-->

ads

Menakar Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 dan Surat Edaran Gubernur DKI Nomor 7/SE/2021; Sebuah Perbandingan

Rabu, 17 November 2021
Ilustrasi (ekonomi.bisnis.com)

 Oleh: Masduki Duryat*)


Akhir-akhir ini ramai diperbincangkan—bahkan kecaman—antara pro dan kontra tentang Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 mengenai aturan pencegahan kekerasan seksual. 


Kalangan ormas Islam berasumsi bahwa Permendikbudristek tersebut berpotensi untuk melegalkan tindak asusila dan seks bebas berbasis persetujuan. Terutama yang tertuang pada Pasal 5 ayat 2. 


Sementara pihak Kemendikbudristek berdalih bahwa regulasi itu dibuat untuk melakukan tindak pencegahan dan penindakan atas kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Pendidikan. Bahkan Nadiem Makarim menegaskan regulasi ini dibuat karena saat ini Indonesia tengah mengalami situasi darurat kekerasan seksual, termasuk di lingkungan Perguruan Tinggi. Permendikbud ini bukan melegalkan seks melainkan untuk melindungi korban kekerasan seksual. 


Di sisi laian sejumlah LSM dan aktivis HAM hingga Kementerian Agama mendukung aturan pencegahan kekerasan seksual ini dan menyebut tidak ada legalitas perzinaan dalam regulasi tersebut. 


Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga ternyata memiliki aturan antikekerasan seksual di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan tertuang pada Surat Edaran Gubernur No. 7/SE/2021 Pencegahan dan Penanganan Tindakan Pelecehan Seksual di Lingkungan Kerja Pemprov DKI Jakarta. 


Sejauh ini regulasi yang dibuat Pemprov DKI Jakarta baru direspon oleh Wakil Ketua MUI Anwar Abbas yang meminta pemuatan aturan soal perbuatan yang dilarang agama dalam SE No. 7/SE/2021 tersebut.


Permendikbudristek nomor 30 Tahun 2021 dan Potensi Legalitas Seks

Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 ini ‘ruhnya’ dibuat sebagai cara pencegahan kekerasan seksual di kampus. Regulasi ini hadir ingin negara melindungi dosen dan mahasiswa  dari tindak asusila.


Mengenai tindak kekerasan seksual dengan melihat regulasi ini, pada Pasal 1 disebutkan bahwa Kekerasan seksual didefinisikan setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.


Sasaran utama aturan ini antara lain mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus dan masyarakat umum yang berinteraksi dengan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan.


Tetapi masyarakat—terutama Ormas-Ormas Islam—menilai ada beberapa pasal yang berpotensi untuk melegalkan tindak asusila yang tidak pantas berlaku di Negara Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa.


Sorotan utama terhadap Permendikbud ini terletak pada Pasal 5. Dalam pasal tersebut dijelaskan cakupan tindakan kekerasan seksual yang mengecualikan persetujuan alias consent.


Rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam aturan ini dianggap menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan oleh berbagai Ormas Islam. Sebab, dalam pasal tersebut dijelaskan kekerasan seksual mencakup hal-hal yang dilakukan 'tanpa persetujuan'.


Frasa 'tanpa persetujuan'  ini menuai protes lantaran bisa ditafsirkan melegalkan zina jika kedua belah pihak saling menyetujui tindakan seksual. Hal itu tertuang dalam Pasal 5 ayat 2 poin b, f, g, h, j, k, l dan m.


Berikut bunyi Pasal 5 ayat 2 poin b, f, g, h, j, k, l dan m dalam Permendikbud 30 tersebut; (b). memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban; (f). mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; (g). mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; (h) menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; (j). membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban; (k) memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual; (l) Menyentuh, mengusap, meraba, memegang,memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban; (m). membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban.


Walaupun menurut regulasi ini bunyi poin pada Pasal 5 ayat 2 itu dikecualikan. Hal ini sebagimana tertuang pada bunyi Pasal 5 ayat 3; (3) Persetujuan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban; (a). memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (b) mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya; (c). mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba; (d). mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur; (e). memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan; (f). mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau (g). mengalami kondisi terguncang.


Surat Edaran Nomor 7/SE/2021 dan Pencegahan Tindak Pelecehan Seksual 

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga mengeluarkan Surat Edaran Nomor 7/SE/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Tindakan Pelecehan Seksual di Lingkungan Kerja Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.


Edaran yang diterbitkan 30 Agustus 2021 lalu ini ini spesifik mengatur soal pencegahan kekerasan seksual di lingkungan Pemprov DKI semata. Pasal 1 edaran itu dijelaskan mengenai bentuk-bentuk tindak pelecehan seksual yang mungkin terjadi di lingkungan kerja Pemprov DKI Jakarta.


Berikut bunyi sejumlah aturan di poin 1 dalam SE yang diterbitkan Anies tersebut; (a). Pelecehan fisik, termasuk sentuhan yang tidak diinginkan mengarah ke perbuatan seksual seperti mencium, menepuk, mencubit, melirik atau menatap penuh nafsu; (b). Pelecehan lisan, termasuk ucapan verbal/komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang, lelucon dan komentar bernada seksual; (e). Pelecehan psikologis/emosional, termasuk permintaan atau ajakan yang disampaikan secara terus menerus dan/atau tidak diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat seksual.


Dalam edaran tersebut, Anies turut menyerukan kepada para Kepala Perangkat Daerah/Unit Kerja pada Perangkat Daerah agar melakukan upaya pencegahan terhadap bentuk tindakan pelecehan seksual di lingkungan kerja dengan tiga ketentuan; 


Pertama, membangun komitmen dalam upaya pencegahan tindakan pelecehan seksual. Kedua, mewajibkan seluruh pegawai untuk membangun dan memelihara suasana kerja yang aman dari tindakan pelecehan seksual. Ketiga, Anies meminta ada internalisasi dan sosialisasi tentang tindakan pelecehan seksual dan upaya pencegahan terjadinya pelecehan seksual di lingkungan kerja.


Lebih lanjut, edaran Gubernur Anies itu juga mengatur mekanisme penanganan tindakan pelecehan seksual. Di antaranya yakni pelapor (baik korban atau saksi) dapat menyampaikan aduan pelecehan seksual secara tertulis melalui kanal aduan pada lamanhttps://bkddki.jakarta.go.id/pengaduan.


Lalu, Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk bersama dengan Unit Pelaksana Teknis Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (UPT P2TP2A) akan memberikan asesmen awal terhadap aduan/laporan, perlindungan dan pendampingan terhadap pelapor sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.


Beda Terma Diksi

Pada pasal 5 yang tercantum di Permendikbudristek yang dikeluarkan Menteri Nadiem Makarim soal diksi consent atau persetujuan. Edaran Gubernur Anies pada poin 1 huruf a dan huruf b menggunakan diksi "Yang tidak diinginkan". Sementara Permendikbud 30 menggunakan diksi "Tanpa persetujuan korban".


Tetapi terdapat kesamaan isu antar keduanya, baik Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 maupun SE No. 7 Tahun 2021 yakni tentang pencegahan kekerasan seksual.


Kalau Permendikbudristek No. 30/2021 banyak menimbulkan reaksi dari kalangan ormas Islam, SE No. 7/2021 Gubernur DKI Jakarta sejauh ini baru datang dari Wakil Ketua MUI Anwar Abbas yang meminta pemuatan aturan soal perbuatan yang dilarang agama dalam SE No. 7/SE/2021 tersebut. 


Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai salah satu pihak yang menolak Permendikbud Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi mulai memberikan komentar tentang SE No. 7/2021 yang dikeluarkan Gubernur Anies Baswedan ini. 


PKS, melalui Mardani Ali Sera menyebut, belum ada sikap resmi menilai atau menerima Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Tindakan Pelecehan Seksual di Lingkungan Kerja Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Mereka akan segera membahas soal SE Gubernur Anies Baswedan tersebut, tentu melalui PKS DKI Jakarta karena levelnya daerah. 


*)Penulis adalah Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon Tinggal di Kandanghaur Indramayu


0 comments: