-->

ads

Salam Pancasila

Kamis, 19 Agustus 2021


SALAM PANCASILA

OLEH: DR. H. MASDUKI DURYAT, M. Pd.I*)


Baru beberapa hari dilantik menjadi Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Drs.  Yudian Wahyudi, MA., Ph.D., membikin gebrakan yang kontroversial dan cenderung membuat kegaduhan—pada pandangan pakar politik—baru di negeri ini. Kontroversi itu semakin menambah daftar panjang kebijakan beliau semenjak menjadi Rektor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta periode 2016-2020. 


Prof. Yudian Wahyudi semakin lekat dengan sebutan tokoh kontoversi di tahun ini, pernyataannya viral dan mengguncang kemapanan perikehidupan kebangsaan. Bagaimana tidak, selama ini dengan meminjam bahasa Prof. Yusril Ihza Mahendra bahwa diskursus tentang agama dan Negara telah selesai dengan disepakatinya Pancasila sebagai ideology Negara. Tiba-tiba  Kepala BPIP mengeluarkan pernyataan bahwa agama musuh terbesar Pancasila, dan yang teranyar tentang ‘Salam Pancasila’. Jauh sebelumnya, Prof. Yudian juga membuat kebijakan melarang penggunaan cadar bagi mahasiswi UIN Sunan Kalijaga. Secara argumentative beliau menyampaikan bahwa hadirnya UIN sebagai kampus yang Islam moderat, berkeadilan atau Islam Nusantara yang menitik beratkan pada cinta Tanah Air, hadirnya mahasiswa bercadar yang mempresentasikan HTI adalah bentuk penghianatan. 

Prof. Yudian Wahyudi (Gambar Detik.com)

Tentang Prof. Yudian Wahyudi

Prof. Yudian adalah lulusan Pondok Pesantren Tremas, Pacitan 1978 dan Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak, Yogyakarta pada 1979. Selain itu, ia meraih gelar Bachelor of Art (BA) dan doktorandus di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 1982 dan 1987, serta BA dari Fakultas Filsafat UGM pada 1986.


Tahun 1988, Menteri Agama Munawir Sjadzali membuat program Pembibitan Calon Dosen IAIN se-Indonesia. Orang yang dipilih syaratnya, IP memenuhi syarat sebagai dosen, bisa bahasa Arab dan Inggris. Yudian tidak bisa berbahasa Inggris waktu itu. Akan tetapi, dia mempunyai 10 terjemahan bahasa Arab ke Indonesia dan mempunyai ijazah BA dari Fakultas Filsafat UGM. Dia lulus dan masuk 20 besar. Kemudian, mengikuti training sembilan bulan dan enam bulan bahasa Inggris. Setelah mengikuti training baru berangkat ke Kanada, 1991. Tahun 1993, dia menyelesaikan MA. Selesai MA, dia kursus bahasa Inggris lagi untuk mempersiapkan diri meraih gelar doktor. Sebab, untuk meraih beasiswa program doktor, sangat berat. Selain bahasa Inggris, ia juga kursus bahasa Prancis. Perhitungan dia benar. Tahun 1994, ia mengikuti tes dan berhasil memenangkan beasiswa untuk doktor.


Yudian memecahkan rekor sebagai dosen pertama dari Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang berhasil menembus Harvard Law School di Amerika Serikat (AS) pada 2002-2004. Rekor itu diraihnya setelah menyelesaikan pendidikan doktor (PhD) di McGill University, Kanada. Ia juga berhasil menjadi profesor dan tergabung dalam American Asosiation of University Professors periode 2005-2006, serta dipercaya mengajar di Comparative Department, Tufts University, AS. 


Salah satu buku karya pemikirannya adalah “Hukum Islam antara Filsafat dan Politik. Jabatan terahirnya sebelum diangkat menjadi Kepala BPIP adalah Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta periode 2016-2020.


Agama Musuh Terbesar Pancasila

Prof. Yusril Ihza Mahendra, dalam tulisannya tentang “Hukum Islam dan Pengaruhnya terhadap Hukum Nasional”, bahwa di manapun di dunia ini—kecuali Negaranya benar-benar sekuler—pengaruh agama dalam merumuskan kaidah hukum nasional suatu negara, akan selalu terasa. Konstitusi India tegas-tegas menyatakan bahwa India adalah Negara sekuler, tetapi siapa yang mengatakan hukum Hindu tidak mempengaruhi hukum India modern. Ada beberapa studi yang menelaah pengaruh Buddhisme terhadap hukum nasional Thailand dan Myanmar. Hukum Philipina juga melarang perceraian. Siapa yang mengatakan ini bukan pengaruh dari agama Katolik yang begitu besar pengaruhnya di Negara itu, demikian pula hukum Islam mempengaruhi hukum di Indonesia. 


Prof. Yusril dalam tulisan lain tentang “Syariah dalam Konteks Pembangunan Hukum Nasional di Negara RI”, sampai pada kesimpulan bahwa Negara tidak melawan kesadaran hukum rakyatnya sendiri, apalagi Negara itu menganut kedaulatan rakyat dan demokrasi. 


Dengan demikian ruh ajaran agama mengkristal dalam Pancasila—sebagaimana dirumuskan dari sidang BPUPKI—yang disepakati bersama. 


Dengan logika berpikir seperti itu rasanya tidak elok mempertentangkan agama dengan Negara dalam hal ini ideology Pancasila kita. 


Pada pandangan Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, ia menilai; Pertama, seorang pejabat harus mau belajar, seksama dalam berkata, dan tidak keliru dalam membuat pernyataan; Kedua, secara substantive agama positive untuk Pancasila, karena dalam Pancasila ada Ketuhanan Yang Maha Esa; Ketiga, salah pandang dapat terjadi pula terhadap Pancasila yang negative terhadap agama; dan Keempat, jika Pancasila dipertentangkan dengan agama, maka yang muncul adalah konflik.


Atau jangan-jangan Prof. Yudian—sebagaimana disinyalir Prof. Steven Suteki pada acara ILC TV One—berpendapat bahwa agama adalah musuh terbesar Pancasila sudah terpapar paham Marxisme dan Leninisme serta Komunisme dengan indikasi serupa yang mengatakan bahwa agama sebagai racun. Walau kemudian banyak juga orang berpandangan bahwa itu sesuatu hal yang tidak mungkin, sebab Prof. Yudian itu kyai dan mantan rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta terpapar  komunisme 


Heboh dan viralnya berita Agama musuh terbesar Pancasila, kemudian membuat Prof. Yudian (Kepala BPIP) segera meluruskan bahwa menurutnya Pancasila sebagai consensus tertinggi  bangsa Indonesia harus kita jaga sebaik mungkin. Pancasila itu agamis karena ke-5 Sila Pancasila dapat ditemukan dengan  mudah dalam kitab suci ke-6 agama yang diakui secara konstitusional oleh NKRI. Namun pada kenyataannya, Pancasila sering diperhadapkan dengan agama oleh orang-orang tertentu yang memiliki pemahaman  sempit dan ektrim, padahal mereka itu minoritas—yang mengklaim mayoritas--. Dalam konteks inilah, “agama” dapat menjadi musuh terbesar karena mayoritas. Bahkan setiap orang, beragama, padahal Pancasila dan Agama tidak bertentangan—bahkan saling mendukung—melengkapi. 


Akankah pernyataan klarifikasi ini meredakan pandangan dan pendapat masyarakat? Bak bola liar, pernyataan dan pandangan Kepala BPIP ini terus mengglinding dan memanas—bahkan ada yang dengan terang-terangan menuntut mundur dari jabatannya—apalagi belum reda betul berita tentang agama musuh terbesar Pancasila, muncul lagi berita Salam Pancasila. 


Salam Pancasila

Ide tentang salam Pancasila menggantikan Assalamu’alaikum sejatinya bukan barang baru. Ketika Gus Dur (Kyai Abdurrahman Wahid) dengan ide Pribumisasinya dalam kontek budaya, berislam tidak harus sama dengan Arab. Kata “Gusti” tidak harus diganti dengan Allah, “sembahyang” tidak harus diganti dengan kata “shalat”, bangunan masjid, berbusana, tidak harus Arabisasi. Karena ketika agama bersentuhan dengan budaya setempat—suatu Negara—maka tampilan orang beragama akan berbeda satu dengan lainnya. Peci—kupluk--, baju koko, sarung itu tidak akan didapati di Arab, itu yang kemudian disebut dengan kearifan local. Tapi ketika kemudian Gus Dur menyebut Assalamu’alaikum dapat diganti dengan selamat siang, selamat pagi, selamat malam mendapatkan reaksi dari kalangan ulama dan kyai karena dalam Islam, salam bermuatan doa yang tidak berbatas ruang dan waktu. Walau kemudian banyak yang mendistorsi pemikiran Gus Dur dengan mengesampingkan ide besarnya, tentang kearifan lokal—yang kemudian sekarang menjadi payung di antaranya pemikiran tentang Islam Nusantara—di negeri ini. 


Prof. Yudian dengan Salam Pancasila-nya juga menimbulkan reaksi, walau kemudian ini juga harus disikapi dengan arif. Karena menurut Aris Heru Purnomo, Direktur Sosialisasi, Komunikasi, dan Jaringan BPIP, kepala BPIP tidak bermaksud menggantikan Assalamu’alaikum dengan salam Pancasila yang disalahtafsirkan banyak orang.


BPIP ingin menyampaikan tentang kesepakatan-kesepakatan nasional mengenai tanda dalam bentuk salam dalam pelayanan publik—dalam kaitan kesepakatannya—yaitu salam Pancasila. Hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kembali semangat kebangsaan serta menguatkan persatuan dan kesatuan bangsa yang mulai terganggu dengan menguatnya sikap intoleran.


Salam Pancasila ini pertama kali dikenalkan oleh Presiden ke-5 RI Megawati Soekarno Putri selaku Dewan pengarah BPIP di hadapan peserta Program Penguatan Pendidikan Pancasila di Istana Bogor tanggal 12 Agustus 2017, jadi bukan ide baru, bahkan sudah dilakukan oleh Bung Karno. 


Salam Pancasila dilakukan dengan mengangkat lima jari di atas pundak dengan lengan tegak lurus. Makna mengangkat kelima jari di atas pundak adalah sebagai symbol penghormatan seluruh elemen masyarakat terhadap lima Sila Pancasila. 


Cindy Adams dalam “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” mengatakan, “Aku menetapkan supaya setiap Warga Negara RI memberi salam kepada orang lain dengan mengangkat tangan, membuka lebar kelima jarinya sebagai pencerminan lima dasar Negara dan meneriakkan merdeka!”. 


Menurutnya, Bung karno terinspirasi dari Nabi Muhammad  SAW. “Sebagaimana Nabi Besar Muhammad  SAW., memperkenalkan salam untuk mempersatukan ummatnya, kamipun menciptakan satu salam kebangsaan bagi bangsa Indonesia”.


Blessing in Disguise

Sebagaimana diungkapkan oleh Haedar Nashir, seorang pejabat public harus hati-hati dalam menyampaikan pandangan dan pernyataannya. Apalagi sekarang kita masuk pada era post-truth, yang semua orang merasa memiliki otoritas untuk menafsirkan pandangan dan interpretasinya dan menjustifikasi pandangannya yang paling benar—walau bukan wilayahnya—dan di sisi lain tentu kita juga harus lebih arif dan bijaksana dalam menanggapi suatu pernyataan sebelum melakukan klarifikasi—dalam bahasa orang NU disebutnya tabayun—sehingga kesalahpahaman bisa dihindari. 


BPIP dengan dihuni para intelektual dan ditopang dana besar jangan membuat program yang menimbulkan pro dan kontra—yang berujung berbuah polemik dan perpecahan—misalnya akhir-akhir ini membuat lomba penulisan artikel yang membenturkan agama dan negara. Lomba “Hormat bendera menurut hukum Islam”, dan “Menyanyikan lagu kebangsaan menurut hukum Islam Islam” yang banyak menuai kritik. 


Walhal persatuan dan kebersamaan mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah di atas segalanya. Kita bangga sebagai sebuah bangsa yang berdiri di atas kemajemukan—multikultural sampai saat ini masih tetap tegak berdiri. 


*)Penulis adalah Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu

12 comments:

TechNet mengatakan...

muchamad adhi ramdhani hadir untuk melihat materi pak

Anonim mengatakan...

Bagus pak materinya, mudah dimengerti

Unknown mengatakan...

Ulfatun Hasanah hadir di materi Pancasila dan Alhamdulillah sudah menyimaknya pak..🙏

Tiara citra anggraini mengatakan...

Alhamdulillah materinya mudah dipahami pak,Tiara Citra Anggraini hadir pak

Unknown mengatakan...

khushi fitri anisha hadir pak, alhamdulillah materinya sangat bermanfaat 🙂

Unknown mengatakan...

Alhamdulillah, materinya sangat bermanfaat pak.

Unknown mengatakan...

Fina Apriliana hadir pak, Alhamdulillah pak materinya bermanfaat

Unknown mengatakan...

Fahmi Maulana hadir pak, Alhamdulillah untuk materinya sangat bermanfaat.

Unknown mengatakan...

Putihatul mugis hadir pa.. Alhamdulillah sudah menyimak materi . Dan sangat bermanfaat 🙏

Unknown mengatakan...

Alhamdulillah, bermaanfaat banget pak😁🙏

aminarahma13 mengatakan...

Alhamdulillah materinya sudah dipahami Pak, sangat bermanfaat. Aminaturrahma Hadiroh Pak

Unknown mengatakan...

Alhamdulillah bisa mempelajari dan membaca materi dari bapak🙏