-->

ads

Arah dan Tantangan Manajemen Pendidikan di Era New Normal

Minggu, 15 Agustus 2021
Pendidikan New Normal (Gambar Tribunnews.com)


Arah dan Tantangan Manajemen Pendidikan di Era New Normal; ‘Pemaksaan’ Perubahan Akibat Pandemi Covid-19

Oleh:

DR. H. Masduki Duryat, M. Pd.I*)


Pada tulisannya tentang “Empathic Society, Megashift Pasca Covid-19” di Radar (09/06/2020) Pendi Susanto menyampaikan bahwa “Setiap masyarakat manusia pasti akan mengalami suatu perubahan. Perubahan sosial di dalam masyarakat mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap, pola perilakunya sehingga perubahan-perubahan mana kemudian mempengaruhi segi-segi struktur masyarakat lainnya. Perubahan sosial mempunyai tujuan, diantaranya perubahan yang tidak dikehendaki atau direncanakan. Seperti yang sekarang, seluruh dunia ditakutkan dengan pandemic Covid-19”.  


Pandemik Covid-19 telah ‘memaksa’ perubahan yang harusnya berlangsung dalam 5 tahun menjadi hanya dalam waktu 2-3 bulan.  Itu sebabnya kita harus struggling menjalaninya. Awalnya sama sekali tidak bisa berenang, kemudian diceburkan, dan karena tak boleh tenggelam, maka mati-matian berusaha, dan akhirnya lulus bisa berenang.  Tentu saja awalnya sarat dengan penolakan (denial) yang kemudian diikuti dengan resistensi (resistence). Tapi karena dipaksa akhirnya mencoba, bereksperimen, dan bereksplorasi (exploration). Dan akhirnya terbentuk komitmen (commitment) untuk melakukan perubahan perilaku dan membentuk kebiasaan baru.


Daya Saing Dunia Pendidikan

Sebelum mengurai tentang ‘dampak’ pandemi Covid-19 yang berkelindan dengan pendidikan dan dinamikanya. Ada baiknya terma persaingan dijelaskan terlebih dahulu;


Persaingan adalah kata kunci yang tak terelakkan dalam era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini. Sedemikian kompetitif dan komparatif  dunia pendidikan kita sekarang ini, lembaga pendidikan yang dalam kondisi ‘hidup segan mati tak mau’ akan tersisih dan termarjinalkan. Hal ini disebabkan di samping mutu yang ditawarkan oleh sekolah, para pengguna pendidikan—orang tua dan siswa—juga semakin ‘cerdas’ untuk memilih sekolah.


Institusi pendidikan ‘dipaksa’ untuk berhadapan dengan institusi lainnya dalam arena persaingan sekarang ini. Semua institusi umumnya berkeinginan untuk dapat tampil yang terbaik guna menarik perhatian pasar. 


Dalam era persaingan ini, boleh jadi ada yang mengambil jalan pintas dengan cara-cara kotor, tetapi ada pula yang menggunakan cara-cara baik dalam memenangkan persaingan ini. Mereka yang ingin menonjolkan dengan cara-cara baik dalam memasuki era persaingan ini melakukannya dengan cara memperkokoh Sumber Daya Manusia (SDM), ada yang memperkuat di bidang fasilitas termasuk gedung dan sarana lainnya, ada pula yang memperkuat bidang dana dan boleh jadi ada pula yang memperkuat di bidang jaringan—networking—daripada yang lainnya.


Sehingga, menurut Dedi Mulyasana (2011) persaingan ini bergerak menjadi sangat kompleks dan beragam. Ada yang bersaing di bidang mutu, layanan, keragaman pilihan, pencitraan, dan sebagainya. Ada yang menggabungkan antarbidang satu dengan lainnya dan ada pula yang menetapkan pola prioritas antarbidang tertentu. 


Agar suatu organisasi—termasuk sekolah—memiliki daya saing yang tinggi dalam skala global, maka oranisasi/sekolah tersebut harus mampu melakukan pekerjaan secara lebih baik, efektif, dan efesien dalam menghasilkan output yang berkualitas tinggi dan dengan ‘harga’ yang bersaing. Untuk menghasilkan output yang bersaing, maka pada masa mendatang bukan lagi mengandalkan keunggulan komparatif saja, melainkan juga harus meningkatkan keunggulan kompetitif. Pengelolaan sumber daya akan memiliki keunggulan kompetitif jika sumber daya manusia memiliki potensi yang tinggi untuk mengelolanya.


Pada tataran tersebut, menurut Umiarso dan Imam Gojali (2010) tugas utama sekolah ialah membantu peserta didik untuk menemukan, mengembangkan, dan membangun kemampuan yang akan menjadikannya berkesanggupan secara efektif untuk menunaikan tugas-tugas individu dan sosialnya pada saat sekarang dan mendatang. Untuk mencapai tugas tersebut, maka layanan pendidikan sekolah akan bersentuhan dengan pelbagai pengetahuan yang tergambar dalam kurikulum.


Semakin kompetitifnya di dunia pendidikan saat ini, menurut Dedi Mulyasana (2011) paling tidak disebabkan oleh hal-hal berikut ini: Pertama, Tidak seimbangnya tingkat pertumbuhan lembaga pendidikan dengan calon pengguna jasa pendidikan—baik calon peserta didik maupun calon pengguna jasa pendidikan lainnya. Ketidakseimbangan tersebut menambah maraknya persaingan dalam dunia pendidikan; Kedua, Adanya kebijakan pemerintah yang memproteksi lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dibanding dengan lembaga yang diselenggarakan oleh masyarakat. Dengan demikian, lembaga yang diselenggarakan oleh masyarakat bukan saja bersaing dengan lembaga sesamanya tapi juga bersaing dengan lemabaga yang diselenggarakan oleh pemerintah; Ketiga, Mindset masyarakat—khususnya calon peserta didik—lebih mempercayai lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dibanding dengan lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, sungguhpun ada bahkan banyak lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat jauh lebih baik dari lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah; Keempat, Terbatasnya modal yang dimiliki oleh lembaga pendidikan untuk mengeluarkan dana yang tidak kembali secara langsung (iklan, pengembangan SDM, sarana, dan fasilitas khusus); dan Kelima, Ketatnya persaingan mengakibatkan sulitnya melakukan akses ke distribusi dan pemasaran jasa pendidikan. Terlebih lembaga pendidikan tidak didesain untuk memenuhi lapangan kerja. Karena program dan proses pembelajaran berorientasi pada tujuan pendidikan nasional—bukan pada pemenuhan kebutuhan pasar kerja—kecuali SMK.


Pergeseran Arah Pendidikan; Sebuah Tantangan

Dengan semakin terbukanya ruang pendidikan, ditengarai arah pendidikan akan bergeser ke pengelolaan yang lebih profesional, terbuka dan demokratis. Hal ini disadari, karena telah terjadi perubahan besar yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, modernisasi dan industrialisasi. Dampak ikutan dari itu semua telah mendorong terjadinya pergeseran sistem, arah, dan tata kelola pendidikan. Oleh karena itu, sekolah tidak cukup hanya membekali peserta didik dengan selembar ijazah. Guru tidak hanya cukup memerankan dirinya sebagai pentransfer ilmu pengetahuan belaka, ruang belajar tidak hanya berlangsung di kelas. Sumber kekuatan akan terkonsentrasi pada informasi dan data riil—bukan data baku yang tertuang dalam statistik yang tidak jelas. 


Dedi Mulyasana (2011) dengan lebih detil dan jelas menyampaikan bahwa implikasi dari itu semua telah mengakibatkan pergeseran dalam paradigma pendidikan. Hal ini menurutnya, dapat terlihat dari fenomena berikut ini; Pertama, Kekuatan simbol (ijazah) akan bergeser ke kuatan kemampuan performa; Kedua, Kekuatan individu akan bergeser ke kuatan jaringan; Ketiga, Kekuatan formal akan bergeser ke daya pengaruh; Keempat, Persaingan akan bergeser dari harga ke layanan dan kualitas; Kelima, Persaingan akan bergeser dari darat ke dunia maya. Oleh karena itu jangan jual tenaga, keterampilan, dan ilmu semata, tapi juallah kepercayaan.


Selanjutnya Keenam, Sistem evaluasi belajar yang hanya mengukur hafalan dan daya ingat akan bergeser ke evaluasi kemampuan total; Ketujuh, Sumber dan sarana belajar konvensional akan bergeser ke sumber dan sarana belajar berteknologi tinggi; Kedelapan, Sistem respons bergeser dari reward and punishment ke positive thinking; Kesembilan, Kebutuhan kelas akan bergeser dari kebutuhan mencari guru yang pintar ke guru yang mampu memintarkan anak; Kesepuluh, Sekolah bukan sekedar mendidik anak yang pintar tapi justru memintarkan anak yang berkebutuhan khusus; Kesebelas, Pendekatan keseragaman yang bersifat statis akan bergeser ke pendekatan ke ragaman fungsional. Berpakaian seragam rapih, duduk yang tertib, dan datang dan pulang tepat waktu belum cukup menggambarkan keberhasilan proses pendidikan; dan Keduabelas, Pembelajaran formalistik akan bergeser ke pembelajaran fungsional dengan menekankan pada penguatan logika, hati dan iman.


Fenomena pergeseran tersebut akan memaksa pendidikan dikelola secara terencana dengan tujuan yang jelas dan terukur hasilnya. Proses pembelajaran lebih menekankan pada kualitas proses daripada kuantitas hasil. Manajemen pendidikan tidak lagi mengutamakan sesuatu yang bersifat administratif, melainkan pada proses pematangan kualitas peserta didik.


Tulisan ini diprediksi oleh Prof. Dedi Mulyasana, dosen dan pembimbing disertasi saya ketika di program doktoral. Dalam bukunya “Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing” yang ditulis tahun 2011. Ternyata sekarang, tidak menunggu 5-10 tahun, pergeseran dan lompatan pola, pendekatan dan manajemen pendidikan ‘dipaksa’ berubah hanya 2-3 bulan saja akibat pandemi Covid-19.


Pendidikan dan problem yang dihadapinya harus berselancar dengan era digital dan revolusi industry 4.0. yang memerlukan pemberdayaan sumber daya manusia yang tidak merasa selalu berada di zona aman dan lugu—sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Rhenald Kasali— Sehingga membuat kita teralienasi dari dunianya dengan selalu melakukan inovasi. Yang sejatinya inovasi juga ‘kejam’ karena akan ‘membunuh’ sesuatu yang tidak relevan dengan kondisi kekinian.


Pendekatan Blended Learning; Dampak Covid-19

Dalam konteks pendidikan, Menteri Pendidikan RI Nadiem Makarim—seperti yang diberitakan berbagai mass media—mengeluarkan pernyataan bahwa  tahun ajaran baru tetap 13 Juli 2020 tetapi siswa aktif belajar di sekolah mulai Januari 2021, sehingga pembelajaran tetap melalui media virtual dan pendidik tetap work from home atau sangat kondisional melihat status zona tiap daerah. 


Memang dalam perdebatan teoretik, sekurang-kurangnya terdapat tiga skenario besar tentang kebijakan pendidikan di masa new normal ini; Pertama, skenario optimistik. Peserta didik kembali ke sekolah/kampus dan proses pembelajaran untuk tahun akademik 2020/2021 yang dimulai pada bulan Juli 2020; Kedua, skenario pesimistik.  Layanan dan proses pendidikan untuk tahun akademik baru—sekurang-kurangnya—dilaksanakan bulan Desember 2020; Ketiga, skenario moderat. Pembelajaran/perkuliahan tetap dimulai Juli 2020 dengan pendekatan blanded learning—pendekatan tatap muka dan virtual—dalam pembelajarannya.


Kementerian Agama, melalui Direktorat Pendidikan Tinggi (Diktis) Dirjen Pendidikan Islam bersama Forum Rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) membahas skenario pembelajaran di masa Pandemik Covid-19. Disepakati bahwa proses pembelajaran di tahun ajaran 2020/2021 menyesuaikan dengan kondisi daerah kampus, dengan skenario; Pertama, penerapan pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) penuh seperti yang sudah diterapkan pada semester genap 2019/2020; Kedua, kampus PTKI menyambut new normal, dengan pendekatan blanded learning, perpaduan keunggulan pembelajaran yang dilakukan secara tatap muka dan virtual, disertai dengan protokol kesehatan yang ketat. Namun  skenario ini akan lebih fleksibel disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing PTKI. 


*)Penulis adalah Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Tinggal di Kandanghaur Indramayu



2 comments:

MTs AL KAUTSAR mengatakan...

Menanggapi tingkat daya saing yang ada antara lembaga pendidikan plat merah dengan swadaya masyarakat atau swasta sangatlah tidak adil rasanya jika masih adanya ketidak adilan dalam perhatian pemerintah itu sendiri. Pemerintah seharusnya tidak memandang hal itu dari segi statusnya, tp lihatlah lembaga pendidikan itu dari segi fungsinya yang sama - sama bertujuan sebagai media untuk mencerdaskan generasi penerus. Pemerintah seharusnya memiliki khusus alokasi anggaran yang nantinya akan di berikan sebagai stimulus kepada lembaga pendidikan non pemerintah agar daya saing yang diberikan lebih seimbang dan kompetitif dengan realita yang sebenarnya.

Unknown mengatakan...

Pembelajaran jarak jauh (PJJ) pada masa covid 19 dibanding dg tatap muka, itu merupakan evaluasi bg para guru untuk tetap menerapkan pembelajaran secara baik.
Dg menggunakan berbagai pendekatan.diantaranya blanded learning