-->

ads

Cadar, Celana Cingkrang dan Gerakan Radikal (Catatan Pinggir di Tengah Layangan Putus)

Rabu, 11 Agustus 2021

 

Cadar dan celana cingkrang (Gambar Jawapos.com)

 

Cerita “Layangan Putus” sedang menjadi trending topik, dengan bahasa yang ditata dengan apik, menyentuh dan mengaduk-aduk perasaan—terutama  seorang perempuan—dengan sabar membacanya sampai selesai.


Bagaimana tidak, cerita suami yang hilang, nyatanya ia sedang berhonymoon di Cappadocia—kota impian yang selama ini dirindukan istrinya—bersama istrinya yang baru, istri muda yang dinikahinya baru dua belas hari, dan pasti muda serta cantik.


Cerita ini mengalahkan issue nasional terkait kebijakan pemerintahan Jokowi jilid II terutama pada upaya deradikalisasi terhadap pemahaman keagamaan yang menjadi wilayah kerja Kementerian Agama. Bahkan kebijakan pemerintah melalui Menteri Agama yang oleh sebagian orang dinilai kontroversial menyangkut larangan bercadar bagi ASN.


Cadar, Celana Cingkrang dan Radikalisme

Menteri agama yang baru (ketika itu)—Jendral Fachrul Razi—mengeluarkan pernyataan tentang radikalisme, cadar dan celana cingkrang. Sampai-sampai Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mewanti-wanti Menteri Agama untuk berhati-hati dalam menangani radikalisme. Bahkan Mardani mengingatkan jangan sampai penanganan kelompok radikal dengan pendekatan cara keamanan dan atau pendekatan tempur.


Tentu yang menarik adalah diskursus tentang cadar, celana cingkrang dan radikalisme. Diskursus ini memang sudah lama terjadi—terutama menyangkut pemahaman pada cadar dan celana cingkrang—menjadi wilayah agama atau budaya yang kemudian menjadi indicator ciri keradikalan seseorang—walaupun perlu penelitian lanjutan apakah ada korelasi antara cadar dan celana cingkrang dengan radikalisme?


Pertama, tentang cadar. Cadar adalah kain penutup kepala atau muka (bagi perempuan). Niqab adalah terma syar’i untuk cadar yakni sejenis kain yang digunakan untuk menutupi wajah. Niqab dikenakan oleh sebagian muslimah sebagai kesatuan dengan jilbab (hijab).


Pada perspektif Islam menurut TGB Zainul Majdi sejauh yang ia baca dan ketahui, tidak ada dalam al-Quran dan hadits yang shahih terkait dengan kewajiban cadar. Menurutnya yang ada adalah wajah dan telapak tangan itu bukanlah aurat bagi perempuan. Nabi pernah mengatakan kepada sayyidah Asma’ binti Abu Bakar, melalui sayyidah Aisyah; “Apabila seorang perempuan telah masuk masa akil baligh maka tidak boleh terlihat kecuali wajah dan telapak tangan”.


TGB mengajak merenungkan ketika shalat, shalat merupakan saat yang ideal dan sempurna dalam menutup aurat. Tapi di saat sahalat itu wajah tidak ditutup, artinya wajah bukanlah aurat. Memang ada yang mendalilkan dikhawatirkan ada fitnah, maka shalatpun wajib. Tapi inikan “kalau-kalau” dan “kalau-kalau” bukanlah pokok hukum.


Ini pula yang disampaikan oleh mazhab Hanafi misalnya, bahwa wajah perempuan bukanlah aurat namun memakai cadar hukumnya sunnah dan menjadi wajib, jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.


Bagi Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU, “cadar itu budaya Arab, cadar itu bukan ibadah sama dengan jubbah atau gamis bagi laki-laki adalah budaya Arab. Mau pakai silakan, tidak juga, tidak masalah”. Penggunaan cadar tidak diasosiasikan dengan tingkat keimanan. Karena keimanan dan keislaman seseorang sejatinya dinilai dari sikap perilakunya”.


Kedua, tentang celana cingkrang. Menarik penuturan Emha Ainun Nadib untuk kita sikapi bersama bahwa dulu di Arab lambang budaya orang Arab—terutama orang-orang kaya—mengenakan pakaian yang berumbai-rumbai, panjang sampai menyentuh tanah. Seperti pakaian raja, atau kaisar. Abu Jahal sering memakai pakaian seperti ini. Tapi orang miskin—seperti yang diperlihatkan oleh Nabi—memakai pakaian seadanya. Tidak mungkin menggembalakan kambing dengan memakai pakaian seperti itu. Maka kata Cak Nun, Nabi Muhammad memberi pernyataan jangan memanjangkan kain untuk kesombongan. Stressingnya adalah dua hal; memanjangkan kain dan sifat sombong. Namun titik tekannya adalah pada kesombongan. Artinya, silakan mengenakan celana cingkrang untuk menjauhkan diri dari kesombongan demikian pula mafhum mukhalafahnya. Jadi, tidak dilihat pada kainnya.


Ketiga, tentang radikalisme. Pemahaman tentang gerakan Islam radikal paling tidak disebabkan oleh dua hal. Pertama secara internal, ada pemahaman bahwa di luar pengikut mereka yang tidak sepaham adalah thagut, thagut adalah kafir. Maka memerangi mereka adalah perintah agama. Oleh karena itu paham turunannya adalah bentuk negaranya harus berdasarkan Islam. Dalam sejarah Islam pernah muncul gerakan sempalan yang berpahaman seperti itu, yaitu khawarij. Kedua secara eksternal, munculnya gerakan-gerakan radikal efek dari penyerangan Amerika dan sekutunya terhadap negara-negara mayoritas berpenduduk Islam, misalnya Afganistan, Pakistan, Irak dan negara lainnya. Testimoni mantan PM Inggris Tonny Blair yang mengatakan bahwa “saya menyesal dan berdosa telah ikut sekutu untuk menyerang dan menghancurkan Irak yang pada akhirnya memunculkan gerakan radikal seperti ISIS.”


Dalam buku “Gerakan Salafi Radikal di Indonesia”, kriteria Islam radikal adalah: (1) kelompok yang mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung; (2) dalam kegiatannya mereka sering menggunakan aksi-aksi kekerasan, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan kelompok mereka, (3) secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas, (4) kelompok Islam radikal seringkali bergerak secara bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan.


Definisi Islam radikal dalam buku ini menurut Adian Husaini diambil dari buku Jhon L. Esposito yang berjudul Islam: The Straight Path. Muslim radikal adalah mereka yang (1) berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total, sehingga Islam tidak dapat dipisahkan dari politik, hukum, dan masyarakat, (2) seringkali menganggap bahwa ideologi masyarakat Barat yang sekuler dan cenderung materialistis harus ditolak, (3) cenderung mengajak pengikutnya untuk ’kembali kepada Islam’ sebagai sebuah usaha untuk perubahan sosial, (4) memandang bahwa regulasi-regulasi sosial yang lahir dar tradisi Barat, juga harus ditolak, (5) tidak menolak modernisasi sejauh tidak bertentangan dengan standar ortodoksi keagamaan yang telah mereka anggap mapan, dan tidak merusak sesuatu sesuatu yang mereka anggap sebagai kebenaran yang sudah final, (6) berkeyakinan bahwa upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat muslim tidak akan berhasil tanpa menekankan aspek pengorganisasian ataupun pembentukan sebuah kelompok yang kuat.


Apa yang Harus Dilakukan?

Buya Syakur Yasin mengatakan, jika kita nyaman pakai kacamata, tidak masalah tetapi jangan menyalahkan mereka yang tidak kacama. Bahkan Said Aqil Siradj mengatakan bercadar, bergamis dan berjenggot tidak ada salahnya tapi jangan menyalahkan mereka yang tidak berjenggot, bercadar dan bergamis. Jangan merasa paling sempurna Islamnya, karena berislam tidak dilihat dari penampilan  seseorang tetapi dari ahlaq dan moral.


Sisi lain juga, pemerintah tidak serta-merta mengeneralisasikan bahwa cadar, celana cingkrang identik dengan faham radikal. Felix Siauw misalnya menanggapi ketidaksetujuannya terhadap kebijakan Menteri Agama menyangkut larangan cadar bagi ASN. Menurutnya, “cadar itu debatable, sebeda-bedanya cadar tetap islami. Buka aurat, sebeda-bedanya pendapat tetap tidak islami.


Walau menurut Wamenag, “Semua pihak hendaknya dewasa menyikapi pernyataan Menteri Agama—khususnya terkait dengan penggunaan cadar dan celana cingkrang oleh ASN. Hal tersebut dilakukan hanya untuk penertiban dan penegakkan disiplin pegawai di lingkungan kementerian”.


Selanjutnya, ajaran dalam agama (Islam) itu menurut pandangan Harun Nasution bahwa Islam membawa kepada persatuan, tetapi pada saat yang sama juga membawa keragaman. Prinsip persatuan dalam Islam adalah ajaran-ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan dalam al-Quran. Jumlah ayat yang mengandung ajaran dasar ini sangat sedikit, terbagi dalam dua kategori besar ayat-ayat qath’i—ayat-ayat yang teksnya sangat jelas dan tegas arti dan maksudnya sehingga tidak diperlukan lagi interpretasi—serta ayat-ayat dzanni—ayat-ayat yang teksnya secara makna dan maksudnya tidak jelas dan tegas—sehingga boleh diberi interpretasi yang beragam. Sehingga ketika memasuki wilayah interpretasi harus saling bertasamuh, toleran dan saling menghormati karena sifatnya nisbi dan relative dan tidak memutlakkan pandangannya sendiri.

0 comments: