-->

ads

Kualitas Demokrasi Indonesia Makin Mundur

Minggu, 12 September 2021

 Oleh: Masduki Duryat


Dengan mendasarkan pada kajian tiga laporan utama yakni 2020 The Economist Intelligence Unit (EIU) Indeks Demokrasi Indonesia 2019 dan 2021 Democracy Report, Wasisto Raharjo Jati, Staf Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memprediksi bahwa kualitas demokrasi Indonesia di tahun 2021  semakin menurun. 


Secara lebih spesifik, laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) dan Indeks Demokrasi Indonesia menggarisbawahi menurunnya kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai pangkal utama menurunnya kualitas demokrasi Indonesia. 


Kualitas Demokrasi Indonesia Menurun

Pada catatan Kompas (2020), pasca runtuhnya rezim totalitarian Orde Baru, Indonesia berkomitmen untuk menerapkan demokrasi yang mapan dan terkonsolidasi sampai ke akar rumput. Namun, perjalanan panjang proses transisi demokrasi di Indonesia tentu bukan tanpa halangan, terlebih sejak jatuhnya Indeks Demokrasi Indonesia yang dirilis oleh Economist Intelligence Unit (EIU) dengan total skor 6.3. Poin ini menempatkan Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia, sebuah catatan terburuk kualitas demokrasi Indonesia dalam 14 tahun terakhir.


Menariknya seperti juga ditulis pada Lokadata (2021), kemerosotan kualitas demokrasi di Indonesia malah gencar terjadi ketika Indonesia sedang dipimpin oleh seseorang dengan background sipil: Joko Widodo. Dalam laporan EIU, kualitas demokrasi di Indonesia memang terbukti turun pada 10 tahun ke belakang dengan grafiknya yang mulai terlihat jelas sejak awal tahun 2015, periode awal Joko Widodo menjabat sebagai kepala negara. Laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa dua dari lima indikator penilaian turun cukup tajam, yakni variabel kebebasan sipil dan budaya politik yang masing-masing terjun bebas lebih dari 20%. 


Dari berbagai pelanggaran demokrasi yang terjadi belakangan, mulai dari penangkapan aktivis; pembubaran aksi-demonstrasi; represifitas aparat negara; sampai upaya pembungkaman masyarakat lewat upaya peretasan media social: semuanya kian mengafirmasi laporan penurunan indeks kualitas demokrasi di Indonesia. Fakta ini juga seharusnya mampu menjadi refleksi bagi kita semua atas nasib dan eksistensi demokrasi ke depannya.


Faktor Pemicu

Dengan meminjam analisis yang disampaikan oleh Wasisto Raharjo Jati, hal pertama yang penting untuk dicatat menurunnya kualita demokrasi di Indonesia adalah peran aktif militer dalam peran sipil. Dibandingkan dengan Presiden SBY, Presiden Jokowi sangat memberikan tempat kepada militer dalam berbagai sektor publik. Mulai dari sektor pertanian, penanggulangan bencana alam, keamanan transfortasi publik, dan menjadi bagian penting dari satuan tugas Covid-19. Peran intelijen juga sedemikian intens dalam mengawasi akun sosial media serta intimidasi melalui nomor yang tidak dikenal ditujukan kepada mereka yang vokal terhadap kebijakan pemerintah sekarang. Kondisi ini menunjukkan kalau tentara dan polisi kini secara ketat mengawasi adanya interaksi sosial dalam dunia maya maupun nyata. Hal ini jelas sangat berdampak pada turunnya demokrasi.


Hal kedua, semakin menguatkan hubungan disharmonis antara kubu nasionalis-pluralis dengan konservatif yang kemudian memicu munculnya sentimen polarisasi. Sebelum adanya pandemi, relasi antar dua kubu ini telah berada  dalam posisi bersebrangan karena perbedaan preferensi politik dan ketiadaan akomodasi dari pemerintah terhadap kubu konservatif. 


Tindakan ini berlanjut pada rangkaian non-akomodatif selama masa pandemi, misalnya dengan pembubaran FPI dan labelisasi “teroris” yang terkadang salah konteks dan tidak memberikan ruang akomodasi politik terhadap kubu islamis. Hal ini yang kemudian menimbukan kedengkian dan kemarahan politis. Ditangkapnya Habib Riziek Shihab misalnya, sebagai simbol kekuatan oposisi serta eliminasi lawan politik yang dilakukan oleh Presiden Jokowi ini dianggap berlawanan dengan etika dan sistem demokrasi yang memerlukan adanya oposisi sebagai kekuatan penyeimbang.


Hal ketiga, masalah favoritisme politik. Hal ini berkembang menjadi sinyalemen pamungkas adanya kemunduran dalam demokrasi. Masa pandemi Covid-19 telah memberikan legitimasi yang berlebihan bagi penguasa untuk melakukan segala daya dan upaya untuk mengatasi persoalan tersebut. 


Hal ini berimbas pada menguatnya ketergantungan yang kemudian terkonversi menjadi dukungan publik kepada petahana. Pemilu kemudian menjadi ajang menjadi ajang legitimasi bagi penguasa dan keluarganya bahwa kapabilitas dalam soal penanganan pandemi Covid-19 memberikan sinyal positif terhadap elektabilitas calon dari keluarga inti. Semakin penting dan berakarnya personalisasi  politik ini berdampak pada sikap lebih mengutamakan/memvaforitkan anggota keluarga inti sebagai penggantinya. Pola kekeluargaan dan transaksional ini pada akhirnya akan membuat adanya sistem warisan kekuasaan. 


KPU mencatat ada 16 pasangan kandidat kepala daerah yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elit petahana di Jakarta. Termasuk pula terpilihnya Bobby Nasution, menantu Presiden Jokowi menjadi Walikota Medan dan Gibran Rakabuming Raka putra sulung Presiden Jokowi sebagai Walikota Solo. 


Indeks Demokrasi Indonesia

Dengan mengutip keterangan dari Jaleswari Pramodhawardani berdasarkan pada laporan Democracy Index 2020 in Sickness and in Helath dari The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2021, Indeks Demokrasi Indonesia berada pada peringkat 64 secara global, 11 di regional Asia dan Australia.


Total Indonesia mendapat skor 6,48 dan digolongkan pada kategori demokrasi yang belum sempurna (flawed democracies). Dari 5 (lima) indikator penilaian, Indonesia mendapat nilai 7,92 untuk proses pemilu dan pluralisme, 7,14 fungsi pemerintah, 6,11 partisipasi politik, 5,63 budaya politik demokrasi, dan 5,59 kebebasan sipil.


Badan Pusat Statistik (BPS) kembali memublikasikan perhitungan indeks demokrasi di negeri ini. Hasil analisis datanya dibandingkan dengan kondisi tahun lalu, indeks yang dibangun oleh tiga aspek: kebebasan sipil, hak-hak politik, dan kelembagaan politik, ini relatif menurun. Namun, penurunan tersebut tidak mengubah kategorisasi kualitas indeks, tetap menempatkan negeri ini dalam kualitas demokrasi yang ”sedang”.


Kondisi demikian menjadi agak ironis. Pasalnya, pada tahun sebelumnya, justru negeri ini tengah merayakan kehidupan berdemokrasi yang tertinggi. Hasil perhitungan indeks menunjukkan tahun 2019, skor indeks yang dicapai merupakan skor tertinggi yang pernah dicapai sepanjang IDI dikenalkan tahun 2009 lalu.


Dengan penurunan skor di tahun ini, menjadi persoalan yang cukup serius untuk dikaji guna memahami faktor penyebab penurunan indeks tersebut. Apakah kondisi kekinian, seperti pandemi yang hingga kini belum juga berakhir, menjadi determinan bagi penurunan indeks?


Dalam hal ini, apakah berbagai upaya kebijakan negara selama pandemi yang diwujudkan dalam berbagai pembatasan fisik maupun sosial sedemikian rupa turut mengekang kualitas berdemokrasi di negeri ini?


Ataukah sebaliknya yang terjadi, faktor-faktor di luar kondisi pandemi, kini sedemikian rupa telah mengekang kondisi-kondisi ideal penopang demokrasi di negeri ini.


Dengan mencermati 3 aspek, 11 variabel, ataupun 30 indikator yang digunakan dalam pengukuran IDI, tampaknya terdapat beberapa perbedaan kondisi yang secara langsung berpengaruh terhadap nilai indeks.


Kita berharap kualitas demokrasi di negeri ini dari tahun ke tahun semakin membaik. Karena adagium yang dibangun adalah semakin tinggi kualitas demokrasi yang dicapai, semakin tinggi pula potensi kesejahteraan yang diraih.


*)Penulis adalah dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, tinggal di Kandanghaur Indramayu


0 comments: