Bupati yang Memimpin dan Pemilih yang Cerdas
Oleh: Masduki Duryat*)
Kontestasi
pemilihan bupati Indramayu masih mencari formula, sudah bermunculan kandidat
dari berbagai partai. Masih wait and see dan termasuk kemungkinan
berpasangan dengan calon dari partai atau tokoh lain. Saat ini ‘genderang perangnya’ belum dimulai,
mungkin sekitar Agustus akhir akan semakin jelas kandidat-kandidat yang akan
berkontestasi setelah mendapatkan rekomendasi dari partainya masing-masing. Diawali
dengan pendaftaran calon bupati dan wakil bupati, kemudian pemilihan kepala daerah
tahun 2024 akan dilaksanakan pada 27 November 2024 mendatang.
Harapannya
akan mampu melahirkan pemimpin yang dalam Islam sedapat mungkin mampu
memerankan fungsinya sebagai khadim (pelayan)—bukan
sebaliknya minta dilayani—dan muwajih
(guide), pemberi arah pada kehidupan yang lebih baik dan mencerahkan.
Di
tengah euforia demokrasi, kita masih
mendapati keprihatinan; sikap pragmatisme
masyarakat yang sangat tinggi, dan transaksional. Sehingga menjadikan pemilihan bupati masuk kategori high cost—pada saat yang sama menjadi beban para calon sekaligus
menjadikan mereka gharimun kabir
(penghutang besar)—padahal kita menghendaki lahirnya pemimpin yang diidealkan
bersama untuk bisa mensejahterakan rakyat.
Bakal Calon Bupati Indramayu dan High Cost
Sepertinya
kontestasi Pilkada Indramayu akan semakin menarik, Nina Agustina sebagi incumbent
akan ikut bertarung lagi. Sementara ada sederet nama besar yang akan
menjadi pesaing kuatnya, sebut saja Dewa (Dedi Wahidi) yang sudah menebar
berbagai baliho di berbagai sisi sudut Indramayu dengan mengusung idealism
‘Beradabnya’. Jauh sebelum itu sudah ada beberapa nama yang mendaftarkan diri
dari PKB misalnya Lucky Hakim, H. Suwarto, H. Rasta Wiguna, dan lainnya.
Kemudian H, Syaefudin, Hilal Himawan, Bambang Hermanto, Yudi, H, Cecep, dari
Partai Golkar, dan beberapa kandidat lain yang mulai ingin berebut simpati dari
massa pemilih di Indramayu.
Suasana
optimistik dan harapan Indramayu lebih maju dan lebih baik untuk menjadi
Kabupaten terdepan di Jawa-Barat adalah kondisi yang diidealkan masyarakat
serta amanahnya ada pada pundak para calon terpilih. Tetapi cita-cita yang
diidealkan itu rasanya masih jauh dari harapan—kalau menjadi bupati dengan niat
mencari ‘kehidupan’ dari jabatannya—karena sebagaimana testimoni bupati
Banjarnegara Budhi Sarwono ketika menerima slip gajinya hanya Rp. 5,9 juta.
Berbanding
terbalik dengan cost yang harus
dikeluarkan untuk menjadi bupati atau kepala daerah, biaya ‘mahar politik’—yang
dalam bahasa para politisi disebutnya biaya operasional—transaksional, curnis
dan lainnya. Sekedar ilustrasi, sebagaimana diungkapkan oleh Syafii Antonio
untuk menjadi seorang kepala daerah (Gubernur, Bupati atau Walikota) di pulau
Jawa atau daerah-daerah tertentu di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi,
dibutuhkan biaya kampanye minimal Rp. 7-15 Milyar. Bahkan sekarang cost itu
jauh lebih besar yang harus dikeluarkan.
Memarik
pidato ‘Dewa’ pada satu kesempatan mengungkapkan bahwa pemilih di Indramayu berdasarkan
hasil survei 79% lebih memilih Bupati karena dibayar atau dalam bahasa berbeda
terjebak pada pragmatism- transaksional.
Transaksional
karena berpikir pendek ingin dibayar 50 ribu, atau 100-200 ribu. Pragmatis
karena kepentingan instant bahwa posisi setelah memilih tidak akan
berpengaruh pada kehidupannya—ada anggapan bahwa tukang beca tetap akan menjadi
tukang beca, misalnya—yang penting memilih dibayar siapapun yang akan menjadi
bupatinya, miris memang tetapi inilah realitas.
Ketika
calon bupati meminjam dari beberapa pengusaha dan teman-temannya, ia akan
langsung menjadi penghutang besar (gharimun
kabir) yang harus dibayar selama masa pemerintahannya. Dari sini bupati
akan memulai tugas utamanya dengan program ‘balik modal’. Program ‘balik modal’
ini jelas tidak bisa diharapkan dari gaji normatifnya karena take-home payment resmi para pejabat itu
tidak lebih dari Rp. 15-20 juta per bulan. Mungkin jika ditambahkan berbagai
tunjangan resmi mencapai Rp. 50-100 juta. Jika Rp. 50 juta dikalikan 60 bulan
masa jabatan, maka total pendapatan resmi dan halal bupati hanya Rp. 3 Milyar.
Praktik rasuah yang mengemuka di awal
tahun, sekali lagi ibarat fenomena gunung es. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
akar masalah dari maraknya korupsi kepala daerah salah satunya karena tingginya
biaya politik.
Bahkan ICW mencatat (2018) mahalnya biaya
politik disebabkan oleh dua hal; Pertama, Politik uang berbentuk mahar
politik (nomination buying) dan jual beli suara (vote buying).
Sehingga menurut penelitian terbaru Litbang Kemendagri (2015) cost untuk
mencalonkan diri sebagai bupati/walikota hingga gubernur—jauh lebih besar dari
prediksi Syafii Antonio—membutuhkan biaya Rp. 20-100 milyar. Sementara
pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp. 5 milyar selama satu
periode.
Bagaimana
mungkin akan memunculkan bupati atau pemimpin yang didealkan, kalau kondisi dan
realitasnya seperti ini.
Tetapi
memelihara asa tetap menjadi kewajiban kita, sebab bukan impossible akan muncul bupati yang handal dan memiliki Nurani dan
idealism. Beberapa nama yang cukup viral,
seperti di Kab. Nganjuk Novi Rahman Hidayat, smart, amanah, bersinar dan berkharisma kepemimpinannya. Atau
Bupati Kulon Progo yang fenomenal dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG untuk mengangkat
daerahnya lebih bermartabat dan mungkin juga bupati atau kepala daerah lain
yang tidak terekspose media.
Bupati yang memimpin
Dengan
melihat realitas di atas, agaknya sangat berat tugas seorang bupati dan wakilnya.
Sehingga diperlukan seorang bupati yang memimpin, kalau hanya menjadi seorang
bupati semua orang bisa melakukannya. Karena jabatan bupati tugas, pokok dan
fungsinya sudah ditentukan, tetapi bagaimana di samping ia seorang bupati juga
sebagai seorang pemimpin.
Seorang
pemimpin bekerja tidak terjebak pada rutinitas, tetapi ia akan berimprovisasi,
bekerja ‘out of the box’, sebab
kelihatannya problem daerah hampir sama—rendahnya partisipasi masyarakat dalam
pembangunan—maka diperlukan seorang bupati yang mampu menarasikan
program-program pembangunan kepada masyarakat dengan komunikasi yang efektif.
Bukan asumsinya bupati datang hanya untuk bagi-bagi duit, di sini pentingnya
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain.
Dengan
mengutip pandangan Imam Ghazali, masyarakat rusak karena pemimpinnya; pemimpin
rusak karena pemimpin agamanya diam. Dalam kitab Injil disebutkan, “tidak boleh orang buta menuntun orang
buta”, artinya pemimpin akan menjadi contoh, uswah hasanah, prototype dalam bertindak, berpikir dan berbuat,
berkorban di garda paling depan.
Tidak
ada yang tidak mungkin, akan muncul pemimpin yang holistic, accepted, dan proven. Holistic, pemimpin yang mampu
mengembangkan leadership dalam
berbagai bidang; tatanan masyarakat yang harmonis, menata sistem politik yang
berkeadaban, sistem pendidikan yang bermoral dan mencerahkan, dan sistem hukum
yang berkeadilan. Accepted, diakui
kepemimpinannya dengan merangkul semua rakyatnya—baik yang memilihnya atau
tidak—membangun untuk semua rakyatnya. Proven,
apa yang dilakukannya relevan dan berselancar dengan kondisi kekinian dengan
berpacu menjadi daerah yang berdaya saing.
Pemilih Cerdas
Sehingga
untuk mendapatkan pemimpin yang diidealkan bersama sesuai harapan-harapan itu.
Masyarakat juga harus cerdas. Melihat visi, misi yang akan dilakukannya dalam
kampanye, serta komitmennya dalam membangun daerah. Tidak terjabak pada sikap
pragmatis, transaksional dengan jargon—bahasa Indramayu baka pengen dipilih, wani pira?atau NPWP (Nomer Pira Wani Pira)—tinggalkan
juga caci-maki, black campaign, serta negative
campaign (kampanye negatif). Memang kampanye hitam tidak dilarang dalam
pemilu, kampanye negatif lebih mengemukakan sisi kelemahan faktual tentang
lawan politik dan tidak bisa dihukum. Kampanye negatif bisa dilawan dengan
argumen. Tetapi black campaign bisa
dipidana, karena menjurus kepada fitnah, dan kebohongan tentang lawan politik.
Kampanye hitam ini jelas dilarang oleh Undang-Undang.
Sehingga,
agar tidak kontra produktif, sebaiknya masyarakat bersikap cerdas serta bijak dan
dalam materi kampanye calon lebih mengedepankan adu program ketimbang mencari
kelemahan lawan politik atau dengan
menyebar kabar bohong dan janji-janji palsu.
Wallahu a’lam bi al-shawab
*)Penulis adalah Ketua STKIP Al-Amin Indramayu dan dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu