-->

ads

Islam Vertikal dan Horizontal

Minggu, 15 Agustus 2021


 

Islam Vertikal dan Horizontal

(Tanggapan Terhadap Tulisan Kang H. Idea tentang “Agama dan Tertib Sosial”)

Oleh: Masduki Duryat*)


Membaca tulisan Kang H. Idea secara seksama saya hanya menyayangkan terlalu terburu-buru untuk menarik sebuah konklusi yang apakah menunjukkan kedangkalannya ilmunya tentang Islam yang universal, “wa maa arsalnaaka illaa rahmatan li al-‘alamin” atau hanya ingin menggugah orang lain untuk berpikir. Dengan menjauhkan rasa ‘kebencian’ dan secara arif membedakan antara ajaran Islam dengan penganutnya dalam memahami ajaran Islam tersebut melalui teks-teks Quran, hadits, iijtihad atau lainnya.


Ketika disebutkan kita akan sia-sia saja untuk berharap agama akan menjadikan penganutnya untuk menjadi baik secara sosial, karena fokus agama hanya menyangkut hubungan vertikal dengan Tuhan. Agama tidak membicarakan persoalan sosial dan tidak berdalil.


Ingatan saya kemudian melayang teringat buku yang relevan dan sudah lama saya baca yang berkelindan dengan persoalan di atas, yakni “Tauhid Sosial” karya Prof. DR. M. Amien Rais, Islam Vertikal & Horizontal yang ditulis Tim Dosen AIK UMMI, Metodologi Studi Islam-nya Prof. DR. Jaih Mubarak atau juga Islam Aktual karya Prof. DR. Jalaluddin Rakhmat dan lainnya. Yang kesemuanya menjelaskan bahwa Islam ajaran yang secara konseptual memperbincangkan tentang ibadah spiritual yang kemudian diharapkan—meminjam bahasa Prof. Amien Rais—dapat ‘numusi’ dalam kehidupan sosial. Atau dalam bahasa Prof. Jalaluddin Rakhmat harus dibedakan antara Islam konseptual—yang ya’luu walaa yu’la ‘alaih—dengan Islam pada tataran aktulitas para pemeluknya. 


Ajaran Islam; Sempurna dan Universal

Islam sebagaimana yang kita baca melalui ayat-ayatNya misalnya disebutkan “tidak ada satupun yang Kami alphakan dari segala sesuatu” walau tentu al-Quran hanya secara global atau garis besar, karena al-Quran bukan kitab juknis yang kemudian tafsir atau interpretasinya secara implementatif dijelaskan dalam hadits yang secara kondisional dilakukan oleh Nabi pada saat itu, kemudian diberikan ruang untuk melakukan ijtihad (bisa dengan analogi/qiyas, ijma’ dan lainnya) dengan mendasarkannya pada al-Quran dan hadits. 


Korupsi memang tidak disebutkan dalam al-Quran dan hadits, tetapi mencuri jelas-jelas dilarang oleh agama—tindak korupsi lebih sadis dari sekedar mencuri, yang esensinya sama mengambil hak orang lain yang bukan miliknya—sampai-sampai Nabi mengatakan “law anna fathimata bin muhammadin syaraqat laqata’tuha” (seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya saya potong tangannya). Atau persoalan disiplin dan ibadah sosial lainnya. Cukuplah saya sebutkan dalam QS. Al-Fath [48] ayat 29 mewakili kegalauan H. Idea dengan segala kedangkalan ilmunya tentang Islam. 


Disebutkan dalam ayat itu paling tidak; Pertama, keras dan tegas terhadap kekafiran (penyimpangan); (menegakkan aturan dengan tanpa pandang bulu atau tebang pilih). “lau anna Fathimata binti Muhammadin saraqat laqatha’tuha”. Kedua, kasih sayang terhadap sesama; (populis, berpihak kepada kepentingan public, selalu menjaga soliditas dan solidaritas, keragaman masyarakat memperkaya inovasi, perbedaan menjadi rahmat bukan menjadi laknat). Ketiga, selalu ruku’ dan sujud; (rajin beribadah, rendah hati, giat bekerja, tulus, dan senantiasa berbuat semata karena Allah dan untuk kepentingan masyarakat banyak). Keempat, selalu mencari karunia dan ridha Allah; (kreatif menggali potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM), cerdas menangkap peluang, taat dan patuh terhadap aturan, seimbang antara do’a dan ikhtiar, serta optimis atas rahmat dan ridha Allah). Kelima, bekas sujud nampak di wajahnya; (kesalehan ritualnya memberi dampak pada kesalehan sosial, integritasnya sebagai muslim tercermin pada perilaku kesehariannya, yang selalu berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan masyarakat).


Atau kata-kata Tuhan yang ratusan kali diulang dalam Qur’an yang menggandengkan antara alladzina aamanuu dengan wa ‘amilush shalihaati yang mengindikasikan hampa dan kosong iman seseorang kalau tidak ada amal shalih yang menyertainya. Semakin kuat tentang ibadah sosial jika kita buka juga QS. 14: 24-25. Indikasinya manifestasi tauhid, deklarasi kehidupan pada ayat ini adalah sikap budaya, sikap mental, dan kehidupan untuk menyebarkan amal shalih dalam setiap kesempatan. Sehingga indikator orang Islam adalah orang yang bertauhid, kapan saja dan di mana saja ia hidup harus menegakkan amal shalih. 


Bagaimana Nabi yang mulia begitu pertama kali datang ke Madinah langsung mengeluarkan lima perintah harian; hanya satu pada perintah itu berbicara ibadah spiritual, empat sisanya berbicara tentang ibadah sosial; “(sebarkan keselamatan, memberi makan kepada yang miskin, melembutkan perkataan, sambung shilaturrahim, dan shalat malam)”. Banyak juga ibadah spiritual bisa diganti dengan ibadah sosial, misalnya adanya konsep kaffarat.


Disiplin adalah dampak turunan dari seluruh ajaran Islam, shalat, puasa, zakat dan lainnya. Bahwa kemudian ada penganut agama yang tidak disiplin atau melakukan tindak pidana korupsi, zina dan lainnya bukan menunjukkan bahwa ajaran agama Islam secara doktrinal tidak mengajarkannya. Idealnya siapapun yang beragama seperti yang disebutkan A. Comte hidup lebih teratur. Tetapi jika tidak, sesuatu hal yang terpisah antara ajaran agama dan penganutnya. Dalam bahasa Prof. Harun Nasution Islam kita terjebak pada Islam formalistik tidak substantif, sehingga kita di Indonesia mengklaim mayoritas beragama Islam tetapi korupsinya—pada pandangan Polical and Economic Risc Consultancy Hongkong—masih menempatkan kita menjadi negara terkorup di Asia, bukan salah agama. Prof. Jalaluddin Rakhmat sebagaimana saya sebutkan di atas harus dibedakan antara Islam aktual dan Islam konseptual. 


Sekali lagi Islam tidak hanya fokus pada persoalan ibadah shalat, puasa, haji. Tetapi juga membahas ibadah maliyah, akhlaq (dalam keluarga dan sosial), juga muamalah, etos kerja, harta dan jabatan dalam Islam serta lainnya. Bahkan Prof. Harun Nasution menyebutkan jumlah ayat-ayat yang berbicara ibadah spiritual jauh lebih sedikit berbanding dengan ibadah sosial. 


Dichotomi Ilmu Agama dan Umum, Betulkah?

Saya ingin menambahkan pada tulisan ini supaya melengkapi pandangan tentang Islam yang holistic dan selalu sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam konteks ilmu misalnya seperti juga disampaikan oleh Prof. Emil Salim ilmu dan berilmu itu ujung akhirnya adalah teosentris bukan antroposentris. 

Untuk kepentingan analisis, tanda-tanda Tuhan dapat kita jadikan menjadi tiga, yaitu jagat raya, manusia dan wahyu. Dari ketiga obyek ini kita akan melihat ilmu-ilmu yang berbeda-beda tetapi tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Sebelum dijelaskan kita dapat melihat visualisasi sebagai berikut:


Manusia hendak menyingkap rahasia Allah melalui tandanya berupa jagat raya menggunakan perangkat berupa ilmu-ilmu fisik, seperti ilmu fisika, kimia, geografi, geologi, astronomi dan falak. Dengan kesadaran yang telah dijelaskan oleh Nurchalis Madjid di atas, manusia yang mendalami ilmu-ilmu tersebut akan mampu menyingkap rahasia tabir Allah.


Manusia yang hendak menyingkap rahasia Allah melalui tanda-Nya berupa manusia akan memunculkan berbagai ilmu. Dari segi fisik pendalaman terhadap struktur tubuh manusia melahirkan ilmu biologi dan kedokteran. edangkan aspek psikis manusia memunculkan ilmu psikologi. Apabila secara kolektif atau kelompok kajian terhadap manusia melahirkan sosiologi, ilmu lingkungan, komunikasi, hukum, dan sejarah.


Ketika manusia berusaha menyingkap rahasia Allah melalui tandanya berupa wahyu, muncul ilmu keagamaan seperti ulum al-Quran, ulum al-Hadits, tafsir, fikih, ilmu kalam, dan tasawuf. Dengan demikian, jalur manapun yang digunakan manusia dalam rangka menyingkap tabir kekuasaanNya akan melahirkan  manusia yang semakin dekat dengan Tuhan .


Paradigma ini sekaligus merupakan jawaban terhadap dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama. Pada dasarnya ilmu agama dan non agama hanya dapat dibedakan hanya untuk kepentingan analisis, bukan untuk dipisahkan apalagi dipertentangkan. Dalam sejarah tercatat ulama yang mendalami agama menjadi filosof dan dokter, seperti Ibnu Sina, atau lainnya. 


Wallahu a’lam bi al-shawab


0 comments: