Menyoal UKT dan Hak Pendidikan bagi Warga Negara
Oleh: Masduki Duryat*)
Saat ini kita diperhadapkan oleh realitas, bahwa perubahan dalam dunia pendidikan sedemikian cepat dan tidak linier tetapi dengan lompatan-lompatan yang sulit untuk diprediksi—termasuk dampak dari pandemi Covid-19. Hal ini ‘memaksa’ dunia pendidikan untuk terus berbenah dan melakukan perubahan dalam wilayah metodologi pembelajaran, materi, kurikulum, suasana sekolah dan paradigma pendidikannya jika tidak ingin ditinggalkan oleh ‘pelanggannya’ dan dianggap ‘out of date’.
Sisi lain, mutu dunia Pendidikan kita jika dikomparasikan dengan lulusan negara lain juga masih belum kompetitif. Indonesia menempati posisi keempat dalam sistem pendidikan di Asia Tenggara. Pada tahun ini, Singapura menempati ranking ke-21 di seluruh dunia. Sejak tahun 2000, The Organisation for Economic Co-operation (OECD) mengadakan tes Programme for International Student Assessment (PISA) untuk menakar pengetahuan siswa dalam bidang matematika, sains, dan membaca. Pada hasil PISA 2018, Indonesia berada di peringkat ke-13 dari total 15 negara di Asia yang mengikuti tes.
Pada tahun 2023, berdasarkan data yang dirilis oleh worldtop20.org, peringkat pendidikan Indonesia berada diurutan ke-67 dari total 209 negara di seluruh dunia.
Artinya masih perlu kerja ekstra untuk melakukan pembenahan dalam persoalan Pendidikan kita. Ini salah satu yang menjadi titik krusial kenapa ada Masyarakat yang bersikap kontra terhadap kenaikan biaya Pendidikan—dalam hal ini UKT—di Perguruan Tinggi misalnya, karena belum berbanding lurus dengan kualitas Pendidikan perguruan tinggi kita.
Kenaikan UKT yang Ugal-ugalan
Terma UKT ini berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2013 tentang, Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada Perguruan Tinggi Negeri di lingkungan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Uang kuliah tunggal merupakan sebagian biaya kuliah tunggal yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. Uang kuliah tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan biaya kuliah tunggal dikurangi biaya yang ditanggung oleh Pemerintah.
Skema uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi dinilai oleh beberapa pengamat harus ditinjau ulang karena sangat memberatkan banyak mahasiswa. Mahalnya biaya UKT disebut merupakan dampak dari diberlakukannya perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN BH), yang membuat terjadinya tren komersialisasi di perguruan tinggi. PTN BH diberikan otonomi untuk memberlakukan biaya Pendidikan dan laporannya.
Hal yang membuat kita miris adalah, ketika pejabat kemendikbud RI diminta konfirmasi tentang kenaikan UKT yang ugal-ugalan di beberapa Perguruan Tinggi negeri, dengan entengnya menjawab; “Pendidikan Tinggi masuk kategori tersier, sunnah”. Ini yang kemudian menurut Darmaningtyas disebutnya pejabat yang gagal paham dalam membangun peradaban bangsa. Korea Selatan sedemikain maju dalam dunia pendidikannya karena masyarakatnya berpendidikan tinggi. Pendidikan tinggi menjadi kunci peradaban bangsa.
Data menunjukkan bahwa hanya 5 % saja dari 275 juta penduduk Indonesia yang mengenyam Pendidikan S1, lulus S2 hanya 0,3 % dan S3 hanya pada angka 0.02 % dari penduduk Indonesia. Artinya, jika negara tidak hadir untuk membangun peradaban melalui Pendidikan tinggi, maka Indonesia akan semakin tertinggal dibandingkan dengan negara lain.
Biaya UKT dan Ranking PTN Kita
Masyarakat kemudian mempertanyakan ketika UKT semakin mahal, anggaran Pendidikan Rp. 665,02 Triliun pada 2024 untuk Apa Saja? Apalagi beberapa PTN BH yang menaikkan UKT dari sisi mutu Pendidikan masih kalah jauh dengan beberapa perguruan tinggi dunia.
Sekedar untuk komparasi; PTN Terbaik Indonesia Versi QS WUR 2024 Universitas Indonesia (UI) Peringkat dunia: 237. Universitas Gadjah Mada (UGM) urutan 263. Institut Teknologi Bandung (ITB) ranking 281 dunia.
Universitas Airlangga (Unair) ranking dunia ke-345.
IPB University urutan ke-489 dunia.
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Peringkat dunia: 621-630.
Universitas Padjadjaran (Unpad) Peringkat dunia: 661-670.
Universitas Diponegoro (Undip) Peringkat dunia: 791-800.
Universitas Brawijaya (UB) Peringkat dunia: 801-850.
Universitas Hasanuddin (Unhas) Peringkat dunia: 1.001-1.200.
Universitas Sebelas Maret (UNS) Peringkat dunia: 1.001-1.200.
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Peringkat dunia: 1.201-1.400.
Untuk menyebut contoh, UI biaya UKT tahun ini besaran di tiap kelompok yakni; kelompok satu adalah Rp 500.000 dan UKT kelompok dua sebesar Rp 1.000.000 untuk semua program studi jenjang S1 dan vokasi. Sedangkan UKT kelompok tiga bervariasi, mulai dari terendah yaitu Rp7.500.000 sampai Rp 15.000.000. Kemudian, UKT tertinggi pada kelompok lima mencapai Rp 20.000.000 per semester. Di sisi lain, mahasiswa jalur seleksi mandiri juga membayar biaya Iuran Pengembangan Institusi (IPI) yang terbagi menjadi empat kelompok dalam tahun ajaran 2024/2025.
Sebaliknya, hanya ada satu kelompok IPI pada periode sebelumnya. Tahun ini, uang pangkal terbesar di UI mencapai Rp 161 juta untuk mahasiswa sarjana dan vokasi jalur seleksi mandiri Pendidikan Kedokteran. Pada tahun ajaran 2023/2024, IPI hanya ditujukan untuk mahasiswa vokasi, sarjana non-reguler, dan sarjana Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) lewat seleksi mandiri, dengan angka terbesar mencapai Rp 40 juta pada Fakultas Ilmu Komputer.
Ini yang kemudian menjadi persoalan serius, karena dana Pendidikan yang dikeluarkan masih belum berbanding lurus dengan mutu.
Mutu menurut Deming adalah suatu tingkat yang dapat diprediksi dari keseragaman dan ketergantungan pada biaya yang rendah sesuai pasar. Juran mengatakan mutu adalah kemampuan untuk digunakan dan menurut Crosby mutu adalah sesuatu produk yang sesuai dengan persyaratan. Mutu itu sama dengan harapan atau di atas harapan “pelanggan”, maka parameternya adalah zero defact dan kepuasan “pelanggan”.
Pertanyaannya apakah biaya yang dikeluarkan oleh “pelanggan”—orang tua dan mahasiswa yang kuliah di PT ini sudah ada kepuasan dari sisi mutu? Atau apakah PT sudah melakukan pelayanan maksimal dengan menghindari kekurangan dan kesalahan dalam melakukan pelayanan prima kepada “pelanggannya”? Ini tantangannya. Sebab jika ‘pelanggan’ terpuaskan, maka tidak ada istilah mahal, termasuk dalam Pendidikan.
UKT; Memunculkan Kastanisasi
Naiknya UKT yang ugal-ugalan ini senyatanya telah memunculkan kastanisasi baru di tengah-tengah masyarakat untuk memperoleh Pendidikan. Pendidikan tinggi yang bermutu sangat elitis, hanya milik masyarakat yang kaya dan beruntung dari sisi ekonomi, sementara masyarakat miskin bermimpi saja tidak boleh, apalagi untuk merealisasikan melanjutkan kuliah. Ada bantuan KIP/K juga masih sangat terbatas dan disinyalir banyak salah sasaran. Kalau parameternya UUD 1945, maka sejatinya pemerintah dan PTN BH telah melanggar regulasi, karena Pendidikan merupakan hak setiap warga negara—termasuk Pendidikan tinggi yang bermutu—untuk bisa diakses dan mempercepat membangun peradaban bangsa.
*)Penulis adalah Dosen UIN Siber Syek Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP al-Amin Indramayu, tinggal di Kandanghaur.