Demokratisasi dalam Pendidikan Islam
Ilustrasi Pemilihan Ketua (Dok. Al Aqobah) |
DEMOKRASI DALAM PENDIDIKAN (ISLAM)
Oleh:
Masduki Duryat*)
Pendahuluan
Pendidikan Islam[1] sebagai manifestasi ajaran keislaman harus diacu ke arah pembebasan. Praktek pendidikan Islam tidak mengenal diskriminasi apapun, termasuk di dalamya hegemoni dan privillese pada kelompok manusia tertentu[2]. Di
Hasan Langgulung, ketika menjelaskan sifat-sifat manusia, sesudah fithrah dan roh adalah kebebasan, kebebasan untuk memilih tingkah lakunya sendiri.[3] Manusia pada dasarnya agen yang bebas, sebagaimana dijelaskan secara luas dalam teologi-rasional Mu’tazilah.[4]
Keikhlasan sejati tidak ada tanpa kemerdekaan dan kebebasan berpikir dan berbuat. Artinya kemerdekaan dan kebebasan merupakan pernyataan asasi yang pertama dan terakhir dari nilai kemanusiaan.[5] Paradigma tauhid dalam konteks pendidikan Islam bukan saja mengajarkan kemerdekaan dan kebebasan, melainkan bagaimana membangunkan manusia dari belenggu-belenggu eksistensial ke arah kesejatian di seluruh situasi dan kondisi di mana ia “berada”. Manusia adalah sama di hadapan Tuhan, yang membedakan adalah kualitas taqwa (QS. Al-Hujurat [49]: 13).
Pendidikan Islam sebagai instrumen penting orientasi pembebasan diharapkan mampu menyadarkan—conscientization—manusia ke arah eksistensial di atas. Proses pendidikan yang dijalankan bagaimana mampu menciptakan manusia yang kritis, reflektif, dan integratif. Manusia kritis adalah manusia cerdas dalam mengidentifikasi dan mencari solusi terbaik bagi problematika kehidupan yang ada. Manusia reflektif adalah manusia cerdas dalam membangun keikutsertaan kerja/kinerja yang baik. Manusia integratif adalah manusia cerdas yang mampu membangun relasi dengan seluruh elemen-elemen kehidupan secara menyeluruh, baik dengan sesama maupun dengan lingkungannya.
Al-Quran secara tegas menginstruksikan sikap kritis terhadap segala hal dan melarang bertaklid. Karena sikap taklid membuat orang tertutup menerima kebenaran yang rasional.[6] Allah SWT secara tegas mewanti-wanti manusia dalam firman-Nya ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan diminta pertanggungjawabannya”.[7]
Pendidikan Islam sebagai Praktek Pembebasan dan Demokrasi
Setiap nabi yang diturunkan ke dunia seluruhnya membawa misi pembebasan. Nabi Ibrahim a.s., misalnya, hadir ke dunia sebagai pioner pembebasan manusia dari ketundukan kepada berhala-berhala yang berada di bawah kuasa Raja Namrud. Nabi Musa a.s. adalah pembela Bani Israil yang berada di bawah keserakahan Raja Fir’aun. Dan Nabi Muhammad Saw. adalah revolusioner sejati dengan misi me-(de/re)konstruksi seluruh watak dan perilaku umat ke arah yang diridhai Tuhan—innama bu’itstu liutammima makarim al-akhlaq.[8] Nabi Muhammad Saw. hadir ke dunia sebagai proklamator kebebasan atas hak dan harkat manusia, pembebasan dari perbudakan, eksploitasi, diskriminasi, pemingitan hak-hak wanita dan ketidakadilan. Nabi Saw., adalah pembawa proses perubahan radikal di kalangan masyarakar Arab, khususnya bangsa Quraisy, dengan meruntuhkan kelompok-kelompok kepentingan yang dominan. Contoh faktual adalah pembebasan sahabat Bilal ibn Rabah, seorang budak dari Abesinia, dan beberapa orang yang kehilangan haknya mengikuti seruan Nabi Saw. karena melihat kemungkinan pembebasan mereka lewat beliau.[9]
Keberhasilan ini diakui oleh Will Durant dan Thomas Carlyle, sebagaimana dituturkan oleh Jalaluddin Rakhmat:
“Jika kita mengukur kebesaran dengan pengaruh, dia seorang raksasa sejarah. Ia berjuang meningkatkan tahap ruhaniah dan moral suatu bangsa yang tenggelam dalam kebiadaban karena panas dan kegersangan gurun. Dia berhasil lebih sempurna dari pembaru manapun; belum pernah ada orang yang begitu berhasil mewujudkan mimpi-mimpinya seperti dia, tulis Will Durant “.[10]
Ali Syari’ati[11] mendeskripsikan bahwa para nabi dan rasul adalah orang yang lahir dari tengah-tengah massa, lalu memperoleh tingkat kesadaran (hikmah) yang sanggup “mengubah suatu masyarakat yang korup dan beku menjadi kekuatan yang bergejolak dan kreatif, yang pada gilirannya melahirkan peradaban, kebudayaan dan kepahlawanan”.
Nabi Muhammad dengan tauhid sebagai kunci pokok ajaran yang dibawanya adalah agama yang revolusioner.. Yaitu, agama dengan misi membebaskan manusia dari ikatan-ikatan palsu. Konsepsi tauhid menunjukkan tidak ada penghambaan dan penyembahan kecuali kepada Tuhan, bebas dari belenggu kebendaan dan kerohanian. Ketika seseorang telah mengikrarkan diri masuk Islam—dengan kalimat syahadat—berarti ia telah menafikan diri dari ikatan-ikatan dan subordinasi apapun. Tauhid merupakan paradigma pembebasan dan kebebasan manusia baik secara lahir maupun batin, kecuali kepada Tuhan. Karenanya sebagaimana diuraikan di awal, pendidikan Islam diacu ke arah pembebasan, kritis terhadap segala hal dan melarang bertaklid. Tragedi taklid dalam sejarah Islam (1250-1800)[12] telah membawa kemunduran. Pikiran kritis (ijtihad) yang bercorak filosofis, sebagai energi kemajuan dan kejayaan ummat Islam, dikebiri ke arah sesuatu yang diharamkan karena menyesatkan. Tak pelak yang berkembang hanya kodifikasi, elaborasi (syarah), dan elaborasi atas elaborasi (hasyiyah), sehingga akhirnya sampai dewasa ini ummat Islam hanya puas menjadi “konsumen” produk-produk intelektual pihak lain dan jatuh kepada—meminjam bahasa Paulo Freire[13], kesadaran “semi intransitif”—yaitu kesadaran di bawah kendali orang lain. Kesadaran semi intransitif adalah sebuah kesadaran kritis yang dibungkam oleh mitos-mitos pembangunan dan stabilitas kesatuan untuk mereproduksi ideologi kelas dominan (penguasa/pemerintah yang berkuasa). Konsekuensi dari kesadaran demikian jelas aspek kemanusiaan menjadi terabaikan, dan sebaliknya proses dehumanisasi yang berjalan dengan pelbagai legitimasi yang sengaja dibuat.
Adalah tugas pendidikan Islam untuk men-(de/re)konstruksi sistem pendidikan yang mengarah ke dehumanisasi dan diskriminasi. Sistem pendidikan Islam harus menjadi alternatif ke arah humanisasi pendidikan karena cita ideal Islam adalah tercapainya bentuk-bentuk dan aspek-aspek kemanusiaan secara menyeluruh, baik lahir maupun bathin.[14] Islam sebagai abstract noun dari kata aslama-yuslimu-islaman, dalam konteks pendidikan, berarti proses kontinuitas keislaman dan kependidikan dengan mengapresiasikan secara positif dan kritis terhadap perkembangan dan kebutuhan zaman. Sehingga dengan begitu Islam sebagai agama yang sesuai dengan situasi dan kondisi—al-Islam shalih li kulli zaman wa makan—tidak menjadi kering karena penetrasi global yang terus berkembang. Bahkan meminjam bahasa Ali Bin Abi Thalib—“Didiklah anak-anakmu, bukan seperti kamu dididik dulu, karena anak-anakmu diciptakan untuk zamannya yang jelas berbeda dengan zamanmu”.
Ada beberapa hal yang bisa diidentifikasi melalui bahasan ini dari ajaran Islam bagi bangunan sistem pendidikan Islam ke arah pembebasan dan humanisasi. Pertama, konsep musyawarah dan dialogika (munazharah). Sebuah kisah metaforik di dalam al-Quran dikatakan bahwa ketika nabi Ya’kub a.s. memerintahkan anak-anaknya mencari nabi Yusuf a.s. di istana peninggalan Fir’aun, dia berkata: “Janganlah masuk dari satu pintu, tapi masuklah dari pelbagai pintu” (QS. Yusuf [12]: 67).[15] Logikanya, jika masuk dari satu pintu, sulit Yusuf diketemukan. Lebih baik berpencar, meski tetap harus ada persetujuan bersama bahwa siapapun yang menemukan mau membagi dengan yang lain. Sebab betapapun, penemuan itu adalah penemuan bersama, bukan monopoli pribadi atau kelompok.
Salah satu ajaran yang bisa diambil dari kisah di atas adalah pembangunan sistem kependidikan harus didasarkan pada aspek musyawarah, dialog, dan kebersamaan kepemilikan. Semua civitas akademika dan bahkan masyarakat secara luas harus dilibatkan dalam pembangunan kependidikan. Selain itu program spesialisasi secara profesional di dalam pendidikan merupakan pokok kisah di atas. Masing-masing komponen pendidikan bagaimana diperankan secara bersama dan bersama-sama sesuai kompetensi yang dimiliki. Kemampuan mengakses informasi dan kesempatan memperoleh pendidikan juga berbagi dengan yang lain.
Konsep musyawarah dan dialogika ini sebagai kritik terhadap sistem pendidikan naratif (hubungan searah) dan meminjam bahasa Paulo Freire pendidikan “gaya bank”. Pendidikan model ini menganggap peserta didik laksana bejana-bejana kosong yang perlu diisi oleh guru, semakin penuh semakin baik. Peserta didik tak lebih sebagai manusia mandul yang perlu dikasihani dan ‘disuapi’ pelbagai pengetahuan sesuai selera guru tanpa ada hak untuk menolak. Implikasinya, sistem pendidikan demikian hanya bertumpu pada penguasaan materi dan aspek hafalan, bukan pada kemampuan analisis. Akibatnya, pendidikan cenderung kurang humanis, tidak kritis, dan tidak membebaskan serta hanya menjadikan peserta didik sebagai penonton setia gejolak situasi zaman. Sementara pendidikan dengan sistem musyawarah dan dialogika berusaha menghantarkan peserta didik secara humanis pada kesejatian dirinya sebagai manusia potensial, aspiratif, dinamis, progresif, evolutif, dan komunikatif. Dialogika pun akan tercipta bila pemikiran kritis dilibatkan sebagai cara pandang realitas objektif bagi adanya perubahan dan perbedaan dalam pendidikan. Dehumanisasi—keadaan kurang dari manusia atau tidak lagi manusia—bukan lagi menandai mereka kemanusiaannya telah dirampas, melainkan (dalam cara yang berlainan) menandai pihak yang telah dirampas kemanusiaan itu, dan merupakan pembengkokan cita-cita untuk menjadi manusia yang utuh.
Kedua, perintah mencari ilmu dan predikasi mulia bagi orang-orang berilmu. Kisah dialogikal antara Tuhan dan malaikat dsalam Al-Quran yang berakhir dengan pengakuan malaikat akan keunggulan Adam atas dirinya adalah karena ilmu, merupakan indikasi bahwa ilmu pengetahuan dan orang-orang berilmu pada derajat lebih tinggi dari yang lain.[16]
Ketiga, instruksi teologis bagi ummat Islam untuk menjadi ummat terdepan. Ayat al-Quran yang menyatakan “Jadikanlah kami (ya Tuhan) sebagai imam bagi orang-orang bertaqwa”.[17] Dalam perspektif pendidikan Islam adalah bahwa pendidikan tidak hanya diarahkan bagi pengembangan manusia seutuhnya, yaitu manusia beriman dan bertaqwa dalam pengertian luas, melainkan bagaimana ia menjadi terdepan dari kelompok-kelompok manusia tersebut. Rekayasa diri secara profesional dan proporsional ke arah manusia terdepan, kiranya memiliki justifikasi dan sekaligus instruksi teologis di dalam Islam.
Pengelolaan Lembaga Pendidikan yang Demokratis; Belajar dari Paulo Freire[18]
Ada ungkapan yang menarik untuk kita renungkan:
… Apa guna kita memiliki
sekian ratus ribu alumni sekolah
yang cerdas, tetapi massa rakyat dibiarkan
bodoh? Segeralah kaum sekolah itu pasti
akan menjadi penjajah rakyat
dengan modal kepintaran mereka (YB. Mangunwijaya)
Atau tulisan Hadi Purwanto yang dikutip pengantar redaksi “Problematika Pendidikan Islam Kontemporer”, ketika menyebut problem pendidikan agama masih bersifat doktrinal:
Guru bicara, murid menulis
Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
Guru mengatur, murid diatur
Guru menghukum, murid dihukum
Dosen membaca, mahasiswa mencatat
Dosen bertanya tentang bacaannya, mahasiswa menjawab dengan catatannya
Dosen diam, mahasiswa tidur
Dosen absen, mahasiswa pulang
Dosen pulang, mahasiswa berkelahi dengan aparat,
mabuk, aborsi, lalu ekstasi [19]
Siapa di antara akademisi dan intelektual yang tidak akan “tersinggung” dengan pernyataan di atas? Namun, ini bukan masalah “tersinggung” atau tidak, melainkan mengapa ungkapan seperti itu muncul? Apa yang terjadi dengan kebijakan dan praktik kependidikan kita? Dan tentunya, bagaimana pula “seharusnya” kita—selaku pemerhati dan praktisi pendidikan—menyikapi persoalan-persoalan kependidikan yang memunculkan kekecewaan yang demikian?
Dalam bahasa Paulo Freire[20], dunia pendidikan memerlukan kepemimpinan yang revolusioner, metodanya bukan hanya ‘propaganda libertarian’ yang tidak hanya sekedar ‘menanam’ tetapi dengan dialog. Kepemimpinan revolusioner mesti mempraktekkan pendidikan ko-intensional. Artinya para guru dan murid sama-sama bertindak dalam dan bertindak terhadap kenyataan, sama-sama menjadi subjek, bukan hanya dalam tugas menyingkap kenyataan, supaya mengetahuinya secara kritis, namun juga dalam tugas menciptakan kembali pengetahuan tadi.
Dalam tulisan lain, beliau juga menyebutkan perlunya pengajaran selalu diasosiasikan dengan “pembacaan kritis” terhadap realitas. Dengan pengajaran itu, guru mengajar bagaimana cara berpikir. Kita tidak dapat mengajarkan bahan pelajaran semata-mata seolah konteks sekolah di mana bahan pelajaran tersebut disampaikan bisa direduksi menjadi sebuah ruang netral yang terbebas dari konflik-konflik sosial. Latihan “berpikir benar” juga tidak dapat dipisahkan dari pengajaran suatu bahan pelajaran.[21] Ini mestinya yang dilakukan dalam pengajaran dunia pendidikan kita.
Dunia kependidikan kita—sejak era kolonial kemerdekaan, dan bahkan sampai era reformasi ini—masih menyisakan banyak persoalan yang tidak pernah bisa diselesaikan. Sistem pendidikan lebih banyak dibangun di atas dekrit-kebijakan yang mereproduksi ideologi penguasa kaum borjuis, bukan lahir dari “rahim” kesadaran pembangunan masyarakat baru secara “revolusioner” dan “visioner”. Cita-cita pembangunan masyarakat baru kiranya belum dielaborasikan ke dalam visi, misi, dan orientasi sistem pendidikan. Srategi perubahan “revolusioner”, sebagai peran yang harus dimainkan oleh pendidikan, belum jelas atau bahkan sengaja tidak diperjelas. Sehingga eksistensi sekolah sebagai pemasok utama masyarakat berpendidikan hanya menjadi media reproduksi ideologi pemerintah. Ini perlu dimaklumi, “karena negara ini tidak pernah di/melahirkan pemimpin yang akomodatif terhadap pendidikan maju, sehingga pertanggungjawaban secara akademis/intelektual di akhir jabatan pun bukan sesuatu yang utama”.
Hal yang cukup relevan dengan dunia pendidikan kita adalah kenyataan bahwa kurangnya pengalaman kita dalam berdemokrasi, termasuk lemahnya demokrasi di lembaga-lembaga pendidikan kita. Kelemahan itu sangat tampak pada lemahnya penegakkan nilai-nilai sebagai orientasi idealitas kehidupan yang bermakna pengukuhan terhadap nilai-nilai fundamental kemanusiaan, seperti keadilan (adalah), persamaan (musawwa) dan kemerdekaan (hurriyah).
Peran Pemerintah dalam Pengelolaan Lembaga Pendidikan yang Demokratis
Pendidikan merupakan suatu proses terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), maka pemerintah bersama kalangan swasta telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas. Hal ini ditujukan antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi. Perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Meski usaha tersebut telah dilakukan, pada kenyataannya upaya pemerintah belum cukup berarti dalam meningkatkan kualitas pendidikan.[22]
Berangkat dari konteks ini, maka perspektif/kerangka sekolah sebagai ujung tombak pembangunan pendidikan, merupakan sesuatu prioritas yang harus dipikirkan dalam merencanakan formula reformasi pendidikan. Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan merupakan lembaga strategis dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Sekolah mau tidak mau akan menjadi pusat perhatian seluruh elemen bangsa untuk dikaji kembali. Kajian dimaksud dilakukan melalui perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasannya. Hal ini, dikarenakan segala kebijakan di bidang pendidikan, muara pelaksanaannya berada di sekolah. Maju mundurnya kualitas pendidikan, tergantung dari sejauhmana pengelolaan sekolah dilakukan baik yang menyangkut sarana dan prasarana, seperti gedung sekolah, kurikulum, guru, dan lingkungan sekitarnya. Pengelolaan sekolah bukan hanya oleh guru dan kepala sekolah. Akan tetapi, peranan para pejabat yang duduk di birokrasi pendidikanpun yang note bene menjadi arsitek pendidikan, harus ikut bertanggung jawab. Keberhasilan para pejabat di birokrat bukan hanya diukur dari keberhasilan proyek yang dikelolanya dan bukan pula diukur dari habisnya anggaran yang dikelola tepat waktu, tetapi yang lebih penting adalah sejauhmana kebijakan yang dikeluarkan dapat bermanfaat bagi hajat pendidikan. Berdampak dalam mengembangkan dan memajukan sekolah yang wujud nyatanya adalah tercapainya ketiga indikator di atas. Ujung akhirnya, akan melahirkan anggota masyarakat yang berkualitas sebagai hasil pendidikan.
Agar mutu pendidikan Indonesia tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (benchmarking). Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement[23]. Konsep ini menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing-masing. Konsep ini berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolahuntuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada. Sekolah harus mampu menerjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kondisi lingkungannya (kelebihan dan kekurangannya). Melalui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke dalam kebijakan mikro dalam bentuk program-program prioritas dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi dan misinya masing-masing. Sekolah harus menentukan target mutu untuk tahun berikutnya. Sekolah, secara mandiri tetap mengacu pada kebijakan nasional dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai, memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat[24].
Uraian tersebut di atas menjelaskan bahwa tanggung jawab peningkatan kualitas pendidikan, secara mikro bergeser dari birokrasi pusat ke unit pengelola yang lebih dasar, yaitu sekolah. Dengan kata lain, di dalam masyarakat yang komplek seperti sekarang, ketika berbagai perubahan telah membawa kepada perubahan tata nilai yang bervariasi maka tumpuan harapan lebih besar lagi terhadap pendidikan. Perubahan ini terjadi begitu cepat, dan hal ini diyakini dan disadari bahwa kewenangan pusat tidak lagi secara tepat dan cepat dapat merespon perubahan keinginan masyarakat di setiap lini pendidikan. Kondisi ini telah membawa kepada suatu kesadaran bahwa hanya sekolah yang dikelola secara efektiflah (dengan manajemen yang berbasis sekolah) yang akan mampu merespon aspirasi masyarakat secara tepat dan cepat dalam hal mutu pendidikan[25].
Institusi pusat memiliki peran yang penting. Ia harus mulai dibatasi dalam hal yang berhubungan dengan membangun suatu visi dari sistem pendidikan secara keseluruhan. Harapan dan standar bagi siswa untuk belajar dan menyediakan dukungan komponen pendidikan yang relatif baku atau standar minimal, menjadi sulit diabaikan.
Konsep di atas menempatkan pemerintah dan otoritas pendidikan lainnya memiliki tanggung jawab untuk menentukan kunci dasar tujuan dan kebijakan pendidikan dan memberdayakan secara bersama-sama sekolah dan masyarakat untuk bekerja di dalam kerangka acuan tujuan dan kebijakan pendidikan yang telah dirumuskan secara nasional dalam rangka menyajikan sebuah proses pengelolaan pendidikan yang secara spesifik sesuai untuk setiap komunitas masyarakat.
Demokrasi dalam Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam
UNESCO[26] menyatakan bahwa demokrasi ditandai oleh hal-hal sebagai berikut:
Pertama, anggota masyarakat mnghormati hukum dan tatanan. Artinya, demokrasi menghargai pendapat orang lain yang berbeda. Antara orang-orang yang diserahi untuk memimpin dan yang dipimpin harus ada saling percaya dan saling menghormati. Kedua, kebebasan yang disertai tanggung jawab; dalam kebebasan mengemukakan pendapat ada pengakuan dan hak-hak warga lain dan hak pribadi pihak lain. Ketiga, persamaan dengan keyakinan akan martabat manusia serta pengakuan akan hak-hak orang lain, khususnya kelompok minoritas dan yang tertindas. Keempat, disiplin diri sendiri yang diwujudkan dalam tata krama berinteraksi antara sesama, dan apabila ada konflik, penyelesaian diambil tanpa menggunakan kekerasan. Kelima, menjadi warga negara yang aktif dan bertanggung jawab meliputi kesiapan untuk menjadi sukarelawan, dan berpartisipasi sebagai anggota masyarakat yang sadar akan kewajibannya sebagai warga negara yang baik. Keenam, keterbukaan akan kebenaran ilmiah dan kebenaran universal, dan kesediaan untuk berdialog, berkonsultasi serta bernegosiasi. Ketujuh, berpikir kritis dalam mencari kebenaran yaitu menggunakan pikiran yang kritis dan jernih, dan melakukan keputusan berdasarkan informasi yang cukup dan sahih, bukan atas prasangka. Kedelapan, solidaritas menggarisbawahi kerjasama yang baik dalam tim, pengambilan keputusan bersama serta mencari penyelesaian masalah dengan damai.
Demokratisasi pendidikan tidak hanya berlangsung di Perguruan Tinggi, tetapi merupakan proses sepanjang hayat. Bermula dari pendidikan keluarga, masyarakat, sekolah dasar hingga sekolah menengah dijadikan sebagai pola hidup dalam berkarya. Pendidikan demokrasi hanya dapat berlangsung dengan lancar apabila kondisi lingkungan juga demokratis. Artinya, orang tua, masyarakat, guru, karyawan , kepala sekolah juga memiliki pola yang demokratis. Di samping itu—mudah-mudahan tidak hanya bermimpi—sebuah sekolah harus demokratis, yang berpihak kepada kepentingan anak-anak yang serba kekurangan, dan secepat mungkin, akan menghilangkan masalah-masalah di ’rahim’ sekolah yang melatari ”pengusiran” anak-anak dari kalangan kelompok bawah. Sekolah juga diarahkan agar mampu melahirkan kesenangan. Keseriusan, bahkan kerja keras yang melelahkan dalam proses belajar mengajar, tidak boleh mengubah tugas tersebut menjadi sesuatu yang menyedihkan.
Walakhir meminjam bahasa Muhaimin[27] tantangan dunia pendidikan pada umumnya bukanlah permasalahan yang berdiri sendiri, melainkan terkait langsung atau tidak dengan perkembangan iptek dan kehidupan aspek lainnya, ekonomi, politik, maupun sosial budaya. Bahkan pemikir muslim Pakistan Abu al-Hasan al-Maududi—sebagaimana dikutip oleh Quraisy Shihab menilai bahwa hampir semua lembaga pendidikan Islam, tidak mengajarkan Islam secara benar, bahkan boleh jadi justeru malah menjauhkan para pelajar dari ajaran Islam. Bahkan lebih jauh beliau mengkritisi terhadap lembaga pendidikan Islam, pertama kekaburan identitas, ini terjadi pada kegiatan keseharian civitas akademika bahkan pada kegiatan keilmiahannya. Kedua, despritualisasi ilmu, dalam dunia pendidikan seringkali ditemukan upaya-upaya untuk hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat empris atau materialistis tanpa memperhitungkan hal-hal yang bersifat metafisis. Ketiga, penolakan terhadap kritik. Padahal Islam tidak pernah takut menghadapi kritik atau sikap ragu kepada siapapun. Bahkan al-Quran dipenuhi oleh dalil-dalil yang dikemukakan oleh penentang dan peragu ajarannya, semua dilayani dan dipatahkan argumentasiya. Keempat, kurikulum dan silabus, kurikulum dan silabus kita sudah sangat jauh ketinggalan. Seharusnya kurikulum dan silabus itu seperti baju yang kita pakai, yakni sesuai dalam ukuran dan modelnya dengan diri, selera, dan kebutuhan kita. Kita tidak boleh meminjam dari orang lain, karena betapapun indahnya terlihat, atau betapapun ukurannya boleh jadi secara umum sama, namun jika tidak dibuat sesuai selera dan kebutuhan riil kita, maka ia tidak nyaman untuk dipakai.[28] Berbagai tantangan yang dihadapi dunia pendidikan pada umumnya juga harus dihadapi oleh pendidikan agama sebagai bagian dari proses pendidikan bangsa. Kalau dunia pendidikan di
Penutup
Paradigma pendidikan mestinya menjadi orientasi kepemimpinan nasional. Sehingga pendidikan demokrasi dan demokratisasi pendidikan di
Idealitas bangunan pendidikan Islam berdasarkan realitas sosial yang dipraktekkan Rasulullah dalam hal demokrasi, tidak ada perbedaan, semua memiliki peluang yang sama. Demokratisasi pendidikan mengharuskan dibangunnya fondasi kependidikan melalui rumusan prinsip-prinsip kebebasan individu (individual freedom) dan kebebasan akademik (academic freedom). Setiap individu mempunyai hak yang sama memperoleh pendidikan dan pengajaran tanpa dibedakan sratifikasi sosialnya, apakah ia berada pada kelas bawah (under class), kelas menengah (midle class), ataupun kelas atas (high class). Setiap individu mempunyai hak otonomi untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya melalui bidang pendidikan.
*)Penulis adalah praktisi pendidikan juga alumni PPs STAIN Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abd. Hakim, Atang dan Jaih Mubarok, 1999. Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet., ke-1
Ahmad, Muhammad, 1988. Tauhid Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, Cet. Ke-1
Al-Maududi, Abdul A’la, 1975. Prinsip-Prinsip Islam, Terj. Suhaili, Bandung: Al-Ma’arif
Al-Nawawi, tt. Riyadh al-Shalihin, Beirut: Dar al-Fikr
Al-Quran dan Terjemahnya, 1984/1985. (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran Depag RI)
Al-Syaibani,Omar Mohammad al-Toumy, 1979, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. Ke-1
An-Nahlawi, Abdurrahmani, 1989. Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam Dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, Bandung: Diponegoro, cet. Ke-1
Anshari, Endang Saifuddin, 1983. Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu, Cet. Ke-4
Azhari, Muntaha, et. al.,1989. Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M
Azra, Azyumardi, 2003. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, Cet. Ke-5
Daradjat, Zakiah, 1982/1983. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Depag
Freire, Paolo, 1984. Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Terj. Alois A. Nugroho, Jakarta: LP3ES
------------------, 2003. Pendidikan Masyarakat Kota (Pedagogy of The City), Terj. Agung Prihantoro, Yogyakarta: LkiS, Cet. Ke-1
Hardian, Novi dan Tim ILNA Learning Center, 2003. Super Mentoring Panduan Keislaman untuk Remaja, Bandung: Syaamil Cipta Media
Langgulung, Hasan, 1988. Asas-Asas Pendiidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna
-------------------------, 1989. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al-Husna, Cet. Ke-2
Muhaimin, et. al., 2002. Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Islam di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. Ke-2
Mulyasa, E., 2004 Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karakteristik dan Implementasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. Ke-5
-----------------, 2004. Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementasi Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. Ke-6
------------------, 2004. Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. Ke-2
Naomi, Omi Intan, (Ed), 2003. Menggugat Pendidikan Fundamentalis Konservatif Liberal Anarkis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-4
Nasution, Harun, 1975. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang
----------------------, 1985. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, Cet. Ke-5
----------------------, Kedudukan Akal Dalam Islam, Jakarta: Idayu
Nata, Abuddin, 2003. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, Cet. Ke-1
Rakhmat, Jalaluddin, 1991. Islam Aktual Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan, Cet. Ke-2
Rusli Karim, M., 1991. Pendidikan Islam di Indonesia: antara Cita dan Fakta, Muslim Usa (Ed), Yogyakarta: Tiara Wacana
Sahrodi, Jamali, dkk., 2005. Membedah Nalar Pendidikan Islam Pengantar ke Arah Ilmu Pendidikan Islam, Cirebon: STAIN Cirebon dan Pustaka Rihlah Group, Cet-1
Soekarno, H., Ahmad Supardi, 1985. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa, Cet. Ke-10
Syariati, Ali, 1984. Sosiologi Islam, Yogyakarta: Ananda
Tafsir, Ahmad, 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. Ke-2
[1] Secara definisi dapat dibaca pada Ali Ashraf, dalam Horison Baru Pendidikan Islam, beliau menyampaikan dalam kata pengantar Crisis in Muslim Education, bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang melatih sensibilitas murid-murid sedemikian rupa, sehingga dalam perilaku mereka terhadap kehidupan, langkah-lanhkah dan keputusan begitu pula pendekatan mereka terhadap semua ilmu pengetahuan mereka diatur oleh nilai-nilai etika Islam yang sangat dalam dirasakan, h. 23. Baca juga Jamali Sahrodi dkk., dalam Membedah Nalar Pendidikan Islam Pengantar Ke Arah Ilmu Pendidikan Islam, (
[2] M. Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia dalam “Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta”, Muslim Usa (Ed), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 31. Coba bandingkan dengan tulisan Azyumardi Azra tentang Kebangkitan Sekolah Elite Muslim: Pola Baru “Santrinisasi” dalam Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2003), h. 69-82, ketika menyebut sekolah unggulan, sekolah model sebagai sekolah elite dengan berbagai alasan.
[3]Walaupun berbagai tafsiran para ahli berkenaan dengan kebebasan manusia menunjukkan bahwa menurutnya keseluruhan ayat-ayat al-Quran menunjukkan bahwa manusia itu bebas memilih tingkah lakunya. Bahkan beliau mengutip pendapat W.M. Watt yang mengatakan bahwa kepastian (determinism) atau kepercayaan yang mengatakan bahwa kehidupan seseorang ditentukan dari luar, bukanlah termasuk ajaran Muhammad. Lebih jauh lihat Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989), h. 79-81. Baca juga Ciri-ciri penting manusia dalam Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 117-130
[4]Baca Harun Nasution, Kedudukan Akal dalam Islam (Jakarta: Idayu), juga Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, H. Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 1985), h. 126-130. Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 156-158. Juga H. Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia,1998), h. 163-169 dengan berbagai dalil dan pokok-pokok ajarannya.
[5] Lihat Surat ke-6 ayat 164, bahwa seseorang yang berbuat dosa kemudharatannya akan kembali kepada dirinya dan masing-masing manusia memikul dosanya sendiri-sendiri.
[6] Lihat QS. Al-Isra [17]: 36
[7]Lihat QS. Al-Isra [17]:36, ayat ini memberikan indikasi bahwa taklid adalah sesuatu yang “diharamkan” di dalam Islam. Karena taklid bisa menafikan dan sekaligus memiliki kecenderungan untuk melemparkan tanggung jawab kepada orang lain.
[8]Dalam bidang pendidikan, pribadi Rasulullah Saw., merupakan contoh edukatif yang sempurna bagi manusia, metode pendidikannya luar biasa. Beliau memerintahkan agar pembicaraan yang diarahkan kepada orang lain, hendaknya disesuaikan dengan taraf berfikir mereka, memperhatikan individu merupakan pribadi yang unik, memperhatikan pembawaan, kesiapan dan tabiat mereka. Lebih jauh baca Abdurrahman an Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam Keluarga di Sekolah dan di Masyarakat, (Bandung: CV. Diponegoro, 1989), h. 47-48.
[9] Hal ini diilhami oleh konsep ajaran Islam yang asasi yakni Tauhid. Tauhid menuntut adanya pembebasan dari keterikatan kepada apapun kecuali kepada Allah Tauhid berimplikasi menjadikan seseorang berpandangan luas, rasa bangga da harga diri kepada manusia, rendah hati kepada sesama, mendorong untuk mencapai keselamatan dan amal shaleh, tidak mudah putus asa, mempunyai kebulatan tekad dan keberanian, tawakal dan tabah, loyaitas dan menaikkan derajat manusia, Abdul A’la al-Maududi, Prinsip-Prinsip Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1988), h. 77-82. Baca Juga Novi Hardian dan
PT Syaamil Cipta Media, 2003), h. 125-143. Bahkan Teori Taskhirnya Nurchalish Madjid ada hubungan resiprokal antara tauhid dengan kemajuan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, lihat Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), h. 16-18
[10]Bahkan Kang Jalal juga mengutip tulisan Thomas Carlyle dalam On Heroes and Hero Worship, melukiskan keberhasilan Nabi Muhammad “Dia datang seperti sepercik sinar dari langit, jatuh ke padang pasir yang tandus, kemudian meledakkan butir-butir debu menjadi mesiu yang membakar angkasa sejak Delhi ke Granada”. Lihat Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1991), h. 201
[11] Menurut Ali Syariati juga para nabi ibarat bunga api yang dipijarkan oleh benturan batu. Mereka menyadarkan pikiran yang tumpul, membangkitkan semangat bagi kehendak dan gerakan pada abad yang mati. Mereka memacu getar, hidup dan darah pada urat-urat orang yang lembam, dalam pikiran, agama dan ritus mereka … para nabi datang dari rakyat jelata untuk membenarkan, membebaskan dan menolong mereka, Ali Syariati, Sosiologi Islam, (Yogya: Ananda, 1984), h. 120-121
[12] Baca Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 13-14. Juga Harun Nasution dalam Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), h. 56-88 yang membagi aspek sejarah dan keudayaan menjadi periode klasik (650-1250), periode pertengahan (1250-1800) dan periode modern (1800).
[13] Paulo Freire menurut Azyumardi Azra dalam tulisannya tentang pendidikan Islam dan pembebasan manusia dari ketertindasan struktural dan kultural sedikit banyak mengilhami pengembangan konsepsi dan pemikiran kependidikan Islam yang lebih dinamis dan fungsional dalam menjawab tantangan-tantangan dunia pendidikan umumnya dewasa ini dan abad 21, semisal tulisan A. Syafi’I Ma’arif “Pendidikan Islam sebagai Upaya Pembebasan” dan M. Rusli Karim “Pendidikan Islam sebagai Pembebasan Manusia”. Lebih jelas baca Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 2003), h. 93
[14] Moh. Athiyah el-Abrasyi yang dikutip oleh Omar Moh. Al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 416-418, menyimpulkan lima tujuan asasi bagi pendidikan Islam, yaitu membentuk akhlak yang mulia, persiapan kehidupan dunia akhirat, mencari rizki dan kemanfaatan, menumbuhkan saintific spirit, dan meningkatkan profesionalisme.
[15] Salah satu ajaran yang bisa diambil dari kisah di atas ini adalah pembangunan sistem kependidikan harus didasarkan pada aspek musyawarah, dialog, dan kebersamaan kepemilkan. Semua civitas akademika dan bahkan masyarakat secara luas harus dilibatkan dalam pembangunan kependidikan. Selain itu adalah program spesialisasi secara profesional di dalam pendidikan merupakan ajaran pokok kisah tersebut. Masing-masing komponen pendidikan bagaimana diperankan secara sama sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Kemampuan mengakses informasi dan kesempatan memperoleh pendidikan juga harus berbagi dengan yang lain. Dalam bahasa E. Mulyasa, dalam Menjadi Kepala Sekolah Profesional Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK, (
[18] Paling tidak ada tiga hal utama mengapa Paulo Freire begitu menarik perhatian masyarakat dunia secara luas. Pertama, pemikiran dan metode pendidikannya yang otentik dan radikal. Kedua, apa yang dikonsepkan dilakoninya dalam praktik nyata pendidikan secara konsisten. Ketiga, pengaruh gerakannya begitu luar biasa menggema hampir ke seluruh pelosok penjuru dunia. Lihat Pengantar Redaksi dalam Paulo Freire, Pendidikan Masyarakat
[19]Menarik untuk dibaca lebih lanjut Jamali Sahrodi dkk, Membedah Nalar Pendidikan Islam Pengantar ke arah Ilmu Pendidikan Islam, (Cirebon: STAIN Cirebon Press dan Pustaka Rihlah Group, 2005), h. v-vii. Dalam pengantar redaksinya disebutkan pendapat Fazlur Rahmat tentang problematika pendidikan Islam kontemporer, pertama tujuan pendidikan Islam yang orientasinya ukhrawi (melangit), kedua, beban psikologis ummat Islam dalam menghadapi Barat harus segera dihilangkan, ketiga sikap negatif terhadap ilmu pengetahuan harus dirubah.
[20] Paole Freire, Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan dalam Menggugat Pendidikan Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis, Alih Bahasa Omi Intan Naomi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 457
[21]Paolo Freire, Pendidikan Masyarakat Kota, Terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 14
[22]Ada tiga permasalahan di bidang pendidikan yang sampai saat ini belum teratasi. Pertama, rendahnya tingkat sumber daya manusia Indonesia yang dibuktikan dengan hasil studi UNDP tahun 2004 yang menyatakan bahwa Human Development Indeks Indonesia menempati urutan ke 109 dari 174 negara. Kedua, cerminan sikap atau watak manusia Indonesia yang masih belum menampakkan sikap yang menjunjung nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan rasa tanggung jawab (sikap kedewasaan). Ketiga, yang paling parah adalah minimnya keterampilan yang dimiliki, sehingga kemandirian dalam hal ekonomi setelah menyelesaikan sebuah jenjang pendidikan kurang terwujud. An Indonesian Education Reform Throught School Based Management. Http://www.e-dukasi.net.html. Baca pula Kusnandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 1-2 bahwa indikator rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia, Pertama, lulusan dari sekolah atau perguruan tinggi belum siap memasuki dunia kerja karena minimnya kompetensi. Kedua, Peringkat Human Development Indeks (HDI) Indonesia masih rendah tahun 2005 peringkat 110 di bawah Vietnam dengan peringkat 108. Ketiga, laporan International Educational Achievement (IEA) kemampuan membaca siswa SD Indonesia berada diurutan 38 dari 39 negara yang disurvei. Keempat, mutu akademik antarbangsa melalui Programme for International Student Assesment (PISA) 2003 menunjukkan bahwa dari 41 negara yang disurvei untuk bidang IPA, Indonesia menempati peringkat ke-38, sementara utuk bidang matemaatika dan kemampuan membaca menempati peringkat ke-39. Kelima, laporan World Competitiveness Yearbook tahun 2000, daya saing SDM Indonesia berada pada posisi 46 dari 47 negara yang disurvei. Keenam, posisi Perguruan Tinggi Indonesia yang dianggap favorit, seperti UI dan UGM hanya berada pada posisi ke-61 dan 68 dari 77 Perguruan Tinggi di Asia. Ketujuh, ketertinggalan bangsa Indonesia dalan bidang IPTEK dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.
[23]Effektivitas pendekatan ini telah teruji di beberapa negara dalam meningkatkan kualitas sekolah. Banyak penelitian, secara konklusif, mendukung rasional efektivitas penggunaannya. Suyatno. Penerapan Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, dalam Suyatno, (ed.) “Strategi Pendidikan Nasional dalam Menghadapi Globalisasi dan Otonomi Daerah” (Jakarta : UHAMKA Press, 2001), h..87. Secara teoritik tujuan utama MBS adalah melakukan perbaikan atas kinerja sekolah yang selama ini dinilai terlalu konservatif. Perbaikan kinerja sekolah, diharapkan mutu hasil belajar siswa dapat meningkat, karena memang peningkatan hasil belajar anak merupakan inti tujuan MBS. Walaupun keterkaitan langsung antara pola penyelenggaraan sekolah dan perbaikan kinerja sekolah itu tidak mudah dijelaskan. Priscilla Wohlstetter, Roxane Smyer, dan Susan Albers Mohrman pernah mempertanyakan itu “A means-end relationship between governance and school improvement is difficult to argue in the absence of some kind of instructional guidance mechanism that sets forth the direction of change with regard to curriculum and instruction—the technical core of schooling”. Menurut mereka, jika salah satu tujuan reformasi manajemen sekolah adalah mengkreasi kinerja sekolah hingga ke taraf tinggi (create high performance school), pertanyaan kunci yang terkait dengan MBS adalah dapatkah MBS ketika dikombinasikan dengan upaya reformasi kurikulum dan pembelajaran akan mendongkrak kinerja proses pendidikan dan pembelajaran sekolah? Lihat lebih lanjut Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), Cet. Ke-2, h. 15. Sungguhpun demikian tujuan MBS adalah sebuah upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang dinyatakan dalam GBHN. E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah Konsep, Strategi dan Implementasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. Ke-6, h. 25
[24]Fasli Jalal dan Dedi Supriadi. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. (Yogyakarta:Kerjasama Depdiknas, Bapenas dan Adicita Karya Nusa, 2001), Cet. Ke-1, h. 162
[25]Sekolah yang effektif memiliki ciri pembelajaran : active rather than passive, covert rather than overt, complex rather than simple, affected by individual differences amongst learners, and influenced by a variety of contexts. Menurut Mortimore, “School Effectiveness and the Management of Effective Learning and Teaching” dalam “School Effectiveness and School Improvement” Vol. 4 No. 4, h. 290-310.