-->

ads

Kesejahteraan Subyektif (Subjective well-being) bagi Guru Honorer

Rabu, 13 Oktober 2021
Guru Honorer (Dok. FB Kemdikbud RI)


 Oleh: DR. H. Masduki Duryat, M. Pd.I*)


Pendidikan merupakan kata kunci yang sangat diperlukan oleh anak-anak agar dapat memiliki ilmu pengetahuan dan nilai teolologis ke depannya. Pendidikan di Indonesia saat ini menjadi salah satu perhatian utama pemerintah agar anak-anak dapat menempuh sekolah minimal sampai jenjang SMA. Perhatian pemerintah tidak hanya pada peserta didik saja namun juga pada para tenaga pendidik—khususnya persoalan kualitas dan kompetensi guru—yang selama ini masih terus dioptimalkan. 


Guru merupakan profesi yang sangat vital dalam dunia pendidikan. Tanpa adanya guru, baik tujuan pembelajaran maupun proses pendidikan akan sangat sulit dicapai. Menjadi guru memang bukan pekerjaan yang mudah. Karena guru juga sangat berperan dalam membentuk karakter murid yang pada akhirnya berimplikasi juga terhadap aktivitasnya di lingkungan sekitarnya . 


Namun demikian di tengah keinginan untuk meningkatkan kualitas guru, masih menyisakan masalah misalnya persoalan kesejahteraan yang dapat menghambat terealisirnya keprofesionalan seorang guru. 


Salah satu bagian yang tak terpisahkan tentang guru adalah keberadaan  guru honorer yang sampai saat ini masih menjadi perhatian publik. Tapi keberadaannya belum diimbangi dengan langkah-langkah yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraannya.


Kesejahteraan terdiri dari kesejahteraan objektif dan subjektif. Kesejahteraan objektif adalah kesejahteraan yang dapat diobservasi, misalnya peningkatan taraf hidup dan peningkatan kebugaran. Sedangkan kesejahteraan subjektif adalah kesejahteraan yang dirasakan oleh individu yang bersangkutan, dan ini tidak senantiasa selaras dengan yang objektif. Seseorang yang hidup berkecukupan memiliki kesejahteraan yang relatif tinggi. Tetapi belum tentu ia bisa menikmati kehidupannya. Sebaliknya ada individu yang hidupnya pas-pasan namun ia menikmati kehidupannya, bersyukur atas berkah dan kelimpahan yang ia peroleh.


Akan tetapi permasalahan yang terjadi di lapangan adalah, para guru honorer tidak mendapatkan kesejahteraan subjektif, pun ditambah dengan tugas-tugas dan kewajibannya sebagai seorang guru yang tidak hanya mengajar. Darmaningtyas menjelasakan bahwa guru honorer di sekolah negeri memiliki permasalahan yang cukup kompleks. Honor yang didapat guru honorer di Sekolah Dasar Negeri rata-rata dibawah Rp 5000,00 per jam per bulan. Masih sangat jauh jika dibandingkan dengan UMP (Upah Minimum Pegawai) di Indonesia—apalagi belum ada standarisasi UMG (Upah Minimum Guru)—sangat Variatif. 


Selain itu, guru honorer juga inferior di antara orang dan juga guru yang sudah berstatus PNS. Pemberhentian tanpa pesangon juga dapat terjadi karena nasib guru honorer tergantung pada kebijaksanaan kepala sekolah. Guru honorer harus mengubur impiannya untuk menjadi PNS, karena sekarang pemerintah menetapkan kebijakannya dengan P3K. 


Kesejahteraan Subjektif

Selama bertahun-tahun pertanyaan mengenai “good life” telah direnungkan. Bagaimana individu memahami kualitas hidupnya dan membandingkan kesejahteraan subjektif (subjective well-being-nya) dalam masyarakat. Hal ini merupakan kesimpulan dari semua kualitas hidup dengan berdasarkan pada nilai-nilai yang dimilikinya, sehingga dapat kita simpulkan subjective well-being merupakan evaluasi positif individu, ketika evaluasi tersebut dapat dipengaruhi oleh budaya atau derajat sosial yang dimiliki individu.  


Hal tersebut senada dengan apa yang dikatakan oleh Diener, Lucas dan Oishi yang menyimpulkan bahwa subjective well being adalah konsep umum yang mencakup emosi yang menyenangkan, tingkatan rendah dari perasaan negatif dan kepuasan hidup yang tinggi. Namun pada kenyataannya, subjective well being ini tidak didapatkan oleh banyak guru yang telah mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan selama bertahun-tahun. 


Sebuah kesimpulan dapat disodorkan bahwa kesejahteraan subjektif atau Subjective Well-Being merupakan konsep umum yang menyatakan perasaan senang, postif dan puas atas apa yang didapatnya baik berupa finansial ataupun berupa promosi ataupun penghargaan. 


Ada dua pendekatan teori yang digunakan dalam kesejahteraan subjektif yaitu: Pertama, Bottom up theories adalah Teori memandang bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup yang dirasakan dan dialami seseorang tergantung dari banyaknya kebahagiaan kecil serta kumpulan peristiwa-peristiwa bahagia. Kedua, Top down theories adalah kesejahteraan subjektif yang dialami seseorang tergantung dari cara individu tersebut mengevaluasi dan menginterpretasi suatu peristiwa/kejadian dalam sudut pandang yang positif. Perspektif teori ini menganggap bahwa, individulah yang menentukan atau memegang peranan apakah peristiwa yang dialaminya akan menciptakan kesejahteraan psikologis bagi dirinya. 


Ada beberapa factor yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif; Pertama, harga diri positif;  Campbell menyatakan bahwa harga diri merupakan prediktor yang menentukan kesejahteraan subjektif. Harga diri yang tinggi akan menyebabkan seseorang memiliki kontrol yang baik terhadap rasa marah, mempunyai hubungan yang intim dan baik dengan orang lain, serta kapasitas. produktif dalam pekerjaan. Kedua, Kontrol diri; Kontrol diri diartikan sebagai keyakinan individu bahwa ia akan mampu berperilaku dalam cara yang tepat ketika menghadapi suatu peristiwa. Kontrol diri ini akan mengaktifkan proses emosi, motivasi, perilaku dan aktifitas fisik.; 


Ketiga, Ekstraversi. Individu dengan kepribadian ekstravert akan tertarik pada hal-hal yang terjadi di luar dirinya, seperti lingkungan fisik dan sosialnya. Penelitian Diener dkk (1999) mendapatkan bahwa kepribadian ekstavert secara signifikan akan memprediksi terjadinya kesejahteraan individual. Orang-orang dengan kepribadian ekstravert biasanya memiliki teman dan relasi sosial yang lebih banyak, merekapun memiliki sensitivitas yang lebih besar mengenai penghargaan positif pada orang lain; 


Keempat, Optimis. Secara umum, orang yang optimis mengenai masa depan merasa lebih bahagia dan puas dengan kehidupannya; Kelima, Relasi sosial yang positif. Relasi sosial yang positif akan tercipta bila adanya dukungan sosial dan keintiman emosional. Keenam, Memiliki arti dan tujuan dalam hidup. Dalam beberapa kajian, arti dan tujuan hidup sering dikaitkan dengan konsep religiusitas. Penelitian melaporkan bahwa individu yang memiliki kepercayaan religi yang besar, memiliki kesejahteraan psikologis yang besar.


Guru Honorer

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, guru adalah orang yang pekerjaan, mata pencaharian, atau profesinya mengajar. Sedangkan menurut Undang-Undang no 14 tahun 2005 tentang pasal 1 ayat 1 adalah:


“Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, melatih dan mengevaluasi peserta didik dan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah”.

Nata mengemukakan istilah-istilah yang berkaitan dengan penamaan atas aktivitas mendidik dan mengajar. Ia lalu menyimpulkan bahwa keseluruhan istilah-istilah tersebut terhimpun dalam kata pendidik. Hal ini disebabkan karena keseluruh istilah itu mengacu kepada seseorang yang memberikan pengetahuan, keterampilan atau penga-laman kepada orang lain.


Mulyasa mengemukakan bahwa tenaga pendidik honorer atau yang lebih sering disebut guru honorer adalah guru yang diangkat secara resmi oleh pejabat yang berwenang untuk mengatasi kekurangan tenaga pendidik, namun belum berstatus sebagai pegawai negeri sipil.


UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 menyebutkan juga bahwa  guru harus memiliki kualifikasi dan kompetensi akademik. Kualifikasi tersebut berupa pendidikan minimal sarjana atau progam diploma empat. Sedangkan kompetensi tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi tersebut bersifat holistik. Kemudian dijabarkan pada 19 tahun 2017 perubahan atas PP No. 74 Tahun 2008. Secara berkelakar DR. H. Amin Haidar—mantan direktur PAIS Kementerian Agama RI—menambahkan kompetensi spiritual bagi guru PAI. 


Hambatan dan tantangan dalam mengajar pun banyak dirasakan sehingga membuat guru honorer semakin terhimpit, tuntutan hidup yang semakin tinggi membuat guru honorer harus dapat lebih produktif mengatasi hambatan dan tantangan dalam mencerdaskan anak bangsa. Perjuangan guru honorer mempertahankan karirnya sebagai pendidik tidak lain hanya untuk mengabdikan ilmunya, padahal masih banyak pekerjaan lain yang lebih menjanjikan bila dibandingkan menjadi guru honorer, apalagi satus pendidkan seorang guru yaitu Srata Satu.


Kesejahteraan Subjektif pada Guru Honorer

Sudah menjadi rahasia umum, bagaimana posisi seorang guru honorer dalam satuan kerja terkait dengan hak atau gaji yang mereka peroleh. Setiap daerah mengalami dinamika dan tantangan yang berbeda-beda. Sebagai pembanding, beberapa kasus yang pernah ada terkait guru honorer, misalnya di Banjarmasin guru honorer bisa menerima gaji perbulannya hanya dengan Rp. 75.000/ bulan, di Bekasi berkisar Rp. 1.000.000/ bulan. Menjadi sangat ironi apabila mencoba dikomparasikan dengan buruh kasar yang bisa mendapat penghasilan Rp.3.300.000 perbulannya atau guru honorer di Yogyakarta misalnya, masih ada yang menerima penghasilan antara Rp. 500.000- Rp. 800.000/ bulan. Fenomena ini menimbulkan kesenjangan apabila dibandingkan dengan tenaga honorer di bidang lain, semisal kesehatan yang bisa mendapatkan kompensasi Rp. 1.900.000 di Kodya Yogyakarta sebagaimana dua sektor ini sama-sama sebagai sektor utama dalam pembangunan publik.


Diener mengenalkan teori evaluasi. Maksudnya kesejahteraan subjektif ditentukan oleh bagaimana cara individu mengevaluasi informasi atau kejadian yang dialami—mencakup evaluasi kognitif dan afektif—Evaluasi kognitif dilakukan saat seseorang memberikan evaluasi secara sadar dan menilai kepuasan mereka terhadap kehidupan secara keseluruhan atau penilaian evaluatif mengenai aspek-aspek khusus dalam kehidupan, seperti kepuasan kerja, minat, dan hubungan. Reaksi afektif dalam subjective well-being (SWB) yang dimaksud adalah reaksi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup yang meliputi emosi yang menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan.


Dalam menjalani profesi sebagai guru, individu berhak atas jaminan sebagai bentuk dari kesejahteraan hidup. Hal ini seperti dijelaskan dalam Undang-Undang nomor 14 tahun 2005, pasal 14. Hal ini menjadi indikasi bahwa subjective well being guru dapat dipengaruhi oleh besarnya tunjangan yang diterima guru seperti gaji pokok yang diberikan.


Selain itu, penghargaan lain yang diperoleh guru dapat berupa status sosial yang diberikan, karena kepuasan yang dirasakan guru tidak hanya dipengaruhi oleh kepuasan terhadap pekerjaannya tetapi juga adanya penghargaan dari lingkungan terhadap pekerjaanya. Hal ini diperkuat oleh penjelasan dari Saud, bahwa adanya pengakuan terhadap suatu profesi pada dasarnya ditunjukkan dengan adanya penghargaan meskipun tidak dalam bentuk finansial, melainkan dapat berupa status sosial.


Wallahu a’lam bi al-shawab

*)Penulis adalah Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu


17 comments:

DEDE TITI mengatakan...

,



<“Kesejahteraan Subyektif ( Subjective Well – Being ) Bagi Guru Honorer”>





DEDE TITI mengatakan...

<"Literasi tersebut sangat gamblang dalam mendeskripsikan bagaimana nasib dan kondisi kesejahteraan Guru yang berstatus tidak tetap saat ini atau yang yang sering disebut Guru Honorer ( non PNS). Guru non PNS yang seringkali disebut sebagai Pendidik , pembentuk karakter sebuah bangsa masih terabaikan hak- haknya baik dari status dan juga kesejahteraanya, hal itu disebabkan pemerintah seringkali membuat kebijakan yang kurang berpihak terhadap masa depan guru itu sendiri, dan seakan – akan abai akan kesejahteraan hidupnya, padahal disisi lain Guru non Pns atau guru honorer memiliki andil yang sangat besar dalam membentuk karakter anak bangsa sehingga sangat berpengaruh terhadap bagaimana kondisi masa depan suatu bangsa.
Perlu kita ketahui bersama bahwa diluaran sana ( diluar negri ) ada juga guru yang bersetatus honorer, namun mereka mendapatkan upah yang sepadan dan kesejahteraan yang sesuai dengan jerihpayah mereka, berbanding terbalik dengan nasib guru honorer di negri kita tercinta Indonesia.
Disisilain kami menilai penyematan status Honorer kepada guru sangat tidaklah elok, karena status honorer seharusnya hanya berlaku dalam dunia pekerjaan (buruh) yang nilai upahnya ditentukan oleh Jam kerja nya, sedangkan seorang pendidik tidak sama dengan buruh karena esensinya tugas seorang guru tidak terbatas oleh waktu (jam kerja), guru seringkali dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa karena tugas dan pekerjaan pendidik bukan sekedar transfer knowledge atau ilmu pengetahuan semata (aktifitas pedagogis) diruang kelas tetapi juga bertugas membentuk karakter anak bangsa agar sesuai dengan nilai- nilai Pancasila sehingga guru atau pendidik pun dituntut untuk bersikap dan berperilaku baik sehingga bisa menjadi suri tauladan bagi masyarakat di sekitarnya baik dilingkungan sekolah ataupun diluar sekolah.
Dari sini kita sepakat harus ada inovasi ,revisi dan reformasi terhadap kebijakan – kebijakan yang selama ini kurang berpihak terhadap guru honorer , kebijakan yang dinilai abai akan nasib guru honorer kita,yng kita butuhkan adalah kebijkan yang menjamin kesejahteraan bagi para guru honorer , sehingga apa yang didapatkan oleh mereka sesuai dengan tugas dan kewajiban mereka yang begitu besar.
Dengan demikian kesejah teraan bagi guru honorer tidak hanya bersifat subjektif namun juga bersifat objektif. Misalkan kesejahteraan yang didapat sesuai dengan UMP (upah minimum pegawai) di setiap wilayah di seluruh indonesia sehingga Guru hanya fokus mengajar dan fokus dalam meningkatkan kualitas pendidikan anak bangsa ini tanpa menghawatirkan keberlangsungan hidup keluarganya karena ia merasa sudah tercukupi segala kebutuhannya karena Negara hadir untuk nya, sehingga ia akan lebih mudah dalam meningkatkan kompetensinya dalam mendidik anak didiknya.
Tugas seorang guru sangat vital dalam mencerdaskan anak bangsa namun sangat menyedihkan dikala kesejahteraan yang didapat tidak sepadan dengan tugas nya yang begitu besar, maka disitulah Negara harus hadir sehingga tidak ada ketimpangan antara guru honorer dan guru PNS.
lalu bagaimana jika Negara masih enggan hadir untuk mereka guru honorer? Bagaimana bisa mereka survive atau bertahan ditengah himpitan biaya hidup yang semakin tinggi? Jawabannya adalah karena para guru honorer memiliki mental yang kuat dan nilai sepiritual yang tinggi sehingga terbentuklah dalam diri mereka faktor – faktor tertentu yang dapat mempengaruhi kesejah teraan subjektif mereka diluar faktor yang telah disebutkan dalam literasi (kesejahteraan Subjektif (subjective well – being) yaitu faktor Iman dan tawakal kepada Allah SWT. dalam benak mereka selalu tertanam bahwa mengajar atau mengamalkan Ilmu merupakan amal ibadah yang dapat meraka tuai di akherat kelak sesuai Hadist Nabi Muhammad SAW. Bahwa ilmu yang bermanfaat merupakan Amal Jariah atau amal sholeh yang terus mengalir pahalanya yang tidak akan pernah putus">

Melin mengatakan...

Terimakasih bapak atas penyajian literasi yang diberikan, saya memandang bahwa kesejahteraan guru indonesia saat ini masih sangat jauh dari kata sejahtera. Kesejahteran ini menjadi bagian yang amat penting dalam menunjang kualitas tenaga pendidik. Hal ini juga akan berkaitan secara langsung terkait gaji, lingkungan kerja, pengembangan profesional, maupun pemberian penghargaan ataupun pengakuan atas prestasi kerja yang dilakukan. Peningkatan gaji dan tunjangan secara tidak langsung dapat meningkatkan kompensasi finansial guru, meningkatkan skill ataupun keterampilan yang dimiliki.
Miris di abad 21 dengan segala kemajuan teknologi dan pengetahuan yang berkembang saat ini disebabkan oleh salah satu peran guru, namun apabila guru harus masih mengalami berbagai kesulitan dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab yang dimilikinya. Tak heran apabila kualitas guru yang rendah juga disebabkan oleh kesejahteraan guru yang rendah pula. Sehingga perlu sekali pemerintah untuk memberikan perhatian lebih terkait kesejahteraan guru indonesia, melihat bahwa Banyak guru di berbagai negara menerima upah yang tidak sebanding,Guru seringkali menghadapi beban kerja yang sangat tinggi, termasuk persiapan pelajaran, mengajar, menilai pekerjaan siswa, serta menghadapi tuntutan administratif dan tugas tambahan, Stres dan kelelahan menjadi masalah umum di kalangan guru, terutama karena tekanan dari tugas-tugas yang diemban dan tuntutan yang terus meningkat. Penyelesaian-penyelesaian ini menjadi bagian yang paling penting terutama penyelesaian masalah secara berkelanjutan.

Thesa Falahiyah Endang mengatakan...

Insightfull pak, terimakasih banyak pak harapanya di tengah keinginan untuk meningkatkan kualitas guru, masih menyisakan masalah misalnya persoalan kesejahteraan yang dapat menghambat terealisirnya keprofesionalan seorang guru.
Salah satu bagian yang tak terpisahkan tentang guru yaitu keberadaan guru honorer yang sampai saat ini masih menjadi perhatian publik. Tapi keberadaannya belum diimbangi dengan langkah-langkah yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Kesejahteraan terdiri dari kesejahteraan objektif dan subjektif. Akan tetapi permasalahan yang terjadi di lapangan adalah, para guru honorer tidak mendapatkan kesejahteraan subjektif, pun ditambah dengan tugas-tugas dan kewajibannya sebagai seorang guru yang tidak hanya mengajar. Darmaningtyas menjelasakan bahwa guru honorer di sekolah negeri memiliki permasalahan yang cukup kompleks.

Virgi Syafiq Ghiyats Brillianov mengatakan...

1. Pentingnya Kualifikasi dan Kompetensi Akademik bagi Guru: Memiliki kualifikasi dan kompetensi akademik yang tepat sangat penting untuk memberikan pendidikan yang berkualitas kepada anak-anak. Hal ini mencakup pendidikan formal seperti gelar sarjana atau diploma empat, serta kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Dengan memiliki kualifikasi dan kompetensi yang memadai, seorang guru dapat lebih efektif dalam mengajar dan membimbing siswa.

2. Tantangan yang Dihadapi Guru Honorer: Guru honorer seringkali menghadapi tantangan yang besar, terutama dalam hal kesejahteraan finansial. Gaji yang rendah atau tidak pasti membuat kondisi hidup mereka sulit. Hal ini dapat mengakibatkan kesenjangan dalam kesejahteraan dibandingkan dengan profesi lain yang mungkin menawarkan kompensasi yang lebih baik. Guru honorer juga harus lebih produktif dalam mengatasi tantangan tersebut demi mencerdaskan generasi bangsa, meskipun mereka sering kali tidak mendapatkan pengakuan atau imbalan yang setimpal dengan upaya dan dedikasi mereka.

3. Kesejahteraan Subjektif Guru: Konsep kesejahteraan subjektif sangat relevan dalam konteks guru. Selain dari aspek finansial, kesejahteraan subjektif juga dipengaruhi oleh evaluasi individu terhadap kehidupan mereka secara keseluruhan. Ini mencakup kepuasan terhadap pekerjaan, hubungan sosial, dan aspek-aspek lain dari kehidupan mereka. Penghargaan sosial juga penting dalam menentukan kepuasan kerja guru, karena pengakuan dari lingkungan dapat meningkatkan motivasi dan kepuasan kerja.

4. Pengaruh Tunjangan dan Penghargaan Sosial: Besarnya tunjangan yang diterima guru, termasuk gaji pokok, dapat memengaruhi kesejahteraan subjektif mereka. Undang-undang yang menjamin jaminan hidup bagi guru menunjukkan pentingnya pengakuan terhadap profesi ini. Selain itu, penghargaan sosial juga memiliki dampak yang signifikan terhadap kepuasan kerja guru, karena itu mengindikasikan pengakuan terhadap profesi mereka oleh masyarakat.

Eva Qomariyah mengatakan...

terimakasih bapak atas sajian bacaan yang sangat baik, semoga dengan adanya bacaan ini guru honorer dapat selalu diperhatikan dan mendapat keseimbangan antara tenaga kerja dan kesejahteraan yang di dapat.
pendidikan adalah hal yang perlu diperhatikan, dengan baiknya pendidikan maka akan baik pula generasi masa depan bangsa dan negara. maka untuk tenaga pendidik atau guru teruma guru honorer seharusnya sudah mendapatkan perhatian lebih dalam kesejahteraan tetapi di masa sekarang kesejahteraan masih menghantui guru-guru honorer karena hal ini dapat berdampak langsung pada kepuasan kerja dan produktivitas mereka. Standarisasi upah minimum guru juga penting untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan pengakuan yang pantas atas pekerjaan mereka.
guru honorer terus dihantui untuk meningkatkan status mereka.

KHAERI ZAMAN (Kelas MPI 2 A) MK : Analisis Kebijakan Pendidikan mengatakan...

Artikel tersebut membahas tentang kesejahteraan subjektif bagi guru honorer di Indonesia, yang seringkali mengalami tantangan dalam hal kesejahteraan dan pengakuan atas profesinya. Berdasarkan artikel tersebut, dapat disimpulkan beberapa hal :
1. Guru honorer memiliki peran yang sangat vital dalam dunia pendidikan, namun seringkali menghadapi masalah kesejahteraan yang dapat menghambat keprofesionalan mereka.
2. Kesejahteraan subjektif atau Subjective Well-Being (SWB) adalah konsep yang mencakup evaluasi positif individu terhadap kehidupannya, yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti finansial, penghargaan sosial, dan kepuasan kerja.
3. Guru honorer seringkali menghadapi tantangan dalam hal kesejahteraan, seperti rendahnya honor, ketidakpastian status, dan kurangnya pengakuan sosial terhadap profesinya.
4. Faktor-faktor seperti harga diri, kontrol diri, kepribadian ekstravert, optimisme, relasi sosial yang positif, serta memiliki arti dan tujuan hidup dapat mempengaruhi kesejahteraan subjektif seorang guru.
5. Kasus kesejahteraan guru honorer bervariasi di berbagai daerah, dengan beberapa daerah memberikan honor yang rendah dan tidak sesuai standar upah minimum.
6. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan guru honorer, perlu adanya tindakan yang konkret dari pemerintah dan stakeholders terkait untuk meningkatkan honor, menjamin status yang lebih pasti, dan memberikan penghargaan sosial yang layak bagi guru honorer.
Kesimpulannya, perbaikan kesejahteraan subjektif bagi guru honorer sangat penting untuk menjaga keberlangsungan pendidikan yang berkualitas. Hal ini membutuhkan kerjasama antara pemerintah, lembaga terkait, dan masyarakat untuk memberikan pengakuan dan dukungan yang lebih baik bagi guru honorer.

Diana Tasliman mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Diana Tasliman mengatakan...

“Kesejahteraan Subyektif ( Subjective Well – Being ) Bagi Guru Honorer”
Tugas seorang guru sangat vital dalam mencerdaskan anak bangsa namun sangat menyedihkan dikala kesejahteraan yang didapat tidak sepadan dengan tugas nya yang begitu besar, maka disitulah Negara harus hadir sehingga tidak ada ketimpangan antara guru honorer dan guru PNS.
lalu bagaimana jika Negara masih enggan hadir untuk mereka guru honorer? Bagaimana bisa mereka survive atau bertahan ditengah himpitan biaya hidup yang semakin tinggi? Jawabannya adalah karena para guru honorer memiliki mental yang kuat dan nilai sepiritual yang tinggi sehingga terbentuklah dalam diri mereka faktor – faktor tertentu yang dapat mempengaruhi kesejah teraan subjektif mereka diluar faktor yang telah disebutkan dalam literasi (kesejahteraan Subjektif (subjective well – being) yaitu faktor Iman dan tawakal kepada Allah SWT. dalam benak mereka selalu tertanam bahwa mengajar atau mengamalkan Ilmu merupakan amal ibadah yang dapat meraka tuai di akherat kelak sesuai Hadist Nabi Muhammad SAW. Bahwa ilmu yang bermanfaat merupakan Amal Jariah atau amal sholeh yang terus mengalir pahalanya yang tidak akan pernah putus.

Ratna gayatri MPI 2 A mengatakan...

Terima kasih Pak Doktor tulisannya sudah mewakili para guru honorer yang selama ini menjadi pertanyaan dalam benaknya terkait 'kesejahteraan subjective' memang miris sekali kalau memperhatikan penghasilan para guru honorer saat ini, sementara mereka untuk ingin mendapatkan gelar guru tetap baik itu PNS atau PPPK susahnya minta ampun penuh perjuangan yang berliku-liku, yang saya belum pahami untuk perhitungan honor kenapa jumlah jam itu dihitungnya per bulan sehingga tidak sesuai dengan bebannya, seperti masih banyak honorarium 25.000/jam seandainya guru tersebut mendapat 10 jam mengajar, berarti yang mereka terima hanya 250.000/bulan, ataupun full mendapat 30 jam mengajar berarti mereka terima 750.000/bulan, untuk di jaman sekarang 750.000 cukup untuk apa ? namun apabila hitungan honorarium guru honorer dikalikan 4 minggu, mungkin masih bisa dibilang manusiawi.
Dengan tulisan Pak doktor dan komentar dari teman-teman mudah2an guru honorer di negara kita mendapat perhatian dan menjadi skala prioritas. Untuk guru yang masih honorer selalu semangat dan terus berjuang, saat ini disyukuri terlebih dahulu yang penting ikhlas, In syaa Allah segala sesuatu indah pada saatnya.

IndahNurafidatunf112 mengatakan...

Guru tak ayalnya pena kedua bagi setiap individu. Peran yang di milikinya bukan hanya mengajarkan sesuatu yang baru bagi siswa-siswanya, namun juga memberikan contoh yang menjadi guguan dan bahan tiruan bagi siswa. Sehingga tak jarang banyak orang yang mengatakan bahwa guru ialah tonggak berdirinya suatu negara. Seharusnya dengan peran krusial yang mereka emban kesejahteraan mereka pun haruslah sepadan. Namun, pada realitasnya banyak sekali guru terutama di pelosok Indonesia yang hidup sangat tidak sejahtera setelah mengabdikan dirinya selama bertahun-tahun untuk mencerdaskan anak bangsa.

Bisa di bayangkan, berapa banyak guru honorer yang sudah di atas batasan umur yang masih bergaji dua ratus ribu perbulan nya. Hal tersebut menjadi salah satu masalah genting yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Oleh karena itu, kesejahteraan subjektif guru honorer di Indonesia menurut saya seringkali terabaikan, atau bahkan sangat terabaikan sampai menyisakan persoalan yang mendalam dalam sistem pendidikan nasional. Kesejahteraan subjektif, yang mencakup perasaan bahagia dan puas terhadap kehidupan, sangat terkait dengan motivasi dan produktivitas kerja seseorang. Namun, realitas yang dihadapi oleh guru honorer lebih sering bersifat precariat, yakni kondisi yang tidak menentu dan minimnya keamanan kerja. Dengan gaji yang jauh di bawah standar UMR dan kontrak kerja yang tidak menjamin kestabilan jangka panjang, tidak heran jika hal ini berdampak negatif terhadap kesejahteraan subjektif mereka.

Lebih lanjut, minimnya akses terhadap fasilitas pendidikan dan pelatihan profesional yang berkualitas menjadi salah satu hambatan utama dalam peningkatan kualitas hidup guru honorer. Dalam banyak kasus, guru honorer diharapkan memberikan hasil yang setara dengan guru tetap, namun dengan sumber daya dan dukungan yang jauh lebih sedikit. Hal ini menciptakan disparitas dalam standar pengajaran dan seringkali menempatkan guru honorer dalam posisi yang kurang menguntungkan. Kurangnya pengakuan dan apresiasi terhadap kontribusi mereka dalam sistem pendidikan hanya menambah berat beban psikologis yang mereka tanggung.

Mengingat pentingnya peran guru dalam mengembangkan generasi penerus bangsa, sudah selayaknya pemerintah dan lembaga terkait memberikan perhatian lebih pada peningkatan kesejahteraan subjektif guru honorer. Melalui kebijakan yang adil dan inklusif, seperti penyesuaian upah yang layak, penyediaan pelatihan berkala, dan jaminan kontrak kerja yang lebih stabil, bisa menjadi langkah awal dalam menghormati dan mengapresiasi dedikasi mereka. Peningkatan kesejahteraan subjektif tidak hanya akan meningkatkan kualitas hidup guru honorer, tetapi juga secara tidak langsung akan mengangkat standar pendidikan di Indonesia.

Muhamad Syaikhu mengatakan...

Di alam pendidikan, gemerlap harapan merayap tiap insan,
Perjalanan panjang menuju cakrawala, hantarkan mereka pada pintu kebijaksanaan.
Hati nurani menorehkan jejak kebijaksanaan pada buku-buku masa depan,
Sabar dan kasih mereka mengukir jiwa.


Dalam setiap senyum, terukir cerita tentang keberanian,
Dalam setiap tangisan, ada doa yang datang,
Guru, yang tegar di berjuang dalam krisi degradasi,
Dengan setiap nafas, terdapat kekuatan yang tak terkalahkan.

Puji Astuti mengatakan...

Kesejahteraan subjektif guru honorer mencakup aspek-aspek psikologis, emosional, dan sosial yang mempengaruhi perasaan mereka tentang kehidupan dan pekerjaan mereka. Meskipun mungkin sulit untuk mengukur dengan akurat, kesejahteraan subjektif ini sangat penting karena dapat memengaruhi kualitas pengajaran dan kesejahteraan secara keseluruhan.

Guru honorer sering kali menghadapi stres dan kekhawatiran terkait dengan ketidakpastian pekerjaan dan keterbatasan finansial. Rasa tidak aman tentang masa depan pekerjaan mereka dan kekhawatiran tentang keuangan pribadi dapat merusak kesejahteraan emosional mereka. Selain itu, beban kerja yang berat dan kurangnya pengakuan profesional dapat menyebabkan perasaan kurang dihargai dan kurangnya motivasi dalam pekerjaan mereka.

Aspek sosial juga memainkan peran penting dalam kesejahteraan subjektif guru honorer. Mereka mungkin merasa terisolasi atau kurang terhubung dengan komunitas guru dan sekolah karena status mereka yang tidak tetap. Kurangnya dukungan sosial dan rasa kepemilikan terhadap institusi tempat mereka bekerja dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mereka secara keseluruhan.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat secara keseluruhan untuk memperhatikan kesejahteraan subjektif guru honorer. Langkah-langkah seperti meningkatkan kepastian pekerjaan, memberikan dukungan sosial dan profesional, serta meningkatkan pengakuan dan penghargaan terhadap kontribusi mereka dapat membantu meningkatkan kesejahteraan subjektif mereka. Dengan demikian, guru honorer dapat merasa lebih termotivasi dan berdedikasi dalam memberikan pendidikan yang berkualitas kepada generasi mendatang.

achsin syifaul milah mengatakan...

trimakasih atas tulisannya
seandainya mau jujur mengabaikan kesejahteraan guru termasuk katagori PIDANA klo kesejahteraan guru tak dipenuhi karna mengabaikan beberapa peraturan.
walaupun untuk guru dan dosen sudah ada peraturan yang mengatur tersendiri, akan tetapi peraturan-peraturan ketenagakerjaan tetap berlaku bagi guru karena berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
dan semoga kedepan kesejahteraan guru mengalami perubahan kearah yang lebih baik.

Evi Maelani MPI 2 A. mengatakan...

Evi Maelani
MPI 2 A

Tanggapan saya mengenai artikel :

“Kesejahteraan Subyektif ( Subjective Well – Being ) Bagi Guru Honorer”

Literasi tersebut sangat gamblang dalam mendeskripsikan bagaimana nasib dan kondisi kesejahteraan Guru yang berstatus tidak tetap saat ini atau yang yang sering disebut Guru Honorer ( non PNS). Guru non PNS yang seringkali disebut sebagai Pendidik , pembentuk karakter sebuah bangsa masih terabaikan hak- haknya baik dari status dan juga kesejahteraanya, hal itu disebabkan pemerintah seringkali membuat kebijakan yang kurang berpihak terhadap masa depan guru itu sendiri, dan seakan – akan abai akan kesejahteraan hidupnya, padahal disisi lain Guru non Pns atau guru honorer memiliki andil yang sangat besar dalam membentuk karakter anak bangsa sehingga sangat berpengaruh terhadap bagaimana kondisi masa depan suatu bangsa.
Perlu kita ketahui bersama bahwa diluaran sana ( diluar negri ) ada juga guru yang bersetatus honorer, namun mereka mendapatkan upah yang sepadan dan kesejahteraan yang sesuai dengan jerihpayah mereka, berbanding terbalik dengan nasib guru honorer di negri kita tercinta Indonesia.
Disisilain kami menilai penyematan status Honorer kepada guru sangat tidaklah elok, karena status honorer seharusnya hanya berlaku dalam dunia pekerjaan (buruh) yang nilai upahnya ditentukan oleh Jam kerja nya, sedangkan seorang pendidik tidak sama dengan buruh karena esensinya tugas seorang guru tidak terbatas oleh waktu (jam kerja), guru seringkali dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa karena tugas dan pekerjaan pendidik bukan sekedar transfer knowledge atau ilmu pengetahuan semata (aktifitas pedagogis) diruang kelas tetapi juga bertugas membentuk karakter anak bangsa agar sesuai dengan nilai- nilai Pancasila sehingga guru atau pendidik pun dituntut untuk bersikap dan berperilaku baik sehingga bisa menjadi suri tauladan bagi masyarakat di sekitarnya baik dilingkungan sekolah ataupun diluar sekolah.
Dari sini kita sepakat harus ada inovasi ,revisi dan reformasi terhadap kebijakan – kebijakan yang selama ini kurang berpihak terhadap guru honorer , kebijakan yang dinilai abai akan nasib guru honorer kita,yng kita butuhkan adalah kebijkan yang menjamin kesejahteraan bagi para guru honorer , sehingga apa yang didapatkan oleh mereka sesuai dengan tugas dan kewajiban mereka yang begitu besar.
Dengan demikian kesejah teraan bagi guru honorer tidak hanya bersifat subjektif namun juga bersifat objektif. Misalkan kesejahteraan yang didapat sesuai dengan UMP (upah minimum pegawai) di setiap wilayah di seluruh indonesia sehingga Guru hanya fokus mengajar dan fokus dalam meningkatkan kualitas pendidikan anak bangsa ini tanpa menghawatirkan keberlangsungan hidup keluarganya karena ia merasa sudah tercukupi segala kebutuhannya karena Negara hadir untuk nya, sehingga ia akan lebih mudah dalam meningkatkan kompetensinya dalam mendidik anak didiknya.
Tugas seorang guru sangat vital dalam mencerdaskan anak bangsa namun sangat menyedihkan dikala kesejahteraan yang didapat tidak sepadan dengan tugas nya yang begitu besar, maka disitulah Negara harus hadir sehingga tidak ada ketimpangan antara guru honorer dan guru PNS.
lalu bagaimana jika Negara masih enggan hadir untuk mereka guru honorer? Bagaimana bisa mereka survive atau bertahan ditengah himpitan biaya hidup yang semakin tinggi? Jawabannya adalah karena para guru honorer memiliki mental yang kuat dan nilai sepiritual yang tinggi sehingga terbentuklah dalam diri mereka faktor – faktor tertentu yang dapat mempengaruhi kesejah teraan subjektif mereka diluar faktor yang telah disebutkan dalam literasi (kesejahteraan Subjektif (subjective well – being) yaitu faktor Iman dan tawakal kepada Allah SWT. dalam benak mereka selalu tertanam bahwa mengajar atau mengamalkan Ilmu merupakan amal ibadah yang dapat meraka tuai di akherat kelak sesuai Hadist Nabi Muhammad SAW. Bahwa ilmu yang bermanfaat merupakan Amal Jariah atau amal sholeh yang terus mengalir pahalanya yang tidak akan pernah putus.

Ahmad Zahid Elyasa mengatakan...

sangat mudah dimengerti Pak, sangt menjelaskan betapa pentingnya pendidikan dan peran guru, terutama guru honorer, di Indonesia. Dengan menjelaskan kesulitan yang dihadapi oleh guru honorer, seperti gaji yang rendah dan status yang kurang dihargai, tulisan itu memberi pemahaman tentang situasi sebenarnya. Analisis tulisan bapak mengenai kebahagiaan subjektif juga memberi ide tentang hal-hal yang membuat guru merasa puas dan bahagia secara keseluruhan, bukan hanya sekedar embel2 semata. Oleh karena itu, menurut saya pribadi, pemerintah perlu bertindak untuk meningkatkan kondisi guru, terutama guru honorer, dan mengakui peran penting mereka dalam pendidikan. karena Guru merupakan tugas yang sangat mulia dan juga barisan terdepan bagi pada penerus bangsa. Terimakasih.

Ali Azizi mengatakan...

Kesejahteraan Guru Honorer di Indonesia, masih menjadi isu dan juga tantangan bagi pemerintah. Sudah semestinya, guru guru ini menjadi pilar utama dalam membangun bangsa dan juga negara, Namun kesejahteraan guru honorer di indonesia masih jauk dari kata layak. Dengan upah yang sangat minimum, fasilitas yang terbatas, namun beban kerja serta tanggung jawab yang juga sangat besar. Pemerintah harus bekerja keras untuk bisa mensejahterakan guru honorer serta memberika fasilitas yang layak kepada mereka, dengan sejahteranya kehidupan akan serta merta mengangkat derajat mereka dalam strata kehidupan sosial masyarakat.