-->

ads

Penguatan Etika dan Logika Politik; Menepis Syahwat Kekuasaan

Jumat, 03 September 2021
Demokrasi dan Korupsi (Gambar Carapandang.com)

Oleh: Masduki Duryat*)


Secara teori menurut Adlan Da’i, seorang tokoh NU sekaligus analis politik; Sistem demokrasi adalah sistem politik terbaik untuk jalan peradaban. Sistem yang kemudian Francis Fukuyama dalam "The end of history" diandaikan mampu merekrut kepemimpinan terbaik, mempersempit ruang korupsi, mengupgrade profesionalitas birokrat, pemerintahan menjadi  "public service" efektif, melayani dengan ‘hati’ dan lainnya.

 

Janji tinggal janji, realitas terabaikan. Ketika pemimpin politik mengikatkan diri pada sejumlah janji kampanye pada proses demokrasi pemilihan misalnya menurut M. Alfan Alfian (2018) adalah lazim saja. Kalau Rene Descartes beradagium cogito ergo sum—aku perpikir, maka aku ada—pemimpin politik; aku berjanji maka aku ada. Politisi selalu berdalih, janji kampanye itu satu hal, memerintah adalah hal lain. Ini mirip sindiran mantan PM Uni Soviet Nikita Khrushchev (1958-1964), politisi itu semuanya sama; mereka janji membangun jembatan, meskipun tidak ada sungai.


Janji untuk membangun, bukan penguasa tapi pemimpin, mensejahterakan rakyat, menghilangkan kebodohan, memberantas kemiskinan, nafas rakyat adalah jiwaku, pendidikan harus dimartabatkan melalui kesejahteraan gurunya, kesehatan gratis dan lain-lain adalah jargon-jargon yang sering dijanjikan pada kampanye dalam proses demokrasi. 


Kenyataannya hanya lip service, yang terjadi demokrasi hanya memperluas pelaku korupsi. Menghasilkan ‘artis’ pura-pura pemimpin. Birokrat menjadi mainan politik. Hanya perubahan warna cat gedung, jembatan, jilbab dari satu warna ke warna lainnya yang penuh kamuflase. Birokrat kompeten tidak tampak. Kalah sama barisan puja-puji, menjilat dan phobi terhadap kritik serta lena dalam hegemoni yang mengekang kreasi untuk terus berjuang bagi kesejahteraan masyarakat dan rakyatnya.  


Demokrasi dan Korupsi

Demokrasi telah mengalahkan segalanya, bahkan sampai menabrak-nabrak konstitusi dengan mengatasnamakan rakyat. Persis seperti pernyataan gubernur Alabama George Wallace dalam “How Democracies Die”, ada satu hal yang lebih berkuasa dari konstitusi … kehendak rakyat. Apa sih konstitusi itu? Produk rakyat, rakyat adalah sumber utama kekuasaan, dan rakyat bisa membatalkan konstitusi bila berkehendak. 


Demokrasi yang kebablasan dan terjebak pada hegemoni kekuasaan telah melahirkan mental hipokrit para pemimpin dan bahkan cenderung korup. Syahwat kekuasaan lebih mengemuka dibandingkan perhatiannya pada kepentingan rakyat. Masing-masing mendewakan ideologi dan konstitusinya tetapi pada saat yang sama menistakannya.


Korupsi adalah realitas dengan menghantarkan tidak sedikit para pemimpin dalam jebakannya.  Sehingga pada catatan  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini sudah ada 429 kepala daerah hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang terjerat kasus korupsi. Halini juga menegasikan bahwa demokrasi yang ditawarkan tidak terawat dengan baik.


Demokrasi—dalam kasus Indonesia—yang dibangun melalui pemilihan langsung telah melahirkan aktor-aktor yang penuh kepura-puraan mengawal kesejahteraan rakyat. Walau juga harus diakui ada juga pemimpin-pemimpin daerah dan nasional yang handal dan bisa dibanggakan. 


High cost dalam pilkada dianggap sebagai pemicu banyaknya kepala daerah terjerat kasus korupsi di era demokrasi ini. 


Dengan meminjam bahasa Syafii Antonio, sekarang ini terlalu mahal biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk memilih seorang pemimpin, sebagai contoh untuk menjadi seorang kepala daerah (gubernur, bupati atau walikota) di pulau Jawa atau daerah-daerah tertentu di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, menurut Muhammad Syafi’i Antonio (2007) dibutuhkan dana kampanye minimal 7-15 milyar rupiahbahkan lebih. Ketika calon bupati/walikota meminjam dari beberapa pengusaha dan rekanan, ia akan langsung menjadi penghutang besar (gharimun kabir) yang harus dibayar selama masa pemerintahannya. Di sinilah ia akan memulai tugas utama sebagai bupati/walikota dengan program ‘balik modal’. 


Program ‘balik modal’ ini jelas tidak akan dapat diharapkan dari gaji struktural, karena take-home payment resmi para pejabat itu tidak lebih dari Rp. 15-20 juta perbulan. Mungkin jika ditambahkan dengan berbagai tunjangan resmi mencapai Rp. 50-100 juta. Jika Rp. 50 juta dikalikan 60 bulan masa jabatan maka total pendapatan resmi dan halal bupati/walikota hanya Rp. 3 milyar. Dari mana ia harus menutupi sisanya? Masih menurut Syafi’i Antonio, jawabannya dengan menitipkan prosentase tertentu dari APBD kepada kontraktor. Setiap kontraktor yang ikut tender harus siap untuk setor 5, 10, hingga 20 prosen jika ingin memenangkan tender. 


Demikian juga pimpinan daerah akan mendapat tambahan income saat bendaharawan pemerintah daerah melakukan pembayaran ke kontraktor. Pimpinan Pemda juga masih akan mendapatkan tambahan income non-halal dari setiap perizinan dan konsesi penambangan dan investasi yang dilakukan di wilayahnya, termasuk ‘jual-beli’ jabatan. 


Demokrasi dan Perilaku Politik

Demokrasi dari berbagai definisi yang ditunjukannya memiliki tujuan untuk memproduksi kehidupan masyarakat dengan berkeadilan, kesejahteraan umum atau masih banyak lainnya. Pemahaman tentang terma demokrasi akan mampu merubah keadaan atau membawa aspirasi yang membentuk suatu keadaan yang konstruktif-progresif dalam menuju bangsa yang kompetitif.


Dalam realitas demokrasi kita dalam konteks lokal—maupun nasional—sudah berdiognosa tidak sehat. Hal ini menjadi perhatian publik yang mesti dipantau dan dibimbing secara komprehensif. Bukan hanya itu, demokrasi juga dipengaruhi oleh perilaku politisi lokal/nasional yang bertendensi menyimpang dari koridor ruang politik. 


Dalam bahasa A. Bakir Ihsan, seorang pengamat politik nasional sampai pada kesimpulan; konstitusi yang seharusnya menjadi pijakan dalam perilaku politik berbangsa hanya menjadi mantra-mantra tempat berlindung bagi kepentingan politik masing-masing kelompok.


Pelanggaran terhadap konstitusi menjadi lonceng kematian bagi konsolidasi demokrasi. Apatisme politik dan kemuakan atas demokrasi mulai menggejala akibat ulah para politisi yang hampa etika.


Akibatnya ada jarak  antara elite dan rakyat. Bahkan demokrasi yang sejatinya menjadi ajang perjuangan rakyat ditarik menjadi ajang permainan elite. Efek lebih jauh dari itu demokrasi menjadi begitu eksklusif dan rakyat tidak pernah merasakan manfaatnya. 


Partai politik yang sejatinya juga menjadi pilar konsolidasi demokrasi masih tidak mau melepaskan dirinya dari hegemoninya, sehingga mengekang kreasi para wakilnya di parlemen. Partai politik cenderung menjadi ajang transaksi tawar-menawar untuk mendapatkan konsesi politik (posisi) maupun finansial. 


Animo hegemoni elite politik yang tanpa memperhatikan etika politik yang baik dan benar akan menuju prahara akbar terhadap eksistensi demokrasi yang sedang berjalan di tengah kehidupan masyarakat. Demokrasi mesti dilihat secara serius oleh publik dan perilaku politik lokal/nasional yang tidak lagi berjalan pada ranah etika politik yang benar.


Etika Politik yang Santun

Demokrasi yang dicita-citakan rakyat adalah pemerintah sebagai pemegang tampuk kekuasaan dan elite politik mesti memperhatikan kesejahteraan bersama bukan kepentingan pribadi. 


Demokrasi yang ideal atau prospek rakyat adalah pemerintah yang sensibilitas terhadap realitas publik dan aspirasi rakyat yang belum direalisasikan. Di sisi lain, politik yang bermartabat menyata dalam kehadiran abdi negara yang memiliki kesadaran kebangsaan (Max Regus, 2003). Esensialitas demokrasi yang ideal inilah sejauh yang dicita-citakan rakyat. Ada ruang kebebasan di situ untuk masyarakat dalam memberikan kritik dan pandangannya sekaligus berpartisipasi dalam pembangunan.


Kebebasan yang ditawarkan demokrasi pada pandangan A. Bakir Ikhsan (2010) mensyaratkan kesantunan. Santun dalam berekspresi dan santun dalam berkompetisi dan berkontestasi. Indikator kesantunan adalah kesediaan untuk mematuhi aturan demi kepentingan publik. Inilah salah satu agenda yang belum terealisir secara utuh dalam kehidupan politik kita. 


Di sini pula diperlukan penguatan etika dan logika politik bagi para elite politik. Seluruh gerak politik yang dimainkan oleh para elite dan publik harus berpijak pada dua kerangka tersebut sebagai landasan berbangsa dan bernegara bahkan dalam interaksi global. Ketika dua landasan itu diabaikan, maka akan memunculkan sikap apatisme politik yang menghambat partisipasi masyarakat.


Sehingga urgensitas tentang proses penyadaran etika politik ini menemukan momentumnya agar demokrasi bisa terawat. Jika tidak, persepsi demokrasi akan terus mengalami deviasi akibat ulah politisi dan rakyat semakin teralienasi. 


Perilaku koruptip yang diperlihatkan para pemimpin kita misalnya—kemudian ditangkap KPK—telah meniscayakan itu. Ada apatisme di kalangan masyarakat untuk secara aktif berpartisipasi dalam politik lokal maupun nasional. Karena dalam bahasa KPK (2019) korupsi itu telah melanggar prinsip-prinsip etika profesi, seperti integritas, kepentingan publik, tanggung jawab, keterbukaan, dan keadilan. Nilai-nilai antikorupsi telah diabaikan misalnya jujur, peduli, mandiri, disiplin, tanggungjawab, kerja keras, sederhana, berani dan adil (KPK: 2019).


Cukuplah sampai di sini, mental kepura-puraan difragmentasikan para elite. Sehingga rakyat betul-betul tidak dipersalahkan keikutsertaannya dalam berdemokrasi—terutama dalam proses pemilihan pemimpin—sebaliknya tindak bermartabat akan menguatkan dan menjadikan demokrasi sebagai alat mensejahterakan rakyat.


*)Penulis adalah dosen IAIN Syekh Nurajati Cirebon, tinggal di Wirapanjunan Kandanghaur Indramayu

 

1 comments on Penguatan Etika dan Logika Politik; Menepis Syahwat Kekuasaan:

Fitriyani2208 mengatakan...

Ternyata benar politik dan demokrasi tidak bisa dipisahkan dari keduanya yang memiliki peran pilar yang saling terkait. Dari artikel saya baca sangat memberikan kesan wawasan baru pemahaman tentang politik itu sandiri.