal pikiran dan ini akan berdampak bagi pemerintahan serta pola pendidikan yg kurang.

2. Selain itu, dalam artikel ini juga membahas tentang indoktrinasi dalam sistem pendidikan yang cenderung sentralistik, tanpa memberikan kebebasan pada lembaga pendidikan untuk menyusun kurikulumnya sendiri. Salah satu kasus contoh misalnya kurikulum di indonesia ini seringkali menjadi ajang uji coba yg di lakukan oleh pemerintah dan tentu dengan adanya perubahan-perubahan kurikulum tersebut seringkali mengakibatkan kurangannya relevansi dan kualitas pendidikan itu sendiri. Tidak hanya itu saja, menurut saya dengan sering nya perubahan ini guru dan siswa seringkali masih banyak yg kebingungan dalam sistem pendidikan. Terlebih isu terbaru yg akan mengganti pakaian jenjang Sd, Smp, Sma oleh mentri pendidikan dan ternyata hasilnya sama saja tidak ada perubahan yg signifikan.

3. Lalu mengenai pemikiran Paulo Freire tentang pentingnya pendidikan yang demokratis dan revolusioner disorot sebagai solusi untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Demokratisasi dalam pendidikan diharapkan dapat membuka ruang bagi dialog antara guru dan murid, serta memungkinkan terciptanya proses belajar mengajar yang lebih kritis dan substansial. Dalam hal ini saya sangat setuju karena tentu tidak bisa kita pungkiri bahwasanya demokratisasi di negara kita ini sangat penting sekali untuk membuka segala pendapat yang masuk untuk kritik kebijakan pendidikan khususnya di indonesia.

Menurut saya pribadi secara keseluruhan, artikel ini memberikan analisis mendalam tentang masalah politik kekuasaan dalam pendidikan dan menawarkan beberapa solusi yang relevan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

sekian dan terimakasih wassalamualaikum warrahmatullahi wabbarakatuh.

Nurullayali Azzahro mengatakan...

Nama: Nurullayali Azzahro
Nim : 2108109058
Kelaas : MPI 6B

Adanya politik kekuasaan dalam dunia pendidikan memang sudah menjadi rahasia umum, para pemangku kebijakan menyalahgunakan kekuasaan sudah biasa terjadi. Oleh karena itu terjadilah problem domestikasi (penjinakan) dan pembodohan dalam dunia pendidikan. Siswa menjadi subyek eksploitasi oleh suatu kekuatan di luar pendidikan dan menjadikan siswa sebagai budak dan alat penjajahan mental oleh penguasa. Saya pun merasa memang begitu, sangat miris bagaimana masih banyak anak anak yang ingin meraih pendidikan giat belajar untuk membangun kualitas dirinya sendiri akan tetapi dieksploitasi oleh negara nya sendiri.

Negara ini memang sangat mementingakan gelar atau ijazah, banyak dari kita yang bersusah payah untuk mendapatkan itu, akan tetapi sadar juga bahwa semua itu hanya formalitas agar lebih diakui, dipermudah atau dihargai, hingga bertanya-tanya apakah kita bersusah payah hanya demi selembar kertas? Menurut saya jika memang negara ini mementingkan ijazah atau gelar maka harus membuat itu sebagai sesuatu yang "berharga" di mana memang hanya orang orang yang pantas dan berkualitas lah yang memang mendapatkan akan tetapi pada kenyataannya banyak sekali adanya pemalsuan ijazah atau gelar bisa didapatkan dengan kekuasaan. Sehingga wajar saja jika banyak orang yang beranggapan bahwa ijazah hanyalah formalitas yang tidak ada artinya. Ditambah lagi meskipun sudah ada ijazah contoh dalam mencari pekerjaan lagi lagi kalah dengan kekuasaan.

Seperti Paulo Freire, dunia pendidikan memerlukan kepemimpinan yang revolusioner, caranya tidak sekedar 'propaganda libertarian' yang tidak sekedar 'menanam' tetapi dengan dialog. Indonesia bisa menanamkan itu di mana dalam mengelola pendidikan itu tidak hanya mementingkan diri sendiri, apalagi merugikan sampai mengekploitasi tetapi juga harus melibatkan andil dari semua pihak baik guru maupun siswa dll. Agar dunia pendidikan juga lebih berdemokrasi, profesional, dan juga terbuka sehingga dapat mengahasilkan penerus bangsa yang berkualitas, tidak hanya mengandalkan ijazah atau gelar yang didapatkan karena kekuasaan. Kedepannya semoga permasalahan domestikasi (penjinakan) dan pembodohan dalam dunia pendidikan ini bisa meringan dan dapat teratasi.
Artikel ini sangat bermanfaat dalam menambah wawasan bagaimana politik kekuasaan dalam pendidikan terutama dalam problem domestifikasi dan stupidikasi.

Maemunah mengatakan...

Nama : maemunah
Nim :2108109063
Kelas: mpi 6b

Menurut saya setelah membaca blog diatas ada beberapa hal yang paling penting yaitu

1.Proses domestifikasi (penjinakan) dan stupidikasi (pembodohan) dalam pendidikan adalah kekuasaan yang berdasarkan kekuasaan dan kekuasaan. Peserta didik menjadi subjek eksploitasi oleh suatu kekuasaan di luar pendidikan dan menjadikan peserta didik sebagai budak dan alat dari penjajahan mental yang dilakukan oleh para penguasa. Proses domestifikasi dalam pendidikan ini dapat kita lihat dari perlakuan yang salah terhadap ijazah (pemujaan ijazah). Ijazah dijadikan tangga untuk menaikkan status sosial, terlepas dari bagaimana proses yang dilalui dalam mendapatkannya.

Siapa yang tidak tersinggung—apalagi seorang praktisi dan pengelola pendidikan—ketika akan diterima bekerja di institusi tertentu—walaupun memiliki kemampuan—ketika tidak memiliki ijazah. Ijazah menjadi tujuan, bukan alat (tool) dan simbol status, strata sosial yang harus dicapai dengan berbagai cara.

2.Problem Pendidikan Berdasarkan Kekuasaan
Arti penting pendidikan bagi keberlangsungan hidup masih banyak mengalami masalah-masalah yang cukup pelik ketika dilangsungkan berdasarkan kekuasaan. Proses domestifikasi (penjinakan) dan stupidikasi (pembodohan) dalam pendidikan disebut juga imprealisme pendidikan dan kekuasaan. Pendidikan sistem ini adalah sasaran empuk bagi penguasa untuk menancapkan kukun dalam penentuan kurikulum.

Dan tanggapan saya proses domestikasi ( penjinakan dan stupidikasi( pembodohan) didalam dunia pendidikan ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan oknum² yang tidak bertanggagung jawab menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi dengan seenakan paradigma masyaraakat indonesia harus segera diubah.

Nurlaeli Mahmudah MPI 6B mengatakan...

Nama : Nurlaeli Mahmudah
NIM : 2108109069
Kelas : MPI/ 6B

Berbicara tentang pendidikan memang tidak akan ada habisnya. Selain banyak sisi positifnya tapi Banyak sekali pula sisi negativnya. Pendidikan di indonesia memang belom dikatakan bagus ataupun sempurna dibandingkan dengan negara-negara lain. Masyarakat indonesia pun masih kurang dalam hal pendidikan terutama bagi mereka yang secara perekonomian berada di tingkat bawah dan bahkan hanya untuk makan hari ini saja mereka harus berputar otak bagaimana caranya mendapatkan uang.
Terlebih pada era sekarang banyak sekali perusahaan-perusahaan atau tempat kerja yang masih mengedepankan ijazah sebagai tolak ukur dalam merekrute karyawan.

Ijazah memang penting tapi bukan berarti dengan ijazah menjadi alat politik dalam kekuasaan di bidang pendidikan. -Dengan ijazah kita bisa melakukan apa saja- banyak opini-opini yang mengarah kepada perkataan tersebut. Biaya pendidikan yang semakin mahal dan perusahakan-perusahaan atau lowongan-lowongan kerja yang selalu ingin mempunyai karyawan yang memiliki gelar menjadi salah satu faktor penyalahgunaan atau pemujaan terhadap ijazah itu sendiri. Sedangkan sangat bertolak belakang dengan biaya pendidikan di Indonesia yang semakin mahal. Banyak generasi-generasi bangsa yang tidak sedikit putus sekolah ataupun tidak bisa sekolah karena terhalang biaya. Terutama mereka yang ekonominya menengah kebawah.

Kekhawatiran yang muncul pada masa presiden jusuf kalla tentang gampangnya mendapatkan ijazah tanpa harus bersusah payah dalam mendapatkannya sangat berpotensi negatif dalam dunia pendidikan. Benar dikatakan jika tidak dihentikan mesti banyak orang-orang yang merasa dirugikan.

Politik kekuasaan dalam dunia pendidikan di Indonesia sering sekali menimbulkan atau menciptakan ketidaksetaraan, nepotisme, dan korupsi. Hal ini dapat menghambat kemajuan pendidikan dan mengurangi kesempatan bagi semua orang untuk mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas. Perubahan yang transparan dan berintegritas sangat diperlukan untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih adil, efektif dan efisien.
Terlebih dalam dunia teknologi yang semakin maju dan berkembang dalam dunia pendidikan. Indonesia juga harus siap dalam menghadapi tantangan yang pasti akan semakin banyak di masa yang akan datang.

Hal ini harus segera di tangani agar penurus-penerus yang berprestasi dan mempunyai skill atau kemampuan dalam suatu bidang tertentu bisa membawa perubahan bagi bangsa kita. Tidak menjadikan lagi ijazah sebagai alat demokrasi atau politik kekuasaan tertentu.

Bela Astria mengatakan...

Nama: Bela Astria
NIM : 2108109053
Kelas: MPI 6B

Izin menanggapi terkait artikel diatas, Argumen yang disampaikan menyoroti berbagai masalah serius dalam sistem pendidikan, termasuk pemujaan ijazah sebagai simbol status sosial yang merusak substansi pendidikan, dan dominasi kekuasaan dalam menentukan kurikulum serta proses indoktrinasi. Permasalahan seperti penjinakan dan pembodohan peserta didik, serta perlakuan yang salah terhadap ijazah, menunjukkan bagaimana pendidikan telah terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan eksternal, yang pada akhirnya mengurangi nilai substansial dari pendidikan itu sendiri.

Selain itu, poin tentang pemerintah dan lembaga tertentu yang lebih mementingkan ijazah daripada kompetensi individu, serta kemunculan ijazah palsu, menunjukkan adanya krisis kepercayaan dalam sistem pendidikan saat ini. Solusi yang ditawarkan, seperti demokratisasi dalam pendidikan dan pergeseran paradigma pendidikan menuju pengelolaan yang lebih profesional, terbuka, dan demokratis, menjanjikan perbaikan yang signifikan dalam sistem pendidikan.

Artikel ini menyoroti masalah-masalah serius dalam pendidikan yang terkait dengan penggunaan kekuasaan. Dua isu utama yang dibahas adalah domestifikasi dan stupidikasi, di mana peserta didik dijadikan subjek eksploitasi oleh kekuasaan di luar pendidikan, serta indoktrinasi yang menyebabkan kurikulum menjadi alat untuk mengekalkan struktur kekuasaan yang ada. Hal ini mencerminkan pentingnya refleksi mendalam tentang bagaimana pendidikan dapat menjadi sarana pembebasan atau penindasan, tergantung pada cara pengelolaannya.

Namun, untuk mewujudkan perubahan yang diinginkan, diperlukan dukungan yang kuat dari semua pihak terkait, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat secara keseluruhan

Lilik Masriah mengatakan...

Nama: Lilik Masriah
Nim : 2108109052
Kelas: MPI 6 B


Tanggapan mengenai tulisan di blog ini,
Tulisan di blog tersebut mengulas beragam masalah yang terjadi dalam sistem pendidikan, terutama terkait dengan penilaian atas nilai ijazah serta pemanfaatan pendidikan untuk kepentingan politik dan ekonomi. Penulis menyoroti bahwa pendidikan sering kali digunakan pada beberapa (oknum) sebagai alat untuk mencapai status sosial atau kepentingan pribadi tanpa memperhatikan substansi pendidikan itu sendiri.
Saya menyimpulkan bahwa di artikel blog tersebut menyoroti perluasan perspektif pendidikan yang lebih demokratis dan revolusioner, seperti yang dianjurkan oleh Paulo Freire. Demokratisasi pendidikan diperlukan untuk menghindari proses domestifikasi dan stupidikasi, di mana peserta didik menjadi alat eksploitasi oleh kekuasaan di luar pendidikan.


Blog Artikel ini memberikan tinjauan yang menarik tentang hubungan antara politik kekuasaan dan pendidikan. Penulis berhasil menguraikan bagaimana kekuasaan politik memengaruhi sistem pendidikan, baik dalam hal pengaturan kurikulum maupun peran guru dalam memberikan pendidikan yang kritis dan menyeluruh. Domestifikasi menekankan pada upaya sistem pendidikan untuk menciptakan warga negara yang patuh dan pasif, sementara stupidikasi berbicara tentang kehampaan informasi dan pemikiran yang berakibat pada generasi yang tidak kritis dan hanya menerima informasi tanpa mempertanyakan kebenarannya.

Secara keseluruhan, artikel ini memberikan perspektif yang menarik dan penting untuk dipertimbangkan dalam menjaga kualitas pendidikan yang lebih kritis dan menyeluruh.

Ana Susanti mengatakan...

Nama : Ana Susanti
NIM : 2108109054
Jurusan : MPI 6B

Bismillahirrahmanirrahim, pada kesempatan kali ini izinkan saya untuk menanggapi artikel penulis terkait problematika politik kekuasaan dalam pendidikan πŸ™πŸ»

Poin pertama, penulis sempat menyoroti terkait banyaknya berhamburan pemegang ijazah yang tidak berkualitas, pandangan saya terhadap hal ini benar adanya. Apalagi saya pernah membaca ada lembaga pendidikan baik itu sekolah maupun perguruan tinggi yang terlibat hal-hal yang tidak etis, seperti jual beli gelar akademik bahkan pemalsuan yang sebenarnya tidak memenuhi standar untuk mendapatkan ijazah tersebut. Tentunya hal ini hanya menguntungkan oknum tertentu namun juga berdampak jangka panjang terhadap kualitas pendidikan itu sendiri, juga merusak integritas dan reputasi lembaga pendidikan yang bersangkutan.

Poin kedua, terkait kurikulum. Benar sekali bahwa penulis mengatakan "kurikulum selalu berubah dengan mengesampingkan kreativitas guru yang terjebak pada aspek-aspek administrative". Dari pengalaman saya pribadi, saya merasa angkatan saya seperti menjadi kelinci percobaan terhadap ketentuan-ketentuan yang selalu berubah-ubah. Salah satunya dari sistem Ujian Nasional yang pertama kali menggunakan komputer dan ada soal HOTs —dalam hal ini menjadi PR tersendiri untuk para guru dan murid yang harus selalu beradaptasi— ditambah lagi kesiapan murid yang tidak sepenuhnya 100% siap sehingga nilai UN pada saat itu rata-rata anjlok karena sistem yang terlalu mendadak diganti. Walaupun pada akhirnya Ujian Nasional sekarang sudah ditiadakan.

Menanggapi secara keseluruhan, dengan adanya campur tangan politik dalam keputusan pendidikan, pandangan saya entah mengapa terkadang lebih didasarkan kepentingan politik itu sendiri daripada kebutuhan aktual siswa maupun kemajuan pendidikan di Indonesia.
Oleh karena itu, untuk menghadapi masalah yang kompleks pada artikel ini, sekiranya memerlukan pendekatan yang terintegrasi. Sangat perlu kerjasama yang solid dari pemangku kepentingan antara pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat, dan sektor swasta, –bukan hanya sekadar kepentingan politik tertentu saja. Masyarakat juga harus didorong terlibat serta memberikan umpan balik kepada pemerintah dan lembaga terkait mengenai kualitas pendidikan yang diberikan. Dengan demikian, hal ini menjadi agen perubahan yang efektif sehingga dapat menciptakan sistem pendidikan yang berkualitas dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.

Sebelumnya terima kasih kepada Dosen Pengampu untuk sharing ilmunya yang sangat bermanfaat πŸ™πŸ»
Mohon maaf bila tanggapan saya ada salah kata, terima kasih πŸ™πŸ»

fifi mengatakan...

Nama : Lafifa Zukhriya
Nim : 2108109046
Kelas : Mpi 6B

tanggapan saya
Pendidikan tidak boleh terjebak pada domestifikasi dan stupidikasi.
saya setuju dengan artikel ini yang mana pendidikan itu seharusnya menjadi wahana untuk membebaskan pikiran dan mendorong pemikiran kritis, bukan untuk terjebak dalam proses domestifikasi atau pembodohan. Penting untuk memastikan bahwa pendidikan memberikan ruang bagi perkembangan individu secara holistik, meliputi aspek kognitif, emosional, sosial, dan moral. Menghindari jebakan demokratisasi yang sempit dan menghindari proses stupidikasi akan membantu mewujudkan pendidikan yang memberdayakan dan mempersiapkan individu untuk menghadapi kompleksitas dunia yang terus berkembang.

mengenai tentang ijazah
Mengingat dijaman yang sekarang mungkin saja ijazah bisa dibeli atau mudah didapatkan bagi orang yang beruang maupun yang berkuasa tanpa mau mengikuti semua rangkaian yang sudah diterapkan siswa/mahasiswa,kenapa saya bisa bilang begitu karena saya pernah melihat desas desus ada salah satu universitas yang menjual ijazahnya saja tanpa mengikutin pembelajar atau mengikuti semua rangkaian yang ada dalam pembelajaran mahasiswa/pelajar SD, SMP, dan SMA. sebenarnya tidak hanyak universitas saja yang menjual belikan ijazah saya pribadipun pernah melihat seseorang membeli ijasah SD di suatu kota yang berada di jakarta kenapa bisa saya tau? karena saya melihatnya sediri yang mana orang itu tidak pernah sama sekali bersekolah dijakarta karena orang tersebut masih satu desa dengan saya.

Problem Pendidikan Berdasarkan Kekuasaan
Problem pendidikan yang timbul akibat kekuasaan seringkali mencakup ketidakmerataan akses terhadap pendidikan, kurangnya sumber daya yang diperuntukkan untuk pendidikan di wilayah tertentu, dan pengaruh politik yang memengaruhi kurikulum dan pembelajaran. Ini dapat menyebabkan kesenjangan dalam kualitas pendidikan antara daerah yang berbeda dan juga bisa membatasi kebebasan akademik. Solusi harus mencakup keadilan dalam distribusi sumber daya pendidikan dan memastikan bahwa keputusan pendidikan didasarkan pada kebutuhan siswa, bukan kepentingan politik atau kekuasaan.

Atik fatihatus mengatakan...

Nama : Atik Fatihatus Sholikhah
Nim : 2108109061
Kelas : MPI 6B
Bismillah izin menanggapi nya, bahwa dalam hal ini menggambarkan adanya permasalahan yang kompleks dalam dunia pendidikan, terutama terkait dengan penilaian terhadap ijazah dan proses domestifikasi serta indoktrinasi dalam kurikulum. Pentingnya pendekatan demokratis dalam pendidikan, seperti yang disarankan oleh Paulo Freire, menawarkan solusi yang relevan untuk membangun sistem pendidikan yang lebih inklusif dan berorientasi pada kualitas. Pergeseran paradigma yang dijelaskan juga memberikan gambaran tentang evolusi pendidikan menuju penekanan pada kemampuan dan kualitas individu daripada sekadar perolehan ijazah. Menjadi penting untuk memperjuangkan pendidikan yang lebih berfokus pada substansi dan kualitas pembelajaran daripada hanya sekadar formalitas ijazah.
Mengenai skandal gelar tanpa nalar
Hal ini juga yang disoroti oleh Jusuf Kalla tentang masalah gelar tanpa nalar adalah sesuatu yang serius dan perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Praktik ini tidak hanya merusak integritas pendidikan, tetapi juga menciptakan kesenjangan antara gelar dan kompetensi sesungguhnya. Penting untuk memperbaiki sistem pendidikan dan penilaian kinerja agar gelar mencerminkan pencapaian dan kemampuan individu secara lebih akurat.

Mengenai problem pendidikan berdasarkan kekuasaan juga masalah ini penting untuk dipertimbangkan secara serius. Domestifikasi dan stupidikasi dalam pendidikan menciptakan ketidakadilan serta mereduksi nilai sejati dari proses pembelajaran. Selain itu, indoktrinasi kurikulum oleh penguasa mengancam kemerdekaan akademis dan pembentukan pikiran yang kritis. Diperlukan upaya bersama untuk memperjuangkan pendidikan yang berlandaskan pada keadilan, kebebasan, dan kemajuan bersama.

Kemudian,yang saya baca juga dalam dalam hal pengelolaan lembaga pendidikan yang demokratis yang ada pada pandangannya Paulo Freire,
kan disini tertulis pendidikan tidak boleh terjebak pada domestifikasi dan stupidikasi.
Dalam hal ini juga disini diperlukan demokratisasi dalam Pendidikan. terhadap situasi tersebut bisa melibatkan beberapa langkah. Yang Pertama, meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan yang demokratis dan revolusioner melalui pendidikan masyarakat dan peningkatan literasi politik. Selanjutnya, perlu adanya tindakan konkret untuk mereformasi sistem pendidikan agar lebih inklusif, kritis, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Hal ini dapat dilakukan melalui partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan dalam merancang kebijakan pendidikan yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis dan visi pembangunan masyarakat baru.

Amandha Mutia Rahmadani mengatakan...

Nama: Amandha Mutia Rahmadani
NIM: 2108109064
Kelas: MPI 6B

Bismillah izin menanggapi sedikit terkait masalah pendidikan di Indonesia sepenuhnya belum baik mulai dari sikap pemerintah terhadap gelar yang disandang calon kepala daerah seperti sarjana, SE, SH, MM, MBA, maupun doktor. Padahal seharusnya untuk mendapatkan gelar doktor, apalagi guru besar sungguh sangat sulit persyaratannya terutama dari sisi akademik dan maraknya ijazah palsu. kemudian tanggapan pola pikir pemerintah mengenai pentingnya ijazah dibandingkan performa seseorang dan kemampuannya yang mempengaruhi pola pikir masayarakat terhadap pendidikan maka dari itu perlu dilakukan pebedaan pemerintah setenpat terlebih dahulu karena dari pemerintah yang dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat.

Baik segitu saja tanggapan dari saya sebelumnya terima kasih.

Cantika Ayuningtyas mengatakan...

Nama : Cantika Ayuningtyas
NIM : 2108109037
Kelas : MPI 6B

Menanggapi terkait artikel di atas, menurut saya proses domestifikasi dan stupidikasi dalam pendidikan memang menjadi masalah yang perlu segera diatasi, agar pendidikan dapat benar-benar menjadi alat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, bukan hanya sebagai alat untuk meraih status sosial. Ijazah seharusnya menjadi cerminan dari proses pembelajaran yang bermakna, bukan sekedar formalitas saja untuk mendapatkan pekerjaan. Keprihatinan terhadap maraknya ijazah palsu pun potret kelam dunia pendidikan, hal ini mencerminkan degradasi moral dan etika dalam sistem pendidikan.

Selain itu, masalah indoktrinasi dalam sistem pendidikan yang membuat guru terjebak dalam kurikulum sentralistik yang ditentukan oleh pemerintah. Kurikulum yang selalu berubah tanpa kreativitas guru ini dapat membatasi kebebasan berpikir dan menghambat kreativitas serta inovasi dalam pendidikan. Sehingga diperlukan reformasi dengan mengedepankan kurikulum yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat, serta proses pembelajaran yang mendorong kreativitas dan kebebasan berpikir bagi peserta didik.

Secara keseluruhan, saya setuju bahwa dunia pendidikan kita membutuhkan rekonstruksi dan transformasi yang lebih demokratis, profesional, dan berorientasi pada pengembangan kemampuan peserta didik. Oleh karena itu, persoalan-persoalan yang sangat kompleks tersebut membutuhkan upaya bersama dari seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah, lembaga pendidikan, maupun masyarakat untuk memperbaiki sistem pendidikan dan mengembalikan integritas akademik. Hal ini penting dilakukan agar dapat menghasilkan lulusan yang kompetitif dan relevan dengan kebutuhan zaman.

Rizky Fahrezy mengatakan...

Nama : Rizky Fahrezy
NIM : 2108109066
Kelas: MPI 6B

Menanggapi artikel tersebut menurut saya Pendidikan idealnya adalah jalan yang membawa kita ke puncak pemberdayaan diri, bukan alat penekan atau penghambat potensi. Saat ini, nilai simbolis ijazah telah menutupi tujuan asli pendidikan sebagai medium untuk pertumbuhan intelektual dan moral. Pendidikan yang autentik seharusnya merangsang inovasi, pemikiran yang kritis, dan analisis yang tajam, bukan hanya sebagai pabrik penghasil gelar.

Kritik yang disampaikan oleh Jusuf Kalla mengenai ‘inflasi’ gelar menunjukkan betapa pentingnya integritas akademik dan kebutuhan mendesak untuk mereformasi sistem pendidikan. Kita harus menghargai proses pembelajaran yang sesungguhnya dan mengakui kompetensi individu berdasarkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, bukan hanya berdasarkan dokumen yang mereka pegang.

Mengatasi masalah ini memerlukan perubahan paradigma dalam masyarakat dan kebijakan pemerintah yang mendukung penilaian berbasis kinerja dan kompetensi. Lembaga pendidikan harus berinovasi dalam metode pengajaran dan evaluasi, memastikan bahwa ijazah yang diberikan mencerminkan kualitas pendidikan yang sebenarnya. Ini akan membantu mengurangi praktik korupsi dalam pendidikan dan memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang berdasarkan merit mereka sendiri.

Pendidikan yang berfokus pada kekuasaan sering kali mengabaikan tujuan utama pendidikan itu sendiri, yaitu pemberdayaan individu melalui pengetahuan dan keterampilan. Domestifikasi dan stupidikasi dalam pendidikan mencerminkan kegagalan sistem dalam menghargai potensi sejati peserta didik. Sebaliknya, pendidikan harus menjadi alat untuk kemajuan masyarakat, bukan hanya sarana untuk mempertahankan struktur kekuasaan yang ada.

pentingnya pergeseran paradigma dari pemujaan ijazah ke pengakuan kemampuan performa dan jaringan individu. Ini adalah langkah penting menuju pendidikan yang lebih inklusif dan berorientasi pada kualitas. Pendidikan harus mengutamakan proses pembelajaran yang mendalam dan pengembangan keterampilan yang relevan, bukan sekadar hasil akhir berupa ijazah.

Untuk mencapai pendidikan yang bermutu, perlu adanya reformasi dalam manajemen pendidikan yang menekankan pada kualitas proses pembelajaran dan pematangan kualitas peserta didik. Lembaga pendidikan harus berinovasi dan beradaptasi dengan perubahan zaman, memastikan bahwa mereka tidak hanya menghasilkan lulusan dengan gelar, tetapi juga individu yang memiliki nalar dan kemampuan yang diperlukan untuk bersaing di dunia yang semakin global dan terhubung ini.

Salsa Nabilah De Caesar mengatakan...

Nama: Salsa Nabilah De Caesar
NIM: 2108109047
Kelas: MPI 6B

Bismillahirrahmanirrahim sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada bapak dosen pengampu yang sudah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat serta pengalaman yang luar biasa. Izin memberikan tanggapan pada artikel diatas πŸ™πŸ»

Terdapat hal menarik dari artikel karya Bapak Masduki Duriyat yang berjudul "Politik Kekuasaan dalam Pendidikan; Problem Domestifikasi dan Stupidikasi", bagian itu yakni menyoroti permasalahan mengenai "Skandal Gelar Tanpa Nalar", yakni suatu fenomena cukup mengenaskan yang terjadi di Indonesia yang sedikit banyaknya menjadi keresahan bagi kita semua. Dalam artikel tersebut menyoroti bahwasanya ijazah dijadikan sebagai tujuan pendidikan, suatu kalimat ringan namun memiliki dampak kemunduran bagi negeri ini. Bagaimana tidak? jika dalam hal ini terdapat beberapa oknum pemangku kepentingan atau pejabat-pejabat tinggi yang haus akan kekuasaan sehingga mereka mendapatkan gelar cukup mudah, karena hanya dengan menjajalkan sepersekian hartanya untuk mendapatkan gelar tersebut. Namun pada kenyataannya, kualitas yang ada pada diri mereka berbanding terbalik dengan ijazah yang mereka miliki.

Saat ini seringkali seseorang memperlakukan ijazah dengan salah, karena ijazah dianggap sebagai sarana untuk meningkatkan strata sosial sehingga masyarakat seringkali berlomba-lomba untuk mendapatkan ijazah tertentu, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Maka tidaklah heran apabila kita menemui seseorang yang memiliki kualitas yang bisa dibilang cukup rendah namun bisa menduduki posisi penting serta strategis dalam suatu instansi baik negeri ataupun swasta. Apabila hal ini terus berlanjut ditakutkan akan melahirkan generasi koruptor dan generasi instan. Dengan demikian perlu adanya tindakan tegas dari pemerintah serta lembaga pendidikan dalam menetapkan standar kompetensi.

Hal menarik lainnya yang terdapat dalam artikel ini yakni "indoktrinasi" dalam sistem kurikulum yang ada di Indonesia. Hal ini terlihat bahwasanya pemerintah yang selalu mengganti kurikulum dalam kurun waktu yang relatif singkat, memang benar jika ada pendapat yang mengatakan bahwasanya kurikulum haruslah mengikuti perkembangan zaman yang ada, akan tetapi apabila pergantian kurikulum yang begitu cepat tentu akan berdampak buruk pada dunia pendidikan. Mulai dari tenaga pendidik yang kesulitan menyesuaikan dengan kurikulum terbaru, dan tentunya dampak yang paling terasa adalah dari peserta didik itu sendiri yang mana dituntut untuk bisa fleksibel dengan kurikulum yang ada. Padahal menurut pendapat saya pribadi pergantian kurikulum ini minimal dilakukan selama 10-15 tahun, agar output daripada kurikulum yang telah disusun bisa terlihat, dan hal ini dapat memudahkan pemerintah dalam mengevaluasi serta mengeluarkan kebijakan baru untuk bisa meningkatkan kurikulum yang ada. Kerugian dari perubahan kurikulum yang begitu pesat juga tentunya turut dirasakan oleh daerah 3T, dimana mereka dituntut untuk bisa menyeleraskan kurikulum yang baru dengan segala keterbatasan yang mereka miliki, dan ini tentunya merupakan bentuk ketidakadilan.

Permasalahan yang kini melingkari dunia pendidikan di negeri kita bukanlah suatu hal remeh, perlu adanya kerjasama yang baik antar elemen untuk bisa menyelesaikan masalah yang ada. Memilih untuk demokrasi adalah solusinya, dimana semua pihak yang ada harus turut andil dalam memajukan pendidikan di Indonesia. Pemerintah bisa menerapkan ruang terbuka kepada lembaga pendidikan untuk dapat mengelolanya secara mandiri. Tidak hanya itu, lembaga juga perlu berkomitmen bahwasanya dalam menciptakan generasi-generasi yang hebat perlu menekankan pada kualitas pembelajaran yang ada serta benar-benar menjamin kemampuan dari peserta didik tersebut agar selaras dengan ijazah yang dimilikinya. Dengan demikian bangsa Indonesia akan memperoleh pendidikan yang berkualitas, demokratis, serta profesional, dan tentunya melahirkan penerus bangsa yang berkualitas, bukan hanya mengandalkan selembar kertas yang tanpa artinya.

Terima kasih banyak πŸ™πŸ»

Nurul Ainur R mengatakan...

Nama : Nurul Ainur Rizkiah
NIM : 2108109068
Kelas : 6B

izin menanggapi, menyoroti beberapa masalah yang kompleks dalam dunia pendidikan, terutama terkait dengan politik kekuasaan, domestifikasi, stupidikasi, serta indoktrinasi. tanggapan terkait poin-poin penting yang di sampaikan:

1.Pemujaan Ijazah: Masalah ini memang seringkali terjadi dalam masyarakat di mana ijazah dianggap sebagai simbol status sosial dan dijadikan alat untuk menaikkan strata sosial. Hal ini bisa merusak esensi pendidikan yang seharusnya bertujuan untuk mengembangkan potensi dan keterampilan individu, bukan sekadar mencari gelar.
2.Skandal Gelar Tanpa Nalar: Masalah ijazah palsu atau tidak berkualitas juga mencerminkan kelemahan dalam sistem pendidikan dan penghargaan yang lebih ditekankan pada gelar daripada kompetensi sebenarnya. Ini menjadi perhatian penting karena dapat mengurangi kredibilitas dan kualitas tenaga kerja.
3.Problem Pendidikan Berdasarkan Kekuasaan: Analisis tentang domestifikasi, stupidikasi, dan indoktrinasi menyoroti bagaimana pendidikan dapat digunakan sebagai alat untuk memperkuat struktur kekuasaan yang ada. Ini menunjukkan perlunya reformasi pendidikan yang mendorong kemandirian, kritisitas, dan kreativitas dalam belajar.
4.Pengelolaan Lembaga Pendidikan yang Demokratis: Pemikiran dari Paulo Freire tentang pendidikan ko-intensional dan kepemimpinan revolusioner menggarisbawahi pentingnya pendidikan yang membebaskan, kritis, dan mengajarkan nilai-nilai humanistik yang fundamental.
5.Pergeseran Paradigma: Konsep pergeseran dari kekuatan simbol ke kemampuan performa, dari kekuatan individu ke kuatan jaringan, dan dari persaingan harga ke layanan dan kualitas, memberikan gambaran tentang bagaimana pendidikan harus berkembang mengikuti dinamika zaman dan menghasilkan lulusan yang lebih berkualitas.

Tanggapan terhadap semua ini mungkin membutuhkan kombinasi dari upaya pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat, dan praktisi pendidikan. Reformasi kurikulum yang lebih kritis dan inklusif, penekanan pada pengembangan keterampilan yang relevan dengan zaman, peningkatan kualitas pengajaran dan manajemen pendidikan, serta kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan yang holistik dan bermakna dapat menjadi langkah awal menuju perbaikan yang lebih besar dalam sistem pendidikan.

Muhammad Dani mengatakan...

Nama: Muhammad Dani
Nim: 2108109041
Kelas: 6B

Bismillahirrahmanirrahim ikut mengomentari artikel bapak Doktor masduki duriyat, apa yang di sampaikan dalam artikel beliau cukup relevan dengan apa yang di alami oleh saya pribadi terutama ketika ingin melamar ke sebuah instansi/perusahaan

pendidikan min. SMA/SMK, D3, S1 jurusan administrasi, akuntansi, manajemen atau yang terkait. (Padahal latar belakang pendidikan ga relevan dengan job desk)

- pengalaman kerja min. 1 tahun bahkan kalau bisa 10 tahun (pengalaman atau engga ga ada korelasinya setiap orang pasti bisa melakukan pekerjaan apapun kalau dibimbing)

usia 18-27 tahun (padahal usia produktif menurut kemnaker itu sampai 64 tahun, kalau lowongan yang ditawarkan bukan pekerjaan yang menuntut fisik untuk apa dibatasi soal umur?)

mengerti tentang sistem A, B, C (sistem itu ga melulu soal pengalaman, setiap sistem itu bisa dipelajari dan sudah pasti user friendly)

mahir ms. office (ga salah si, tapi kebanyakan prakteknya jarang dipake juga ms. office ini)

aktif dan pasif berbahasa inggris (relasi perusahaan aja belum tentu berhubungan sama perusahaan internasional, ini indonesia banggalah dengan bahasa sendiri)
mampu bahasa mandarin menjadi nilai plus (bahasa internasional aja bahasa inggris, yang bisa bahasa mandarin rata-rata ya pasti orang indonesia yang keturunan chinesse)

- berpenampilan menarik, tinggi badan min. 165 laki-laki dan 160 perempuan.

dari kesemua kualifikasi yang memberatkan adalah diskriminasi umur dan fisik, gimana rakyat mau sejahtera dan bebas dari menganggur kalau persyaratannya konyol. Tolong untuk instansi yang terkait direview lagi persyaratan semacam ini, setiap orang berhak mendapat kesempatan tanpa diskriminasi sebagaimana yang tertuang dalam poin pancasila yang menyebutkan "keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia"

Amelia Safitri mengatakan...

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Nama : Amelia Safitri
NIM : 2108109056
Kelas : MPI 6B
Izin menanggapi pak πŸ™
Jadi pendapat pribadi saya, pernyataan tersebut mencerminkan sejumlah masalah yang ada dalam sistem pendidikan saat ini. Pertama, adanya domestifikasi dan stupidikasi menunjukkan bahwa pendidikan sering kali digunakan oleh pihak yang berkuasa untuk mengendalikan dan memanipulasi peserta didik, serta mengubah pendidikan menjadi alat untuk meningkatkan status sosial tanpa memperhatikan substansi pendidikan itu sendiri.
Kedua, masih kurangnya pengalaman dalam berdemokrasi di lembaga-lembaga pendidikan menunjukkan bahwa nilai-nilai demokrasi dan keadilan sering kali tidak terwujud secara optimal di lingkungan pendidikan. Pentingnya penegakan nilai-nilai fundamental kemanusiaan, seperti keadilan, persamaan, dan kemerdekaan, perlu diperkuat agar pendidikan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pembentukan individu yang beradab.
Ketiga, pergeseran paradigma pendidikan menuju penekanan pada kemampuan performa, jaringan, dan pengaruh serta pementingan pada layanan dan kualitas merupakan hal yang positif. Namun, hal ini juga menekankan perlunya pendidikan yang lebih terencana dan berorientasi pada hasil yang terukur, serta manajemen pendidikan yang lebih fokus pada pematangan kualitas peserta didik daripada administrasi semata.
Secara keseluruhan, pandangan saya adalah bahwa pernyataan tersebut menyoroti sejumlah masalah yang penting dalam sistem pendidikan saat ini dan menunjukkan perlunya perubahan yang lebih menyeluruh untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat secara keseluruhan.

Qodry Al Azizy mengatakan...

Nama: Qodry Al Azizy
NIM: 2108109051
Kelas: 6B

Menanggapi apa yang bapak tuangkan dalam tulisan ini menjadi hal yang mungkin cukup sulit bagi saya, karena secara tidak langsung tulisan ini memaksa saya untuk setuju dengan apa yang bapak suguhkan. Tetapi akan saya coba, menurut saya masalah pendidikan hari ini adalah hal yang pelik karena menjadi pembodohan yang terorganisir, bukan hanya dilakukan oleh pemerintah tetapi oleh dosen-dosen, profesor, warek, rektor dan lainnya. Seberapa banyak lembaga pendidikan kita benar-benar memberikan layanan yang optimal bagi isi kepala? Sedangkan secara empiris saya rasa yang mahasiswa dapati hanyalah tagihan UKT, pembelajaran yang monoton, ekspoitasi materi dan kejumudan lainnya. Untuk itu, saya rasa terlalu jauh jika kemudian kita menyerapahi pemerintah (bukan berarti menolak) tanpa kita sendiri menjemput perubahan itu dari lingkup terkecil kita. Contoh konkret, berapa lama orang-orang yang itu-itu saja menjadi birokrat di kampus sedangkan perubahan nya sama sekali tidak ada? Sedangkan yang kita ketahui mereka hanya memperkaya diri tanpa memberikan hak kepada mahasiswanya? Oleh karena itu, pendidikan nalar kritis menjadi jawaban, sedangkan dalam praktiknya berapa banyak organisasi mahasiswa eksternal yang dibungkan dan dijadikan momok menakutkan? Semoga menjadi bahan renungan kita bersama. Terima kasih.

Hamanda Tantri Safitri mengatakan...

Assalamu'alaikum Wr.wb
Nama : Hamanda Tantri Safitri
NIM : 2108109055
Kelas : MPI 6B

Bismillah, izin menanggapi dari tulisan blog diatas.
Mengenai problem politik kekuasaan pendidikan yaitu problem domestifikasi (penjinakan) dan stupidikasi (pembodohan) dalam pendidikan. Terdapat beberapa point yang di sampaikan yaitu menyinggung tentang Ijazah yang sering dianggap sebagai tangga untuk meningkatkan status sosial seseorang karena dapat membuka pintu-pintu kesempatan pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik. Namun, perlakuan yang salah terhadap ijazah dapat terjadi terutama dalam politik. Di bidang politik, ijazah sering digunakan sebagai alat untuk memperoleh dukungan publik dan juga Terkadang, individu atau politisi dapat memalsukan atau membeli ijazah palsu untuk meningkatkan citra mereka. hal tersebut dapat merugikan masyarakat dan merusak integritas sistem pendidikan dan sosial.

kemudian yaitu mengenai indoktrinasi, sudah menjadi sasaran empuk bagi penguasa untuk mengekalkan struktur kekuasaan yang ada terjadi. Dalam politik, indoktrinasi sering digunakan oleh pihak-pihak yang berkuasa atau berusaha mempengaruhi masyarakat untuk menerima ideologi atau narasi tertentu tanpa mempertimbangkan sudut pandang alternatif. Hal ini bisa dilakukan melalui media massa, pendidikan formal atau informal, dan propaganda.Dalam konteks pendidikan, indoktrinasi bisa terjadi jika suatu institusi atau sistem pendidikan mengajarkan materi-materi dengan cara yang membatasi pemikiran kritis atau kebebasan berpendapat. Menurut saya penting bagi kita untuk memastikan bahwa pendidikan memberikan informasi yang seimbang, mempromosikan pemikiran kritis, dan menghargai kebebasan berpendapat.

Secara keseluruhan, Politik kekuasaan dalam pendidikan bisa menjadi hal yang sensitif. Apalagi menyoroti masalah domestifikasi yang mencerminkan bagaimana kekuasaan dan otoritas dipertahankan dalam institusi pendidikan, seringkali dengan tujuan untuk mengarahkan pemikiran siswa sesuai dengan kepentingan tertentu. Hal tersebut dapat menghambat perkembangan pemikiran kritis dan inovatif, serta mengurangi kebebasan akademik. Sementara itu, stupidikasi menyoroti bahaya fokus pendidikan yang terlalu banyak pada materi yang kurang bermakna atau tidak mendidik. Ini dapat menghasilkan lulusan yang memiliki pengetahuan yang dangkal dan kurang kemampuan analitis yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan kompleks dalam masyarakat.

menurut saya blog ini memberikan wawasan yang luas tentang problem politik kekuasaan pendidikan dalam domestifikasi dan stupidikasi. penulis juga sangat jelas menggambarkan bagaimana kekuasaan politik dapat memengaruhi domestifikasi dan stupidikasi dalam dunia pendidikan. Terima Kasih πŸ™

FAUZAN mengatakan...

nama : Fauzan Husni Mubaroq
nim 2108109038
kelas Manajemen Pendidikan Islam 6B

Bismillahhirrohmanirrohim ijin menanggapi artikel yang dibuat oleh bapak dosen Masduki Duriyat.

Bahwasannya memang begini realitanya politik pendidikan lebih kejam dari pada fitnah mungkin saya menyebutnya karena entah kenapa pemerintahan kita tidak begitu ingin pendidikannya maju agar bangsa kita ini sejahtera isi dari makna dari pancasila dan juga UUD 1945 yang mencerdaskan masyarakatnya mana? Tapi sudah tidak heran keadaan asli bangsa ini, mereka yang ada dikursi pemerintahan yang mana membuat sistem pendidikan yang berbanding terbalik dengan negara negara yang sudah maju yang sudah jelas tidak majunya pendidikan indonesia itu bukan guru ataupun kepala sekolah yang ada disekolah tersebut tetapi sistemnya itu yang memperlambat akan kemajuan dari perkembangan kecerdasan dari siswa dan juga guru. kita lihat sekolah kanak kanak 1 tahun, Sekolah Dasar 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun dan lanjut perguruan tinggi jika kamu pintar insyaallah 4 tahun lulus.
Sistem macam apa ini? Selama 17 tahunan kita belajar berteori terus? maksudnya dalam hal untuk mengasah bakat dari semua orang kan berbeda kenapa pada sistem kita ini seolah olah harus sama atau dalam bahasa kasarnya menjadikan kita sama sederajat dalam hal keilmuan "Pegawai". Seharusnya menggodok anak agar memiliki kualitas yang unggul agar negara kita maju itu sepatutnya pendidikan kita itu dibalikkan maksudnya itu dalam sistem perkuliahan itu jangan saat kita berumur 19-20an harusnya pada saat kita SD(Sekolah Dasar) atau berumur 6-10 tahunan jadi dalam sistem pen-jurusan yang ada pada perkuliahan itu dipakai saat kita Sekolah Dasar maka kita akan tahu masing masing anak akan memiliki jiwa dan kreatifitas yang berbeda bahkan disekolah kita tidak diajarkan tentang bagaimana mengelola keuangan,emosi,spiritual, dll. Bahkan s2 Ekonomi pun belum tentu bisa. Jadi penulis bingung arah bangsa ini kemana dengan sistem pendidikan yang menurut saya jauh dari memunculkan potensi potensi unggul.
Jadi tidak heran kita menganut sistem demokrasi lalu rakyat diatas wakil rakyat malah memang benar kita dibentuk untuk menjadi stupidikasi yang dikatakan oleh bapak Masduki. Kita sebagai rakyat sudah tidak lagi memegang yang namanya hak kekuasaan, hak kekuasaan sebenarnya dikendalikan oleh mereka yang ada dipemerintahan. Sebelum saya mengatakan bahwa Indonesia adalah negara kapitalis namun sebenarnya menganut sistem ekonomi campuran, yang berarti memiliki elemen-elemen kapitalis dan elemen-elemen sosialis dalam sistem ekonominya. Sebagai negara dengan perekonomian yang berkembang, Indonesia memiliki sektor swasta yang kuat dan banyak perusahaan besar yang beroperasi di dalamnya, yang menunjukkan ciri-ciri ekonomi kapitalis. Namun demikian, pemerintah juga memiliki peran yang signifikan dalam mengatur sektor-sektor kunci ekonomi, seperti dalam sektor perbankan, pertambangan, dan energi. Oleh karena itu, sementara Indonesia memiliki aspek kapitalis dalam sistem ekonominya, tetapi juga memiliki campuran dengan kontrol pemerintah yang cukup besar, sehingga tidak dapat dikategorikan secara tegas sebagai negara kapitalis murni. Sayang sekali negara kita adalah bangsa yang besar banyak yang bisa kita untungkan mulai dari sumber daya alamnya, geografisnya itu menjadi sumber emas yang mana bisa kita pergunakan sebaik baiknya demi kemajuan kita bersama namun beginilah yang kita rasakan yakni kosong hanya yang memiliki kekuasaan saja yang dapat menikmati itu. Tapi saya sebagai mahasiswa pun sadar bahwasannya mahsiswa agent of cange yang jadi jembatan bagi masyarkat agar kita bisa sejahtera bersama sama.
Terimakasih itu saja yang bisa saya tanggapi mohon maaf jika ada kata kata salah yang mungkin tidak pantas ditulis mohon maaf.

Wabilahitaufik wahidayah wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh

Siti Agnestiana Fazriah mengatakan...

Nama: Siti Agnestiana Fazriah
NIM: 2108109044
Kelas: MPI/6B

Menanggapi tentang politik kekuasaan dalam pendidikan memiliki problem domestifikasi dan stupidikasi. Sudah lama kita mengalami yang namanya proses domestifikasi (penjinakan) dan stupidikasi (pembodohan) dalam pendidikan, terkait dengan peserta didik yang menjadi subjek eksploitasi oleh suatu kekuasaan di luar pendidikan dan menjadikan peserta didik sebagai budak dan alat dari penjajahan mental yang dilakukan oleh para penguasa. Adapun proses domestifikasi dalam pendidikan ini dapat kita lihat dari perlakuan yang salah terhadap ijazah (pemujaan ijazah), ijazah ini dijadikan tangga untuk menaikkan status sosial, terlepas dari bagaimana proses yang dilalui dalam mendapatkannya.

"Kalau saja ijazah di negeri ini tidak menjadi persyaratan formal, maka tidak akan saya sekolahkan anak ke lembaga formal untuk mengejar selembar ijazah."

Dapat diartikan ijazah memang menjadi segalanya di republik ini, apalagi ketika akan terjun ke dunia kerja yang akan ditanya itu ijazah terlebih dahulu bukan kemampuannya. Ijazah menjadi tujuan, bukan alat (tool). Sehingga ijazah menjadi simbol status, ataupun strata sosial yang harus dicapai dengan berbagai cara termasuk menggunakan uang. Hal ini lebih diperparah dengan sikap pemerintah dan lembaga tertentu yang mementingkan ijazah daripada performa seseorang dan kompetensinya, mungkin bagi orang tertentu yang memang punya uang tentu baginya tidak sulit mengambil jalan pintas untuk mendapatkan gelar tersebut.

Adapun efek yang lebih jauh dari formalisasi tersebut adalah hancurnya korelasi antara gelar yang disandangnya dengan kualitas yang dimilikinya, sehingga memunculkan 'inflasi' gelar. Inflasi gelar dalam dunia pendidikan merujuk pada peningkatan jumlah gelar akademik yang diberikan dari waktu ke waktu, tanpa perubahan signifikan dalam standar atau kualitas pendidikan yang dibutuhkan untuk mendapatkannya.

Di sini pula pentingnya melakukan rekonstruksi dunia Pendidikan kita. Rekonstruksi dunia pendidikan itu didasari dengan semakin terbukanya ruang pendidikan, ditengarai arah pendidikan akan bergeser ke pengelolaan yang lebih profesional, terbuka dan demokratis.

Dengan menganalisis fenomena pergeseran tersebut sebagian sudah terjadi saat ini, lembaga pendidikan bermutu dan mampu bersaing untuk melahirkan manusia-manusia berkualitas, bukan kuantitas gelar yang hadir tanpa nalar. Adapun beberapa upaya untuk menjadikan lembaga pendidikan bermutu dan mampu bersaing untuk melahirkan manusia-manusia berkualitas:
1) Pengembangan Kurikulum yang Relevan: Merancang kurikulum yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan pasar kerja, termasuk integrasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam pembelajaran.
2) Peningkatan Kualitas Tenaga Pendidik: Memberikan pelatihan dan pengembangan terus-menerus kepada guru dan dosen agar mampu menyampaikan materi secara efektif.
3) Penggunaan Teknologi: Mengintegrasikan teknologi dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan keterlibatan siswa dan efisiensi pembelajaran.
- Penggunaan Teknologi dalam Pembelajaran: Memanfaatkan teknologi seperti e-learning, aplikasi pembelajaran, dan platform daring untuk meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pembelajaran.
4) Pemberdayaan Siswa/Mahasiswa: Mendorong partisipasi aktif siswa/mahasiswa dalam proses pembelajaran, baik dalam kelas maupun di luar kelas melalui kegiatan ekstrakurikuler, magang, atau proyek-proyek penelitian.

yunita mengatakan...

nama : yunita
nim : 2108109045
kelas : MPI 6 B

Artikel tersebut membawa permasalahan yang mendalam dalam dunia pendidikan, menyoroti dominasi ijazah sebagai simbol status sosial dan kebijakan pendidikan yang terpaku pada kekuasaan. Memang benar, ijazah seringkali dianggap sebagai tujuan akhir daripada alat untuk mengukur kemampuan dan pengetahuan seseorang. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan antara substansi dan tampilan formal dalam pendidikan, di mana kemampuan dan kompetensi seseorang sering kali terabaikan demi gelar yang terkesan prestisius. Dalam konteks ini, pergeseran paradigma pendidikan menjadi sangat penting, di mana penekanan pada kemampuan performa, jaringan, dan daya pengaruh haruslah menjadi fokus utama, bukan sekadar selembar ijazah.

Selain itu, tulisan tersebut menyoroti kebutuhan akan pendidikan yang demokratis dan berpusat pada dialog, bukan sekadar propaganda atau indoktrinasi. Meminjam gagasan Paulo Freire, pendidikan yang revolusioner harus mendorong interaksi yang ko-intensional antara guru dan murid, di mana keduanya bertindak sebagai subjek aktif dalam pembelajaran. Demokratisasi pendidikan tidak hanya akan membebaskan peserta didik dari dominasi kekuasaan, tetapi juga memungkinkan mereka untuk mengembangkan kritisitas dan kebebasan berpikir yang diperlukan untuk menghadapi tantangan-tantangan masa depan.