(Haruskah) Ada Rivalitas antara NU dan PKB
PKB dan NU |
Oleh: Masduki Duryat*)
Konflik
itu terus berlanjut, puncaknya saat Ketua umum PKB Muhaimin Iskandar menjadi
calon wakil presiden mendampingi Anies Baswedan pada Pemilu 2024.
Bagaimana
‘perang terbuka’ melalui statement terus berlanjut, bak gayung
bersambut—yang dari sisi politik—menurut pengamat politik dari UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno itu menggambarkan ketegangan politik antara
NU dan PKB. Perseteruan yang kerap kritis ini jelas sangat merugikan PKB.
Sebut
saja misalnya, ketegangan PKB dan Gus Menteri (Yaqut)—yang juga adik dari ketua
umum PB NU, Gus Yahya merupakan titik kulminasi dari hubungan tidak harmonisnya
dari kubu yang berbeda.
Konflik
tidak berhenti sampai di sini, belakangan terjadi demo massa yang menamakan diri Aliansi
Santri Gus Dur mendesak Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dan Saifullah Yusuf
(Gus Ipul) mundur sebagai Ketua Umum (Ketum) dan Sekretaris Jenderal (Sekjen)
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Tuntutan tersebut dilontarkan dalam
unjuk rasa di depan kantor PBNU, Jakarta Pusat, Jumat (2/8/2024).
Koordinator aksi,
Muhammad Sholihin, menilai Ketua Umum PBNU Gus Yahya harus mundur karena telah
melakukan politik praktis. Keputusan-keputusan politik yang dilakukan Gus Yahya
dinilai memecah belah umat. Menurutnya, hal tersebut melanggar keputusan Muktamar
PBNU sebelumnya.
Ini menarik juga untuk dikaji karena koordinator aksi Muhammad Sholihin,
menurut release yang disampaikan oleh ketua PC NU Indramayu tidak merefresentasi pengurus NU Indramayu, tetapi sebaliknya Sholihin
merupakan pengurus DPW PKB Provinsi Jawa Barat dan mantan ketua DPC. PKB Kab.
Indramayu.
Latar Belakang Sejarah
PKB berdiri di tengah situasi politik
Indonesia yang penuh dinamika pada akhir 1990-an. Era ini ditandai dengan
runtuhnya Orde Baru dan transisi menuju reformasi. Ketidakstabilan politik dan
tuntutan untuk reformasi membawa sejumlah kelompok dan individu untuk membentuk
partai-partai politik baru. Salah satu kelompok yang memainkan peran penting
dalam pembentukan PKB adalah Nahdlatul Ulama (NU), organisasi yang memiliki
pengaruh besar di kalangan umat Islam di Indonesia.
Pada 1998, dalam suasana reformasi, NU
memutuskan untuk membentuk PKB sebagai wadah politik. Langkah ini merupakan
hasil dari keinginan untuk memiliki suara yang lebih kuat dalam sistem politik
Indonesia. PKB diharapkan bisa mengakomodasi aspirasi umat Islam yang moderat,
serta mendukung program-program yang sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang
oleh NU.
Pembentukan PKB diprakarsai oleh sejumlah
tokoh NU yang berpikir bahwa partai politik merupakan sarana yang efektif untuk
mencapai tujuan sosial dan politik mereka. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur),
yang merupakan Ketua Umum NU saat itu, berperan penting dalam pembentukan PKB.
Di bawah kepemimpinan Gus Dur, PKB berhasil menarik dukungan dari berbagai
kalangan, baik dari internal NU maupun masyarakat umum.
Dalam pemilihan umum 1999, PKB berhasil
memperoleh hasil yang cukup menggembirakan, menunjukkan bahwa partai ini mampu
merepresentasikan aspirasi umat Islam moderat di Indonesia. PKB juga berhasil
memperoleh posisi yang signifikan dalam kabinet pemerintahan, yang membantu
dalam mewujudkan sejumlah kebijakan yang diusung oleh partai ini.
Secara kultural, PKB dan NU memiliki hubungan yang sangat erat. NU tetap menjadi salah satu basis dukungan utama PKB, dan banyak anggota PKB berasal dari kalangan NU.
Konflik Fundamental NU-PKB
Belakangan
hubungan harmonis ini, cukup terganggu untuk tidak menyebut menghawatirkan
antara NU-PKB.
Perseteruan
kritis antar entitas yang berbeda ini dipertontonkan di wilayah public.
Gus
Yaqut (Menteri Agama) pada Pemilu 2024 yang lalu secara terang-terangan
menyatakan; “jangan memilih
calon pemimpin bemulut manis dan berwajah ganteng", yang ini kemudian menuai
reaksi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kubu Muhaimin Iskandar yang akan
"mendisiplinkannya".
Yaqut juga
meminta agar masyarakat tidak memilih pemimpin yang menggunakan agama sebagai
kepentingan politik. Yaqut kemudian menyinggung pemilu-pemilu sebelumnya. “Kita
punya sejarah tidak baik beberapa waktu yang lalu ketika pemilihan gubernur DKI
Jakarta kemudian dua pilpres terakhir, agama masih terlihat digunakan sebagai
alat untuk mencapai kepentingan kekuasaan," kata Yaqut.
Muhaimin
kemudian meresponsnya dengan mengatakan bahwa itu adalah “statement buzzer”.
Bahkan Gus Yahya pada saat menjelang Pilpres lalu
pernah menyatakan bahwa "PKB bukan partai politik yang merepresentasikan
NU". Lalu Muhaimin merespons pernyataan itu dengan mengatakan, "enggak usah dibahas, barang
lawas". Gus
Yahya juga secara berulang menegaskan bahwa "tidak ada calon atas nama
NU".
"Kalau ada klaim
bahwa kyai-kyai PBNU merestui, itu sama sekali tidak benar. Tidak ada sama
sekali pembicaraan di PBNU tentang calon-calon presiden karena itu di luar
domain kami sebagai organisasi keagamaan kemasyarakatan,"
Gus Yahya
sampai pada kesimpulan bahwa hubungan NU-PKB bagai pabrik mobil yang perlu
menarik produknya karena mempunyai kesalahan sistem.
Konflik ini
jelas akan merugikan PKB secara politis dan hasil survey LSI Denny JA
menunjukkan itu. Denny JA menyebutkan bahwa mayoritas kalangan NU pada Pemilu
2024 lebih memilih PDI-P daripada PKB. Responden warga NU memilih PDI-P
sebanyak 21,9 %, Gerindra 13,6 %, Golkar 11,2 % dan PKB 11.6 %. Ternyata PKB
bukan partai yang favorit di kalangan pemilih NU. Padahal PKB lahir dari rahim
NU. Pada saat yang sama PKB diharapkan akan bersinergi melalui program-program
yang sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang oleh NU.
Solusi;
Saran KH. Ma’ruf Amin
Adanya tanggapan dari wakil Presiden KH.
Ma’ruf Amin sangat solutif dan itu juga sekaligus menegaskan bahwa sejatinya
perseteruan itu meniscaya.
Perseteruan antara Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) belakangan ini
menjadi sorotan publik. Pasalnya, konflik tersebut semakin memanas akibat PBNU
yang berniat mengembalikan PKB ke pangkuan NU dengan membentuk Panitia Khusus
(Pansus) PKB.
Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin yang
pernah menjabat sebagai Rais Aam PBNU dan Ketua Dewan Syuro PKB menjelaskan
bahwa sejatinya PBNU dan PKB tidak memiliki hubungan struktural. Namun, kedua
organisasi ini terikat secara aspiratif, kultural, dan historis, karena PKB
dibentuk untuk menyalurkan aspirasi warga NU (Nahdliyin) dalam dunia politik.
Hubungan PBNU dengan PKB itu hubungan
aspiratif, hubungan kultural, dan hubungan historis. Tidak ada hubungan structural.
PBNU dan PKB memang memiliki tugas yang
berbeda. Menurutnya, PBNU berfokus pada pembangunan ummat, sedangkan PKB
berkonsentrasi pada bidang politik. Sehingga menurutnya akan lebih bijak organisasi
tersebut dapat fokus pada tujuannya masing-masing. PBNU tetap pada pembangunan
keummatan, PKB pada Pembangunan politik.
Dengan begitu, akan terjadi jalinan hubungan
yang baik dan menghindari konflik yang berpotensi menyebabkan perpecahan.
Akankah ini terjadi? Semua berpulang pada political-will elit di tubuh NU-PKB dengan mengesampingkan egonya masing-masing. Sebab di akar rumput kalangan NU-PKB mendambakan harmonisasi melalui tugas dan fungsinya masing-masing. Sebagaimana saran KH. Ma’ruf Amin. NU membina keummatan, PKB focus pada pembanguna bidang politiknya. Semua saling mengisi dan saling melengkapi.
*)Penulis adalah Dosen pascasarjana UIN Syekh Nurjati Cirebon dan Ketua STKIP al-Amin Indramayu, tinggal di Kandanghaur