-->

ads

REVOLUSI MENTAL PEMUDA (Basis Ideologis untuk Kemaslahatan Berbangsa dan Bernegara)

Kamis, 04 November 2021
Budi Utomo (Dok. Kompas.com)


Oleh: Masduki Duryat*)


Satu abad yang lalu, tepatnya pada tahun 1908, bangsa ini masih dalam cengkeraman penjajah. Hidup dalam penderitaan di negerinya sendiri karena ketidakberdayaan dalam tidur yang sangat panjang. Sekelompok pemuda dari Jawa memiliki sebuah kesadaran tentang berbangsa. Saat itu ada pandangan dari masyarakat bahwa status dan kedudukan terletak pada kekuasaan dan kekayaan. Mereka kemudian merubah cara pandangnya bahwa pendidikan dan kesehatanlah yang harus diutamakan. Hal ini sekaligus menandai sebuah kesadaran kebangkitan bangsa. 


Lalu apa yang terjadi setelah puluhan tahun kemerdekaan digapai, yang utama ternyata bukanlah seperti yang dicanangkan dan dicita-citakan saat kebangkitan, kini—seperti yang diungkapkan oleh Ari Ginanjar Agustian—yang utama bukan lagi “budi”. Karena itu kemudian bangsa Indonesia mengalami krisis yang luar biasa karena the ultimate reality bangsa ini bergeser kepada “kekuasaan”, “harta”, dan “jabatan”. Sedangkan budi, moral etika, tidak lagi dikedepankan. Realitas itu sekarang sedang difragmentasikan oleh para pemimpin kita yang terjebak pada pola hidup yang hedonis, instant, serta tindakan destruktif lainnya misalnya pornografi, narkoba, pergaulan bebas dan radikalisme dan ini juga berimbas pada pemuda yang mengalami disorientasi. 


Pergerakan Pemuda Indonesia; Lintasan Sejarah

Dalam sejarah keindonesiaan, gerakan mahasiswa acapkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional. Dimulai dengan berdirinya Boedi Oetomo (1908) wadah refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari sikap primordialisme Jawa yang ditampilkannya. Dengan mengusung tujuan muliamemajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan. Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang dihadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan“Sumpah Pemuda” pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia). Memproklamirkan diri untuk “Bertanah air, berbangsa dan berbahasa satu; Indonesia”.


Kemudian pada 1945 dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok. Tahun 1966 pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, dengan mengangkat isu komunis sebagai bahaya laten negara. Tahun 1974 yang terkenal dengan peristiwa Malari meneriakkan isu “ganyang korupsi” sebagai salah satu “Tritura Baru” di samping tuntutan bubarkan asisten pribadi dan turunkan harga. Tahun 1977-1978 mahasiswa kembali meletakkan dasar sejarah setelah disibukkan dengan urusan kampus untuk menyatakan sikap secara terbuka menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional  setelah Prsiden Soeharto terpilih yang ketiga kalinya. Tahun 1998 mahasiswa menuntut reformasi dan dihapuskannya KKN, ahirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya setelah mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR.


Ali Bin Abi Thalib; Refresentasi Pemuda

Dalam literatur keislaman, Jalaluddin Rakhmat—pada Khutbah-Khutbahnya di Amerika—menuturkan dengan lugas bahwa Islam maju karena didukung oleh empat pilar. Pertama, Pilar perempuan yang diwakili oleh Siti Khadijah. Kedua, Pilar Cendekia dan Aghniya yang diwakili oleh Abu Bakar Shiddik. Ketiga, Pilar orang-orang dhu’afa yang memiliki integritas keyakinannya untuk agama yakni Zaid bin Haritsah, dan keempat Pilar pemuda yang diwakili oleh Ali Bin Abi Thalib.


Ali bersedia untuk menggantikan Nabi di tempat tidurnya dengan menggunakan selimut Nabi ketika hijrah—pertaruhannya nyawa—ia dipuji Nabi pada suatu kesempatan, tentang Ali Nabi mengatakan, “Hubungan saya dengan Ali seperti hubungan Musa dengan Harun, sayangnya Ali tidak menerima wahyu”. “Kalau saya gudangnya ilmu, maka Ali adalah pintunya”, kata Nabi. Konon, masih meminjam bahasa Jalaluddin Rakhmat kalau dibuka bajunya, pada tubuh Ali ada enam belas bekas luka tusukan pedang, pada dahinya ada bekas sujud dan pada dadanya ada ilmu, ma’rifatullah. 


Dengan demikian, untuk membangun bangsa ini kita merindukan pemuda yang tidak hanya mengandalkan keberanian, tetapi juga memiliki ilmu pengetahuan yang luas—dalam konteks ini Ali juga mengatakan  “didiklah anak-anakmu, tidak seperti kamu dididik dulu, karena anakmu diciptakan untuk zamannya yang berbeda dengan zamanmu”—dan hidupnya memiliki makna transenden, beribadah yang numusi dalam hidup kesehariannya. Agama menjadi sumber nilai/etik/value dalam beraktifitas.


Revolusi Mental Basis Ideologis

Ali Bin Abi Thalib belia telah melakukan revolusi mental dengan etika sebagai sumbernya. Ketika kelak Ali menjadi seorang khalifah, ia selalu membawa ‘wadah’ yang selalu diikatnya kuat-kuat—karena hawatir akan dibuka anaknya dan isinya akan diganti—di dalamnya berisi roti yang sudah kering. Ketika para sahabatnya bertanya, “kenapa engkau melakukan itu?”, Ali menjawab, “Saya selaku pemimpin tidak ingin membedakan makanan apa yang dimakan oleh rakyat kebanyakan”. Ia tidak ingin melukai hati rakyat, ia memimpin dengan hati dan tidak ingin mengesampingkan etika. 


Dalam konteks Indonesia, disorientasi pemuda dengan mengesampingkan etika, telah memunculkan masalah utama bangsa kita saat ini; Pertama, kewibawaan bangsa yang merosot. Kedua, daya saing yang rendah dan ketiga, intoleransi yang mengancam persatuan.


Sebagai bentuk strategi kebudayaan yang memberi arah bagi terciptanya kemaslahatan hidup berbangsa dan bernegara, basis ideologis revolusi mental adalah Pancasila—Ari Ginanjar—menyebutnya dengan prinsip tiga dasar; berdaulat secara politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Hal ini semakin berat, karena kita berhadapan dengan kehidupan global yang nyaris berbudayanya global juga. 


Revolusi mental merupakan suatu gerakan seluruh masyarakat dengan cara yang cepat untuk mengangkat kembali nilai-nilai strategis yang diperlukan oleh bangsa dan negara untuk mencapai kesejahteraan rakyat untuk dapat secara kompetitif dalam berkontestasi di persaingan global. Revolusi Mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala. Ini adalah gagasan revolusi mental yang pertama kali dilontarkan oleh Bung Karno pada Peringatan Hari kemerdekaan RI 17 Agustus 1956.


Dalam kehidupan sehari-hari, praktek revolusi mental adalah menjadi manusia yang berintegritas, mau bekerja keras, dan punya semangat gotong royong."


Tiga nilai penting untuk mewujudkan revolusi mental sesuai dengan tantangan yang dihadapi adalah; Pertama, membangun integritas sebagai fondasi karakter individu yang jujur, disiplin, tanggung jawab sehingga dapat dipercaya. Kedua, menanamkan gotong royong sebagai fondasi kolaborasi dan sinergi antar komponen secara optimal, dan ketiga membentuk perilaku kerja keras dalam implementasi atau eksekusi dari setiap strategi atau program. 


Nilai-nilai ini untuk digelorakan kembali agar mimpi menjadi Indonesia sebagai bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa lain dapat mewujud dalam realitas, dan tentu melalui kiprah pemuda, pewaris dan penerus estafeta kepemimpinan bangsa. Sambil terus menggeloran “Satu tanah air, tanah air Indonesia”. 

*)Penulis adalah dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon tinggal di Kandanghaur Indramayu


0 comments: