-->

ads

Covid-19; Profesor dan Si Anak Nakal

Sabtu, 14 Agustus 2021
Dahlan Iskan (Gambar Okezone.com)


Oleh: DR. H. Masduki Duryat, M. Pd.I*)


Minggu ini saya dapat kiriman dua tulisan yang menarik tentang Covid-19, yang tidak hanya menguras khazanah sisi intelektual, emosional keagamaan tetapi juga tentang kepedulian sosial. Pertama tulisan Profesor Muhibbin Syah, guru besar dan penulis buku yang sangat produktif tentang “Jangan ‘Mabuk’ Agama”; Kedua tulisan Dahlan Iskan wartawan senior yang juga mantan menteri tentang “Milenial Nakal”. 


Di saat pandemi Covid-19 di Indonesia terus menunjukkan fenomena kenaikan yang masif, dua tulisan ini patut dicermati dalam upaya memutus mata rantai laju ‘sang monster’ untuk terus memakan korban. Saat yang sama juga banyak yang mewartakan ‘kegaduhan’ konpensasi korban Covid-19 akibat ketidakakuratan data, dan an sich hanya berpikir keselamatan dan kepentingan individu—termasuk dalam hal beribadah—akibat keterbatasan ilmu dan kepekaan sosialnya daripada kepentingan kolektif keberlangsungan hidup bersama.


Covid-19 Indonesia Terkini

Pandemi Covid-19 di Indonesia terus menunjukkan gejalanya dengan kecenderungan dari waktu-ke waktu merangkak naik. Berdasarkan data hingga Senin (20/4/2020) ada tambahan kasus baru sebanyak 185, hingga kini ada 6.760 kasus Covid-19 di Indonesia, sedangkan di dunia juga mengalami kenaikan, hingga Selasa (21/4/2020) sudah mencapai 2,48 juta orang yang positif terinfeksi Covid-19, 170.455 pasien meninggal dunia dan 651.542 dinyatakan sembuh (Kompas.com). 


Sementara itu data sebaran Covid-19 di wilayah III Cirebon (Radar, 21/04/2020) Kota Cirebon; ODP 27 orang, PDP 6 orang, 1 orang meninggal. Kabupaten Cirebon; ODP 20 orang, PDP 7 orang, 3 orang positif. Kabupaten Indramayu; ODP 116 orang, PDP 32 orang, positif 2 orang. Kabupaten Majalengka; ODP 65 orang, PDP 3 orang positif 1 orang meninggal di RSHS Bandung. Kabupaten Kuningan; ODP 103 orang, PDP 38 orang, positif 4 dirawat 1 meninggal. 


Berbagai upaya sudah dilakukan oleh pemerintah untuk memutus mata rantai panyebaran Covid-19 ini. Walaupun kita ‘agak’ terlambat dibandingkan dengan negara lain. Malaysia saja—yang dulu dicurigai salah satu penyebar Corona di Indonesia—pemerintahnya segera melakukan tindakan pemeriksaan dan pengkarantinaan seluruh warga Malaysia yang kembali dari luar negeri dan menyatakan tindakannya tepat. Sekarang malah berbalik Indonesia menjadi penyebar virus ini, terbukti 43 mahasiswa Indonesia yang baru kembali dari Indonesia ke Malaysia dinyatakan positif terinfeksi Covid-19 (Radar, 21/04/2020). 


Terakhir upaya yang dilakukan 30 Maret 2020 Presiden Jokowi menyatakan Darurat Sipil dan pada 7 April 2020 Menkes menyetujui PSBB di Jakarta dengan Keputusan Menkes RI, yang kemudian disusul pada 10 April 2020 penerapan PSBB di Jakarta, dengan diikuti beberapa daerah penyangga Jakarta di Jawa Barat. Dengan menafi’kan usulan Dewan Guru Besar FKUI untuk melakukan kebijakan lockdown pada 26 Maret 2020 seperti yang dilakukan oleh Malaysia, Singapura, Timor Leste, Philipina termasuk India pada 24 Maret 2020. Pada 26 Maret 2020, beberapa negara sudah memperingatkan warganya untuk segera meninggalkan Indonesia


Profesor Muhibbin Syah, Jangan “Mabuk Agama”

Di Indonesia, tidak semua sepaham tentang tindakan yang dilakukan dalam upaya memutus mata rantai pandemi Covid-19 ini. Himbauan untuk melakukan sosial distancing, pembatasan sosial atau menjaga jarak yang dimaksudkan untuk menghentikan atau memperlambat penyebaran Covid-19 termasuk dalam beribadah—terutama di wilayah zona merah—dengan himbauan beribadah di rumah untuk sementara melalui fatwa MUI. Mendapat penolakan oleh mereka yang dalam bahasa Prof. Muhibbin Syah golongan yang rajin beribadah tetapi minus ibadah sosial. Golongan yang mengklaim dirinya kaum paling beriman dan paling mempercayai bahwa kematian itu sudah tercatat sejak zaman ajali sebelum ada Covid-19. Jargon mereka “jangan takut mati oleh Corona, karena Corona adalah Makhluk Allah, seperti kita”. 


Agaknya, mereka lupa tentang ayat-ayat yang mengajarkan tentang wajibnya memelihara jiwa, hifzub nafs. Mereka juga oleh Prof. Muhibbin Syah seperti orang dungu yang sedang “mabuk agama” sehingga larangan membinasakan diri pun dilanggar. Bagaimana Tuhan dengan sangat tegas dalam QS. 2: 195 menyatakan “… dan janganlah kalian menjatuhkan diri dengan tangan kalian sendiri ke dalam kebinasaan”. Mereka juga tidak memahami kaidah-kaidah ilmu agama seperti ushul fiqh yang memuat logika dalam menetapkan hukum-hukum fiqh, misalnya “dar’u al-mafasidi muqaddamu ‘ala jalbi al-mashalih”.  Jika ajakan penggemar ibadah spiritual yang nihil ibadah sosial karena kebodohannya ini diindahkan, maka Prof. Muhibbin Syah memprediksi penyebaran Covid-19 akan semakin meluas. Tidak hanya menimpa komunitas kalangan dhu’afa tetapi juga kalangan orang-orang kaya, karena Covid-19 akan menyerang siapapun tanpa mengenal kasta. 

Sehingga diperlukan orang-orang yang peduli untuk menyelamatkan orang lain melalui ibadah sosial, tidak hanya mengedepankan ego pribadi apalagi dengan berbalut ‘jubah’ agama untuk menutupi kebodohannya. 


Si Anak Nakal-nya Dahlan Iskan

Salah satu kepedulian untuk melakukan ibadah sosial, di tengah keprihatinan semakin mewabahnya Covid-19 adalah yang diperlihatkan oleh Ahmad al-Ghazi Ramadhan. Dahlan Iskan menyebutnya si anak nakal, yang begitu tamat SD di Bangka ia ‘dibuang’ ke Tasikmalaya—mengikuti bibinya—untuk sekolah di sana. Sebelum kemudian Ghazi balik lagi ke Bangka untuk melanjutkan SMA di Pangkal Pinang kemudian melanjutkan kuliah di Bandung, mengambil jurusan perhotelan di Politeknik Padjadjaran, tapi karena bukan ‘passionnya’ ia hanya setahun kuliah di situ kemudian masuk D-3 STT Telkom (Telkom University) Bandung. 


Inilah milenial sejati—yang tidak memikirkan proyek Rp 4,6 triliun sama sekali—Ahmad Al-ghozi menurut Dahlan Iskan pada tulisannya tentang “Milenal Nakal”. Ia menciptakan aplikasi untuk diabdikan kepada negeri: tracking Covid-19 masa kini. Ia tidak mengharapkan bayaran, apalagi jabatan. Ia sampai tidak tidur lima hari lima malam. Sampai aplikasi itu selesai. Ia tidak memikirkan gajinya di perusahaan yang harus dipotong 50 persen. Sekali lagi, ia tidak peduli. Wabah Covid-19 itu begitu memukul nuraninya. Terutama ketika ada berita sampai ada dokter yang meninggal dunia.


Awalnya Al-ghozi merasa prihatin dengan penampilan data Covid-19 yang amat tradisional—yang tiap hari disiarkan di televisi itu—ia ingin menciptakan aplikasi dalam bentuk peta dan data. Yang petanya bisa diklik. Lalu muncul data di balik peta. Maka Alghozi menciptakan aplikasi 'FightCovid19.id'.  Provinsi pertama yang menggunakan aplikasi itu adalah Bangka Belitung. 


Dengan aplikasi Al-ghozi itu siapa pun yang datang ke Bangka Belitung terkontrol ketat. Semua penumpang dimonitor lewat aplikasi. Baik yang lewat laut maupun udara. Penumpang pesawat yang turun di Pangkal Pinang (Bangka) maupun di Tanjung Pandan (Belitung) dipasangi gelang elektronik. Mereka juga harus men-download aplikasi FightCovid19.id. Lalu mengisi segala pertanyaan yang ada di situ. Termasuk nomor ponsel dan alamat email. Selesai mengisi semua itu penumpang mendapat kiriman kode—lewat email. Dengan kode itu penumpang melaporkan kondisi kesehatan mereka. Termasuk suhu badan—hasil pemeriksaan di bandara itu.


Aplikasi tersebut lantas terhubung dengan gelang elektronik. Dari sini petugas di pusat data di BNPB Provinsi Babel bisa tahu: jalan ke mana saja si pemakai gelang. Kalau pemakai gelang itu meninggalkan rumah layar monitor di BNPB berubah warna: orange.


Maka petugas BNPB menghubunginya, untuk apa meninggalkan rumah. "Ada yang bilang ke rumah orang tua. Ada juga yang mengatakan belanja," ketika ditanya, jawaban mereka. 


Sejauh ini tidak ada yang membangkang. Mereka tahu, melanggar akan dikenakan sanksi. Yakni diisolasi beneran. Lokasi isolasi (beneran itu) sudah disiapkan di ruang Pusdiklat milik Pemprov Babel. Lewat aplikasi itu pemakai gelang juga bisa minta bantuan BNPB. Misalnya kalau ia merasakan tanda-tanda sakit. Tinggal klik satu tanda di aplikasi pada ponselnya. Ia bisa dijemput ambulans oleh BNPB.


Penutup 

Dua tulisan ini bagi saya sangat menarik dan inspiratif, harus ada kemauan bagi kita untuk bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi kepentingan orang banyak. Seperti salah satu kalimat bijak yang sering kita dengar; “Kini bukan saatnya lagi memanfaatkan orang lain untuk kepentingan kita, melainkan berpikir sebaliknya harus bisa bermanfaat bagi orang banyak. Jika belum bisa berbuat baik, setidaknya jangan lakukan sesuatu yang menyakiti orang lain dalam bentuk perkataan maupun tindakan”. 

Wallahu a’lam bi al-shawab


Penulis adalah dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Wirapanjunan, Kandanghaur, Indramayu


0 comments: