-->

ads

Poligami dalam Perspektif UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Rabu, 11 Agustus 2021

Ilustrasi Piligami (Gomuslim.com)


Poligami dalam Perspektif UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Oleh:

MASDUKI DURYAT


Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” [QS. Al-Nisâ’/4:4


Persoalan poligami menjadi issue aktual lagi ketika KH. Abdullah Gymnastiar (AA Gym) menikah lagi dengan AlFarini Eridani (37) atau Rini, karyawan DT. Pada Senin 4 Desember 2006 lalu, Aa Gym bersama isteri pertamanya Hj. Ninih Muthmainnah (Teh Ninih) dan Rini juga sengaja mucul di depan publik (televisi), untuk menjelaskan duduk perkara, mengapa Aa menikah lagi.

Pemunculan mereka juga merupakan “jawaban”, klarifikasi, atau pendinginan hati, barangkali ketika konon ratusan perempuan mengirim ratusan SMS melalui HP Presiden SBY dan ibu negara, Hj. Ani Yudhoyono, dengan maksud melampiaskan unek-unek, protes, kekhawatiran atau bahkan mungkin kemarahan. Maka SBY yang tengah dihadapkan pada berbagai masalah kebangsaan menjadi bertambah “puyeng”, sampai-sampai segera mengundang Menneg Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta dan Dirjen Bimas Islam Nazaruddin Umar ke kantor Presiden SBY.

Dari sini kemudian muncul pro dan kontra, dan menghangatnya kembali persoalan poligami di Indonesia, apalagi persoalan ini muncul secara hampir berbarengan dengan adanya kasus video Yahya Zaini (anggota DPR RI) bersama Maria Eva (penyanyi dangdut) beredar di masyarakat dan menimbulkan kehebohan di tingkat elit dan masyarakat umum.

Kalau kita kaji al-Quran, secara redaksional, seorang laki-laki memiliki hak untuk melakukan penggandaan isteri, artinya seorang laki-laki boleh beristeri lebih dari satu, baik dalam bentuk poligini maupun poligami.[1] Dalam ayat ini disebutkan: “Jika kamu takut tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim [bilamana kamu menikahinya], maka nikahilah perempuan lain yang kamu sukai; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu tidak mampu berbuat adil di antara perempuan-perempuan yang kamu nikahi maka nikahilah satu saja atau budak-budak perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. [Q.S. al-Nisâ/4: 3].

Perintah di sini bukan berarti suatu keharusan melainkan sebagai sebuah alternatif yang mungkin relevan pada kondisi ruang dan waktu tertentu namun belum tentu berlaku sepanjang masa. Maksudnya, jika perbandingan antara laki-laki dan perempuan tidak seimbang akibat korban peperangan maka poligini dimungkinkan untuk diamalkan. Namun hal ini tidak dapat dipukul rata untuk semua kondisi. Penulis memandang keinginan hampir semua laki-laki, secara naluriah, ingin melakukan poligini namun harus dilihat bahwa niatan berpoligini dalam rangka menolong dan membantu bukan karena “nafsu syahwatiah” tampaknya sedikit sekali. Mengapa demikian? Karena kecenderungan laki-laki yang berpoligini kebanyakan memilih perempuan yang lebih muda, lebih cantik, dan lebih memuaskan seks biologisnya dari pada isteri yang pertama. Kalau mau mengikuti jejak Nabi SAW, semestinya laki-laki yang berpoligini adalah dengan janda-janda beranak bukan dengan para gadis muda yang “bahenol” dan masih tergolong masih belum tersentuh oleh laki-laki lain.

Jika mengikuti sunnah Rasul SAW, maka pernikahan beliau di samping mengikuti perintah Allah SWT juga karena dilandasi dengan semangat membantu, melindungi, dan mendidik isteri-isterinya untuk bersikap dewasa dan memahami nilai-nilai kolektivitas serta perjuangan dakwah yang meminta pengabdian dan pengorbanan yang cukup serius. Hampir semua isteri beliau adalah janda kecuali Siti Aisyah binti Abû Bakr al-Shiddîqy. Ini menandakan bahwa pernikahan beliau tidak semata-mata pemenuhan “nafsu syahwatiah” melainkan perjuangan dan dakwah ajaran Islam sebagai rahmat li al-âlamîn. Hendaknya, pengikut Nabi SAW jangan hanya mengikuti formalitas perilaku nabi tanpa menyentuh semangat atau substansi apa yang dilakukan beliau.

Al-Qur’ân dan Hadîs adalah dua perkara yang diwariskan Nabi SAW untuk tetap dipegang oleh umatnya. Namun, permasalahannya adalah ketika zaman berubah dengan diikuti juga perkembangan pola pikir manusia dan perkembangan teknologi, maka konsekuensi dari perkembangan tersebut adalah munculnya banyak persoalan kontemporer yang sebelumnya tidak pernah muncul pada zaman sebelumnya, terlebih pada zaman Nabi SAW. Hal ini tentu saja harus dapat dicari solusinya dengan tanpa mengebiri daya kritis dan tetap berpegang pada prinsip agama yang ada.

Beberapa usaha untuk mencari solusi tersebut adalah dengan cara melakukan pembacaan kembali teks-teks keagamaan. Usaha penafsiran dan pengkajian kembali teks ini dipandang perlu karena terkadang kita selalu memosisikan teks keagamaan sebagai bahan yang absolut atau mutlak, tanpa mencoba melihat latar belakang teks itu ada, padahal tidak ada yang absolut di alam ini kecuali Tuhan. Tentu saja usaha ini bukan untuk mencari-cari legitimasi agama atas perkembangan yang ada tetapi justeru sebagai bagian peneguhan bahwa Islam memang rahmat li al-âlamîn dan relevan sepanjang masa [al-Islâm shâlih li kulli zamân wa makân].

Atas dasar pemikiran di atas, diskursus poligami dan poligini dalam kajian Islam menjadi menarik mengingat tarik-menarik persoalan azas nikah dalam pernikahan Islam itu, apakah menganut azas poligami atau monogami, membawa perdebatan panjang hingga sekarang. Dalam pembahasan ini, penulis akan berusaha melakukan pembacaan teks secara cermat dengan suatu asumsi bahwa upaya reinterpretasi terhadap teks-teks keagamaan menjadi suatu keniscayaan. Karena hasil pemahaman ulama terhadap ajaran Islam zaman dahulu relevan untuk menghadapi persoalan di zamannya.

Perempuan dalam Lintasan Sejarah

Hampir di seluruh belahan dunia, sejarah memandang laki-laki sebagai manusia yang dijunjung tinggi dan tidak memiliki kecacatan, baik yang disebabkan oleh ajaran agama maupun oleh konstruksi sosial-budaya. Dengan demikian, sejarah laki-laki adalah sejarah kebenaran universal. Untuk itu, dalam konstruksi kesejarahan sekarang, kita tidak bisa menyangkal kalau laki-laki memiliki peran yang sangat vital dan menentukan dalam menciptakan wacana sejarah yang bias laki-laki. Pada sisi lain, pandangan seperti ini tidak terjadi pada diri perempuan.

Dalam wacana Islam sendiri, pembicaraan tentang perempuan merupakan hal yang cukup banyak menyita perhatian, terutama dalam perkembangan akhir-akhir ini. Hal ini paling tidak, bisa dilihat dari banyaknya buku yang ditulis secara khusus menyoroti kedudukan perempuan dalam Islam. Buku-buku ini tidak hanya tersebar di negara-negara Islam, tetapi hampir tersebar di seluruh dunia. Penulisnya pun tidak hanya dari kalangan Islam, tetapi juga dari kalangan intelektual non-Islam (Islamisis) yang berminat mengkaji perempuan Islam. Terlepas dari apakah bermanfaat bagi upaya pemberdayaan perempuan atau justeru kontraproduktif, yang jelas gejala ini merupakan perkembangan yang baik bagi pengembangan studi tentang perempuan dalam Islam.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang perempuan dalam lintasan sejarah ini, penulis berusaha memaparkan secara singkat bagaimana kedudukan perempuan dalam wacana kesejarahan mulai dari pra-Islam masa kedatangan Islam.

Dalam memandang posisi kaum perempuan pada masa pra-Islam, mayoritas intelektual dan sejarawan, terutama dari kalangan Islam, melihatnya sebagai sebuah gambaran kehidupan yang sangat buram dan memprihatinkan. Perempuan dipandang sebagai makhluk tak berharga, menjadi bagian dari laki-laki (subordinatif), keberadaannya sering menimbulkan masalah, tidak memiliki independensi diri, hak-haknya boleh ditindas dan dirampas, tubuhnya dapat diperjualbelikan atau diwariskan, dan diletakkan dalam posisi marginal, serta pandangan-pandang yang menyedihkan lainnya. Mereka benar-benar tidak berdaya. Sebut saja, misalnya, model penguburan anak-anak perempuan, perkawinan paksa yang membudaya pada masa Arab pra-Islam, serta masih banyak persoalan krusial lainnya.

Di Mesir kuno Afrika, di zaman raja-raja Firaun, telah dibangun kuburan-kuburan besar berbentuk piramid untuk menyemayamkan raja-raja yang meninggal beserta harta dan para perempuan mereka. Di Tiongkok, kebiasaan mengubur hidup-hidup perempuan bersama mayat suaminya berlaku sejak 580 SM. Ketika Kaisar pertama meninggal dunia pada tahun 210 SM, isterinya yang tidak beranak dikubur bersama dia. Kepercayaan Hindu menyucikan perempuan dengan membakar hidup-hidup dirinya bersama suaminya.[2]

Pandangan demikian, ternyata tidak hanya berhenti pada sejarah perempuan pra-Islam di kawasan Timur Tengah, tetapi juga memiliki rujukan kultural dan historis yang jauh ke belakang. Dalam Undang-Undang Manu, misalnya, disebutkan bahwa kekuasaan mutlak kasta pendeta telah meruntuhkan ahlak dan mengguncang masyarakat. Sebagaimana pendeta, raja pun mereka anggap sebagai dewa, dan karena dewa senang akan musik dan menari, maka sejumlah besar gadis-gadis menari—yang sama sekali tidak bisa dikatakan suci lagi—diperbantukan pada kuil-kuil, dan “jasa-jasa” mereka dapat digunakan oleh pelaksana-pelaksana upacara. Bahkan agama Kristen telah ternodai oleh pandangan-pandangan kuno melalui tangan dan mulut para pendeta. Jhon Chrijsostom berkata, “Karena perempuanlah, setan memperoleh kemenangan dan karena itu pula sorga menjadi hilang. Dari segala binatang buas, perempuanlah yang paling berbahaya”. Kemudian Agustinus berharap, “moga-moga perempuan tidak lagi terlahir ke dunia. Hendaklah dijaga keras, jangan sampai para pemuda diperdaya oleh keturunan Eva (Hawa)”.[3] Banyak sekali perkataan-perkataan semacam itu yang dilontarkan oleh para pendeta Nasrani, yang sama sekali tidak pernah sekalipun diucapkan oleh Nabi Isa. Pandangan ini mencerminkan perempuan sebagai makhluk yang sangat lemah (dha’îf) dan dilemahkan (mustadh’afîn).

Dalam tradisi Yunani, yang dianggap sebagai pusat dan sumber peradaban dunia modern, juga terjadi perlakuan yang sama. Artinya, perempuan di sana tidak memiliki haknya penuh. Pada masa itu, masyarakat Yunani terbagi ke dalam tiga kelas sosial. Pertama, kelas yang terdiri dari orang-orang merdeka, dalam pengertian elit. Kedua, kelas pedagang. Ketiga, kelas hamba sahaya. Kelas hamba sahaya ini hidupnya diabdikan secara penuh untuk kelas kedua dan pertama.[4]

Bagi perempuan Yunani, pengabdian diri kepada kelas-kelas sosial yang lebih tinggi adalah tujuan hidup mereka. Perempuan menjadi objek yang spesifik. Sebaliknya, kondisi laki-laki, demikian perkasa. Misalnya, pada masa itu, laki-laki bisa mengawini perempuan tanpa ada batasnya. Kalau sudah dikawini, perempuan dianggap sebagai milik mutlak laki-laki yang mengawininya.[5] Artinya, perempuan bisa diperlakukan sesuai dengan kemauan laki-laki yang memilikinya. Pandangan perempuan sebagai benda ini sangat mewarnai tradisi Yunani dan belakangan ini mendapat kritik tajam karena ternyata berpengaruh juga terhadap konsep perkawinan dalam Islam.[6]

Laela Ahmed dalam bukunya, Women and Gender in Islam, menyatakan tentang Aristoteles sebagai berikut,

“Teori-teori Aristoteles mengkonsepsikan perempuan tidak hanya sebagai subordinat karena keharusan sosial, tetapi secara lahiriah dan biologis ia inferior, baik dalam kapasitas fisik maupun mental—dan dengan demikian dikehendaki oleh alam—untuk posisi yang patuh. Dia menyamakan peranan laki-laki dan perempuan laksana peranan jiwa atas tubuh, elemen pemikiran dan rasionalitas atas hawa nafsu. Laki-laki sebagaimana dinyatakan adalah superior dari sananya sedangkan perempuan adalah inferior, yang satu memerintah dan yang lain diperintah.”[7]

Lebih lanjut, masih tentang pendapat Aristoteles yang dikutip Laela Ahmed dari buku Historia Animalium, dikatakan bahwa karakter dasar laki-laki adalah lebih bulat dan sempurna sedangkan perempuan lebih mengharukan dan lebih pencemburu, lebih suka mengeluh, lebih cenderung marah-marah dan menyerang, lebih takut malu dan jaga diri, lebih banyak salah kata, dan lebih memperdaya.[8]

Dalam Undang-undang Hammurabi (1752 S.M), suami bisa menceraikan isterinya dengan mudah, terutama jika tidak bisa melahirkan anak, asalkan bersedia menjamin kesejahteraannya. Akan tetapi, hukum Asysyiria mengizinkan suami menceraikan isterinya, terlepas apakah suami memberikan sesuatu setelah bercerai atau tidak.[9]

Dunia Islam yang masyarakatnya mengaku menganut agama yang diyakini membawa ajaran yang diletakkan di atas prinsip keadilan dan anti perbudakan serta kezaliman, ternyata sebahagian besar kaum perempuannya belum dapat menikmatinya. Penilaian tentang harkat dan martabat diri mereka dapat dikatakan masih berdasarkan asumsi lama, peninggalan zaman jahiliyah. Bahkan boleh jadi asumsi tersebut mewarisi bagian dari ajaran-ajaran agama sebelum Islam, seperti halnya Yahudi dan Kristen/Katolik. Diungkapkan A. Nunuk Prasetyo Murniati sebagai berikut:

Informasi lain dapat dipelajari dari agama Yahudi, yang tradisinya kemudian dilanjutkan oleh agama Kristen/Katolik. Agama Yahudi mempunyai titik sentral pada “theophani di Gunung Sinai” (Sepuluh perintah Allah). Perintah ini dikembangkan menjadi aturan dalam Taurat yang menjadi hukum bagi kehidupan bermasyarakat. Hukum untuk perempuan juga didasarkan Taurat. Dalam Kitab Kejadian disebutkan perempuan dan laki-laki diciptakan sama seperti citra Allah (Kej.1:27). Dalam hal ini manusia dilihat dari orientasi Ilahi, kesucian, kesempurnaan, keagungan dan misteri. Tetapi dari perikopa lain Kej.2:18-24, memandang manusia dari orientasi duniawi, manusiawi, romantis, rapuh lemah, kesepian dan saling tergantung. Dalam perikopa: manusia jatuh ke dalam dosa (Kej.3:1-24), status perempuan dijadikan subyek penyebab dosa, maka “dihukum” dengan kesakitan pada waktu melahirkan dan “dikuasai” laki-laki. Permulaan “gambaran” tentang perempuan dari Kitab Kejadian ini kemudian diikuti oleh Kitab-kitab yang lain, seperti misalnya Amsal 31:10-31 memuat ajaran bagaimana isteri yang sempurna.[10]

Diskursus sejarah tentang perempuan dari masa pra-Islam sampai masa kedatangan Islam, tentu tidak dapat dilewatkan sebuah fase sejarah yang oleh kalangan intelektual Muslim disebut dengan istilah masa jâhilîyah.

Seorang penulis bernama Ahmad Khayyarat dalam bukunya yang berjudul Markâz al-Mar’ah fî al-Islâm menyatakan keadaan perempuan pada masa jahiliyah sebagai berikut:

”Perempuan pada masa jahiliyah terpasung dalam kerusakan yang diwariskan, pembebekan buta, kezaliman-kezaliman, serta kejelekan-kejelakan, sampai datangnya Islam dengan petunjuk dan wahyu, ajaran-ajaran, nasihat-nasihat dan arahan-arahannya, nilai-nilai dan semisalnya.”[11]

Pernyataan Ahmad Khayyarat mungkin ada benarnya, tetapi pernyataan ini tidak berarti ingin menggeneralisasi bahwa semua tradisi jahiliyah berarti negatif. Anggapan yang menyatakan semua tradisi jahiliyah negatif ini tidak dapat dibenarkan sebab Islam sebagai agama kultural juga mengakomodasi tradisi-tradisi jahiliyah, paling tidak tradisi yang sesuai dengan Islam. Oleh karena itu, dalam ilmu ushûl al-fiqh adalah istilah syar’un mâ qablanâ, artinya syari’at agama sebelum Islam.

Terlepas dari pengaruh masa jahiliyah terhadap Islam, yang jelas memang terdapat perbedaan antara perlakuan Islam dan perlakuan jahiliyah terhadap perempuan. Untuk lebih jelasnya perbedaan kedudukan kaum perempuan pada masa jahiliyah dan masa Islam, di sini akan dikemukakan ciri-ciri dasar perlakuan kaum perempuan pada masa jahiliyah yang ditolak oleh Islam. Tradisi dan budaya apa pun, kalau sesuai dengan ketujuh ciri ini, dapat dianggap sebagai jahiliyah, walaupun tidak terjadi pada masa jahiliyah dahulu.

Pertama, perempuan adalah manusia yang tidak dikenal oleh undang-undang. Perempuan dianggap bukan sebagai makhluk hukum sehingga tidak patut masuk dalam peraturan perundangan. Apabila masuk, pasti ia berada pada kedudukan yang tidak menguntungkan. Kedua, perempuan pada masa itu dipersepsikan sebagai harta benda. Sebagai harta, apabila sudah kita miliki, kita berhak melakukan apa saja sesuai dengan keinginan kita. Apakah kita jual lagi, atau kita pakai sendiri. Jadi, pada masa ini seorang suami sudah biasa menjual istrinya kepada orang lain.

Ketiga, menurut tradisi jahiliyah, perempuan tidak memiliki hak talak (cerai). Oleh karena itu, apabila diperlakukan apa saja oleh suaminya, isteri harus dengan sabar menerimanya sebab dalam kondisi yang buruk seperti ini, ia tidak bisa melepaskan ikatan perkawinan dari suaminya. Posisinya terus-menerus berada dalam ketergantungan. Keempat, perempuan tidak memiliki hak waris, tetapi malah diwariskan bagaikan tanah, hewan, dan benda kekayaan yang lain. Ketiadaan hak untuk mewarisi ini menunjukkan bahwa tradisi pra-Islam menghabisi kesempatan perempuan untuk hidup secara mandiri dan maju.

Kelima, perempuan tidak memiliki hak memelihara anaknya. Anak bagi masyarakat pra-Islam adalah milik keluarga laki-laki. Hal ini sesuai dengan garis keturunan yang mengikuti pola patrilineal. Keenam, perempuan tidak memiliki kebebasan membelanjakan hartanya. Dalam pandangan masyarakat jahiliyah, perempuan sendiri adalah harta. Bagaimana mungkin ia bisa membelanjakan harta sedangkan dirinya adalah bagian dari harta.

Ketujuh, penguburan bayi perempuan hidup-hidup. Ini merupakan tragedi terbesar dalam sejarah perempuan pra-Islam. Peristiwa ini merupakan salah satu hal yang langsung direkam oleh al-Qur’ân. Kalau kita amati, ketujuh tradisi tersebut di atas sangat berlawanan dengan apa yang akan dibawa oleh Islam.

Azas Monogami

Pada prinsipnya, secara mendasar tekstual, azas nikah dalam Islam adalah monogami. Karena persyaratan adil yang bersifat kualitatif tampaknya sulit untuk diwujudkan. Dikatakan dalam ujung Q.S. al-Nisâ/4: 3 bahwa: “Jika kamu takut tidak akan berlaku adil maka cukuplah satu orang isteri saja”. Memang, ketegasan pernyataan ketidakmampuan laki-laki untuk berlaku adil secara tegas dikatakan oleh Allah dalam Q.S. al-Nisâ/4: 129, “Kamu sekali-kali tidak akan mampu berbuat adil [kualitatif] di antara isteri-isteri(mu) kendatipun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderungan (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Nazarudin Umar mengatakan “Islam membolehkan suami beristeri lebih dari satu dengan syarat harus adil”. “Tapi, apakah laki-laki bisa adil? Kata laki-laki ‘bisa’, tapi kata Tuhan dalam Al-Quran tidak mungkin laki-laki bisa adil”, Ujarnya lagi.

Menurut Prof. Masjfuk Zuhdi[12] Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/madarat daripada manfaatnya. Karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam keluarga yang poligamis. Karena itu, hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami.

Kecenderungan praktik poligini, dalam tataran aplikasinya, penyumbang salah satu di antara kekerasan dalam rumah tangga [KDRT]. Penulis katakan “penyumbang salah satu di antara” maksudnya bahwa terjadinya kekerasan dalam rumah tangga bukan poligini semata-mata penyebabnya melainkan juga ada faktor lain yang turut menyumbangkan KDRT. Realitas menunjukkan bahwa, dalam keluarga monogami bisa terjadi KDRT, dapat terjadi karena faktor ekonomi, faktor pendidikan dan faktor lain dalam kehidupan ini.

Monogami diyakini sebagai sebuah prinsip dengan suatu pemahaman ajaran agama secara menyeluruh. Tegasnya, pemahaman keagamaan tidak hanya dipahami secara tekstual namun juga harus dipahami secara kontekstual berdasarkan realitas sosial. Penulis bukan hendak memaksakan pemahaman tertentu namun lebih menawarkan suatu pola pemikiran yang sosiologis. Mengapa demikian? Jika ditelusuri secara historis, ajaran agama Islam tentang nikah mengalami evolusi—kalau tidak dikatakan—bahkan revolusi. Karena zaman pra-Islam, umat manusia terutama laki-laki bebas memiliki isteri lebih dari satu bahkan ratusan. Namun kemudian setelah datang Islam, laki-laki tidak boleh sewenang-wenang ”menggaet” perempuan menjadi isterinya tanpa batas, ia hanya dibolehkan maksimal empat orang isteri. Nabi SAW dalam sebuah riwayat memerintahkan untuk menceraikan enam isteri seorang sahabat yang memiliki isteri sampai sepuluh orang. Kata Nabi SAW, ”Ambillah empat, ceraikan yang enam.” Evolusi ini, ternyata, tidak terbatas pada jumlah isteri namun juga pada hak perempuan. Semula perempuan sebagai harta yang diwariskan dan tidak memiliki hak mewarisi tetapi setelah kedatangan Islam di dunia ini wanita di samping memiliki kemerdekaan untuk memilih, juga perempuan memiliki hak untuk mewarisi harta ahli warisnya.

Problem Lanjutan dari Poligami

Poligami di sini harus dipahami sebagai seorang laki-laki memiliki isteri lebih dari satu, yang proses pernikahan isteri kedua dan seterusnya tanpa sepengetahuan isteri pertama. Pendekatan pemahaman ini lebih mendekati pemahaman antropologis. Dalam pemahaman antropologis, terma poligami dibedakan dengan terma poligini. Istilah poligini dipahami sebagai seorang suami memiliki isteri lebih dari satu namun proses pernikahan isteri pertama dan seterusnya sepengetahuan isteri pertama sehingga memungkinkan adanya kedamaian di antara isteri-isteri yang dimilikinya.

Apabila kita perhatikan secara cermat, ayat tersebut justeru merupakan peringatan Allah SAW akan pentingnya nilai keadilan yang bersifat kualitatif. Poligami secara jelas memang dibolehkan oleh Allah SAW sebagaimana tercantum dalam Surah al-Nisâ’ ayat 3, tetapi dengan syarat keadilan sedangkan keadilan itu sulit atau bahkan tidak akan bisa dicapai manusia karena hakikat dari keadilan adalah kemampuan manusia untuk mendistribusikan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat kualitatif (kasih sayang dan cinta) dan kuantitatif (nafkah, tempat tinggal, dan lainnya) secara adil kepada isteri-isterinya.

Sebenarnya, di sinilah letak konsep keadilan [’adâlah] yang dikehendaki oleh Surah al-Nisâ’ ayat 3. akan tetapi, para ahli fiqih selalu mendahulukan aspek mubâhah [kebolehan] dari pada aspek yang lebih penting, yakni ’adâlah (keadilan). Seharusnya, aspek ’adâlah inilah yang didahulukan atas mubâhah. Katakanlah, keadilan baik kuantitatif maupun kualitatif, merupakan prasyarat bagi bolehnya poligami. Apabila aspek keadilan sebagai prasyarat utama, mungkin poligami menjadi sulit dilakukan walaupun atas izin syara’. Keadilan yang semata-mata kuantitatif, sebagaimana dirumuskan oleh para ahli fiqih, lebih menguntungkan kepentingan laki-laki dari pada perempuan.

Lebih dari itu, ulama fiqih memahami bilangan dua, tiga, dan empat, dalam Surah al-Nisâ’ ayat 3 tersebut bukan sebagai finalitas (ihdâd) yang hanya berlaku pada masa kenabian. Padahal, ayat tersebut sangat bersifat sosiologis, historis, dan ekonomis. Sebagaimana telah disinggung di atas, jumlah empat merupakan terobosan yang berani dari islam sekaligus sebagai koreksi atas tradisi poligami tanpa batas yang berlaku saat itu.

Kemudian, kalau toh poligami itu memang boleh, dilihat dari perspektif ”munâsabah âyah bi al-âyah”, yang dibolehkan adalah mengawini janda-janda yang mempunyai anak yatim. Jadi, poligami di sini ada unsur karikatifnya. Akan tetapi, dalam realitasnya ayat ini oleh para pemegangnya sering dieksploitasi untuk kepentingan pribadi. Sering orang mengatakan bahwa dia melakukan poligami karena memang dibolehkan al-Qur’ân dan dilakukan oleh nabi SAW. Padahal, mungkin yang ada dalam hati mereka adalah keinginan untuk beristeri lebih dari satu. Mungkin, untuk kaum laki-laki tindakan seperti ini tidak apa-apa, tetapi bagi kaum perempuan, pasti sebaliknya. Orang sering lupa bahwa dirinya bukanlah Nabi SAW, dirinya adalah manusia biasa yang senantiasa jatuh dalam kealpaan.

Meskipun mengutip ’Abduh, al-Jurjânî memberikan alasan lain tentang kebolehan poligami yang belum pernah terbukti secara ilmiah.[13] Menurutnya, ada empat hikmah di balik poligami. Pertama, manusia terdiri dari empat campuran karena empat campuran inilah yang membentuk struktur tubuh manusia. Jadi, pantas kalau laki-laki diberi isteri empat. Lalu, persoalannya, mengapa hanya laki-laki yang diberikan hak untuk beristerikan empat? Bukankah perempuan juga manusia seperti laki-laki?

Hikmah kedua, menurut al-Jurjânî, karena empat berarti sesuai dengan sumber mata pencaharian yang empat, yakni pemerintahan, perdagangan, pertanian, dan industri. Masalahnya, sumber pekerjaan sekarang sudah mengalami perluasan yang tidak hanya empat, tetapi sudah berpuluh-puluh jenisnya. Apabila mengikuti logika seperti ini, apakah sekarang boleh beristeri lebih dari empat?

Hikmah ketiga, menurut al-Jurjânî, seorang yang beristeri empat dan adil, masa resesnya dalam menggilir selama seminggu adalah tiga hari. Ini menurut ulama fiqih dianggap cukup untuk mencurahkan kasih sayang. Masalahnya, bagaimana bisa mengukur kasih sayang hanya dengan waktu sehari sebagai keadilan? Pandangan ini sama sekali tidak memiliki landasan yang pasti dari al-Qur’ân dan al-Sunnah.

Di samping itu, dalam mengupas hikmah poligami, kitab-kitab fiqih cenderung memihak kepada kepentingan laki-laki. Sebagai misal, kalau tidak ada poligami dimungkinkan akan merebaknya perzinaan, dekadensi moral, dan sebagainya. Seorang penulis Indonesia Sa’îd Thâlib al-Hamadânî, tokoh al-Irsyâd, berpendapat bahwa poligami dibolehkan dalam Islam karena untuk kepentingan memperbanyak umat. Jalan untuk ini adalah dengan cara melakukan kawin. Menurutnya, negara-negara maju banyak membutuhkan sumber daya manusia. Lebih lanjut, Sa’îd Thâlib al-Hamadânî membuat pernyataan yang belum dibuktikan oleh dunia kedokteran bahwa seorang laki-laki memiliki kemampuan yang lebih kuat dalam membuahkan keturunan dibandingkan kaum perempuan dengan alasan siklus reproduksi laki-laki lebih panjang karena tidak mengenal menopause. Dari pada seorang laki-laki melakukan penyimpangan seksual kepada selain isterinya, sebaiknya berpoligami.[14]

Model penafsiran yang monolitik terhadap kasus seperti ini memang sering terjadi dalam fiqih. Seharusnya seorang ahli fiqih dalam menetapkan persoalan poligami terlebih dahulu harus melakukan pengamatan secara objektif, tidak hanya dari sudut pandang laki-laki, tetapi juga dari sudut pandang perempuan. Dalam perspektif filsafat fenomenologi, ahli fiqih harus menggunakan pendekatan empatik. Tidakkah kita berpikir bahwa sebagai seorang manusia, perempuan juga mempunyai kepentingan dan hati nurani. Kepentingan untuk hidup tenang dengan suami yang dicintainya tanpa diributi oleh pihak ketiga (wanita intim lain).

Menurut Syafiq Hasyim, kita harus kembali melakukan penelaahan ulang terhadap hukum poligami sebab poligami yang dibolehkan oleh agama pada tataran kehidupan sehari-hari telah dieksploitasi demi kepentingan nafsu manusia. Tidak jarang orang berpoligami karena ingin mendapatkan kepuasan seksual semata. Di samping itu, kalau dilihat dari segi manfaat dan kerugiannya, berpoligami tampaknya lebih banyak menimbulkan kerugian.[15]

Apabila kita melihat sejarah teologi-sosial poligami, tampak bahwa hal itu merupakan tindakan yang dikhususkan untuk menolong janda-janda dan anak-anak yatim yang terancam nasibnya.

Selain pertimbangan-pertimbangan di atas, masih ada pertimbangan lain yang jika kita perhatikan dengan saksama, dengan mengikuti teori munâsabah, akan memberikan kemungkinan lain dalam menentukan hukum poligami. Dengan teori ini, ayat poligami di atas dilihat sebagai ’athaf dari ayat sebelumnya yang berbunyi: Wa âtû al-yatâmâ amwâlahum ilâ amwâlikum innahû kâna hûban kabîrâ. Yang dimaksud yatim di sini adalah anak yang ditinggal mati oleh bapaknya sebelum menginjak masa pintar. Dengan demikian, poligami ditoleransi hanya kalau dimaksudkan untuk memelihara anak yatim. Akan tetapi, kalau ingin menolong anak yatim, mengapa harus mengawini ibunya? Saya kira jawaban yang baik adalah menolong siapa pun jangan dikaitkan dengan pamrih ini dan itu. Alangkah mulianya apabila menolong anak yatim, tetapi tidak dengan cara kawin lagi (poligami).

Timbul Kekerasan Rumah Tangga

Apabila kita menengok sejarah agama-agama besar selain Islam, dalam setiap ajarannya mesti terdapat konsep talak. Dari ketiga agama besar: Islam, Yahudi, dan Kristen, hanya Kristen yang melarang adanya perceraian [talak] dalam kehidupan rumah tangga. Pelarangan tersebut sampai sekarang masih dirasakan dampak dan pengaruhnya di belahan dunia yang penduduknya beragama Kristen bahwa ikatan perkawinan tidak akan putus kecuali oleh kematian salah satu pihak. Pada satu sisi, hal ini memang sangat baik bagi kehidupan umat manusia apabila kita bisa menjaganya. Akan tetapi, ketika terjadi persoalan yang tidak bisa diselesaikan kecuali dengan jalan cerai, hal ini juga akan mengakibatkan dilema. Dilematis karena pada satu pihak agama tidak membolehkan perceraian, tetapi pada pihak lain, tuntutan individu untuk bercerai sulit untuk dihindarkan. Mungkin yang terbaik adalah tidak bercerai dahulu, kecuali setelah perundingan-perundingan yang telah ditempuh untuk menghindari perceraian tidak menghasilkan apa-apa. Sebenarnya, pada kondisi seperti inilah perlu disyari’atkan perceraian.

Perceraian ini akibat dari berbagai hal yang membuat pasangan rumah tangga menjadi tidak damai dan tidak nyaman. Salah satu akibat perceraian adalah akibat adanya kekerasan dalam rumah tangga [KDRT]. Kekerasan dalam rumah tangga dapat diakibatkan oleh beberapa hal: (1) faktor ekonomi, (2) faktor pendidikan, (3) faktor kesetaraan, dan faktor lainnya.

Kekerasan dalam rumah tangga biasanya yang menjadi korban adalah isteri. Kekerasan dalam rumah tangga meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga. Dalam UU No. 23/2004[16] tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dijelaskan bahwa kekerasan fisik ini adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat, misalnya menampar, memukul, menarik rambut, menyundut dengan rokok, melukai dengan senjata, mengabaikan kesehatan isteri dan sebagainya. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang, bentuknya menghina isteri dan melontarkan kata-kata yang merendahkan dan melukai harga diri isteri, mengancam akan menceraikannya dan memisahkannya dengan anak-anak bila tidak menuruti kemauan suami. Kekerasan seksual meliputi: (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Sedangkan kekerasan ekonomi (penelantaran rumah tangga) dapat mengambil bentuk tidak memberi nafkah isteri, membatasi isteri dengan memanfaatkan ketergantungan ekonomi isteri, menguasai hasil kerja isteri, memaksa isteri kerja untuk memenuhi kebutuhan suami.

Data sebuah penelitian (lembaga di Jakarta) menyebutkan temuannya bahwa dalam jangka waktu yang sangat relatif singkat terjadi 171 kasus kekerasan atau penganiayaan terhadap isteri, namun hanya 17 korban (10 %) yang melaporkan kasusnya kepada polisi.

Sebuah penelitian menarik yang dilakukan Siti fatimah sebagaimana dituturkan Hj. Suniti di Kabupaten Cirebon pada tahun 2005-2006 ada 58 kasus perceraian (gugat cerai) akabit kekerasan dalam rumah tangga. Modus dari kekerasan berupa diterlantarkan, tidak dinafkahi lahir batin, suami kawin lagi, kekerasan fisik, ancaman akan dibunuh, suami selingkuh dan lainnya. Penelitian lain di Kota Cirebon juga menyebutkan telah terjadi kasus KDRT dengan 518 kasus perceraian, 218 di antaranya merupakan gugat cerai.

Dari hasil penelitian ini suami kawin lagi menjadi salah satu penyebab munculnya tindak kekerasan dalam rumah tangga.

Penutup

Pemahaman keagamaan dalam Islam yang bias gender, secara historis, terpengaruh oleh pemahaman penafsiran ajaran agama berdasarkan sumber informasi yang berasal dari luar ajaran non-Islam. Hal ini dapat dibuktikan, pemahaman tentang kejadian perempuan yang dicatat sebagai berasal dari tulang rusuk laki-laki bersumber dari ajaran Kristen terutama kitab Genesis ayat 10. Kemudian pemahaman model ini banyak diikuti oleh para mufassir Islam sehingga menyebarlah pemahaman yang bias gender ini seperti menjadi milik pemahaman umat Islam.

Pernikahan dalam ajaran Islam, secara prinsip, menganut azas monogami mengingat persyaratan keadilan dalam melakukan poligami dan poligini tampaknya sulit untuk diwujudkan. Yang diajarkan oleh Islam dalam kehidupan membangun biduk rumah tangga adalah agar kita menyuburkan sikap saling kasih sayang, saling memahami, menerapkan sikap persamaan [gender equality], dan inilah yang digambarkan oleh al-Qur’ân sebagai mu’âsyarah bi al-ma’rûf, pola kehidupan yang baik. Sisi lain munculnya tindak kekerasan dalam rumah tangga tidak jarang diakibatkan karena adanya wanita idaman lain—yang tidak jarang pula yang menjadi korbannya adalah para isteri.


[1] Dalam Dictionary of Social Sciences, istilah poligami dipahami sebagai seorang laki-laki memiliki isteri lebih dari satu dalam waktu yang tidak bersamaan, sedangkan poligini adalah seorang laki-laki beristeri lebih dari satu dalam waktu yang bersamaan. Dalam perspektif antropologis, poligami dipahami sebagai seorang laki-laki memiliki isteri lebih dari satu tanpa sepengetahuan isteri yang pertama, sementara itu poligini dipahami sebagai seorang laki-laki beristeri lebih dari satu, dalam proses menikahi isteri yang kedua dan seterusnya sepengetahuan isteri yang pertama. Dalam redaksi Arab: Poligami (al-zawâj al-ta’addudîy: ahad asykâl al-zawâj bitazawwuji bimuqtadhâhu syakhshun min ayy al-jinsaini min aksari min zawjin aw zawjatin). Poligini (ta’addud al-zawjât fî waqtin wâhidin). Lihat: A. Zaki Badawi, A Dictionary of the Social Sciences: English-French-Arabic, Beirut: Librairie du Liban Riad Solh Square,1978, hlm. 319.

[2] Baca lebih lanjut Ibnu Musthafa, Wanita Islam Menjelang Tahun 2000, Bandung: Al-Bayan, 1989, h. 73-

74

[3] Ibid, h. 74

[4] Muhammad Anas Qâsim Ja’far, al-Huqûq al-Siyâsiyah li al-Mar’ah, Kairo: Dâr al-Nahdhah al-‘Arabîyah, hlm. 1. Lihat juga: Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan Tentang Perempuan dalam Wacana Sejarah, Bandung: Mizan, 2001, hlm. 20

[5] Ibid., hlm. 14.

[6] Ibid. Dalam pandangan ahli tafsir modern bahwa penafsiran misoginis, pengaruh pemahaman non-Islam, kini saatnya untuk dikaji ulang sehingga tidak menyalahi pemahaman penafsiran yang sejalan dengan semangat persamaan [equality].

[7] Laela Ahmed, Women and Gender in Islam: Historical Roots of Modern Debate, hlm. 29

[8] Ibid., hlm. 29.

[9] Informasi mengenai Undang-Undang Hammurabi diterjemahkan oleh Theopile J. Meek, dalam Ancient Near Eastern Texts Relating to The Old Testament, disunting oleh James B. Pritchard, Princeton: Princeton University Press, 1950, hlm. 170-171. demikian juga Hukum Asysyiria diterjemahkan oleh J. Meek dalam buku yang sama, hlm. 184. Lihat juga Syafiq Hasyim, op. cit., hlm. 267-268.

[10] A. Nunuk Prasetyo Murniati, “Pengaruh Agama dalam Ideologi Gender”, dalam Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993), hlm. 7.

[11] Lihat Ahmad Khayyarat, Markâz al-Mar’ah fî al-Islâm, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, cet.II, hlm. 18.

[12] Menurutnya poligami bisa menjadi sumber konflik antara suami dengan isteri-isteri dan anak-anak dari isteri-isterinya, maupun konflik antara isteri beserta anak-anaknya masing-masing. Baca Lebih lanjut Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1989, h. 11-12

[13] Pendapat demikian sebenarnya tidak hanya dilontarkan oleh al-Jurjânî, tetapi hampir oleh semua ahli fiqh, guna merasionalisasi poligami. Padahal, kebenaran rasional semacam itu masih perlu dipertanyakan. Lihat: ‘Alî Ahmad al-Jurjânî, Hikmat al-Tasyrî’ wa Falsafatuhu, hlm. 12.

[14] H.S.A al-Hamadânî, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 1989, cet.III, hlm. 80-81.

[15] Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuan dalam Islam, Bandung: Mizan, 2001, hlm. 165.

[16] Lihat UU RI No. 23/2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bab III, pasal 5, 6, 7, 8, dan 9

0 comments: