-->

ads

Mencinta

Sabtu, 21 Agustus 2021
Ilustrasi Cinta (Gambar Kompas.com)

 Oleh: Masduki Duryat

(Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon)


“Engkau adalah manusia yang baik, jika orang lain merasa bahagia saat kau berada di samping mereka”.


Dalam buku Slilit Sang Kiai Emha Ainun Nadjib menulis, tidak seorang manusiapun tidak pernah benar-benar kehilangan cinta. Maka jika ada pembunuhan, sesungguhnya sangat sulit dipahami. 


Kecuali jika kita sudah betul-betul menjadi ter-jahat, ter-bandit, ter-penghianat, bahkan ter-binatang dan ter-setan. Kita yang menikamkan pedang pada dada saudara kita mencatat suatu tingkat kebinatangan yang lebih tinggi dari sang mayat.


Membunuh karakter, menjatuhkan harga diri saudaranya, dan bahkan menyingkirkannya hanya untuk sebuah syahwat kekuasaan. Atau untuk mengamankan kekuasaan, menertibkan keadaan, memelihara ketegangan antargolongan, mengadu domba, menstabilkan penindasan—mengatasnamakan rakyat—atau membunuh saudaranya karena tidak dianggap saudara dan dipojokkan oleh kekuasaan dan permusuhan. Menganggap paling benar interpretasinya, memutlakkan pandangannya dan menyalahkan yang tidak sepaham. Seringkali difragmentasikan di tengah-tengah masyarakat kita.


Abu Jahim; Sebuah Cermin

Abu Jahim bercerita, ketika perang Yarmuk, saya sedang mencari saudara sepupu yang berada di barisan terdepan. Sambil membawa air untuk membantunya, barangkali kehausan. Tatkala saya menjumpainya dia sudah terbaring berlumuran darah. Dia mengerang kesakitan, dan tipis harapan untu bisa hidup. Melihat keadaannya, saya bergegas untuk menghampirinya dan memberinya minum. Tetapi belum sampai saya memberinya, terdengar seseorang berteriak, “berikanlah saya air”. Mendengar suara itu, sepupu saya meberi isyarat agar melayani orang itu terlebih dahulu dan memberikannya air minum. Maka saya menghampirinya, ternyata saya kenal betul, ia adalah Hasyim Ibn Abbas. 


Sebelum saya memberikan air minum kepadanya, terdengar orang mengerang dan meminta minum. Hasyim mengisyaratkan agar memberikan air minum kepada orang yang mengerang di dekatnya. Di saat saya hendak menghampirinya, ia pun telah mati syahid.  Lalu saya buru-buru menemui Hasyim, namun Hasyim pun telah mati syahid. Tanpa menunggu lama, saya buru-buru menemui saudara sepupu. Sungguh tidak tahan rasa hati saya, karena ternyata saya dapati dia juga telah mati syahid. 


Apa artinya? Cinta telah membangun kebersamaan, cinta mengajarkan solidaritas tanpa batas. Cinta adalah sharing, kata Jalaluddin Rakhmat. Cinta bernilai universal, demikian pula kerjasama atas nama kemanusiaan. 


Rasulullah pernah bersabda; “Tolonglah saudaramu, baik yang berbuat dhalim maupun yang didhalimi. Menolong orang yang berbuat dhalim adalah mencegahnya dari berbuat kedhaliman”. (HR. Anas Ibn Malik).  Menolong orang—termasuk pemimpin—yang berbuat dhalim juga bentuk cinta. Kerjasama menebar kasih dalam situasi pandemi Covid-19 yang melahirkan tujuan bersama (comman goal) untuk melawannya, tak heran jika rasa empati dan kepedulian berbagai pihak terhadap nasib sesama tumbuh luas di tanah air dan di seluruh dunia juga bentuk cinta.


Rasulullah; Cintanya Tak Berbatas

Nilai-nilai bermuatan keluhuran yang diperlihatkan oleh para sahabat nabi adalah buah dari warisan teladan Rasulullah. Teladan indah itu berkesan sangat dalam bagi pengikut dan bahkan orang-orang yang pernah memusuhinya. Tidak ada satupun yang menisbatkan sifat buruk kepada beliau, kecuali atas dasar kebohongan dan dilatarbelakangi rasa benci dan sikap arogansi. 


Beliau selalu menebar senyuman, menjenguk sahabat atau tetangganya yang sakit, peduli terhadap orang lain. Cinta kasihnya kepada ummatnya jauh melampaui kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya.


Peristiwa yang sangat fenomenal, di saat beliau mendakwahkan Islam ke kota Thaif. Harapan mendapatkan sambutan hangat, sebaliknya mendapatkan penolakan dan caci maki dari penduduk Thaif. Beliau dilempari batu sepanjang jalan, darah mengucur deras dari tangan dan kakinya. Tapi tidak sedikitpun beliau memperlihatkan rasa marah dan kesal. Sebaliknya dari mulutnya keluar kata-kata mulia saat didatangi Malaikat Jibril dan Malaikat penjaga gunung yang siap untuk menimpakan gunung ke penduduk Thaif sebagai azab atas perlakuan mereka. 


Malaikat yang bersama Jibrl setelah mengucapkan salam berkata kepada Nabi, “Wahai Muhammad, jika engkau mau, aku bisa menimpakan akhsyabain (dua gunung besar di mekkah, yakni gunung Abu Qubais dan gunung al-Ahmar) kepada mereka”. 


Rasulullah menjawab, “(tidak) justru aku berharap supaya Allah Azza Wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka, orang yang beribadah kepada Allah semata. Tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua”. 


Bahkan pada catatan Yunan Nasution, setelah terhindar dari bahaya dan sampai di tempat yang aman di luar kota Thaif. Saat itulah Nabi yang mulia berdoa dengan diliputi jeritan hati yang  mengharukan--tanpa kebencian--tapi penuh harapan:


“Ya Allah, kepada-Mu lah aku mengadukan kelemahan akan kekuatanku, dan sedikitnya daya upaya dan kehinaanku di hadapan manusia, ya Tuhan yang Maha Penyayang. Engkaulah yang melindungi orang-orang yang lemah dan tertindas. Engkaulah ya Allah yang berwenang, kepada siapa Engkau aku serahkan. Apakah kepada musuh  yang jauh dan benci kepadaku, atau kepada kawan yang akrab dan telah Engkau berikan kekuasaan mengurus urusanku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka yang selainnya tidak lah aku hiraukan, asal Engkau melimpahkan keafiatan dan kelapangan kepadaku. Aku berlindung kepada nur wajah Engkau yang mulia, yang menyinari langit dan bumi, memperbaiki semua urusan di dunia dan akhirat. Semoga janganlah Engkau menurunkan kebencian kepadaku. Kepada-Mu lah kuserahkan semua celaan, sehingga Engkau hendaknya ridha. Tidak ada daya upaya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Engkau”. 


Kebencian; berpotensi Konflik Horizontal

Satu lagi peristiwa yang tak terlupakan dalam sejarah kenabian dalam konteks mencinta—dan pada saat yang sama menolak kebencian—dalam Islam. 


Dalam konteks ini, peristiwa pembebasan kota Mekah (Fathu Mekah) menarik untuk kita perhatikan bersama. Pasca pembebasan kota suci ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa masuk ke rumah Abu Sufyan, maka dia akan aman. Abu sufyan berkata, Hanya berapa orang yang dapat ditampung di rumahku? Kemudian Nabi bersabda kembali, Barang siapa yang masuk ke masjid, maka ia akan aman. Abu Sufyan berkata lagi, Hanya berapa orang yang dapat ditampung di masjid? Nabi pun kembali bersabd Barang siapa yang meletakkan senjatanya, maka dia aman, dan barang siapa yang mengunci pintunya, maka dia aman.


Di pintu Masjid Al-Haram Nabi melanjutkan sabdanya, “Wahai penduduk Mekah, apa yang kalian lihat terkait dengan perbuatanku terhadap kalian? Mereka menjawab, Baik, wahai saudara yang mulia dan anak saudara yang mulia. Nabi bersabda kembali, Pergilah, kalian semua dibebaskan”. 


Pada peristiwa yang bersejarah ini tampak terlihat semangat persaudaraan Nabi Muhammad SAW. Tidak ada balas dendam dalam hati Nabi dan para sahabatnya terhadap penduduk kota Mekah. Justru yang ada adalah kasih sayang terhadap sesama, menebarkan perdamaian dan kerukunan, dan menjauhi permusuhan.


Padahal ditilik dari sejarahnya, penduduk kota Mekah seringkali menzalimi dan mengintimidasi Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya, terutama sebelum umat Islam hijrah ke Madinah. 


Seandainya Nabi atau para sahabatnya pun membalas perlakuan yang diterima umat Islam dahulu, mungkin juga masih bisa dipahami. Mengingat ‘keji’nya aksi kezaliman yang kerapkali dilakukan oleh penduduk Mekah kepada Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Tapi bukan balas dendam pilihan Nabi Muhamamd SAW.


Sebaliknya dengan dasar cinta, beliau memaafkan dan membebaskan mereka dari dosa-dosa di masa lalu. Itu sebabnya, penduduk Mekah disebut sebagai orang-orang yang dibebaskan. Efeknya, mereka pun berbaiat masuk Islam.


Patut disayangkan, ajaran persaudaraan dengan landasan saling mencinta seperti ini seperti hilang dari kesadaran umat Islam Indonesia belakangan ini. Sebagian umat Islam sedemikian mudah terpancing provokasi pihak lain, mudah tersinggung, dan kehilangan nalar obyektif dan proporsional. Fanatisme primordial dan egoisme berlebihan menjadi pembakar api kebencian. Sesama umat Islam pun sering terjadi ketegangan, perselisihan, dan klaim pembenaran atas interpretasinya, bahkan pembunuhan.


Polarisasi umat Islam terbagi ke dalam segregasi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan pendidikan. Satu dengan yang lain tidak bisa menutupi kelemahan dan kekurangan masing-masing. Hubungan dengan non-muslim berjalan dalam bayang-bayang permusuhan dan kebencian yang berpotensi melahirkan konflik horizontal. Kekhawatiran dan kecemasan menyatu dalam kejiwaan dan kepribadian umat Islam.


Beberapa kasus yang terjadi belakangan ini (baik bermotif agama, ekonomi, budaya, pendidikan, dan politik) adalah bukti faktual dari rentannya persaudaraan internal umat Islam. Kematangan dan kedewasaan dalam menyikapi masalah yang ada masih jauh dari yang diharapkan. Kesan emosional subyektif masih sangat kuat di kalangan kita. 


3 comments:

Alfarisa mengatakan...

Masyaaallah, suka banget bacanya

Unknown mengatakan...

kesabaran beliau rasulullah Saw tidak di miliki pemimpin jaman now

Drs. Masduki Duryat M.Pd mengatakan...

Terimakasih, semoga bermanfaat